Senin, 29 April 2013

Catatanku dari Acara Penganugerahan Srikandi Blogger 2013


            Sebuah perhelatan akbar baru saja sukses digelar. Acara Penganugerahan Srikandi Blogger 2013 Powered by Acer yang bertajuk “Aktualisasi Perempuan di Era Digital” berlangsung meriah dan penuh inspirasi.
Ada rasa bangga dan haru yang saya rasakan ketika melihat jalannya acara tersebut. Seolah tak percaya, kalau komunitas yang bernama Kumpulan Emak2 Blogger (KEB) yang baru saja merayakan hari ulang tahun pertamanya beberapa waktu lalu, mampu menggelar acara akbar ini.
Jika mengingat sejenak ke awal munculnya ide tentang acara ini, saya kagum pada sosok ibu muda yang energik dan sepertinya tak pernah mengenal kata lelah. Ya, dialah Mira Sahid, Founder Kumpulan Emak2 Blogger yang selalu menyimpan obsesi gemilang. Ide itu muncul begitu saja darinya. Bersama Mak Indah Julianti Sibarani dan Mak Sary Melati (dua dari beberapa MakMin yang ada di KEB), Mira mengutarakan ide tersebut. Meskipun dengan rasa cemas, akhirnya kedua MakMin menyetujui ide luar biasa itu.
Meeting perdana di Plangi
Singkat cerita, terbentuklah tim yang selanjutnya bersama-sama menggodok acara Srikandi Blogger dengan penuh semangat kerja sama yang tinggi. Mereka adalah Emak-emak Admin yang lebih nge-trend dipanggil MakMin di komunitas Kumpulan Emak2 Blogger. Dibantu oleh beberapa anggota KEB seperti saya sendiri, Mak Lusiana Trisnasari, Mak Ariyani, Mak Sumarti Saelan, Mak Waya Komala, Mak Aulia Gurdi, Mak Fitri Rosdiana, Mak Tri Sapta, Mak Sri Sugiarti, dan Mak Khalida, jadilah kami bergandengan tangan untuk mewujudkan ide Sang Founder
Meeting di rumah Mak Vema Syafei


Masih dalam rangkaian meeting, menggodok acara
 Kerja sama yang di dalamnya tentu tak luput dari kelelahan, ketegangan, perdebatan, kekhawatiran, membuat awal yang mendebarkan bagi panitia. Terlebih ketika kami melihat keraguan Emak-emak calon peserta. Mereka seolah tidak yakin untuk berkompetisi di ajang bergengsi ini. Merasa tak punya prestasi yang mumpuni untuk dilaga di babak seleksi. Atau mereka yang ragu untuk bisa hadir jika nantinya terpilih sebagai finalis karena domisilinya bukan di Jabodetabek. Namun, semua itu akhirnya luruh dengan balutan rasa kebersamaan serta tanggung jawab yang besar demi terselenggaranya acara akbar ini.
Kebersamaan lagi-lagi melahirkan dukungan satu sama lain. Kami pun mulai melihat semangat itu dari para Emak yang mulai mendaftarkan diri sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh panitia. Luar biasa, semangat kebersamaan itu sekali lagi melahirkan kreasi menakjubkan dari Emak-emak calon nominator. Akhirnya dari sekian banyak peserta yang mendaftar, dewan juri harus memilih 50 nominator untuk kembali berkompetisi menuju 10 besar.
Semakin mencengangkan sekaligus saya kagum. Menuju 10 besar, 50 nominator kembali unjuk gigi dengan menyajikan prestasi serta kiprah mereka selama menjadi blogger. Seolah mereka terlupa oleh keraguan di awal kompetisi. Dengan harap-harap cemas ke-50 nominator menunggu pengumuman 10 finalis. Tepat pada 21 April 2013, juri pun mengumumkan nama-nama 10 finalis Srikandi Blogger. Profil kesepuluh finalis bisa dilihat di sini
Setiap kompetisi tentu ada yang harus maju terus ke babak final dan ada yang harus mundur. Tapi, ini bukan berarti mereka yang tak masuk 10 besar itu gagal, hanya saja juri dan panitia harus memilih 10 finalis. Demikianlah, hingga akhirnya acara Penganugerahan Srikandi Blogger Powered by Acer ini pun bisa terlaksana pada tanggal 28 April 2013. Puncak acara Penganugerahan Srikandi Blogger 2013 yang digelar di Gedung F Kemendikbud, lantai 6, Jakarta, mampu membuktikan bahwa perempuan yang notabene adalah Emak-emak dengan beragam kesibukannya di keluarga, telah berhasil mengaktualisasikan diri lewat kiprahnya sebagai perempuan masa kini  di era digital.
Materi acara yang digelar, mulai dari tari pembukaan, monolog, doa, sambutan, pemotongan tumpeng, drama Cerita di Balik Noda, penampilan musik gitar dan lagu, fashion show, serta beragam game yang disajikan mampu menarik perhatian dan pandangan kagum dari undangan yang hadir di gedung berkapasitas seribuan orang itu.


