Cerpenku, "Menantu untuk Emak" di Majalah NooR edisi April 2013 |
(Naskah asli)
Wajah wanita 55 tahun di depanku ini
begitu bersahaja. Polos dan jujur. Dialah emakku, wanita yang telah melahirkan
dan membesarkanku. Emak pula yang telah menanamkan segala bentuk norma hidup ke
dalam jiwaku.
Emak membuka album di pangkuannya.
Sejak tadi aku membiarkan Emak menikmati foto-foto kenangan itu. Sesekali
kulihat bibir Emak tersenyum diselingi desahan napas pelan yang perlahan
menggerakkan dadanya.
“Bapakmu tak pernah lupa senyum saat difoto,” ujar Emak mengomentari kebiasaan almarhum Bapakku jika
difoto.
“Iya, Mak. Kata Bapak, biar wajahnya
selalu terlihat ceria,” balasku.
“Dan, kau selalu meniru gaya Bapakmu
juga, kan?” tanya Emak seraya memandangku dengan tatapan lembutnya. Aku
mengangguk membagi senyuman ke Emak.
Aku
tahu, saat ini Emak sedang merindukan Bapak. Biasanya hampir setiap akhir pekan
mereka duduk berdua di teras rumah ini. Tapi, ketika Bapak berpulang tiga tahun
lalu, Emak jadi kehilangan teman hidup.
Setelah Bapak tidak ada, akulah yang menjadi pengganti teman Emak. Berbincang,
berbagi masalah, sampai berdiskusi tentang penghematan uang belanja. Karena
hanya aku anak Emak.
“Tak terasa sekarang umurmu sudah 30
tahun. Kapan ya Emak bisa melihat calon suamimu?” tanya Emak tiba-tiba
mengalihkan obrolan. Ini sudah tahun keempat Emak mengajukan pertanyaan yang
sama.
“Sudah ada, Mak. Tapi, aku masih
belum yakin untuk mengenalkannya kepada Emak....”
“Mengapa belum yakin? Kau takut Emak
menolaknya?” potong Emak.
“Hmm...,” jawabku bergumam.
“Kapan Emak bisa menilai kalau kau
saja tak pernah membawanya untuk bertemu Emak?” tambah Emak lagi.
“Nantilah, Mak,” balasku singkat
karena tak tahu harus menjawab dengan kalimat yang pas.
Setiap kali aku teringat pada
keinginan Emak agar aku segera menikah, ada rasa ngilu di sudut hati. Karena setiap
tahun berganti tetap tidak ada yang berubah di statusku. Aku masih melajang
hingga saat ini.
“Lin, ini sudah berganti tahun
lagi,” sambung Emak kembali terdengar menyindir di telingaku.
“Iya, Mak.”
“Tak terasa umurmu juga sudah
bertambah,” sela Emak lagi semakin membuatku kebingungan menyusun kalimat untuk
menimpalinya.
“Kemarin ada laki-laki bertandang ke
sini. Katanya dia teman dekatmu,” lanjut Emak membuat dadaku berdebar kencang.
“Hah? Laki-laki? Teman dekatku?”
tanyaku gugup.
“Iya, namanya Faisal. Katanya dia
senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Emak,” tambah Emak lagi tiba-tiba
membuatku kembali tak bisa melanjutkan kata-kata. Faisal bertemu Emak? Kira-kira
apa yang dibicarakannya? Kepalaku sibuk memikirkan segala kemungkinan.
“Katanya kalian sudah lama saling
mengenal. Dia ingin melamarmu,” sambung Emak lagi.
“Melamar?!” tanyaku terperanjat.
“Iya, Emak meminta dia membawa
keluarganya,” jawab Emak.
“Dia yatim piatu, Mak. Hidupnya
bertahun-tahun mengurus panti asuhan tempat dia pernah dibesarkan,” kataku
seraya menundukkan wajah. Akhirnya aku bisa mengeluarkan serangkaian kalimat
itu di hadapan Emak. Namun, aku tak berani menatap mata Emak.
