Darryl Khalid Aulia
Ibu sudah pernah bercerita bahwa
melahirkanmu adalah momen paling mendebarkan. Selama lebih dari 24 jam Ibu
menanggung rasa sakit dari yang ringan sampai luar biasa nyaris tak tertahankan, namun kau tak kunjung lahir juga. Ibu
sempat menyerah dan minta dokter melakukan bedah caesar agar rasa sakit itu tak lebih lama lagi Ibu rasakan. Tapi,
dokter punya keyakinan lain. Dia percaya kalau Ibu masih kuat untuk
melahirkanmu secara normal.
Kamu tahu, Nak... selama 24 jam itu
pula Ibu merasakan kelelahan yang luar biasa. Erangan dari rasa sakit sesekali
terucap dari bibir Ibu yang terus berharap agar kau cepat lahir. Ibu ingin
sekali melihat bayi laki-laki mungil yang masih betah di perut ini. Akhirnya
keyakinan dokter yang membantu Ibu melahirkanmu terbukti. Ibu masih bertahan
hingga detik-detik kau hadir ke dunia ini. Begitu tubuh mungilmu yang masih
diselimuti darah itu digendong perawat dan diletakkan di atas dada Ibu, luar
biasa, Nak... rasa sakit selama 24 jam sebelumnya tiba-tiba hilang seketika.
Melihat wajah mungilmu yang begitu tampan membuat Ibu tersenyum bahagia dan berkali-kali
mengucap syukur kepada Allah SWT.
Ibu juga sempat melihat senyum
bahagia itu di bibir bapakmu. Dia tak sabar menunggu perawat membersihkanmu
untuk diazankannya. Setelah itu, lagi-lagi Ibu dan Bapak sepakat memberi nama
untuk bayi kedua kami secara bersama-sama. Bapak memberimu nama Darryl Khalid
dan Ibu menambahkan Aulia sebagai penutup namamu. Rasanya lengkaplah sudah,
kami memanggilmu dengan nama Darryl Khalid Aulia. Ibu tersenyum kala itu,
teringat ketika Ibu juga melengkapi nama kakakmu , bukan di belakang tapi di
bagian depan namanya. Selanjutnya Ibu menikmati hari-hari pertumbuhanmu.
Seiring
berjalannya waktu, Ibu sempat merasakan rasa tidak percaya diri muncul di
ekspresi matamu kala itu. Sebab kau sering mendengar anggapan seperti ini,
“Kalau si Kakak mukanya paduan wajah Ibu dan Bapaknya, kalau Khalid siapa ya?”
Akhirnya tanpa Ibu duga kau mengajukan pertanyaan yang begitu mengejutkan. “Bu,
aku anak Ibu sama Bapak kan?” tanyamu dengan tatapan penuh penasaran, mengharap
kepastian. Saat itulah Ibu menceritakan proses kelahiranmu. Berangsur-angsur
bibirmu tersenyum. Oalah, Naaak... kau pikir kau anak siapa memangnya?
Kau pun semakin bertumbuh dengan
pembawaan yang tenang. Mulailah Ibu merasakan perbedaan-perbedaan itu.
Bagaimana Ibu bersikap kepada Kakak tidak sama polanya jika Ibu berhadapan
denganmu, Nak. Watakmu yang keras dan sedikit sulit berbasa-basi membuat Ibu
harus pandai-pandai menghadapimu. Kalau lagi kesal, bapakmu selalu menjuluki
karaktermu itu textbook style. Kalau
ingat itu, Ibu jadi geli sendiri.
Suatu ketika, Ibu juga dikejutkan
oleh pertanyaan yang spontan darimu. Saat itu kau masih duduk di kelas 2 SD.
“Bu...Ibu sayangnya sama siapa sih? Aku atau Kakak?” tanyamu membuat Ibu nyaris
terdiam karena tak siap diajukan pertanyaan seperti itu. Untunglah, Ibu tak
terlalu lama menyusun jawaban yang Ibu harap bisa memuaskanmu. “Ibu sayang sama
dua-duanya. Kakak sama Adek kan sama-sama anak Ibu, jadi sayangnya juga harus
sama, tak ada yang dibeda-bedakan,” jawab Ibu tak langsung membuat bibirmu
tersenyum. “Trus, kenapa Ibu lebih suka marahi aku kalau nyuruh belajar. Ke
Kakak enggak tuh,” sambungmu lagi memberi perbandingan. “Sebenarnya Ibu bukan
marah, tapi memberi semangat ke Adek supaya belajarnya lebih rajin,” jawab Ibu
lagi semakin ragu karena tak yakin kau puas mendengarnya.
Benar
saja, kau masih mengajukan argumentasi lainnya. “Kakak juga enggak terlalu
rajin belajarnya, tapi Ibu tenang-tenang aja tuh,” katamu lagi. Ibu mulai
terpojok kala itu, Nak. Begitulah bagian kecil dari karaktermu yang selalu
merasa tak puas jika tak menemukan argumentasi yang kuat. Dan itu pula yang
memicu Ibu untuk terus belajar menampung segala pertanyaan dan argumentasi lain
yang terkadang tiba-tiba muncul dari bibir mungilmu.
