Apartemen penuh kenangan (dokpri) |
Berbagi cerita dari pengalaman ber-Ramadan di
negeri orang menguak lintasan kenangan yang indah untuk diurai. Sudah
bertahun-tahun lamanya, saya masih saja sulit menepisnya. Apalagi kalau sudah
berada di bulan Ramadan seperti ini. Masih terbayang-bayang. Susah move on gitu deh. Aaah ... biarlah.
Musim panas tahun itu terasa lebih panjang dibanding tahun sebelumnya. Saya nyalakan vacuum cleaner. Pagi itu saya siap
membersihkan apartemen kami yang beralaskan karpet-karpet tebal, penuh dengan
remah-remah pop corn. Efek dari anak-anak saya yang berpesta dengan camilan ringan semalamnya.
Rasanya baru kemarin saya menginjakkan kaki
di apartemen itu. Apartemen bernomor 1932 A di
pemukiman pelajar (Orchard Down, Illinois) itu begitu menyatu dengan kami. Padahal saat itu, baru setahun kami merasakan hidup
yang jauh dari tanah air. Empat musim yang kami lewati bersama memberikan
nuansa yang silih berganti. Semua itu tentu saja tercatat rapi dalam bagian
perjalanan hidup kami. Terutama bagi saya, sebagai ibu yang kerap bergelut dengan rentetan rutinitas
rumah tangga di apartemen mungil itu.
Suasana sahur nak-anak yg bikin tersenyum saat mengingatnya (dokpri) |
Menjalankan ibadah puasa di negeri yang bukan
berbasis Islam, tantangannya jauh lebih terasa bagi saya dan keluarga. Pertama, perbedaan rentang waktu antara subuh hingga maghrib lebih
panjang dibandingkan dari Indonesia. Menahan rasa lapar dan haus lebih lama
dari biasanya. Ditambah sisa udara Summer
di awal-awal Ramadan yang
kerap menyengat kulit, sungguh
sebuah ujian kenikmatan yang tak ternilai. Namun, Insya Allah kami tetap bisa melewatinya dengan khusyuk dan khidmat.
Kedua, di saat orang lain dengan lahap
menyantap pizza, spagetti, ice cream, dan jenis makanan yang merangsang selera,
kami justru harus kuat untuk meyakini bahwa kami sedang berpuasa. Di saat
jam-jam makan siang di sekolah. Anak-anak non muslim dari bangsa lain siap melahap hidangan menu
makan siangnya, anak-anak saya harus menahan diri hingga waktu berbuka.
Ketiga, kami juga selalu diuji oleh pemandangan yang serba-serbi di luar apartemen.
Terlebih bagi suami saya. Karena musim panas
belum benar-benar berakhir, membuat suami harus
sering-sering beristighfar. Setiap kali pergi ke kampus, ada saja
sosok yang berbusana sangat minim melintas di pandangannya. ”Hmm
... free country,” ujar suami saya bercanda
waktu itu.
Di samping deretan
tantangan itu, tentu saja ada kenikmatan lain yang menjadikan
kami tetap bersyukur. Kebersamaan sesama umat muslim Indonesia di pemukiman kami itu adalah bentuk kenikmtan
lain. Lagi-lagi buat saya pribadi. Saya seolah tak
merasa sedang hidup dan tinggal di negeri orang. Saling berbagi suka dan duka sudah bukan hal
yang langka bagi kami sejak
hijrah sementara di sana. Jika ada yang dirundung sakit, dengan sigap kami membesuk, membantu apa
yang bisa dibantu untuk meringankan sakitnya. Sebisa mungkin, kami selalu saling membantu dan mendukung satu sama lain.
Pengajian rutin ibu-ibu Urbana - Savoy (dokpri) |
Khusus
di bulan Ramadan, ada hal yang membuat saya susah move on dari kenangan itu. Sebuah tanggungjawab yang diamanahkan
kepada saya sebagai ketua pengajian ibu-ibu yang semuanya orang Indonesia. Sederhana mungkin, tapi bagi saya itu adalah kenikmatan
yang sulit digambarkan dalam bentuk materi. Betapa tidak. Jauh dari lingkungan tetangga di Bekasi tempat tinggal saya, namun
waktu dan kesempatan untuk berbagi dalam kebersamaan yang indah, tetap bisa
saya dapatkan.
Tadarusan di apartemen saya yang selalu membuat rindu (dokpri) |
Di awal-awal ketika saya diberi
tanggungjawab sebagai ketua
pengajian ibu-ibu muslim Indonesia, semua saya
jalankan dengan biasa saja. Seperti memberi pengumuman jadwal pengajian serta
membuka dan menutup majlis ta’lim setiap kali kami melaksanakan pengajian
rutin. Sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Tapi kesempatan dan amanah yang diberikan
kepada saya itu, menjadi momen indah dan penuh arti dalam episode hidup saya. Terlebih ketika kami bersama-sama menjadi penyedia hidangan berbuka di masjid Central Illinois Mosque and Islamic Center (CIMIC). Saya
merasa diberi amanah dan kesempatan untuk belajar, mengkoordinir ibu-ibu dalam
menentukan pembagian makanan yang akan disajikan di masjid itu.