“Itu yang membuatmu selama ini tak
berani mengenalkannya kepada Emak?” tanya Emak.
“Jadi, Faisal sudah cerita tentang
latar belakang hidupnya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Emak.
“Bersiaplah, Lin. Pernikahanmu sudah
diambang pintu,” kata Emak tak juga menjawab pertanyaanku.
Aku
kembali terdiam. Kata-kata Emak yang terakhir semakin penuh teka-teki buatku.
Apa yang sudah dikatakan Faisal, sehingga Emak begitu yakin menyuruhku
mempersiapkan pernikahan? Aku sangat mengenal Emak. Hatinya takkan luluh jika
tak ada sesuatu yang mampu membuatnya takluk dan merasa jatuh hati. Aku semakin
penasaran dibuatnya.
Ini adalah awal tahun yang luar
biasa buatku. Tak ada lagi yang harus kusembunyikan dari laki-laki bersahaja
itu. Kata-kata Emak sudah cukup memberi restu pada hubungan kami. Tapi, Faisal
bukan laki-laki berduit yang mampu melamarku dengan sejumlah mahar atau uang
yang layak.
Aku
ingat ketika Emak memberi pesan agar selain memperhatikan bibit, bebet, dan
bobot calon pendamping hidup, aku juga jangan menutup mata pada harapan masa
depan yang bisa dijanjikannya. Menurut Emak, setidaknya laki-laki yang kelak
menjadi suamiku takkan menelantarkanku alias tak diberi nafkah lahir.
Emak
bukan tipe wanita materialistis, tapi apa yang dikatakannya sangat masuk di
akalku. Mana ada seorang ibu yang rela melihat putrinya hidup terlantar dalam
pernikahannya. Dan, aku tak tahu mengapa Emak dengan mudahnya menerima Faisal
untuk menjadi pendamping hidupku. Aku sendiri tak berani menjamin kalau Faisal
mampu memberiku kehidupan yang mapan. Hanya cinta dan harapan yang membuatku
tetap mempertahankan hubungan kami. Alasan itu pula yang selama ini membuatku
ragu mengenalkannya kepada Emak. Tapi dugaanku jauh meleset. Selain menyuruhku
menyiapkan diri memasuki gerbang pernikahan, Emak tak banyak berkomentar
tentang Faisal.
“Emak
sudah yakin kalau aku memilih Faisal menjadi suamiku?” tanyaku sebelum semua
terlanjur kuputuskan dan akhirnya menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga
buat Emak.
“Insya
Allah,” jawab Emak dengan yakin.
Begitulah,
akhirnya aku dan Faisal menikah dengan cara sederhana. Tak ada pesta besar. Tak
ada bulan madu. Kami hanya berikrar di depan penghulu dengan disaksikan kerabat
dekat saja. Dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya. Rasa penasaranku
terhadap keputusan Emak belum juga usai.
Kulirik
Emak yang duduk di belakang Faisal. Emak tersenyum bahagia. Sudah lama aku tak
melihat senyum seperti itu di bibir Emak. Tepatnya sejak Bapak berpulang. Dan,
sikap Emak ini semakin membuatku bertanya-tanya.
Mataku
beralih ke arah Faisal. Calon suamiku itu bagaikan putra kesayangan Emak. Aku
menyaksikan Emak mengelus-elus pundak Faisal, seolah tak ingin kehilangannya.
Perhatian Emak seakan memberi kekuatan bagi Faisal saat mengucapkan akad nikah.
Dan, kami pun resmi menjadi suami istri.
Setelah
acara sakral itu berjalan dengan khidmat, Emak bergeser ke sampingku. Emak merangkulkan
sebelah tangannya ke pundakku.
“Insya
Allah, Faisal akan menjadi suami yang bertanggung jawab atas dirimu, Linda,”
bisik Emak begitu yakin di telingaku.
“Aamiin.
Insya Allah, Mak,” balasku bahagia.
