Rabu, 16 Juli 2014

Tak Harus Menunggu Kaya



http://emakgaoel.blogspot.com/2014/07/kontes-semangat-berbagi-blog-emak-gaoel.html?showComment=1405520752448#c2620659663408839798

Mengisahkan sosok yang menghabiskan sebagian waktu serta rezekinya untuk mereka yang membutuhkan adalah sesuatu yang membuncahkan rasa hormat sekaligus haru dalam diri saya. Apa yang telah mereka lakukan setidaknya mampu memicu hati saya untuk belajar mencontohnya. Insya Allah.
Selama ini ada beberapa nama yang saya kenal baik. Pertama, Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, pemilik Yayasan Ummu Amanah - PKBM Al Falah Bantar Gebang, Bekasi, yang biasa saya panggil dengan Mbak Sari. Semangatnya yang luar biasa. Selama bertahun-tahun beliau tak segan-segan berkubang aroma sampah demi mengumpulkan anak-anak pemulung untuk disekolahkan. Dan sekolah itu telah berdiri serta berjalan hingga saat ini dengan modal awal yang dikumpulkannya sendiri.
Sari bersama keluarga pemulung di Bantar Gebang, Bekasi (dokpri)
Kedua, Suci. Ibu muda yang ikhlas menyisihkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk anak-anak di penjara. Anak-anak Lapas Tangerang selalu memanggilnya dengan sebutan sayang “Bunda Suci”. Beliaulah yang membuat saya ikut tergerak untuk berbagi ilmu menulis di lapas tersebut. 
Bunda Suci, saya, KaLapas dan anak-anak Lapas. (dokpri)
Sosok ketiga yang hingga saat ini mampu membuat hati saya bergetar setiap kali berkunjung ke kediamannya di daerah Pondok Cabe, Tangerang. Beliau adalah pendiri dan pemilik Panti Asuhan Al Munasharoh. Usianya sudah mendekati 90 tahun. Sejak tahun ‘70-an hingga menjadi janda veteran saat ini, Ibu Hanani masih setia menampung dan memberi harapan hidup kepada anak-anak yatim piatu dan sekaligus menyediakan tempat tinggal untuk mereka. Sayang saya tak punya foto beliau dan anak-anak yatim tersebut, sebab setiap kali mengunjunginya kami tak sempat terpikir untuk berfoto bersama. 
Untung saya masih menyimpan data anak-anak yang ditampung Bu Hanani. (dokpri)
Ketika Mak Winda Krisnadefa mengadakan lomba di blognya dengan judul postingan, “Kontes Semangat Berbagi Blog Emak Gaoel Bersama Smartfren” khusus di bulan Ramadan ini, saya tertarik untuk ikut menggaungkan kiprah sosok-sosok di atas yang sudah saya kenal baik selama ini. Merekalah yang menjadi pembuka inspirasi saya untuk memaknai arti kata “BERBAGI”. Namun akhirnya, di kesempatan Ramadan ini saya tak jadi menuliskan kisah mereka yang mungkin sudah banyak diliput oleh media (kalau penasaran, coba search saja di google atau boleh klik tautan yang sudah saya berikan di atas).
Kali ini saya ingin mengangkat sosok yang sangat sederhana dan mungkin hanya saya yang tahu kiprah dan semangatnya untuk berbagi. Dia hanya ibu rumah tangga biasa dengan kehidupan ekonomi yang juga sangat biasa-biasa saja (baca: pas-pasan). Saya mengenalnya karena kami tinggal di lingkungan yang sama di Perumahan Bumi Bekasi Baru Rawa Lumbu, Bekasi. Selama ini saya tak pernah mengetahui kalau teman saya yang periang dan senang membuat orang tertawa ini punya kebiasaan terpuji. Pembawaannya yang easy going mampu mengecoh pengamatan saya selama ini. Luar biasa!
Mbak Dewi dan paket Ramadan yang siap dibagikan. (dokpri)
Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya tahu kalau dia sudah lama membiasakan diri menyisihkan sebagian rezekinya yang tak seberapa itu (bahkan setahu saya, dia justru kekurangan) untuk fakir miskin.
“Bisa minta waktunya sebentar, Kakak cantik?” tanyanya waktu itu lewat pesan di hape. Dia selalu memanggil saya dengan sebutan yang selalu membuat saya tersenyum semringah.
“Ada apa Mbak?” balik saya bertanya.
Mulailah dia bercerita tentang kegiatannya selama ini. Dia menanyakan apakah saya mau ikut berbagi memberikan nasi kotak untuk pengemis di jalanan, pemulung, tukang-tukang becak, dan siapa saja yang layak diberi. 