Tari Pembuka
Monolog: Kisah dari Catatan Hati Irma Senja (foto: Mia Fauzia)
Doa
Kata sambutan
Pemotongan tumpeng (foto: Dian Kelana)
Drama Cerita di Balik Noda (foto: Dian Kelana)
Permainan gitar & lagu (foto: Dian Kelana)
Fashion KEB Junior (foto: Dian Kelana)
Fashion oleh KEB (foto: Dian Kelana)
Games yg dipandu oleh MC (foto: Dian Kelana)

Sampai ketika lagu berjudul Bunda yang dilantunkan oleh biduan Mak Fiki dan Echa yang juga merupakan anggota dari KEB, tepuk tangan dan kekaguman kembali memadati gedung. Ya, lagu itu adalah lagu pengiring kesepuluh finalis untuk naik ke atas panggung. 
Lagu Bunda (foto: Dian Kelana)
Begitu lagu usai, rasa deg-degan pun mulai terpancar di wajah para finalis dan pendukung yang duduk di jajaran kursi undangan. Kesepuluh finalis tersebut adalah:
  • Anazkia dari Malaysia
  • Diadjeng Laraswati dari Jakarta
  • Dina Begum dari Bekasi
  • Eka Putri dari Riau
  • Myra Anastasia dari Jakarta
  • Nchie Hanie dari Bandung
  • Oktaviani Nur Hasanah dari Kepulauan Selayar - Sulawesi
  • Winda Krisnadefa dari Bekasi
  • Alaika Abdullah dari Bandung 
  • Shinta Ries dari Jakarta
      
       Rasa ser-seran belum lagi usai, ketika ketua dewan juri, Indah Julianti Sibarani kembali mengumumkan dua peraih predikat khusus di ajang Srikandi Blogger 2013. Maka tepuk tangan kembali riuh ketika nama-nama itu disebutkan. Mereka adalah:
  • Bunda Yati Rachmat sebagai Blogger dengan anugerah Acer Srikandi Lifetime Award, 2013
  •  Haya Aliya Zaki sebagai Blogger dengan anugerah Acer Srikandi Inspiratif, 2013. 

       
Pengumuman berikutnya adalah puncak dari rasa tegang bagi para finalis. Indah Juli membacakan nama-nama ketiga Srikandi. Terpilihlah ketiga nama berikut:
  •  Myra Anastasia, Acer Srikandi Persahabatan 2013.
  •  Anazkia Aja, Acer Srikandi Favorit 2013.
  •  Alaika Abdullah, Acer Srikandi Blogger 2013.


        Begitulah, acara yang akhirnya berakhir tepat pukul 15. 20 WIB ini meninggalkan banyak kesan. Terlebih buat saya yang didaulat sebagai ketua panitia. Banyak pelajaran dan hikmah yang saya reguk dari perhelatan akbar ini.
        Saya bukan bagian dari admin KEB, hanya anggota biasa. Keterlibatan saya di kegiatan online maupun offline KEB pun masih terbilang minim. Karena itulah saya sangat tersanjung sekaligus tak percaya diri ketika Mira Sahid yang lebih akrab dipanggil MakPon mendaulat saya untuk duduk di posisi ketua panitia.
Ini tugas berat dan pasti konsekuensinya juga besar sekali. Ternyata saya tak perlu cemas, segala kekurangan dan ketakutan saya terutup oleh semangat dan kerja keras panitia lainnya. Mereka begitu gigih bahu-membahu demi acara ini.
      Terima kasih ya, Maaaks. Karena kegigihan dan kekompakan kalianlah acara ini bisa terlaksana dengan sukses. I love you all.  
Bravo! []

