Sumber foto: WhatsApp Group |
Sebelum berbagi pengalaman versi
saya tentang aksi damai 411 dan aksi super damai 212, saya mohon perlindungan terlebih dahulu kepada
Allah. Semoga tidak terselip niat riya selama menyelesaikan cerita yang sarat
dengan segala rasa ini.
Bismillah ….
Sebagai
seorang yang aktif di facebook,
teman-teman yang ada di friend list
saya mengenal saya sebagai penulis. Selain itu sebagian dari mereka juga tahu
kalau saya adalah guru ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis di salah satu
sekolah Islam Bekasi. Sejak memiliki akun fecebook,
saya hampir tidak pernah memasang status yang rentan memancing perdebatan.
Status saya biasanya terkait dengan buku atau karya-karya saya, cerita-cerita
tentang anak-anak saya, dan pengalaman lain yang ringan-ringan. Mungkin itu
sebabnya belakangan ini ada satu dua orang yang penasaran dan mengajukan
pertanyaan.
"Mbak Wyl beda ya sekarang.
Status-statusnya di FB beda banget. Nggak nulis buku lagi ya, Mbak?"
Semua itu berawal dari kasus dugaan
penistaan terhadap Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 51 yang merebak di media sosial.
Meskipun mulanya saya belum begitu tergerak untuk menyikapinya. Saya biarkan
hati saya terus mengikuti perkembangan beritanya. Hingga akhirnya saya sadar
bahwa sebagai umat Islam, saya tidak seharusnya diam dan menjadi penonton saja.
Quote-quote penggugah rasa pun
bertebaran di facebook. Hati saya
begitu tercubit saat membaca apa yang dikatakan oleh Buya Hamka.
“Jika ghirah telah hilang dari
hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis, sebab kehilangan ghirah
sama dengan mati.” – (Buya Hamka).
Walaupun sebenarnya Al Qur’an tak
butuh pembelaan, sebab Allah SWT telah menjaganya hingga akhir zaman nanti. Namun,
sejak itu, hati saya seperti digiring untuk terus melakukan pembelaan. Saya
mulai merasakan kemarahan dan kekecewaan. Saya terluka dengan penghinaan itu.
Mengapa ayat Al Qur’an yang agung dan merupakan firman Allah SWT yang menjadi pedoman umat
muslim dalam menjalankan aqidahnya dinodai sedemikian rupa? Saya tidak boleh
diam saja tanpa bersikap.
Saya
malu jika mengingat kisah semut Ibrahim. Kalau seekor semut saja mampu
memosisikan dirinya, kenapa saya tidak? Sejak itulah status-status saya di facebook mulai menampakkan keberpikahan
saya yang sesekali memancing perdebatan. Sampai saya pun akhirnya mengambil
jalan memutus pertemanan di facebook
dengan teman yang komentar-komentarnya sangat tendensius dan cenderung merusak mood saya. Untuk itu, saya mohon Allah
mengampuni sikap ketidaksabaran dan kekurangikhlasan saya.
Kembali
ke pertanyaan teman tersebut, saya pun memberi jawaban dari apa yang saya
rasakan. Inilah jawaban saya di facebook;
“Saat ini iya, saya jeda dulu dari menulis untuk buku. Hati
saya sedang fokus pada menulis dan menyuarakan apa yang sedang diperjuangkan
saudara-saudara seiman saya. Walau hanya di status facebook. Kan saya sejatinya
hanya ibu rumah tangga. Tidak terdesak oleh tuntutan memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Jadi saya punya waktu lebih banyak untuk melibatkan diri. Di luar
sana, banyak perempuan muslim yang bekerja full
time saja rela meluangkan waktunya untuk memperjuangkan kasus yang masih
belum kelar ini. Masa saya cuek sih? Saya takut nanti Allah murka pada saya.
Na'udzubillahimindzalik. Saya nggak siap mempertanggungjawabkannya di yaumil
hisab nanti. Saya rasa saya masih punya waktu untuk ikut berjuang walau efeknya
kecil, dan mungkin nggak ngaruh juga. Namun, semoga yang kecil sekali ini,
Allah jadikan tabungan saya untuk di sana nanti. Aamiin.”