Ketika saya tanya, sejak kapan ide itu muncul, dia tersenyum.
“Alhamdulillah sudah lama, Kakak. Saya segan mengajak. Takut mengganggu,” ujarnya.
Diam-diam hati saya justru tertohok. “Takut mengganggu”. Dua kata yang membuat saya benar-benar tertampar. Tak pernah terpikir oleh saya untuk melakukan hal yang sama yang telah dijalankannya selama ini. Subhanallah, niatnya sungguh mengetuk nurani saya.
Kembali kepada kesempatan yang telah dibuka oleh Mak Winda di kontes semangat berbagi inspirasi ini, saya akhirnya mantap memilih sosok Dewi Retnawati. Perempuan kelahiran 10 Maret 1966 ini awalnya keberatan jika saya mengekspose kegiatan kemanusiaannya ke publik. Alasannya sangat sederhana.
“Janganlah, Kakak cantik. Saya takut pahalanya nanti menguap. Biar Allah saja yang menilainya. Saya 'kan bukan seleb,” ujarnya nyaris mematahkan niat saya untuk meneruskan membagi kiprahnya. Namun, saya berusaha meyakinkannya bahwa ini semata-mata untuk berbagi inspirasi. Semoga tak dinilai sebagai riya. Alhamdulillah, akhirnya dia memberikan kepercayaan kepada saya.
Inilah serangkaian kegiatan berbagi yang dilakukan Mbak Dewi di Bekasi. (dokpri)
Kemarin saya sengaja bertandang ke rumahnya. Mulut saya ternganga. Saya melihat tumpukan paket yang terdiri dari makan kemasan dan minuman. Paket-paket itu akan diberikan kepada anak yatim, para janda yang tak memiliki mata pencaharian tetap, tukang becak dan siapa saja yang dianggapnya layak untuk dibagi di seputar tempat tinggal kami. Dari uang sebagai honorer selama bekerja di Rumah Sakit Awal Bros, Bekasi yang diterimanya, ditambah THR (Tunjangan Hari Raya) yang tak seberapa jumlahnya, Mbak Dewi kembali menyisihkannya untuk kepentingan beramal. 
“Alhamdulillah, kebetulan ada rezeki sedikit di bulan puasa ini. Nggak harus nunggu kaya ‘kan, Kakak?” ujarnya bercanda menahan senyum, lagi-lagi menohok jantung saya.
“Saya selalu berdoa kalau saya meninggal nanti, ini bisa membantu meringankan dosa-dosa saya,” lanjutnya membuat dada saya mendadak sesak.
Betapa saya kesulitan menahan airmata. Memang benar, Mbak Dewi bukanlah sosok yang kaya dan serba berkecukupan. Bahkan beberapa tahun lamanya dia pernah menjadi single parent dari tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Dengan segenap tenaga yang dia miliki, Mbak Dewi berusaha menghidupi diri dan ketiga anaknya dengan penghasilan yang tak seberapa. Rumahnya pun masih mengontrak hingga saat ini. Dia juga tak pernah mementingkan mengisi rumahnya dengan barang-barang seperti seperangkat sofa yang bagus, tempat tidur yang nyaman atau lemari hias yang bisa dipajang di ruang tamunya yang terkesan kosong itu. Bahkan setelah dia menikah lagi tahun lalu, keadaan tetap tak mengubah kesederhanaannya.
“Duh... malu bilangnya,” ujarnya tiba-tiba memenggal kalimat.
“Kenapa, Mbak?” cecar saya penasaran dengan kalimat menggantung itu.
“Hum... saya sebenarnya malu kalau diam-diam sering bilang kepada Allah, kalau saya nggak mengeluh dengan kondisi saya. Justru saya senang karena dengan kekurangan saya ini Allah masih memberi kesempatan untuk bisa berbagi. Saya suka takut minta ke Allah,” katanya lagi semakin membuat saya berusaha keras mengerjapkan mata agar airmata saya tak meleleh. 
Saya dan Mbak Dewi di antara tumpukan paket Ramadannya. (dokpri)
“Kalau nanti saya dan anak-anak kembali kepada-Nya, penginnya kami diberi tempat kecil yang nyaman di sana,” katanya dengan suara bergetar.
Begitulah, sosok Dewi Retnawati yang sederhana telah saya masukkan juga ke daftar teman yang mampu menginspirasi saya tentang kata “berbagi”. Semoga hal sangat sederhana (menurutnya) yang telah dia lakukan ini juga mampu menginspirasi pembaca postingan ini. Sebab, tak perlu menunggu kaya untuk bisa berbagi. [Wylvera W.]


