Anak merupakan
harapan serta masa depan keluarga dan bangsa. Harapan ini membutuhkan persiapan
agar mereka kelak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas, bermoral, sehat
lahir dan batin, serta berguna bagi diri, keluarga serta bangsanya. Semua
persiapan tersebut bermula dari pola asuh dan penguatan moral dari rumah yang
dilakukan sejak dini. Idealnya, pola asuh yang baik tentu akan melahirkan anak
dengan kepribadian kuat, tidak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan
hidup.
Namun
sebaliknya, anak yang tidak mendapatkan
pola asuh serta penguatan dan wawasan moral yang tepat, acapkali menimbulkan
masalah. Ia akan rentan pada lingkungan yang menyuguhkan pergaulan negatif. Kerentanan
ini akan menggiringnya untuk melakukan perbuatan amoral dan melanggar hukum
yang akan berakhir di penjara. Kenyataan tentang penjara ini yang akan saya
bagi sebagai bahan interospeksi bagi kita.
Akhirnya masuk penjara
Tidak ada anak
yang ingin mengakhiri hidupnya dalam penjara. Namun, banyak kasus menimpa
anak-anak Indonesia yang justru akhirnya menyeret mereka ke sana. Semua bermula
dari rumah dan lingkungan. Bisa jadi, peran dan perhatian orangtua tak pernah
mereka dapatkan. Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan yang semakin memicu
ke arah yang salah. Semua itu bisa jadi berpengaruh pada perkembangan psikis
anak. Anak yang tidak memiliki mental kuat akan nekat melakukan kesalahan dan
merugikan masa depannya.
Di Masjid lapas ini lah kegiatan konseling GPR untuk anak lapas berlangsung |
Contoh
anak-anak yang gagal mendapatkan perhatian, sentuhan, dan didikan yang tepat
dari orangtuanya, ada di Lembaga Khusus Pembinaan Anak (LPKA) Tangerang. Mereka
lebih dikenal dengan sebutan anak-anak lapas, yaitu anak-anak yang telah
melakukan tindak kejahatan dan melanggar undang-undang negara. Mau melihat hasil didikan gagal orangtua dan
pergaulan yang salah seperti apa? Semua ada di lapas anak tersebut. Saya
menyebutnya paket komplit.
Di beberapa
kali pertemuan dengan anak-anak lapas itu, hati saya selalu terenyuh. Mereka
adalah anak-anak Indonesia berusia antara 13 sampai 17 tahun. Hukum telah
menjerat mereka atas beragam kasus. Mulai dari kasus pembunuhan, perbuatan asusila, narkoba, tawuran, dan pencurian. Masa hukumannya pun beragam. Tergantung
dari beratnya kasus. Yang paling berat adalah kasus pembunuhan, bisa 8 sampai 9
tahun.
Umumnya mereka berasal
dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Ada anak penyapu jalan, anak pembantu rumah tangga, anak pemulung, dan
anak tukang becak. Namun ada juga yang berasal dari keluarga yang mapan. Mereka
harus membaur dengan yang lainnya. Sementara untuk tingkat pendidikannya pun
beragam. Mulai dari level SD sampai SMA, dan yang putus sekolah. Kalau tidak
berbincang, kita tidak akan bisa membedakan latar belakang mereka. Semua
menjadi terlihat sama.
Penyesalan itu selalu
datang di belakang
Ketika masih bergabung dengan komunitas
Gerakan Peduli Remaja yang secara kontinu melakukan konseling di LPKA Tangerang
tersebut, saya menjadi salah satu pembimbing anak-anak lapas itu. Di setiap
pertemuan, selain memberikan bimbingan rohani, kami juga membuka sesi dialog
dengan mereka. Pada momen berdialog itu pula saya kerap menatap mata mereka yang cenderung kosong dan tidak
terarah.
“Mau gimana lagi, Bunda. Hidup itu kan
butuh makan.”
“Pakai narkoba kan bisa ngilangin
stress, Bun.”
“Daripada aku yang dibunuh, mending
habisi duluan.”
Begitulah sebagian alasan yang mereka
utarakan di awal-awal konseling. Belum ada terlihat rasa penyesalan. Mereka
merasa puas karena merasa seolah keluar sebagai pemenang dari setiap masalah
yang mereka hadapi. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka lah yang kalah. Kalah dalam melawan
hawa nafsunya karena mereka memang tidak dibekali oleh didikan agama dan moral
yang benar.
Anak-anak itu
terjebak pada kejahatan yang terkadang tak mereka sadari. Mereka begitu saja
melakukan perbuatan amoral tanpa mempertimbangkan akibatnya. Sebagian dari
mereka bahkan tidak sempat berpikir bahwa konsekuensi dari perbuatan yang
mereka lakukan akan menjebloskannya ke tempat yang bernama penjara. Tempat yang
akhirnya menjauhkan mereka dari keluarga. Terisolir dari segala kebebasan yang pernah
mereka nikmati.
Meskipun untuk penjara
anak-anak, tidak seberat kondisi penjara dewasa, tetap saja sulit menyebut
bahwa tempat itu mampu memberikan
kenyamanan. Banyak hal yang akan dibatasi. Termasuk kamar tidur, kamar mandi,
fasilitas sandang, pangan, beragam peraturan lapas, dan lain sebagainya. Yang
jelas, sudah tidak ada lagi kebebasan seperti yang mereka bayangkan dan rasakan
sebelum masuk penjara. Bukan itu saja. Jika tidak pandai membawakan diri, bukan
tidak mungkin mereka juga akan mengalami kasus bullying sesama tahanan.
