Selasa, 14 Juli 2015

Cerita di Balik Duet “Gundam Attack!”


Sudahkah membeli buku keren ini? ^_^ (dokpri)

            Tawaran menulis duet dari Mas Noor H. Dee (editor Nourabooks) tidak langsung membuat saya gembira. Pasalnya, teman yang mau diajak menulis duet belum tentu bersedia. Namun, agar tidak kehilangan kesempatan, saya tetap menyatakan “iya” waktu itu.
            Khalid memang pernah menjadi bagian dari komunitas Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Bahkan beberapa buku karyanya sudah terbit dan mejeng di toko buku. Namun setelah SMP, semangat menulisnya mulai menurun dan beralih ke hobi lain, seperti bermusik, games online, dan merakit gundam plastik menjadi robot-robot kecil. Kalaupun ingin menulis, itu karena di-request. Seperti untuk majalah internal yang saya gawangi di kantor suami.
            Setelah menyetujui permintaan Mas Noor H. Dee, saya pun memutar akal untuk membujuk Khalid. Awalnya dia menolak dan sedikit komplen. “Ibu sih, nggak nanya dulu baru bilang iya ke editornya,” protesnya. Sambil harap-harap cemas, saya langsung menawarkan kalau cerita yang akan kami tulis nggak jauh-jauh dari hobinya. Betul saja, matanya langsung berbinar. “Memang mau nulis apaan?” tanyanya mulai terpancing usulan saya. “Kita menulis tentang gundam. Nulisnya bergantian. Bab pertama versi Ibu, bab kedua versi Khalid. Begitu seterusnya,” ujar saya kembali membuatnya bingung.
            Akhirnya saya menjelaskan kalau idenya adalah tentang kegalauan Ibu. “Haaah?! Berarti kita mau cerita ke orang-orang kalau aku sama Ibu suka debat soal gundam, gitu?” kembali Khalid ragu. Saya jelaskan kalau perbedaan pandangan itulah yang menjadi nyawa ceritanya. Saya yakinkan kalau dia tidak perlu khawatir karena justru perselisihan, perbedaan pendapat dan persepsi, serta proses menyesuaikan konsep berpikir Ibu dan anak akan menjadi warna cantik yang bakal mengisi ceritanya. Alhamdulillah, Khalid paham dan menyetujui.
            Sebelumnya, saya ingin menjelaskan bahwa gunpla adalah singkatan dari kata gundam plastik. Gundam adalah robot berupa mesin perang yang dikemudikan oleh seorang pilot. Nama gundam sendiri mulai dikenal melalui serial televisi terpopuler di Jepang. Sementara gunpla adalah rakitan dari runner atau rangka awal sebelum bagian-bagian gundam plastiknya dicopot. Nah, inilah yang hampir setiap hari menemani Khalid di sela jadwal sekolahnya yang padat. Hobi ini pula yang kerap memicu amarah saya.
            Kegemaran dan kecintaan Khalid pada gundam beberapa kali memicu pertengakaran di antara kami. Khalid jadi seolah-olah mengisolasi dirinya di kamar demi gundam-gundamnya. Bahkan semangat belajarnya pun perlahan menurun gara-gara tersedot oleh pesona gundam itu. Kondisi inilah yang memicu saya untuk menuangkannya dalam cerita. Kami akan berbagi sudut pandang untuk menyikapi perbedaan ini dalam buku yang akan kami garap bersama.