Sabtu, 06 April 2013

Kusapa Rindu di Tepi Kanal

Aku baru saja menikmati kesibukan pagi di kota Bern. Ibukota Swiss ini memang tak pernah sepi. Apalagi di musim semi seperti ini. Udara yang sudah tidak terlalu dingin membuat orang semakin nyaman menikmati pemandangan dengan berjalan kaki. Masih pagi saja sudah begitu ramai orang hilir mudik. Rasa lelahku di perjalanan dari kota Medan langsung hilang.
Dulu, ketika Papa masih bertugas di sini, aku selalu diajak Mama menyusuri kota tua Bern. Kota ini sangat terpelihara dengan baik. Di jalanan yang yang berbaur bebatuan, menara jam - zytglogge masih berdiri dengan gagah. Menara yang merupakan landmark dari abad ketigabelas ini berperan sebagai menara penjaga dan sekaligus denyut kehidupan kota Bern. Dulu aku selalu berhenti sejenak jika menara jam itu tiba-tiba memunculkan patung yang bergerak. Kata Mama, patung itu akan muncul setiap satu jam sekali.
Walaupun Bern memiliki transportasi umum yang sangat bagus, Mama lebih suka memilih menikmati kota tua ini dengan berjalan kaki. Kesempatan itu selalu diambil Mama saat menjemputku pulang dari sekolah. Aku tahu kalau Mama suka memanfaatkan waktu pulang sekolah untuk berkali-kali melintasi pemandangan yang sama.
“Enggak usah naik bis ya, Di. Enakan jalan kaki,” ujar Mama sambil sesekali membetulkan letak syal di leherku.
“Terserah Mama saja, kan kemarin-kemarin juga jalan kaki,”  balasku menahan senyum.
“Iya, Wily juga lebih senang jalan kaki kalau pulang sekolah. Dia enggak pernah mau saya ajak naik bis,” sambar Tante Mirna, Mama Wily.
Ingatanku bergerak pada anak laki-laki berkulit hitam manis dan selalu memakai topi itu. Ya, Wily namanya. Papi Wily juga ditugaskan oleh kantornya di Bern. Awalnya aku dan Wily teman satu sekolah. Setelah dua tahun di sekolah yang sama, akhirnya Wily pindah ke level SMP. Tapi, sekolah kami letaknya berdekatan. Tak sampai seratus meter. Sehingga kebiasaan pulang bersama pun kerap kali terulang.
Meskipun aku tahu kalau Wily anak tunggal tapi aku suka geli melihat ada anak laki-laki yang sudah SMP masih mau dijemput sama ibunya. Wily tak pernah merasa jengah dengan sikap Maminya. Malah sepertinya dia sangat menikmati kebersamaan mereka saat pulang dan berjalan bersama itu. Kebiasaan menjemput itulah yang membuat Mamaku dan Mami Wily jadi berteman.
Kenangan tentang Wily kuhentikan. Sekarang tujuanku bukan untuk menghabiskan waktu di kota Bern. Ada janji dengannya untuk bertemu di Interlaken. Sebuah kota kecil di Swiss yang selalu membawaku berlama-lama melamunkannya. Aku bergegas menaiki kereta api menuju kota yang jaraknya hampir satu jam dari Bern itu. Selain ingin bertemu dengan teman masa kecilku, ada kenangan manis yang sulit aku lupakan di kota itu.
Kereta api yang kunaiki terus melaju, melintasi pemandangan bagai lukisan di balik kaca jendela kereta. Pohon-pohon dengan warna daun yang menguning, hijau, dan kemerah-merahan menandakan musim semi sudah sempurna menyelimuti setiap kota. Rumah-rumah penduduk berdiri anggun di atas hamparan rumput hijau yang tumbuh di atas tanah berbukit. Sekawanan domba semakin melengkapi lukisan alam itu.
Setiap kali ada kesempatan mendatangi kota ini, aku tak pernah bosan mengabadikan pemandangan dari balik jendela kereta yang sedang melaju. Ada kenikmatan tersendiri yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Takjub!
Keretaku akhirnya sampai di Interlaken. Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada seseorang yang berjanji menungguku di tepi kanal.
“Kamu tahu, kenapa kota ini bernama Interlaken?” tanya Wily waktu itu. Aku menggeleng dan memandang sinis padanya. Bagiku, Wily memang terkesan sok tahu segalanya. Meskipun benar dan diam-diam aku mengaguminya, tapi aku selalu gengsi untuk mengakuinya.
“Karena letak geografis Interlaken ini unik, Di. Letaknya di antara dua danau besar, Thun dan Brienzer. Nama Iterlaken berasal dari bahasa Latin, yaitu inter lacus yang artinya di antara dua danau,” tambah Wily menjelaskan.
Aku diam saja waktu itu. Lagi-lagi gengsi mengakui kehebatan Wily di pelajaran Geografi.
Sekali lagi bibirku tersenyum mengingat semua itu. Janji bertemu dengan Wily membuatku tak sabar menuju bangku kayu di pinggir kanal itu. Sambil mengayunkan kaki, mulutku tak pernah lepas dari decakan kagum akan kota ini. Sejauh mata memandang, keindahan pegunungan Alpen selalu tampak sebagai latar belakang kota. Interlaken benar-benar seperti negeri Heidy si penggembala domba.