Setelah
merasakan masa tahanan, biasanya sebagian dari mereka mulai menyadari
kesalahannya. Kondisi lapas dengan segala keterbatasannya, akhirnya membuat
mereka menyesal. Masuk penjara tentu menjadi aib. Tidak hanya bagi anak sebagai
pelaku, tapi orangtua serta keluarga pun menanggung konsekuensinya. Pernah
masuk penjara akan memengaruhi reputasi dan nama baik keluarga.
Yang lebih menyakitkan, ada orangtua
yang tidak menginginkan anaknya kembali ke rumah setelah bebas dari penjara. Ini
pernah dialami dan dirasakan salah satu anak Lapas yang sekarang sudah bebas
dari masa hukumannya. Beberapa kali saya sempat melakukan kontak dengan “R”. Ia
sempat berkeluh-kesah dan mengatakan bahwa orangtuanya tidak menerimanya
kembali ke rumah. Akhirnya “R” tinggal bersama pamannya.
Sesi konseling bersama Gerakan Peduli Remaja |
Beberapa cerita yang saya
dengar dari mereka, semua
mengerucut pada ungkapan rasa penyesalan. Selain menyesal, mereka juga mengungkapkan
rasa ketidakpercayaan diri yang kuat. Di satu sisi, mereka ingin berlama-lama
di penjara dan pasrah
pada segala keterbatasan. Di sisi
lain, mereka ingin
cepat-cepat mengakhiri
masa hukumannya tapi tidak siap menghadapi dunia di luar
penjara. Ada rasa takut akan kembali terlibat kasus yang sama lalu kembali ke penjara. Ini menjadi dilema yang
menghantui mereka. Menyedihkan.
Setelah mendapatkan pembinaan, sebagian
besar dari mereka berangsur berubah. Mereka ingin memperbaiki kesalahan
yang pernah mereka lakukan. Namun seringkali hukuman dunia lebih berat. Contoh
kecil, saat mereka keluar dari lapas, sebagian besar enggan kembali ke
lingkungan asal, karena cap atau stempel mantan napi begitu melekat di diri
mereka.
Apa boleh buat.
Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan demi penyesalan biasanya selalu datang
belakangan. Jika tidak kuat untuk menghadapinya dan kembali bangkit membenahi
diri, maka masa depan mereka pula yang akan menjadi taruhannya. Kita tidak
ingin seperti itu bukan?
Pola asuh dan pengaruh perkembangan moral anak
Keluarga adalah unit sosial
terkecil yang akan memberikan pondasi dasar bagi perkembangan karakter anak.
Seperti apa penerapan pola asuh orangtua pada anaknya akan sangat berpengaruh
pada perkembangan jiwa anak, termasuk masalah moralnya. Tentu tidak ada
orangtua yang ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Apalagi
sampai terjerumus pada perbuatan melanggar hukum. Namun, harapan itu tidak bisa
diwujudkan secara instan.
Jika ingin
karakter anak tumbuh dengan normal dan baik, orangtua juga harus menjalankan
pola asuh yang benar. Tepat
tidaknya penerapan pola asuh ini bisa dilihat dalam bentuk perlakuan fisik
maupun sentuhan psikis terhadap anak-anaknya. Ada yang kaku (otoriter), serba
membolehkan (permisif), dan demokratis. Model pola asuh ini dapat dilihat dari
tutur kata, sikap, prilaku, dan tindakan orangtua pada anaknya.
Dari tiga jenis model pola
asuh di atas, menurut saya yang paling ideal adalah penerapan pola demokratis
(gabungan dari pola asuh otoriter dan permisif). Ada saatnya orangtua berlaku
otoriter pada anak jika itu menyangkut ketaatan beribadah dalam agamanya dan
beretika dalam bertingkah-laku. Ada saatnya orangtua permisif jika itu tidak
menyangkut hal-hal yang prinsip dan mendasar sifatnya. Masing-masing orangtua
lah yang memahami bagian mana kondisi-kondisi yang tidak terlalu prinsip itu.
Dengan menggabungkan pola
asuh otoriter dan permisif dalam bentuk pola asuh demokratis, maka diharapkan
perkembangan moral anak bisa tumbuh dengan positif. Anak bisa tumbuh dengan
kematangan jiwa yang baik, memiliki rasa tanggung jawab, emosinya stabil, mudah
bekerjasama, gampang menerima saran serta mampu mematuhi aturan tanpa merasa
dipaksa.
Dari keluhan anak-anak di
lapas, saya mencoba menarik kesimpulan. Mereka tidak pernah mendapatkan pola
asuh yang benar. Masing-masing orangtua mereka sibuk dengan dirinya atas dasar
ingin memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi tersebut membuat mereka lupa bahwa
anak-anak mereka tetap membutuhkan perhatian, tempat mengadu serta berbagi
tentang apa saja. Kelupaan itu pula yang membuat anak-anak mereka mencari
perhatian dan perlindungan keluar rumah tanpa bekal mental yang kuat. Semoga
ini menjadi cerminan bagi kita. [Wylvera
W.]
Note: Artikel ini pernah dimuat di Majalah Insani, edisi Juli 2017