*
Malam
ini rumah kami kembali hening. Kerabat Emak dan almarhum Bapak sudah kembali ke
rumah mereka masing-masing. Tinggal aku, Emak, dan Faisal. Emak dan Faisal
masih sibuk menggulung karpet dan tikar di ruang tamu. Sementara aku
mondar-mandir memindahkan sisa-sisa piring dan gelas kotor ke dapur. Sesekali
mataku melihat keakraban Emak dan Faisal. Mereka seperti sudah saling mengenal
sejak lama.
“Sudahlah,
besok saja kita lanjutkan membersihkan semuanya,” ujar Emak memecah kebisuan
yang sejak tadi terjadi di antara kami bertiga.
“Tanggung,
Mak!” jawabku dari dapur.
“Faisal,
ajak istrimu istirahat. Kalau tak dicegah, dia bisa semalaman di dapur itu
nanti,” tambah Emak membuat Faisal bergerak mendekatiku.
“Ayolah,
Lin... besok masih ada waktu,” bisik Faisal menahan senyum di depanku.
Kulongokkan kepala melihat Emak yang masih berada di ruang tamu.
“Hmm...
sekarang Emak punya pendukung ya,” balasku berbisik pula ke Faisal. Selintas
kulihat Emak pun beranjak ke kamarnya.
“Tak
enak menolak Emak,” ujar Faisal sambil berjalan menuju kamar kami.
Akhirnya,
aku dan Faisal sudah berada di dalam kamar pengantin kami yang sederhana. Inilah
malam pertamaku dan Faisal. Tanpa kuduga, tiba-tiba Faisal mengatakan sesuatu
tentang Emak.
“Aku
kagum kepada Emakmu, Lin. Dan, aku sangat menghormatinya,” ujar Faisal dengan
senyumnya yang telah meluluhkan hatiku di saat pertama kali kami bertemu. Aku
masih diam, menunggu Faisal melanjutkan penilaiannya tentang Emak.
“Ketika
kukatakan kalau aku tak bisa memberikan biaya pesta yang layak untukmu, Emak
memberikanku ini,” ujar Faisal menunjukkan kotak perhiasan.
“Apa
itu?” tanyaku terkejut. Faisal membuka kotak perhiasan itu. Betapa terperanjatnya
aku ketika kilau dari gelang emas dengan hiasan berinisial namaku ada di tangan
Faisal.
“Haah?
Bagaimana mungkin?” tanyaku semakin bingung.
“Emakmu
menitipkan ini untuk biaya pernikahan kita. Tapi aku tak memanfaatkannya, Lin.
Uang mahar dan biaya pernikahan kita murni dari hasil keringatku. Maafkan aku
kalau tak ada pesta besar dan acara bulan madu buat kita, karena tabunganku tak
cukup untuk itu,” jawab Faisal mengalir. Aku terdiam. Rasa kagum dan heran
berbaur menjadi satu.
Faisal
memberikan gelang Emak kembali kepadaku. Kutinggalkan Faisal sebentar dan
buru-buru menemui Emak. Pintu kamar Emak tak terkunci. Kulihat Emak sedang
tersenyum memandangi album yang terbuka di pangkuannya. Kuketuk pintu kamarnya
dengan pelan.
“Emak,
maaf... aku mengganggu sebentar,” kataku lirih.
“Ada
apa, Lin?” tanya Emak sambil menutup album itu.
“Emak
jangan marah ya. Faisal ingin mengembalikan ini,” kataku sangat berhati-hati.
Aku tidak ingin Emak tersinggung.
“Ya
Allah, mengapa dikembalikan?” tanya Emak ragu menerima gelang emas yang masih
kupegang.
“Maaf,
saya tak bisa menolak pemberian Emak waktu itu. Saya tak ingin membuat Emak
berkecil hati,” tiba-tiba Faisal sudah berdiri di belakangku.
“Jadi,
biaya pernikahan kalian...?”
“Saya
masih punya simpanan untuk biaya pernikahan kami,” ujar Faisal menjawab
kebingungan Emak.
“Subhanallah...
tapi gelang ini tetap Emak berikan untukmu, karena ada inisial nama istrimu di
situ,” ujar Emak dengan mata berkaca-kaca.