Meskipun
demikian jawaban saya, jauh di lubuk hati, saya tetap menyimpan rasa cemburu
itu. Dan bisa jadi ada riya bersemayam diam-diam di sudut hati ini tanpa saya sadari. Astaghfirullah. Sejujurnya,
apa yang saya lakukan tidaklah berarti. Saya hanya mampu membela dari wall fecebook saya saja. Bahkan saat
saudara-saudara seiman saya turun berkumpul melakukan Aksi Bela Islam II, pada
tanggal 4 November 2016 (411), saya tidak bisa melibatkan diri. Walau hati ini
ingin sekali ikut bersama mereka, saya tetap tidak bisa. Sebab saat itu saya
sedang ada di Lombok.
Saya
cemburu sekali pada mereka, sehingga keberadaan saya di Lombok terasa tidak
maksimal karena pikiran saya terpecah. Saya cemburu jika karena ketidaktotalan
saya berjuang, Allah akan murka pada saya. Saya cemburu jika momen ini tak
memberi kesempatan pada saya untuk menambahkan berat pahala sebagai penolong saya di
yaumil hisab nanti. Astaghfirullah ….
Sepulang
dari Lombok, saya kembali fokus mengikuti perkembangan kasus penistaan Surah Al
Maidah ayat 51 ini. Sampai akhirnya tuntutan bergulir pada tahap bahwa Basuki Tjahaya Purnama/Ahok diputuskan
sebagai tersangka. Alhamdulillah.
Tuntutan umat muslim yang merasa
kitab sucinya dinistakan belumlah usai. Walaupun Ahok telah diputuskan sebagai
tersangka, namun keberadaannya masih bebas. Para ulama kembali berjuang untuk
melakukan tuntutan hukum agar Ahok segera diadili dengan tuntas. Atas kuasa dan izin Allah
SWT, akhirnya sampailah pada kesepakatan untuk menggelar “Aksi Bela Islam III”
pada tanggal 2 Desember 2016. Kesepakatan itu saya saksikan di layar tivi.
Tidak hanya saya, di sebelah duduk Mama saya yang begitu serius menyimak acara
tersebut.
Mama saya menyiapkan bekal ikut aksi 212 |
Yang paling membuat saya terkejut,
saat Mama saya tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk ikut aksi 212 itu.
“Serius Mama mau ikut? Kok tiba-tiba
mau ikut, kenapa , Ma?” tanya saya masih belum yakin.
“Iya. Kemarin jujur saja, Mama takut waktu kau bilang kalau ada demo lagi mau ikut. Mama takut terjadi
apa-apa. Tapi begitu tadi mendengar Habaib Riziq bilang akan aman karena
aksinya super damai, Mama jadi yakin mau ikut denganmu. Malu juga kalau cuma
diam-diam di rumah, padahal hati Mama pun marah sama si Ahok. Bukan soal
politik-politikan ini. Enggak ngerti Mama kalau soal itu. Mau ikut bantu berdoa.
Mudah-mudahan habis aksi ini, Allah menolong umat Islam dan menunjukkan siapa
yang salah,” jawab Mama bersemangat dengan sudut pandangnya yang sederhana.
Masya
Allah, cemburu di hati saya kembali mencuat mendengar kata-kata Mama saya itu. Puncak
rasa cemburu itu, ketika saya mengikuti berita bahwa rombongan para santri dari
Ciamis akan datang ke Jakarta. Mereka tidak datang dengan menumpang kendaraan,
melainkan berjalan kaki. Foto-foto alas kaki santri yang bolong, santri dengan
kondisi fisiknya yang jika dipandang oleh kasat mata, rasanya tidak mungkin
sampai ke Jakarta dengan berjalan kaki, ternyata bisa tiba juga. Dan, masih
banyak gambaran yang begitu menggetarkan hati.
Rombongan santri Ciamis yang berjalan kaki dari tempat asalnya :'( |
Sumber foto (atas dan bawah): Facebook |
Allahu
Akbar!
Lagi-lagi
hati saya menangis. Saya menyaksikan kebenaran kabar itu di televisi dan
media-media sosial. Siapa yang menggerakkan mereka? Uang? Perintah ulama? TIDAK!