Rabu, 02 Juli 2014

Indonesia Bukan Hanya Bali

dokpri

Lahir di Indonesia dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang juga asli Indonesia, membuat saya tak bisa melupakan kodrat sebagai anak Indonesia. Apalagi lidah saya tak begitu fasih berbahasa Inggris, mana mungkin saya bisa berpura-pura menjadi orang bule. Tapi, ketika saya pernah merasakan tinggal dan singgah di negara empat musim, sempat terbesit godaan membanding-bandingkan Indonesia. Untunglah, saya masih bisa merasakan bahwa banyak hal yang membuat saya merasa jauh lebih nyaman bermukim di Indonesia. Godaan itu bisa ditepis.
Mendapat kesempatan tinggal di negara empat musim memberi saya ragam pengalaman. Di Amerikalah saya banyak belajar tentang perbedaan.  Mulai dari beradaptasi dengan cuaca sampai  dengan membiasakan diri bersosialisasi dengan mereka yang non-Indonesia. Apa pun yang saya rasakan selama bermukim di sana tetap membuat saya tak bisa berpaling dari rasa cinta pada tanah air saya. Selama hampir dua puluh bulan hidup di Amerika dengan segala kemudahan dan kenyamanannya, tidak lantas membuat saya sinis pada tanah kelahiran saya.

Kenangan di tempat kursus.
            Berbagi cerita tentang kecintaan pada Indonesia membuat saya teringat kenangan di tempat kursus. Ketika tinggal di Urbana - Illinois, saya yang selalu aktif saat di tanah air, tak bisa hanya diam menghabiskan waktu di apartemen. Waktu kosong yang tidak mengganggu tanggung jawab saya sebagai istri dan ibu tentulah saya manfaatkan untuk hal-hal positif. Selain mencoba-coba resep masakan, ikut pengajian ibu-ibu Indonesia yang juga tinggal di sana, mengembalikan hobi lama tentang menulis, saya juga mengambil kesempatan kursus Bahasa Inggris gratis. 
Teman-teman di tempat kursus (dokpri)
            Di tempat kursus bahasa Inggris inilah saya bersentuhan dengan ragam budaya. Murid-murid yang mengikuti kursus berasal dari beragam bangsa dan negara. Ada yang dari Korea, Cina, Turky, Jepang, Arab, Pakistan, Bangladesh, dan lainnya. Sudah menjadi tradisi si guru, jika memulai kelas baru, beliau meminta murid-muridnya untuk memperkenalkan diri. Ini yang membuat saya langsung fokus untuk mendengarkan teman-teman sekelas saat mereka memperkenalkan negara asalnya. Mereka begitu bangga menyebut kelebihan dan daya tarik dari negaranya.
Sambil menunggu giliran jantung saya berdegup kencang. Saya sempat bingung ingin memulai dari mana untuk mengenalkan Indonesia kepada mereka. Mau tak mau akhirnya saya maju juga. Dengan sedikit gugup saya mengawali perkenalan dari kota kelahiran saya, lalu berpindah ke Jakarta dan akhirnya ke Bekasi. Saat itu, tiga kota inilah yang menurut saya paling pas untuk saya kenalkan kepada mereka sebab di Medanlah saya lahir, di Jakarta saya memulai kehidupan baru berumah tangga, dan di Bekasi akhirnya saya menetap hingga saat ini.
Sambil berbicara di depan kelas, saya memberanikan diri menatap mata mereka. Diam-diam saya ingin melihat apakah mereka paham dengan bagian kecil dari Indonesia yang telah saya paparkan. Ada yang mengangguk-angguk dan ada pula yang menatap bingung. Jujur saja, saat menatap beberapa pasang mata yang bingung itu, tiba-tiba saya terbayang pada kata korupsi, tragedi ’98, bom dan isu teroris yang sempat membuat Indonesia menjadi perhatian banyak negara di dunia. Tiba-tiba saja saya ingin segera buru-buru kembali ke tempat duduk untuk mengakhiri sesi perkenalan, tapi saya harus menyelesaikan perkenalan itu.
Saat jam istirahat, beberapa teman menghampiri saya. Awalnya mereka ingin melanjutkan perkenalan lebih dekat. Salah seorang menjabat tangan saya sambil mengatakan bahwa dia hanya tahu Indonesia itu adalah Bali. Wow! Betapa terperanjatnya saya. Pantas saja tadi dia menatap bingung saat saya sebut Medan, Jakarta, dan Bekasi. Selanjutnya, tanpa sadar saya begitu bersemangat menjelaskan apa yang belum mereka ketahui.
Setelah itu, saya benar-benar yakin bahwa kemampuan saya untuk menjelaskan bahwa Indonesia itu terdiri dari banyak provinsi yang tak kalah indah dari Bali adalah bentuk dorongan rasa bangga saya pada Indonesia. Namun sesaat kemudian, tanpa saya duga, dia pun bertanya tentang isu teroris, korupsi, dan hal lainnya yang saya jawab dengan sangat hati-hati.
Tak bisa dihindari, ternyata sisi negatif tentang Indonesia juga menjadi pertanyaan mereka. Untungnya, tak lagi ada rasa cemas seperti ketika saya berdiri di depan kelas sebelumnya. Saya jelaskan beberapa hal terkait dengan itu lewat bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Yang terpenting bagi saya, mereka bisa memahami penjelasan saya. Obrolan kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa suatu saat nanti mereka ingin berkunjung ke Indonesia dan menjelajah tempat-tempat indah yang sudah saya sebutkan.Wah! Diam-diam saya senang mendengar janji mereka. Itu artinya saya berhasil.