“Baiklah,
Mak,” kata Faisal sambil menarik lenganku serta menyematkan gelang itu.
“Terima
kasih, Mak,” ujar kami serentak.
Akhirnya
Emak kembali tersenyum sambil melangkah mendekatiku. Lengannya yang lembut
kembali memelukku.
“Tahun
ini statusmu telah resmi berubah, Lin. Kau telah menjadi istri Faisal. Besok-besok,
album kenangan kita akan ditambah oleh wajah menantu Emak,” bisik Emak hangat
di telingaku. Aku mengencangkan rengkuhan di tubuh Emak dalam balutan keharuan.
“Aahh...
Emak.”
***
noted :) gaya penuturannya
BalasHapusIya, kira-kira seperti itulah, Mak. :)
Hapusso touchy....
BalasHapusjadi pengen segera cari menantu buat ibuku :)
Hahahaha... ayo Chela. Thanks, sudah mampir. :)
HapusHiks.... terharu, Mak Wiwik. Bagus... menyentuh...
BalasHapusAlhamdulillah, makasih Teh Nia. :)
HapusUhuuuk terharu dan panas mataku, semuanya memiliki kepribadian yang mulia dan baik ya, Mba.
BalasHapusMakasih sudah membaca dan meresapinya, Mak. Astin.
HapusCeritanya sederhana namun membuat haru pembaca mak Wiek :)
BalasHapusMakasih udah sharing tulisannya mak...
Alhamdulillah, makasih apresiasinya, Mbak Hidayah. :)
HapusKeren ;)
BalasHapuswww.bairuindra.blogspot.com
Makasih, Bai Ruindra. :)
HapusMba, klu boleh tw prosedur kirim naskah ke Noor bagaimananya? Kirimnya ke email apa?
BalasHapusNaskahnya bisa dikirim ke alamat e-mail mereka di majalahnoor@gmail.com atau majalahnoor@yahoo.co.id dan alamat redaksinya; Jl. Karang Pola VI No. 7A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540.
HapusTks mba smg sya juga bisa menulis di sana :)
HapusCeritanya ngalir banget seperti diary. Makasih sudah berbagi mak. *kemudian bakar menyan cari ide. Lho?! ^.^
BalasHapusSama-sama, Mak Lusi. Ayo, buruan nulis dan kirim ya. ;)
Hapuspelajaran kece untuk di contoh cara bercerita dantemanya (y)
BalasHapusAiiih, makasih, Mak Icoel. :)
Hapuskkeren mba :)
BalasHapusMakasih, Mbak. :)
Hapusgaya ceritanya mengalir, dan tiap percakapan ada narasi tentang pencerita, jadi sebagai pembaca saya bisa membayangkan gimana mereka saat itu.. ^.^ sukaak..
BalasHapusOkeh, nih, mak ^.^
Alhamdulillah, makasih ya Mbak. ;)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah, cerpenku jadi penggugah bagi yang masih sendiri ini kayaknya. Alhamdulillah. :)
HapusTerharu, hiks.... jadi pengen cariin mantu buat ortu juga :D *lho?*
BalasHapusHahahaha... ayo...ayo, cari menantu buat Emak. ;)
HapusMak Wik, bagus banget, mengalir lembut memancing haru. :)
BalasHapusMakasih, Mak Alaika. *tersanjung* ;)
Hapusmengalir dengan sangat indahnya mak .,.apik banget! aku izin save ya sambil nyari ide buat nyoba2 peruntungan juga ...
BalasHapusthanks for sharing mak :)
Makasih, silakan Mak. ;)
HapusMembaca ceritanya membuat saya membayangkan kejadian sesungguhnya, keren mbak...inspiratif, kalau boleh tahu syaratnya apa aja untuk kirim cerpen?
BalasHapusUntuk ke majalah selain NooR, masing-masing punya syarat. Tapi umumnya harus sesuai dengan ciri khas dan gaya cerpen yang dimuat di majalah tersebut. Untuk NooR, sayang sekali, mereka meniadakan rubrik cerpen lagi sepertinya. :)
Hapus