Ini
adalah kunjungan kedua saya ke sekolah itu. Saya tidak sendiri. Ada IndahJulianti Sibarani yang menemani perjalanan saya menuju kawasan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) sampah Bantar Gebang itu. Di sanalah letaknya sekolah untuk anak-anak
pemulung itu.
Perjalanan
yang menghabiskan waktu sekitar satu jam itu kami pakai untuk berdiskusi
tentang apa saja, termasuk rencana pola pengajaran yang akan kami gunakan di
kelas nanti. Akhirnya kami sampai di lokasi kurang dari pukul 08.00 pagi. Aroma
sampah mulai merambat ke penciuman kami. Namun, aroma tak sedap tersebut tak mengganggu
niat kami. Apalagi ketika menerima sambutan ramah oleh Pak Khoeruddin, selaku
kepala PKBM Al Falah. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan murid-murid
di situ.
Sambil
menunggu kelas disiapkan, saya dan Indah menyempatkan mengambil beberapa foto
lokasi sekolah itu. Tepat jam delapan pagi, kami pun memulai kelas pelatihan
menulis untuk anak-anak pemulung itu. Saya terkejut ketika memasuki kelas.
Perkiraan saya kelas tak akan dipenuhi oleh murid-murid sebanyak itu. Ternyata
saya salah. Ada sekitar tiga puluh anak yang sudah siap menunggu kami berbagi
ilmu. Mereka sudah menyiapkan kertas dan alat tulis yang dibagikan oleh pihak
sekolah.
Saya
pun membuka sesi pertama dengan salam perkenalan dan membagi senyum
persahabatan kepada mereka. Saya juga memperkenalkan Indah Julianti sebagai
partner saya nantinya dalam memberi materi menulis. Saya perhatikan wajah-wajah
mereka. Sorot mata yang haus akan ilmu itu begitu terpancar. Pelan-pelan haru
merayap di hati saya dan perasaan itu semakin memicu semangat saya untuk segera
memulai pelatihan.
Sehari
sebelum memberikan pelatihan, saya sudah menyiapkan beberapa buku bacaan untuk
diberikan sebagai hadiah. Ternyata buku-buku itu sangat bermanfaat dalam
menyampaikan materi tentang menulis yang ingin kami bagikan. Di dalam kelas tidak
ada infocus sehingga tak memungkinkan
untuk menyampaikan materi tentang menulis dengan tayangan power point seperti biasa yang saya lakukan jika memberikan
pelatihan di sekolah-sekolah mapan. Buku-buku bacaan itulah yang saya manfaatkan
untuk memancing semangat mereka agar tetap antusias mengikuti pelatihan menulis.
Langkah
pertama, saya sengaja menanyakan siapa di antara mereka yang gemar membaca. Ada
beberapa anak yang mengangkat tangan. Namun, ketika saya tanya buku apa saja
yang sudah dibaca, kelas kembali hening. Rasa haru kembali menyusup di hati
saya ketika itu. Saya tahu, mereka akan kesulitan menjawab pertanyaan saya.
Bisa bersekolah di tempat itu saja sudah merupakan kesempatan berharga bagi
mereka. Tapi, demi mereka...saya tak mau menunjukkan ekspresi sedih. Justru
saya sulut semangat mereka dengan membuka sesi membaca di awal pelatihan.
Saya
pun membagikan buku cerita yang sudah saya siapkan dari rumah. Saya memberikan
kesempatan mereka untuk membaca buku cerita itu. Lagi-lagi hati saya terenyuh
ketika salah satu guru mereka membisikkan kepada saya bahwa ada beberapa anak
yang belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. Saya pikir anak itu kelas 4
ternyata dia murid kelas 6 SD. Untuk itu, saya tetap memberikan semangat bahwa
mereka jangan pernah merasa minder dan
patah semangat.
Tak
ada halangan bagi keinginan untuk menimba ilmu. Yang belum lancar membaca dan
menulis, boleh merekam gambar-gambar dalam buku cerita itu dalam ingatannya.
Mereka kembali bersemangat dan mulai membuka buku bacaan yang sudah dibagikan.
Begitulah,
setelah sesi membaca selesai saya meminta mereka menulis ulang secara singkat
apa yang sudah mereka baca. Bagi yang belum bisa membaca dan menulis dengan
lancar, saya minta mereka untuk menggambar apa yang sudah mereka lihat dalam
buku yang baru saja mereka amati. Tentu saja semua itu sesuai dengan kemampuan
mereka.
Luar
biasa! Keterbatasan itu ternyata tidak menghentikan semangat mereka untuk tetap
berlatih menulis, menggambar, dan membaca semampunya. Saya memberikan
kesempatan kepada anak-anak yang sudah berhasil menulis beberapa kalimat dan
menggambar sebagian ilustrasi yang sempat terekam di ingatan mereka, untuk
menunjukkan hasil karyanya di depan kelas. Mereka yang berani tampil ke depan
kelas, saya berikan hadiah sebuah buku cerita. Mereka senang sekali dan semakin
berlomba untuk maju.
Dari
cara seperti itu, saya memberikan pengertian kepada mereka bahwa untuk belajar
menjadi penulis modal utamanya adalah dengan banyak membaca terlebih dahulu. Mengingat
informasi yang sudah disampaikan kepada saya sebelumnya bahwa anak-anak
pemulung yang bersekolah di PKBM Al Falah memang masih jauh dari bahan-bahan
bacaan yang sesuai dengan tingkat umur mereka. Dan, cara seperti ini saya harap
bisa menumbuhkan semangat baca mereka. Melalui proses pelatihan nantinya saya harapkan
mereka pelan-pelan mulai bisa merangkai kata demi kata untuk memulai menulis
kisah dari ide-ide mereka atau dari bahan bacaan itu.
Setelah
sesi saya, rekan saya Indah Juli melanjutkan dengan meminta mereka menuliskan
kegiatan dari pagi hingga mereka sampai di sekolah tersebut. Hasilnya memang
masih sangat minim, namun perlahan semakin terlihat bahwa mereka begitu
antusias untuk bisa menulis.
Indah
Juli tak berhenti sampai di situ. Anak-anak kembali dipancing untuk merangkai
kata-kata seperti; sepeda, matahari, bebek, merah, dan bahagia sesuai dengan
gaya mereka masing-masing. Indah ingin membuktikan kepada anak-anak pemulung
itu, bahwa jangan pernah patah semangat untuk berlatih menjadi penulis. Dari lima
kata itu pun mereka bisa membuat cerita dengan versi mereka. Mereka kembali membacakan tulisannya di depan kelas.
Di penghujung waktu, kami memberikan tugas kepada anak-anak itu untuk membuat
cerita tentang cita-cita mereka. Anak-anak itu kami minta mengumpulkan
tulisannya bulan depan. Akhirnya pelatihan menulis untuk pertemua pertama berakhir pada pukul 10.15 WIB. Insya Allah kami akan kembali ke sana untuk pertemuan
berikutnya. Tetap semangat ya, anak-anakku! []