Mereka datang atas dorongan keyakinan (iman) serta nurani yang marah dan tidak rela menerima penistaan
terhadap Al Qur'an, Surat Al Maidah 51 oleh Ahok. Ghirah yang ada di hati mereka tak surut saat mengetahui
bahwa sempat ada pelarangan dari aparat kepolisian kepada pengusaha bus untuk
menyewakan kendaraannya menuju Aksi Bela Islam III 212. Lalu, sebesar apa kontribusi saya dan Mama saya
pada perjuangan membela Al Qur’an dari penista tersebut? Tidak lebih besar dari
senoktah. Ya Allah, ampuni kami ini.
Sehari
sebelum Jum’at, 2 Desember 2016, saya seperti nyaris kehilangan kesempatan
untuk mewujudkan keinginan hadir di Aksi Super Damai 212. Tiga kali mencoba
bergabung dengan rombongan dari Bekasi, berakhir batal karena beberapa kendala.
Namun, lagi-lagi atas izin Allah SWT, saya dan Mama akhirnya diberi kesempatan
berangkat bersama rombongan mujahid dan mujahidah dari Pesantren Enterpreneur
Bekasi. Alhamdulillah ….
Briefing di depan kantor PE, Emerald Sumarecon Bekasi sebelum berangkat |
Menunggu keberangkatan dari stasiun kereta Bekasi |
Dari
keberangkatan itulah rasa cemburu saya mulai berkecamuk. Tiba di stasiun
kereta, saya menyaksikan rombongan yang berniat sama, menuju Silang Monas
Jakarta. Mulai dari yang muda, tua, hingga anak-anak pun ikut serta dengan
menampilkan wajah-wajah yang mengekspresikan keberanian dan siap berjihad dalam
pekik takbir yang berkumandang berulang-ulang.
Masya Allah … saya tak bisa melukiskan gemuruh di dada saya ketika itu. Sesak
menahan tangis semakin terasa berat. Apalagi ketika menyadari bahwa semangat
dan ghirah saya ternyata hanya sebutir debu di antara semangat mereka.
Tiba
di stasiun Gondangdia, Jakarta, tubuh saya kembali bergetar pelan. Dada saya bolak-balik
bergemuruh mendengar gema takbir yang berulang-ulang dikumandangkan para
mujahid dan mujahidah yang semakin membaur dari segala penjuru. Saya lirik Mama
saya sekilas. Mata beliau sudah sempurna bekaca-kaca menahan tangis. Mungkin
Mama merasakan hal yang sama dengan saya. Sebab, ini juga menjadi pengalaman
pertama bagi Mama saya.
Dari stasiun Gondangdia menuju Silang Monas |
Sumber foto: facebook |
Rombongan
kami pun akhirnya membaur dengan yang lainnya. Kami berjalan menuju Silang
Monas. Seketika itu saya seolah diingatkan oleh suasana saat menjalankan
prosesi berhaji yang berjalan bersama jema’ah menuju Mina untuk melempar jumrah.
Merinding, degdegan, haru, berbaur menjalari tubuh saya. Saya yang baru merasakan nikmatnya berhaji
bulan September 2016 lalu, seolah dikembalikan pada suasana yang mirip di tanah
haram, Mekkah. Gelombang manusia yang datang dari Jakarta, Jawa Barat, Sumatera
Barat, Palembang, Jogjakarta, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi tumpah ruah
di Jakarta. Saya yakin bahwa Allah SWT yang menggerakkan itu semua. Semua
datang demi untuk satu tujuan, yaitu menuntut agar hukum ditegakkan
seadil-adilnya bagi Ahok, si penista Surat Al Maidah 51.
Saya
yang baru pertama kali ikut aksi demo, tentu saja takjub melihat pemandangan
yang luar biasa itu. Sebentar-sebentar saya menarik napas agar air mata ini
bisa ditahan. Dada saya sesak menahan haru yang meluap-luap. Apalagi saat
berpapasan dengan para relawan yang begitu gesit membagikan makanan dan minuman
di sepanjang jalan menuju Monas. Ya Allah, sampai saya sulit menolaknya,
padahal tas saya dan Mama sudah sesak dengan makanan. Saya tidak berani menolak
apa yang mereka berikan, sebab bagi mereka itu adalah nilai-nilai yang mereka
yakini sebagai amalan jihad. Allahu Akbar!