Proses menulis yang tak jarang memancing debat
            Saya mengawalinya dengan plot. Sebelum memulai menulis, saya tunjukkan terlebih dahulu ke Khalid plot yang sudah saya rancang. Betul saja. Selalu ada protes darinya.
            “Ibu jangan asal-asalan dong menerangkan tentang apa itu gunpla dan gundam. Trus, versi akunya jangan seperti itu,” katanya memberi koreksi dan membantu meluruskan plot.
            Begitulah, akhirnya kami pun mulai menulis. Karena sudah pernah menulis beberapa cerita menjadi buku, Khalid lebih mudah memahami arahan saya. Saya mengambil bagian sudut pandang Ibu dan Khalid mengambil sudut pandangnya yang berperan sebagai Ciko di cerita ini.
Jangan dikira dalam proses mengeksekusi 8 bab untuk target 60 halaman itu mulus dan lancar. Hingga akhir pun masih terjadi perdebatan. Ketika saya bingung mau melanjutkan dari bab yang sudah dikerjakan Khalid, anaknya malah santai-santai saja dan bilang, “Yang penting aku sudah bikin begitu. Ibu kreatif dong melanjutkannya.” Wuahahaha ... alih-alih gondok dan kesal, yang ada saya malah bawa ketawa.
            Seru! Itu kesimpulan yang bisa saya ambil. Menulis duet dengan anak sendiri yang karakternya cuek itu memang sesuatu banget. Tapi ketika melihat hasil akhirnya, semua perdebatan yang sempat terjadi selama proses menyelesaikan cerita “Gundam Attack!” seolah menguap begitu saja. Saya juga melihat tatapan puas dan senang di mata Khalid ketika bukti terbit dari buku duet kami tiba di rumah.   
Nah, bagaimana dengan Bapak dan Ibu? Enggak kepengin nulis duet juga dengan putra-putrinya? Eiiits, jangan bingung. Kalau mau referensi dan format ceritanya, silakan beli dulu buku duet “Gundam Attack!” kami ya. Penerbit Nourabooks masih menunggu kiriman naskah lainnya kok. Ayo, jangan sampai ketinggalan kesempatan ya. ^_^  [Wylvera W.]



Senin, 13 Juli 2015

Menulis di Koran Tempo


Penampakan artikel saya di koran Tempo (dokpri)

Saya tidak pernah membayangkan kalau suatu hari tulisan saya bisa dimuat di koran Tempo. Semua berawal dari pesan di inbox facebook beberapa waktu lalu. Pesan itu disampaikan oleh Mbak Elin Driana, istri dari Bapak Putut Widjanarko (Produser Mizan Production). Isinya meminta saya menggantikannya mengisi di Rubrik Ramadan koran Tempo. Menurut beliau, sayalah yang lebih pas untuk menulis di kolom tersebut. Tentu saja, tawaran ini saya sambut baik.
Pesan dari Mbak Elin (dokpri)
Akhirnya, selang beberapa hari, saya pun dihubungi Mbak Rachma dari Tempo via hape. Setelah berkenalan, inti pesannya sama. Beliau meminta saya mengisi Kolom Ramadan sesuai dengan pengalaman saya. Namun, beliau tidak menjamin sepenuhnya kalau artikel yang saya buat nanti akan lolos dan dimuat. Menulis untuk koran Tempo adalah pengalaman pertama buat saya. Saya harus berusaha membuatnya sebaik mungkin. Masalah nanti bisa dimuat atau tidak, saya serahkan pada redaktur koran tersebut.
Alhamdulillah, ternyata artikel saya diterima dengan baik. Inilah hasilnya ....

