#CerpenKuliner #TTG4
dokrpi |
Undangan
makan siang itu sangat mengejutkan Intan. Ini adalah pertemuan pertama Intan
dengan kedua orangtua Bahrum. Sejak setengah jam lalu, Intan sibuk memilih baju
yang pantas. Sudah beberapa model baju yang dikeluarkannya dari lemari pakaian,
Intan belum juga menemukan yang cocok untuk dipakai.
“Duh!
Pakai baju yang mana ya? Yang ini terlalu resmi. Yang itu seperti warna
berkabung. Yang di atas tempat tidur itu sudah pernah aku pakai di ulangtahun
Bang Bahrum,” ujar Intan panik karena jarum jam terus bergerak. Intan hanya
punya sisa waktu setengah jam untuk memutuskan.
“Aha!
Ini dia!” seru Intan girang memilih baju terusan warna cokelat muda dengan
aksen kedut tipis di bagian pinggang dan ujung lengannya.
Lima
belas menit kemudian, Bahrum pun tiba di rumah Intan.
“Sudah
siap?” tanya Bahrum melihat Intan berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sudah,”
balas Intan singkat menutupi rasa groginya.
Intan masuk ke mobil
Bahrum. Sesekali ia melirik Bahrum. Intan berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
“Nanti
santai aja ya, Tan. Emak dan Ayahku itu orangnya friendly,” ujar Bahrum.
Intan
diam, tidak merespon. Perjalanan berikutnya mereka saling diam. Hanya suara musik dari tape recorder mobil Bahrum yang terdengar.
Setengah jam kemudian.
Setengah jam kemudian.
“Nah,
sampai kita, Tan,” ujar Bahrum.
“Ya
ampun, gemetar aku Bang,” kata Intan meremas jemarinya sendiri.
“Santai
sajalah,” balas Bahrum menguatkan semangat gadis pujaan hatinya.
Intan
pun berdiri di depan pintu rumah Bahrum. Matanya memandang ke sekitar.
“Assalamu’alaikum.
Mak, Ayah ... ini tamunya sudah datang!” seru Bahrum memanggil kedua
orangtuanya.
Emak Bahrum menyambut Intan.
Emak Bahrum menyambut Intan.
“Hoiii
...! Cantiknya calon menantuku ini,” pujinya sambil menarik lengan Intan
langsung menuju ruang makan.
Pipi Intan memerah. Rasa
canggung menyergapnya. Setelah itu, matanya setengah terbelalak melihat hidangan
di meja makan. Di antara ragam hidangan itu, ada sambal teri kacang, makanan
khas kota Medan yang sangat populer. Intan salah satu penggemar sambal teri
kacang. Tapi kalau ditanya bagaimana cara membuatnya, Intan pasti menyerah. Ia
tidak pernah memasaknya.
“Ayolah
duduk. Kita makan siang dulu ya. Sehabis itu nanti, barulah kita
bercakap-cakap,” ujar ayah Bahrum pula tak kalah ramah.
“Ini
semua hasil masakan Emakku, Tan. Emakku ini jagoan masak,” pamer Bahrum
tiba-tiba menciutkan nyali Intan.
Intan berusaha tersenyum.
Ia mulai khawatir mendengar Emak Bahrum mahir memasak. Selama ini Bahrum tidak
pernah bercerita. Lagi pula, sebelum jadi mahasiswi dan hijrah dari Medan ke
Jakarta untuk meneruskan kuliahnya, Intan bukan perempuan yang rajin turun ke
dapur. Ia lebih senang jadi tukang bersih-bersih rumah ketimbang memraktikkan
resep masakan. Bahkan sambal teri kacang kegemarannya sekalipun. Ia hanya
penikmat hasil masakan mamanya.
Setelah menyelesaikan
kuliahnya, Intan kembali ke Medan dan kenal dengan Bahrum. Kebersamaan
mereka sudah terjalin selama hampir lima bulan. Intan merasa bahwa Bahrumlah yang pas menjadi calon
suaminya. Tapi, ketika Bahrum mengejutkannya dengan undangan makan siang ini,
justru Intan mendadak panik dan gugup.
“Hei,
anak gadis tak bolehlah banyak melamun. Pantang kata orang-orang tua dulu,”
ujar Emak Bahrum dengan logat Medan yang khas.