“Kota yang damai dan tenteram,” gumamku melepas kekaguman.
Ingatanku kembali ke Wily. Setelah tiga tahun bertugas di Bern, Papi Wily masih harus meneruskan masa dinasnya di kota administratif itu. Jika liburan panjang, keluargaku suka diajak melancong ke Interlaken. Di kota inilah dulu kami sering menghabiskan waktu sepanjang liburan. Di sini pula kami menghabiskan kebersamaan terakhir sebelum akhirnya Papaku kembali ke tanah air. Sementara keluarga Wily masih harus melanjutkan hari-harinya untuk menetap di Bern.
Dulu keluargaku dan Wily selalu melengkapi kebersamaan kami dengan menyusuri Boulevard di sepanjang tujuh ratus meter, jalan utama kota Interlaken. Turkis Kebab, tempat makan favoritku dan Wily juga masih ada dan terlihat tetap ramai saja oleh pengunjungnya. Entah mengapa, dari sekian banyak pilihan jajanan dan restoran yang menyajikan makanan khas Eropa di Interlaken, Turkis Kebab yang selalu menjadi pilihanku dan Wily.
“Kalian mau makan apa?” begitu Om Herman selalu memberi pilihan awal kepada kami. Seolah aku dan Wily menjadi penentu.
“Aku enggak akan pernah bosan menikmati kebab, Pa. Kamu gimana, Di?” tanya Wily mengharapkan dukunganku.
“Iya, aku juga. Lebih aman dan halal,”
“Mengenyangkan pula,” sambar Wily sambil menepuk-nepuk perutnya. Geli juga kalau mengingat itu.
Ya, selain kenangan bersama Wily, aku memang selalu mengagumi kota ini. Jalanan yang bersih dengan bangunan pertokoan tertata rapi. Musim semi semakin melengkapi keindahan kota kecil ini dengan bunga-bunga segar yang berwarna-warni. Tak banyak yang berubah. Kota ini tetap cantik seperti dulu.
Sebentar lagi aku sampai di tepi kanal tempat Wily berjanji menungguku. Kupercepat langkah. Tiba-tiba kakiku terpaksa berhenti sejenak. Senyumku kembali merekah ketika melihat iring-iringan sapi berbadan gemuk berjalan berlawanan arah denganku. Suara lonceng yang menggantung di leher sapi-sapi itu mengeluarkan bunyi yang indah.
Kenangan lucu masa lalu kembali melintas manis di benakku. Dulu Wily suka mendorongku sampai merapat ke sapi-sapi itu. Dia tahu kalau aku takut sekali. Tapi, sekarang justru aku ingin mengelus badan sapi-sapi itu. Pemandangan seperti ini membuat ingatanku semakin menancap pada sosok Wily. Aku harus segera bertemu dengannya.
“Wily?!” seruku ketika melihat seorang pemuda dengan topi pet cokelat duduk di bangku kayu itu. T-Shirt hitam bergaris putih tipis-tipis itu membalut tubuh jangkungnya.
Pemuda itu menoleh ke arahku. Matanya menyipit. Beberapa saat ada keraguan di benakku. Sepuluh tahun cukup lama untuk membuat struktur tubuh dan wajah seseorang berubah. Wily tumbuh menjadi pemuda jangkung. Badannya tak terlalu kurus. Meskipun dalam keadaan duduk, aku bisa mengukur bahwa perawakan Wily sangat proporsional untuk standar peragawan.
Wily mencoba berdiri dari bangku kayu yang dulu sering kami pakai untuk melepas lelah. Namun, Wily kembali terduduk. Matanya menatap air kanal yang berwarna kehijauan di depannya. Aku masih berdiri tak begitu jauh dari tempatnya duduk. Ingin memastikan apakah pemuda itu benar-benar Wily. Kudekati bangku kayu itu.
“Iya, Dian. Ini aku, Wily... laki-laki SMP yang selalu dijemput Maminya saat pulang sekolah ketika itu,” ujarnya lirih.
“Kakimu...?”
“Iya, aku mengalami kecelakan ketika mencoba mendaki Alpen,” sambarnya cepat.
Aku menghela napas. Perlahan aku duduk di sebelah Wily. Mulutku terkunci. Tak sanggup melanjutkan obrolan. Padahal sebelumnya aku ingin melepas rindu yang membuncah di rongga dadaku. Banyak hal yang ingin kupertanyakan atas kabar-kabar lewat e-mail yang dikirimkan Wily. Salah satu pertanyaan tentang mengapa Wily tak pernah mau lagi mengirimkan foto-fotonya, kini sudah terjawab.
Aku tak sanggup melihat Wily dengan kaki sebelah yang terkulai lemah. Penyangga seperti tongkat yang tersandar di sisi bangku kayu itu membuat dadaku bagai tertindih beban berat. Tanganku masih mencengkeram sisi bangku kayu yang sudah menua dimakan cuaca ini. Kubiarkan kami sama-sama terdiam. Air kanal di depan kami mulai memunculkan riak karena kepakan kaki bebek-bebek yang berenang. Hanya suara bebek-bebek di kanal Interlaken itulah yang terdengar di kebisuanku dan Wily. []