Kenyataan
itu kembali membuncahkan rasa cemburu di hati saya. Rasa cinta pada Al Qur’an
dan Islam begitu besar sehingga membentuk kekuatan yang super dahsyat untuk
sebuah tujuan yang sama. Dari pagi hingga selesai sholat Jum’at pada hari itu
telah menyelipkan banyak sekali pengalaman dan kenangan indah dalam batin saya.
Gema takbir dan tahlil dari jiwa-jiwa yang ingin membela kebenaran kian memenuhi
lapangan Monas dan sekitarnya. Saf-saf untuk persiapan sholat Jum’at perlahan
kian penuh. Merinding saya melihat kenyataan yang sedemikian menakjubkan itu.
Sekali lagi, saya seolah terbawa ke suasana wukuf di Padang Arafah. Saat itu,
air mata saya tak bisa dibendung lagi. Lepas sudah membasahi pipi ini.
Ketakutan
dan kekhawatiran akan terjadi kerusuhan yang di awalnya sempat terselip sebelum
tiba di area aksi superdamai, seketika pupus tanpa bekas. Bertukar dengan rasa
syukur yang tak bisa digambarkan dengan keindahan kata-kata. Maha Mulia Allah
SWT yang telah menggerakkan hati para hamba-Nya untuk menunjukkan pada dunia
bahwa inilah umat muslim yang sesungguhnya. Yang selama ini kerap dikecam
sebagai sumber kemunculan teroris, provokator, dan pandangan negatif lainnya.
Saf para Mujahidah yang tetap tertib hingga akhir aksi |
Puncak
kecemburuan saya akhirnya sampai pada momen pelaksanaan sholat berjema’ah. Saya
yang saat itu sedang berhalangan sholat merasa sedih sekali. Sekuat tenaga saya menenangkan hati dan meyakinkan
diri bahwa sesungguhnya Allah sedang memberi kesempatan kepada saya. Dengan
berhalangannya saya sholat, saya memiliki kesempatan untuk lebih melihat dan
merenungi sekeliling saya saat itu.
Hujan tak menghalangi kekhusyukan sholat |
Ini salah satu yang membuat pipi saya basah air mata bercampur tetes hujan ;'( |
Betapa
keikhlasan itu jelas tergambar di mata saya begitu melihat hujan yang kian tercurah
dari langit Allah. Hujan yang sudah sempurna membasahi sajadah, mukena, hijab,
dan baju mereka seolah menjelma seperti air yang menyejukkan jiwa. Mereka tetap
khusyuk menegakkan sholat berjema’ah. Sama sekali tak membuat para mujahid dan
mujahidah beranjak dari safnya. Ya Allah … Engkau tampakkan pada saya bentuk ikhlas
yang demikian besar. Tak sepantasnya rasa cemburu ini saya simpan berlama-lama
dalam hati. Astaghfirullah ….
Sekali
lagi saya menyapu pandangan ketika semua khusyuk menegakkan sholat. Inilah
ummat muslim yang selalu Allah jaga hati dan sikapnya dari keberingasan,
kebusukan, serta kekotoran hati dan niat yang ingin menghancurkan keutuhan
bangsa dan negara (NKRI). Kami datang dan berkumpul untuk melantunkan doa-doa demi
mengetuk pintu langit dan memohon keridhoan Allah SWT untuk satu tujuan mulia. Kami
hanya ingin hukum dan keadilan ditegakkan agar tak ada penista agama/kitab suci
yang bisa bebas melakukan kesombongannya tanpa ganjaran. Semoga Engkau
menggerakkan hati para pemimpin negeri ini, para penguasa dan penegak hukum
untuk jujur menjalankan amanah dan tanggung jawabnya. Aamiin Ya Rabb.
Kami
dan seluruh ummat muslim (rakyat Indonesia) yang mendukung aksi 411 dan 212 ini
hanya menginginkan satu hal. Tuntutan ummat Islam terhadap tersangka penista Al
Qur’an Surat Al Maidah 51, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) segera diproses dengan
sejujur-jujurnya. Aamiin. [Wylvera W.]
Note: Semoga catatan ini menjadi pengingat saya dan anak cucu saya kelak. Aamiin