“Eh,
maaf Tante. Saya terkesan sama sambal teri kacangnya. Sepertinya gurih dan
lezat,” balas Intan buru-buru menutupi kegugupannya.
“Oh,
sambal teri kacang ini masakan andalan Tante. Sudah banyak yang memuji
kelezatan dan kegurihannya. Banyak pula yang minta resepnya lalu mencoba memraktikkan.
Tapi entah kenapa, tetap tak pernah bisa menyamai masakan strika Tante,” timpal
Emak Bahrum.
“Setrika?
Kok namanya kayak gosokan kain?” tanya Intan heran.
“Bukan
setrika, tapi strika. Itu singkatan dari Sambal Teri dan Kacang,” jawab Emak
Bahrum tersenyum mendengar komentar Intan.
Beberapa
saat kemudian, acara makan siang bersama pun selesai. Intan membantu
membersihkan meja dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Melihat keakraban
Intan dan Emaknya, Bahrum mengedipkan sebelah mata ke Intan.
Selepas itu, Tante Imah,
Emak Bahrum, mengajak Intan duduk di tepi kolam ikan. Intan kembali diam.
Hatinya masih bertanya-tanya, apa yang akan diperbincangkan.
“Eh,
kau kan sudah selesai ya kuliahnya? Si Bahrum pun sudah bekerja. Jadi kalian
mau menunggu apa lagi?” Tiba-tiba Tante Imah membuka obrolan dengan pertanyaan
rencana pernikahan. Intan terkesima dan masih diam, tidak bisa menjawab.
“Tante
mau pensiun jadi tukang masaknya si Bahrum. Nanti kaulah yang menggantikannya,”
tambah Tante Imah lagi semakin menciutkan nyali Intan.
“Si
Bahrum itu juga sangat suka makan strika. Jadi, nanti kau harus sering-sering
memasakkan si strika itu untuknya. Jangan lupa, kawannya si strika itu gulai daun
ubi tumbuk,” tambah Tante Imah membuat Intan terbayang pada gulai daun singkong
buatan mamanya.
Intan semakin terpaku. Jangankan
gulai daun singkong tumbuk, sambal teri kacang saja Intan tak pernah mengerti
cara membuatnya.
“Wah,
melamun lagi? Intan, jangan dibiasakan banyak melamun, apalagi kalau sudah
dekat-dekat hari pernikahan nanti. Pantang itu,” ujar Tante Imah membuat Intan
sempurna gugup.
“Eh,
i ... iya Tante. Maaf,’ ucap Intan pelan.
“Baiklah
kalau begitu. Tante sudah utarakan maksud kami mengundangmu makan siang bersama
ini. Bilang sama orangtuamu kalau dalam waktu dekat Tante dan Om akan datang
melamarmu. Syaratnya gampang kok, cuma ujian memasak strika saja. Hahaha....”
ujar Tante Imah lagi bergurau.
Intan mengangguk pelan.
Di kepalanya hanya ada gambaran sepiring strika alias sambal teri kacang. Intan
harus belajar membuat strika itu dengan mamanya. Intan sangat takut. Kalau
hanya gara-gara gagal memasak strika, hubungannya dengan Bahrum jadi berantakan,
Intan tidak bisa membayangkannya.
Dua
minggu kemudian, Tante Imah kembali mengundang Intan untuk datang di acara
arisan keluarga. Intan diminta membawa sambal teri kacang hasil bikinannya
sendiri. Intan uring-uringan memikirkan sambal teri kacangnya. Sudah dua kali
dia mencoba resep mamanya, namun tetap saja rasanya tak sama dengan buatan
Tante Imah.
Intan sudah memraktikkan
semua cara yang diberikan Mama. Ikan terinya disiram dan ditiriskan di saringan
kelapa, sampai benar-benar kering. Kacang tanahnya digoreng dengan minyak yang
tidak terlalu panas. Intan juga sudah menggiling cabe merah dan bawang merah
sampai halus, lalu mencampurkannya dengan satu sendok makan air rendaman asam
jawa.
“Apalagi
yang salah ya, Ma? Ikan terinya sudah Intan goreng sampai garing, kacang
tanahnya juga sudah dimasak dengan sempurna. Sambalnya sudah dimasak di atas
wajan dengan api kecil,” gerutu Intan kesal melihat hasil masakannya.