Bukan tak pernah kita berselisih
paham, anakku. Bahkan Ibu sempat menangis karena merasa kalah dan kehabisan
akal untuk melenturkan egomu. Namun, bersamaan dengan itu, hati Ibu benar-benar
kau sejukkan kembali dengan permintaan maaf darimu. Meskipun watakmu keras,
namun demi menenangkan hati Ibu, kau tak angkuh untuk meminta maaf atas
kesalahan yang sempat kau lakukan. Itu yang diam-diam membuat Ibu bangga
padamu, Nak. Ibu semakin menyadari bahwa kekerasan watak dan karaktermu itu
bukan tanpa alasan, hanya saja terkadang Ibu terlambat memahaminya. Maafkan Ibu
ya, Nak....
Dan,
ada hal-hal lain juga yang tanpa Ibu sadari, ternyata membuatmu tidak nyaman. Sikap
yang Ibu lakukan terhadapmu dalam soal belajar, makan, mandi, dan hal-hal lain
yang menurutmu tak perlu disuruh-suruh, membuatmu terkadang merasa jengah. Sekali
lagi, maafkan Ibu, Nak... karena Ibu terkesan tidak adil di matamu, meskipun
sesungguhnya semua itu Ibu lakukan karena rasa cinta yang besar kepadamu.
Sekarang kau sudah kelas 2 SMP,
sudah baligh, bahkan suaramu pun lambat-laun mulai berubah. Ibu sangat
menikmati setiap perubahan yang ada di dirimu, Nak. Rasanya begitu cepat waktu
membawamu menuju remaja. Watakmu yang dulunya keras dan sulit sekali
dilenturkan, kini mulai melembut. Kau lebih mudah diajak negosiasi tentang
hal-hal yang dulunya sulit kau tolerir. Meskipun masih ada karakter dasar yang
tetap seperti dulu, seperti soal tampil/show
di depan umum. Kalau boleh Ibu membandingkan (sekali ini saja), kau dan kakakmu
sangat jauh berbeda dalam hal ini. Kakakmu itu selalu percaya diri untuk
tampil, baik itu hanya sekadar menyanyi atau menari maupun mengikuti
lomba-lomba. Sedangkan dirimu, jangan harap kau mau mengikuti perlombaan jika
itu tak benar-benar kau rasakan langsung manfaatnya. Jangan harap Ibu bisa
melihatmu tampil bermain gitar (meskipun kau sudah mulai terampil memainkannya),
jika keinginan itu tak datang dari hatimu.
“Aku
bukan Kakak, kami berbeda, jadi Ibu sama Bapak harus ngerti. Jangan memaksa
kalau aku enggak suka melakukannya. Jangan bikin seolah aku jadi saingan Kakak.”
Begitu bijaknya kau menekankan argumentasimu jika Ibu tak sadar telah melakukan
kesalahan yang sama. Waktu itu Ibu sangat tertohok mendengar kalimat yang
meluncur dari bibirmu. Meskipun awalnya Ibu sulit menerima argument itu, tapi lama-kelamaan Ibu menyadari bahwa Ibu dan Bapak
tak boleh menyamakan atau membanding-bandingkan karaktermu dengan kakakmu. Maafkan
Ibu lagi ya, Nak... karena proses memahamimu mungkin kau rasakan begitu lambat
sehingga kau tak sabar untuk mempercepatnya. Tak apa, Nak... dengan begitu Ibu
menjadi sadar dan cepat mengubah kesalahan yang telah terlanjur Ibu lakukan.
Meskipun
kalian berdua lahir dari rahim Ibu, perbedaan karakter itu tetaplah harus Ibu
dan Bapak hormati dan hargai. Justru jika Ibu mengenang semua itu, rasa bangga
yang muncul. Bukankah itu menunjukkan kalau kau sebenarnya anak yang cerdas?
Masih seumur ini saja kau sudah kuat memegang prinsip. Rasanya tak pantas jika
Ibu menilai sikapmu itu sebagai bentuk perlawanan kepada Ibu dan Bapak. Pertahankan hal-hal positif dalam dirimu dan buang yang negatif itu jauh-jauh. Ingatkan Ibu juga jika suatu hari kelak, Ibu kembali melakukan kesalahan. Ibu mengizinkanmu untuk melakukannya, asal semua untuk kebaikan kita bersama, Nak. Asal semua kita lakukan atas dasar cinta karena-Nya.
Akhirnya,
my dear boy....