Penjara, Penyesalan, dan Harapan

Dulu, ketika masih anak-anak, kata penjara adalah momok yang sangat menakutkan buat saya. Saya menganggap tempat itu adalah “sarang” bagi orang-orang yang telah melakukan kejahatan besar tak terampuni. Menyeramkan!
            Setelah 35 tahun, ketakutan itu seolah menguap. Semua bermula dari kedatangan saya di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Keterlibatan saya di sana berawal dari sebuah obrolan ringan dengan seorang teman. Beliau bercerita tentang kegiatan yang dilakukan oleh sebuah komunitas bernama “Gerakan Peduli Remaja” di lembaga pemasyarakatan itu. Saya pun dikenalkan kepada Suci Susanti yang menjadi ketua komunitas tersebut.
Saya yang berprofesi sebagai penulis, awalnya diajak untuk mengisi pertemuan dengan memberikan pelatihan menulis kepada anak-anak lapas. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya memberi pelatihan menulis, akhirnya saya pun semakin cinta dan melebur bersama kegiatan GPR di lapas anak itu. Tidak ada lagi rasa takut saat berkunjung ke penjara itu. Sebaliknya, saya justru sering merasa rindu jika berlama-lama tidak kembali.
Di setiap kunjungan ke lapas, kami selalu bertemu dan duduk bersama di sebuah musholla bernama Baitur Rohman. Di musholla itulah anak-anak penjara melakukan beragam kegiatan. Mulai dari berlatih menulis cerita pendek, belajar membaca Al Qur’an, menghafal surat-surat pendek, konseling secara personal, hingga kegiatan pesantren kilat di bulan Ramadan.
Dari beberapa kali perjumpaan dan berdialog dengan mereka, mampu menciptakan rasa kedekatan di hati saya. Rasa itu kian mengusik untuk menguak sisi gelap yang melatarbelakangi mereka melakukan kesalahan, sehingga membuatnya terjerat di balik jeruji besi itu. Selalu ada alasan di balik semua yang telah terlanjur mereka lakukan. Di sanalah tugas GPR meluruskannya.
Di beberapa kali pertemuan, mata saya tak bosan-bosan menatap sekitar 200 wajah-wajah penuh penyesalan. Mereka adalah anak-anak berusia rata-rata di bawah 18 tahun. Hukum telah menjerat mereka atas beragam kasus. Di antaranya; pembunuhan, perbuatan asusila, narkoba, dan pencurian. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi.
Di saat berdialog, saya kerap menatap mata mereka. Seperti tidak ada tanda-tanda atau bekas kejahatan yang tergambar di sana. Alih-alih tegar, mata saya seringkali nyaris berkaca-kaca.
“Ibu saya tukang cuci. Saya anak nomor 3 dari 7 bersaudara. Cari makan susah, Bunda. Keras!” begitu keluhan salah satu mereka yang pernah saya dengar.
“Saya cuma curi besi. Dijual bisa buat makan,” imbuh yang lainnya memberi alasan atas kesalahan yang telah dilakukannya.
“Pusing, stres, Bunda. Kalau makai stresnya hilang,” ujar salah satu yang terlibat kasus narkoba.
Ini kenyataan. Anak-anak itu terjebak pada kejahatan yang terkadang tak mereka sadari. Mereka begitu saja melakukan kejahatan yang semestinya tak mereka lakukan. Bisa jadi, peran dan perhatian orangtua tak pernah mereka dapatkan. Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan yang semakin memicu ke arah yang salah. Kondisi inilah yang menjadi dasar bagi Gerakan Peduli Remaja untuk tetap hadir di lapas tersebut secara berkala.
Telah banyak cerita yang saya dengar dari mereka. Semua mengerucut pada ungkapan rasa penyesalan. Namun, di balik rasa sesal itu sesekali muncul ungkapan ketidakpercayaan diri yang kuat. Mereka seolah tidak siap menghadapi dunia di luar penjara saat bebas nanti. Ada rasa takut akan kembali terlibat kasus yang sama lalu balik ke penjara. Dilema.
Demi menguatkan keyakinan bahwa selalu ada tempat untuk orang-orang yang bertaubat, teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja pun selalu melakukan konseling untuk pemulihan mental mereka. Misi inilah yang membuat kehadiran saya di lapas anak itu akhirnya bergeser. Dari berbagi pengetahuan dasar tentang menulis cerita, akhirnya saya terlibat untuk memberikan motivasi juga bersama teman-teman GPR.
Di setiap Ramadan (sejak 2012), teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja berusaha menggelar kegiatan pesantren kilat untuk anak-anak lapas. Tidak terkecuali pada Ramadan 1436 H ini.
“Kita ingin anak-anak lapas ini juga ikut merasakan momentum Ramadan. Lewat ceramah-ceramah Islami, diharapkan mampu menggerus hal-hal negatif yang sudah tertanam di diri mereka selama ini,” ujar Suci Susanti memberikan latar belakang dari semua upaya yang dilakukan, termasuk pesantren kilat.
Semoga momen Ramadan kali ini mampu membawa hati mereka untuk benar-benar menyadari kesalahan dan dosa-dosanya. Bertaubat dan kembali ke jalan yang benar adalah harapan yang selalu tersimpan di hati anak-anak lapas itu. Semoga Tuhan mendengar dan menerima taubat mereka. [Wylvera W.] 