“Coba
diingat-ingat, pasti ada langkah-langkah yang tidak kau turuti,” ujar Mama
menenangkan.
“Sudah
kok, Ma,” kata Intan merasa yakin.
“Trus,
bagaimana jadinya? Apa perlu Mama yang membuatnya? Kalau terinya seperti karet
begini, macam mana kau nanti?” tanya Mama membuat Intan galau.
Belum sempat Intan
menjawab pertanyaan Mama, Bahrum sudah menjemputnya.
“Bang
Bahrum sudah datang. Macam mana ini?” keluh Intan semakin panik.
“Sudahlah,
kau berterus terang saja ke Emaknya si Bahrum. Bilang saja kalau sebenarnya kau
tak biasa memasak, tapi kalau untuk beberes dan merapikan rumah kaulah
jagonya,” jawab Mama memberi solusi.
Intan berpikir sejenak.
Dengan terpaksa ia tetap memasukkan sambal teri kacang buatannya ke dalam wadah
plastik untuk dibawa ke rumah Bahrum.
“Bismillah
sajalah,” bisik Mama menyemangati Intan.
“Iya,
Ma. Doakan ya,” pinta Intan memelas. Mama mengangguk.
“Yuk,
Bang!” ujar Intan mendekati Bahrum.
“Permisi
dulu ya Tante. Salam dari Emak dan Ayah,” ujar Bahrum ke Mama Intan.
“Iya,
sampaikan salam Tante kembali ya,” balas mama Intan. Bahrum mengangguk.
Intan
dan Bahrum pun sudah berada di mobil. Intan merasakan perjalanan dari rumahnya
menuju rumah Bahrum begitu cepat dan mendebarkan. Padahal hatinya menginginkan waktu
berputar lebih lambat. Intan belum siap menerima kritikan calon ibu mertuanya
pada sambal teri kacang buatannya.
Intan
masih memikirkan usul Mama untuk berterus-terang. Ia tak mau pulang dari rumah
Bahrum dengan menelan rasa malu. Kalau tidak jadi menantu karena mungkin tak
berjodoh, Intan bisa menerima. Tapi, kalau ditolak jadi calon menantu hanya
gara-gara pura-pura mengaku pandai memasak sambal teri kacang, Intan tidak bisa
memaafkan dirinya.
“Kita
sudah sampai, Tan. Ayo kasi ke Emakku strika buatanmu itu. Hitung-hitung itu
pemikat hatinya,” gurau Bahrum samasekali tidak lucu di telinga Intan.
“Naaah
... ini dia calon menantuku. Si Bahrum pintar cari calon istri. Sengaja
dicarinya istri yang pandai memasak strika, supaya Emaknya bisa pensiun
memasakkan makanan kesukaannya itu,” ujar Tante Imah menyambut kehadiran Intan.
Sepupu-sepupu Bahrum yang
sudah hadir di acara arisan itu ikut tersenyum melihat kehadiran Intan. Semua
tampak bergembira, kecuali Intan.
“Ayo,
tunjukkan sama Tante strika buatanmu itu!” seru Tante Imah lagi membuat lutut
Intan mendadak gemetar. Intan memberikan sambal teri kacang buatannya.
“Maaf,
Tante ... saya memang suka sekali makan strika, tapi saya tak pandai
cara memasaknya,” Intan melepas kata-katanya begitu saja. Ia buru-buru menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Intan yakin saat ini pasti semua mata tertuju padanya.
“Ya
ampun, Intan! Janganlah khawatir begitu. Tante yang akan mengajarimu memasaknya
nanti,” ujar Tante Imah mengejutkan Intan.
“Ayo,
mari sini. Kita praktikkan bersama, supaya si Bahrum nanti tak mencari strika
ke perempuan lain,” kembali Tante Imah bergurau.
Intan merasa lega.
Akhirnya ia berhasil berterus-terang dan sekaligus mengetahui resep sambal teri
kacang buatan calon ibu mertuanya.
“Supaya
tak lengket dan terinya bisa garing, saat mengaduknya ... kau matikan dulu api
kompornya. Lalu, kau aduklah teri dan kacangnya dengan rata ke sambal yang
sudah matang ini,” ujar Tante Imah.
