#LatePost
Tulisan sy di Koran Pikiran Rakyat edisi Sabtu, 3 Mei '14 |
Berwisata
ke Danau Toba, Sumatera Utara rasanya kurang lengkap jika tidak mengunjungi pulau
Samosir. Pulau vulkanik yang menawan ini terletak di tengah Danau Toba, danau
terluas di Asia Tenggara. Ada tiga jalur perairan melalui Danau Toba
menuju ke pulau ini. Pertama, melalui Pelabuhan Ajibata ke Pelabuhan Tomok.
Kedua, dari Muara menuju Nainggolan. Ketiga, melalui Tigaras menuju Simanindo.
Kami memilih menumpang kapal ferry dari Ajibata menuju Tomok dengan membayar
Rp91.500 (sudah termasuk mobil). Rasanya uang sejumlah itu terbayar dengan
suguhan pemandangan danau yang indah dan menakjubkan selama lebih kurang satu
jam waktu tempuh menuju lokasi.
Tiba
di Samosir, kami menuju Tomok untuk melihat lokasi patung Sigale-gale yang menjadi
landmark pulau tersebut. Pertama kali
saya memandang patung itu, terasa aura mistis melekat di sana. Mungkin karena patung
Sigale-gale sendiri berwujud laki-laki jangkung dengan bola mata melotot
memancarkan tatapan yang bagi saya agak menyeramkan. Dengan atasan jas abu-abu,
topi yang terbuat dari kain menutupi sebagian kepalanya, bawahan sarung serta
ulos yang diselempangkan di bahu hingga pinggangnya, patung Sigale-gale seolah
digambarkan seperti manusia bernyawa.
Patung
Sigale-gale diletakkan di depan sebuah rumah adat Samosir. Patung ini bisa
bergoyang-goyang menirukan gerakan tortor dengan iringan gondang sabangunan
(gondang Batak). Jika memperhatikan strukturnya, patung yang diukir menyerupai
laki-laki dewasa itu menggunakan tali yang cukup kuat sebagai pengikat di
bagian-bagian persendiannya. Mulai dari leher, lengan, lutut, jari-jemari,
hingga ke persendian kakinya. Tali itu pula yang disambungkan kepada beberapa
orang yang dalam pewayangan disebut dalang untuk menggerakkannya. Tarif untuk
melihat pertunjukan tarian patung ini hanya Rp5.000.
Anak-anak
saya begitu terkesan dengan patung ini. Mata mereka nyaris tak berpaling
memandangi gerakan patung itu. Sementara saya sibuk mencari alasan tentang aura
mistis yang terpancar dari patung itu. Mungkin hanya saya yang merasakannya.
Dari kesan itu saya mencoba menelusuri sejarah keberadaan patung Sigale-gale
ini.
Banyak
versi yang tersebar tentang asal-usulnya. Salah satu versi yang saya baca,
konon katanya di zaman dahulu ada seorang raja yang sangat bijaksana tinggal di
wilayah Toba. Raja itu bernama Rahat. Raja Rahat sangat terkenal dengan
kekayaannya. Dia hanya memiliki satu putra yang menjadi putra mahkota dari
kerajaannya.
Raja
Rahat sangat menyayangi putranya, hingga pada suatu hari kesedihan melanda
hatinya. Putranya yang bernama Manggale terjangkit penyakit aneh yang tak
seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Manggale menghembuskan napasnya,
menghadap Sang Pencipta. Raja Rahat sangat berduka atas kematian putra semata
wayangnya. Raja rahat meminta para
pengawalnya untuk mencari para tukang ukir kayu yang mumpuni ke seluruh penjuru
kampung. Dari sekian banyak tukang ukir kayu yang ditemui, akhirnya Raja Rahat
meminta salah satu yang paling terkenal dari mereka. Nama tukang ukir kayu itu adalah
Rahat Bulu atau dikenal dengan gelar Datu Manggeleng.
Datu
Manggeleng pun menyanggupi permintaan Raja Rahat untuk menyelesaikan patung
kayu yang menyerupai sosok Manggale dalam tiga hari. Datu Manggeleng menuju
hutan dan menemukan pohon dengan kayu berkualitas memiliki tinggi yang sama
dengan almarhum putra Raja Rahat. Lalu, tukang ukir kayu itu pun menebang pohon
tersebut dan mulai mengukirnya menyerupai wujud Manggale.
Betapa
gembiranya hati Raja Rahat melihat hasil kerja Datu Manggeleng. Patung berwujud
Manggale pun diabadikan setelah Raja Rahat berpesan kepada penduduk di sana
bahwa patung itu adalah sebagai pengganti putranya yang telah tiada. Raja Rahat
pun memberi nama patung itu dengan sebutan Sigale-gale.
Raja
Rahat akhirnya meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Punahlah keturunannya.
Namun, penduduk memenuhi permintaan Raja Rahat untuk melaksanakan acara adat
pemakaman seperti yang dipesankan Raja. Sigale-gale pun dibuat menari oleh
tukang ukir kayu. Selepas acara adat, mayat Raja Rahat pun diantarkan bersama
Sigale-gale ke pemakaman.
Kabarnya,
pertunjukan Sigale-gale awalnya dilakukan hanya untuk raja-raja yang kehilangan
keturunannya. Tetapi, kemudian kebiasaan itu diperuntukkan bagi setiap penduduk
yang tak memiliki keturunan. Setiap orang yang sengaja memesan pembuatan patung
Sigale-gale untuk alasan papurpur sapata (menaburkan
janji). Lalu, Sigale-gale dengan gerakan tariannya menjadi semacam obat bagi
impian mereka yang kandas untuk memperoleh keturunan sampai upacara kematiannya
tiba.
Menurut kepercayaan di masyarakat
Batak bahwa pembuat patung Sigale-gale harus rela menyerahkan jiwanya pada
patung buatannnya itu agar patung itu bisa bergerak dan hidup seperti manusia.
Terlepas dari aura mistis yang saya
rasakan, pertunjukan tarian patung Sigale-gale yang selalu ramai dikunjungi
para wisatawan itu menjadi hiburan yang menarik bagi saya dan keluarga. [Wylvera W.]