Seperti apa bentuk tanda cinta saya terhadap Indonesia?
Saya sadar kalau sebenarnya saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini. Apalagi setelah mengingat kejadian di tempat kursus itu, saya menyimpulkan bahwa mungkin saya sendiri belum begitu meyakinkan di mata teman-teman sekelas saat bercerita dan mengenalkan Indonesia. Saya belum maksimal memperkenalkan negeri tercinta ini kepada mereka hanya karena rasa ketakutan yang sempat mengganggu, sehingga masih saja ada yang hanya mengenal Indonesia adalah Bali. 

Mereka juga harus tahu Pulau Tangkil itu ada di Lampung 'kan? (dokpri)


Dan Pulau Klah itu ada di Sabang (dokpri)
Dari pengalaman di tempat kursus tadi - terlepas dari segala permasalahan yang pernah atau sedang terjadi di Indonesia - sebagai wujud dari bentuk rasa cinta, saya tetap merasa punya tanggung jawab untuk mengenalkan negeri saya. Mulai dari ragam provinsinya, kekayaan dan keindahan alamnya, keragaman kulinernya serta terutama adalah tentang keramah-tamahan penduduknya yang mungkin tak dimiliki oleh negara lain, sehingga tak ada lagi yang mengatakan bahwa, “Selama ini saya tahu Indonesia adalah Bali.” Atau setidaknya, meskipun tak terlihat porsinya, saya wajib ikut meminimalisir pandangan negatif terhadap negeri tercinta ini karena masih banyak sisi positif yang perlu mereka lihat dari Indonesia selain hal-hal miring yang mereka ketahui. 

Atau Danau Toba di Pulau Sumatera (dokpri)
Akhirnya, seperti apa pun kondisi negeri ini, saya masih tetap menjadi bagian darinya. Ke negara manapun yang sempat saya singgahi, Indonesia tetap sebagai negeri yang paling tepat untuk saya berpijak. Saya tetap peduli dan merasa bangga menjadi rakyat Indonesia. [Wylvera W.]


http://abdulcholik.com/2014/07/01/kontes-unggulan-aku-dan-indonesia/

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...