Sebelum
tadi merangkai kata hati ini untukmu, Ibu benar-benar memilih kata dan kalimat
yang Ibu harap pas untukmu. Jika kelak kau membaca semua ini, Ibu harap kau
akan suka dan semakin memahami bahwa sesungguhnya Ibu sangat menyayangi dan
mencintaimu anakku. Ibu ingin kelak kau menjadi pelindung bagi keluarga ini. Teruslah
bertumbuh sebagai pria sejati, penyayang dan penuh cinta kasih terhadap sesama.
Jadilah pria soleh yang akan menjadi imam untuk keluarga dan orang-orang di
sekitarmu di kemudian hari. Aamiin....
Sebelum
menutup curahan hati untukmu ini, izinkan Ibu mengutip kembali bagian dari
bait-bait puisi yang pernah Ibu hadiahkan di hari ulang tahunmu. Semoga kau
suka, anakku sayang....
Anak
lelakiku....
Hari ini,
senyumku mungkin tak begitu kau pahami
Tapi sesungguhnya aku tau jika hari ini kau juga ikut tersenyum
Hari ini, bahagiaku mungkin tak begitu kau mengerti
Namun sesungguhnya aku tau hari ini kau juga ikut berbahagia
Tak banyak yang kau pinta karena kau begitu sederhana
Meskipun aku tahu ada harap dibalik senyummu
Dan,
Dia menitipkan cinta kepada Ibu dan bapakmu
Untuk bisa mengasihimu, memelukmu, membesarkanmu dan mendidikmu
Maka melangkahlah dengan gagah
Isi hari-harimu dengan berjuta makna
Untukmu anakku, kami takkan lepas memanjatkan doa
Agar kau tumbuh menjadi lelaki yang berguna
Tak ingkar akan keagungan Sang Pencipta
Seperti Zakaria dalam doanya...
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau maha pendengar doa." (Qs Ali Imran 3:38)
Tapi sesungguhnya aku tau jika hari ini kau juga ikut tersenyum
Hari ini, bahagiaku mungkin tak begitu kau mengerti
Namun sesungguhnya aku tau hari ini kau juga ikut berbahagia
Tak banyak yang kau pinta karena kau begitu sederhana
Meskipun aku tahu ada harap dibalik senyummu
Dan,
Dia menitipkan cinta kepada Ibu dan bapakmu
Untuk bisa mengasihimu, memelukmu, membesarkanmu dan mendidikmu
Maka melangkahlah dengan gagah
Isi hari-harimu dengan berjuta makna
Untukmu anakku, kami takkan lepas memanjatkan doa
Agar kau tumbuh menjadi lelaki yang berguna
Tak ingkar akan keagungan Sang Pencipta
Seperti Zakaria dalam doanya...
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau maha pendengar doa." (Qs Ali Imran 3:38)
__________Untuk melanjutkan tongkat estafet menuliskan surat cinta (project manis dari Makmins KEB) kepada #DearSon ini, aku berikan kepada Mak Yuni Fawwaaz Rudy , silakan ya, Mak.
Sudah besar ya mba anaknya? Semoga Darryl menjadi anak yg diharapkan kedua orang tuanya ya....
BalasHapusSalam hangat utk Darryl :)
Aamiin, makasih ya Mbak. Salamnya segera disampaikan. :)
Hapusbikin terharu mbk :D
BalasHapusNyodorin tisu, hehe... makasih ya, Mbak sudah mau mampir dan baca surat cinta ini. :)
HapusAhhhh ganteng sekali Mak anakmu
BalasHapusHahaha, salah fokus ni ya. Btw, makasih Mak Hana. :)
HapusMak Wik. Punya dua anak dengan dua jenis kelamin berbeda memang sebuah anugerah yang luar biasa. Dua anak dengan jenis elamin yang sama saja, kita tidak bisa memperlakukan sama, apalagi yang berbeda. Senang membacanya. Thx u. Kalau sempat singgah yah. http://pedas.blogdetik.com/2013/09/13/sepucuk-surat-lagi-untukmu-matahari-kehidupanku/
BalasHapusBetul Mak... thank you sudah mau baca surat cinta ini ya. Nanti aku bakal mampir ke rumahmu buat baca juga sekalian belajar. :)
HapusSemua anak unik, senuai dengan karakter mereka masing-masing. Khalid dan Kakak sama-sama istimewa. Jadilah mujahid dan mujahidah di jalan Allah ya, Nak. Aamiin. :)
BalasHapusAamiin YRA, makasih Tante Haya. :)
HapusWuih tentang si ganteng. Semoga menjadi anak sholeh dan sukses, Khalid. :)
BalasHapusAamiin, makasih Tante Nia.
HapusSsst, jangan dengar anaknya bilang ganteng, nanti hidungnya merah. Qiqiqi....
Semoga Darryl menjadi anak yg sholeh, Mbak :)
BalasHapusAamiin, makasih, Mbak. :)
Hapusganteng mbak khalid:) semoga menjadi anak yg sholeh ya
BalasHapusAlhamdulillah, ngidamnya berhasil, hahahaha.... *kidding*
HapusAamiin, makasih ya Mbak Lidya. :)