____

         Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga kepada Mbak Suci Susanti (Ketua Gerakan Peduli Remaja). Mengenalnya membuat saya kian hari kian dekat dengan anak-anak lapas itu. []


Menyisihkan Anggaran untuk Mudik



Koper-koper kami siap mudik ^_^ (dokpri)

            Mudik jelang lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu dan menjadi tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tradisi itu pula yang membuat kita cenderung bela-belain membeli tiket (bus, kereta, dan pesawat) walaupun tarifnya tiba-tiba melonjak. Hanya satu alasan yang membuatnya seolah menjadi murah, yaitu demi memenuhi kerinduan untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan sanak keluarga.
Keluarga saya pun tidak bisa lepas dari tradisi mudik (baca: pulang kampung) ini. Sebagai pasangan suami istri yang hidup di perantauan, kami juga selalu rindu untuk kembali ke kampung halaman tercinta. Sejak menikah dan hijrah dari Medan ke Jakarta tahun 1997, mudik pun menjadi bagian tradisi keluarga kecil kami. Untuk itu, kami memilih momen lebaran sebagai saat yang paling tepat.
Membahas masalah tradisi mudik di saat lebaran, tentunya harus memiliki perencanaan yang matang. Perencanaan itu disusun agar agenda mudik keluarga tidak kacau. Hal pertama yang wajib direncanakan adalah anggaran. Mulai dari dana transportasi, angpao buat sanak keluarga, hingga biaya hidup selama berada di kampung halaman.

Menyisihkan uang di saat awal gajian
Menunggu menabung dari sisa uang gaji tentu bukan pilihan yang pas buat saya dan keluarga. Beragam pengeluaran yang sudah ada pos-posnya serta anggaran tak terduga, bisa saja tak menyisakan uang gaji tersebut. Jadi mau tidak mau, kami harus memisahkannya pada awal menerima gaji.

Melihat tarif transportasi
            Bekasi – Medan buat kami lebih nyaman ditempuh lewat jalur udara. Untuk itu, mengecek tarif penerbangan di tanggal-tanggal jelang lebaran harus kami lakukan. Biasanya suami saya selalu memesan tiket jauh-jauh hari. Bahkan bisa beberapa bulan sebelum Ramadan. Katanya, lebih leluasa membanding-bandingkan harga dan menentukan pilihan. Syukur-syukur dapat harga yang lebih murah.

Berapa lama di kampung halaman dan biayanya
            Dalam menyusun anggaran, kami juga selalu melihat jadwal liburan sekolah anak-anak. Dari sanalah kami bisa menetapkan lamanya waktu mudik. Setelah menetapkan berapa lama di kampung halaman, kami pun menyusun biaya hidup selama di sana.

Oleh-oleh
            Setiap balik dari kampung halaman pasti selalu saja ada yang ingin dibawa. Terutama makanan khasnya. Begitu juga saat menuju kampung halaman. Ada saja yang ingin kami bawa sebagai buah tangan untuk keluarga di sana. Maka, kami juga harus menyisihkan anggaran untuk oleh-oleh ini.

Menyisakan anggaran tak terduga
            Selain menyiapkan semua dana yang sudah terencana, kami juga selalu menyediakan anggaran tak terduga. Ini sakadar untuk berjaga-jaga saja supaya tidak terlalu ngepas.

            Beginilah cara saya dan suami menyusun anggaran mudik kami. Alhamdulillah, sampai saat ini, kami selalu merasa nyaman karena semua sudah dirancang sejak awal. Pulang kampung pun menjadi sangat menyenangkan. [Wylvera W.]          


 Note: Postingan keenam (FB)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...