Jumat, 05 April 2013

Menjadi Lebih Baik dan Sempurna




Dari kamus Bahasa Indonesia, sempurna berarti utuh dan lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela). Adakah manusia yang bisa mencapai kesempurnaan seperti itu di muka bumi ini? Jawabnya sudah pasti tidak akan ada. Karena kesempurnaan yang sesungguhnya hanya milik Allah.
Lalu, salahkah jika kita ingin menjadi sempurna? Tidak! Karena menjadi sempurna dalam ukuran kita tentu tidak sama dan tak bisa dibandingkan dengan kesempurnaan-Nya. Silakan jika menginginkan sebuah kesempurnaan dalam setiap usaha kita. Dengan kata lain, ingin sempurna adalah sebuah proses menjadi lebih baik.

Target menjadi sempurna.
Target ingin menjadi sempurna justru akan membuat kita selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dan itu sangat menguntungkan, bukan? Kita jadi sungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu, tak mudah menyerah dan pasrah pada hasil yang biasa-biasa saja.
Kemudian, bagaimana jika target ingin menjadi sempurna tak pernah kita capai? Jangan menyalahkan target yang kita buat. Menjadi sempurna bukan berarti tidak pernah gagal atau salah. Menjadi sempurna adalah sebuah proses pembelajaran dari kegagalan yang kita alami. Justru sebaliknya, kita seharusnya lebih termotivasi untuk melakukan hal yang jauh lebih baik lagi, sesuai dengan harapan kesempurnaan yang kita inginkan dalam ukuran manusia tadi.
Dengan target untuk menjadi sempurna, kita menjadi paham tentang upaya pencapaiannya, tidak gampang menyerah, optimis (bukan ambisius), mampu mengeksplorasi kemampuan potensi diri yang mungkin selama ini tak pernah terlihat di permukaan. Target sempurna juga memotivasi kita terus belajar memperbaiki diri pada tingkat dan tahapan dari level kesempurnaan tersebut.

Evaluasi diri adalah sebuah proses menuju lebih baik.
Cara terbaik mengukur proses mencapai sempurna adalah dengan mengevaluasi diri. Hal ini akan memberikan efek positif terhadap pengembangan diri. Pengembangan diri meliputi usaha membangun citra positif yang berdampak baik pula pada orang di sekitar kita.
Evaluasi diri meliputi proses menelaah kembali apa-apa yang telah dilakukan pada waktu lampau. Dari proses ini kita bisa melihat langkah positif dan negatif yang telah kita pilih. Kita bisa melakukan perenungan untuk mengambil keputusan baru. Evaluasi diri juga memberikan kita kesempatan untuk membuang hal-hal negatif yang telah menggagalkan kita dalam mencapai kesempurnaan. Menyusun rencana yang jauh lebih baik untuk kembali melangkah menuju sempurna.

Membuka diri untuk dikritik.
Karena sempuran bukanlah cerminan bahwa kita tak pernah melakukan kesalahan, maka berikan ruang bagi orang lain untuk menilai sikap kita. Orang lain adalah cermin bagi kita dalam menjalani proses menuju sempurna tadi. Ketika kita membuka diri untuk dikritik, bersiaplah untuk menerima penilaian terburuk. Jangan buru-buru tersinggung, karena kritikan tak akan terurai dengan baik jika kita tidak menyikapi dan menelaahnya dengan pikiran jernih.
Jangan pernah membuat target ingin menjadi sempurna atau lebih baik kalau kita tak pernah siap membuka diri untuk dinilai oleh orang lain. Karena kesempurnaan tak bisa hanya dilihat dan dinilai dari kacamata kita sendiri. Dan kita tak akan bisa berubah menjadi lebih baik jika hati kita terkunci untuk orang lain.

Selamat merenung!

***
           

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...