Muslim Indonesia mendapat giliran menyajikan hidangan iftar (dokpri) |
Menyediakan makanan berbuka untuk 350
orang umat muslim dari berbagai bangsa dan negara. Bagi saya ini suatu
pengalaman yang mungkni saja tak bisa saya dapatkan di negara asal saya.
Kebersamaan dari awal perencanaan menyusun menu, berbagi dengan ibu-ibu yang
lain, sampai detik-detik akhir pelaksanaan iftar (buka puasa) itu berakhir
dengan baik, sesuatu yang sangat menyenangkan, Subhanallah....
Banyak pelajaran dan ilmu yang bisa saya
petik dari amanah yang saya emban itu. Saya bisa belajar
bijaksana dalam menampung semua aspirasi dari teman-teman. Tidak egois. Harus sabar dalam mendisukisan segala
sesuatu yang berkaitan untuk kemaslahatan kami bersama. Bagi saya pribadi, ini
merupakan kehormatan dan saya sangat berterimakasih. Saya rindu kebersamaan itu. Bahkan setelah bertahun-tahun kami terpisah
jarak dan waktu.
Begitulah, kalau saja laman blog saya ini
merupakan lembaran novel, rasanya saya ingin mengurai cerita lebih panjang
lagi. Begitu banyak kenangan indah yang saya rasakan selama mendampingi suami
melanjutkan sekolah di Urbana Illinois, USA itu. Dari pengalaman berharga itu,
saya pun belajar untuk pandai membawa diri. Terutama tentang pelajaran bahwa
dimanapun kita berada, hidup akan terasa selalu indah jika kita tak lalai untuk
senantiasa bersyukur dan menikmatinya. Buktinya, saya susah move on dari kenangan itu. [Wylvera W.]
Note: Postingan pertama (FB)
Pengalamannya menarik sekali mba, Ramadhan jauh dari keluarga besar di negeri yang minoritas muslim..tentu jadi kenangan tersendiri ya
BalasHapusIya, sudah lebih dari lima tahun terlewati tapi tetap aja ngangeni pas bulan puasa begini. :)
HapusBetul mbak. Menjalankan Ramadhan di negara mayoritas non muslim mmg meninggalkan byk cerita dan kesan. Tantangannya itu. Kasihan anak2, yg masih belajar tp dihadapkan dgn kondisi yg penuh godaan.
BalasHapusIya, terkadang mereka nyaris menyerah dan pengin berbuka ketika pulang sekolah. Tapi, untunglah akhirnya bisa mulus sampai finishnya. :)
HapusPengalaman yang menyenangkan ya, Mbak. Betul, di mana pun berada bila bersyukur dan menikmatinya akan terasa indah :)
BalasHapusBetul, Mas. Itu yang terpenting ketika harus hidup merantau. :)
Hapuskalo susah move on yang ini, ga pa-pa, kok mba Wiek ^_^
BalasHapusHahaha ... padahal sudah basiii banget kenangannya tapi tetap merindukannya. :)
HapusBisa bayangin beratnya berpuasa di negeri orang dengan waktu lebih panjang
BalasHapusIya, tapi kita berusaha menjalaninya dengan rasa syukur, Mbak. :)
HapusJustru kayanya di negeri orang terasa lebih syahdu dan nikmat puasanya. Temen2 yg sedikit itu saling support dan kehangatan kluarga terasa bgt. Di Indonesia malah makin menghilang kebersamaan kya gitu.. yg ga puasa dgn asyiknya n tanpa dosa mln di depan kita.... entah lah perasaanku aja x ya tp Ramadhan sekarang ini jauh beda dari yg dulu2
BalasHapusEh kok malah curhat :p
Iya, untuk kesyahduan dan nikmatnya memang lebih berasa ketika berada bersama teman-teman sebangsa. Perjuangan yang terasa itu jika kita berada di dekat mereka yang tidak menjalankannya ibadah serupa dengan kita.
HapusEntahlah, untuk Indonesia tercinta ini. Pelan-pelan semua seolah berubah dari yang semestinya. *ikutan curhat deh* :)
nice experience ...
BalasHapusThanks, ya :)
HapusMba, wiek, ini pengalaman berharga ya, karena tentu sangat berbeda rasa dan nuansanya dengan di negeri ini.
BalasHapusSenang membaca ini
Iya, Mbak.
HapusMakasih ya sudah mampir. :)