Intan mengangguk-angguk
dan berusaha mengingat rahasia terakhir yang bisa membuat sambal teri kacang
buatan Tante Imah begitu gurih, lezat, dan renyah. [Wylvera W.]
Huaaaa keren sekaliii mbaa. Waahhh kalau begini aku udah langsung keder nih :).
BalasHapusAaah, ini cerpen sederhana yang dibuat kilat, Mak Maya. Ayo dicoba! :)
HapusHaha... Emaknya si Bahrum orangnya kocak juga ya... STRIKA buatannya enak dan gurih pula....
BalasHapusHihihi, enak kan ya, kalau punya calon mertua kayak begitu. ;)
HapusAsalamualaikum wr wb
BalasHapusWih. Wih. Wih. Sedapnye makanan tuh.
He he. Apalagi di kelilingi cinta. Hihi :D
Ikut nyimak.
Wasalamualaikum wr wb
Wa'alaikumsalam wrwb.
HapusIya, apalagi kalau makan strikanya pakai nasi hangat dan gulai daun ubi/singkong tumbuk. Dijamin nambah-nambah.
Tks, sudah mampir ke sini ya. :)
Muahahaha aku pun mikir strika apaan dr judulnya. Kereeeen mak!
BalasHapusHihihi ... sengaja biar baca. Makasih ya, Mak. ;)
HapusNgileerr, maaakkk...
BalasHapusNasi panas pake setrika...eh strika!
Hahahaha ... *sodorin lap iler*
HapusBiar bukan orang sumatera aku suka sangat ma strika nih mbak,minta dikirimin sepeles aja
BalasHapusHahahaha, ayo ke Bekasi, biar aku hidangkan sepiring strika. :)
HapusKilat aja begini ya, Mak Wik? Aku jadi inget cerpen Mbak yang tayang di majalah, ceritanya mengalir banget. Keren wis :)
BalasHapusAaah, makasih Mak Helda. Masih terus belajar membuat cerita yang enak dibaca. :)
HapusKeren cerpennya. Aku masih kesulitan nulis cerpen. Jadi belajar dari cerpen ini.
BalasHapusMakasih, Mbak Ade.
HapusSebenarnya ini ringan banget konfliknya.
Kalau untuk dimuat ke majalah atau media cetak, konflik cerita mungkin harus lebih kuat dan tajam lagi. Yuk, sama-sama belajar kita ya. :)
Mbaa aku malah terfokusnya sama gambar teri kacang itu. Ibuku sering buat, enaaak jadi kangen
BalasHapusHihihi, cerpen ini memang cerpen kuliner, jadi kalau fokusnya jadi ke situ, aku berhasil dong. ^_^
HapusAih, aku jadi pengen bikin strika nih. Tapi pengennya teri Medan asli, di sini susah nyarinya euy. Teri Medan yang putih itu. Plus kacang tanah, wew, dimakan sama nasi putih hangat plus sayur daun ubi tumbuk, hm, yummi! *eh
BalasHapusDi Bekasi ada, Mak.
HapusAku punya langganan eda-eda. Terinya asli Medan. :)
setrika kesukaan aku mbak, tapi kok kalo bikin sendiri rasanay gak enak :-D
BalasHapusSini, aku ajarin cara bikinnya, Mbak. ;)
Hapusstrika soulmatenya sayur asem dan sambel terasi hehe
BalasHapusKalau di Medan, soulmatenya gulai daun singkong tumbuk, Mak. ;)
HapusHihiii...lagi keilangan ide, Bunda jalan-jalan ke TKP dan baca Bukan strika ini. Yeeaayy..gak salah donk Bunda curi nih idenya...#kabooor... Jadi pengen sarapan lagi nih liat foto strika di atas....kriuk...kriuk...pasti terinya garing abiiiss... seperti buatan Sang Mbak di rumah Bunda. Rahasianya pun sama dengan rahasia Sang Calon Mertua buat Indan.
BalasHapusHahahaha, iya Bunda.
HapusGak sabar ini menunggu cerpen Bunda Yati tayang.
Wuaaah, bisa tukeran strika dong kita ya, Bun? ^_^
Saya juga strika dan tidak suka setrika.hehe
BalasHapusHahahaha ....
Hapus