Sabtu, 14 Februari 2015

PIPEBI dan Kepedulian Sosial



Oleh Ny. Wiwiek Indra Gunawan

Aku bagian dari ini (dokpri)
            Siapa bilang perempuan Indonesia masa kini hanya pandai berbelanja dan peduli dengan kecantikan serta keindahan penampilan semata? Siapa bilang mereka hanya mementingkan diri dan keluarganya saja serta tidak peduli pada lingkungannya?
            Eitt ... tunggu dulu. Kini sudah banyak perempuan Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di sekelilingnya. Kita tidak perlu menelusuri satu per satu seperti apa bentuknya. Beritanya banyak yang sudah dimuat di media sosial. Kita tinggal membaca dan melihat ragam kegiatan yang mereka lakukan untuk mengaplikasikan makna dari kepedulian sosial ini.
Kepedulian berasal dari kata “peduli” yang diartikan sebagai memperhatikan atau menghiraukan. Maka kepedulian bermakna sebagai sikap atau cara kita memperhatian sesuatu. Dengan demikian kepedulian sosial berarti memperhatikan atau menghiraukan orang lain. Kalau ditelusuri lebih jauh, makna dari kata kepedulian sosial sangatlah luas. Namun kita simpulkan saja bahwa kepedulian sosial adalah kegiatan yang mengandung unsur perbuatan baik kepada sesama manusia.
Ragam komunitas perempuan Indonesia yang fokus pada masalah-masalah kemiskinan serta peningkatan ekonomi pun telah menjamur. Tidak terkecuali pada komunitas ibu-ibu istri pegawai di instansi-instansi pemerintah dan swasta. Di samping membentuk komunitas sesama istri pegawai, mereka juga terjun ke masyarakat bawah yang membutuhkan bantuan.
Kita mengenal sebutan Dharma Wanita bagi para istri Pegawai Negeri Sipil di negeri tercinta ini misalnya. Dharma Wanita memiliki tugas pokok yaitu, “Membina anggota, memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, serta meningkatkan kepedulian sosial dan melakukan pembinaan mental dan spiritual anggota agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian serta berbudi pekerti luhur”. (sumber: Wikipedia)

Lalu apa hubungannya dengan PIPEBI?
            Seperti Dharma Wanita, di Bank Indonesia kita juga memiliki komunitas yang terdiri dari para istri pegawai dengan nama Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI).  Tugas pokok yang tercantum dalam Dharma Wanita juga dimuat dalam tujuan dibentuknya komunitas Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia. Maka PIPEBI berdiri tidak semata-mata untuk merangkul para istri pegawai tanpa visi dan misi yang jelas.
Sebagai anggota PIPEBI kita semua tahu bahwa komunitas ini dibentuk agar para istri pegawai mampu mengembangkan kreativitas serta terus belajar bersosialisai dalam ragam kegiatannya. Salah satu contoh adalah kegiatan yang bersentuhan dengan kepedulian sosial. Hal ini juga menjadi bagian mendasar yang tercantum di program kerja PIPEBI.
Di berbagai ragam program kerjanya PIPEBI telah mengambil bagian kepedulian terhadap permasalahan sosial dan lingkungan, meningkatkan kapasitas diri, membangun serta membina sisterhood di antara para anggotanya. Di setiap program kerja tahunannya PIPEBI selalu memuat kegiatan-kegiatan yang merupakan bentuk kepedulian sosial.
Beberapa contoh bentuk kepedulian sosial itu seperti; menyantuni anak yatim di bulan Ramadan, mengunjungi dan memberikan bantuan kepada PAUD secara berkala, memberikan santunan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, menjadi pendonor darah, serta ikut terlibat memberi sumbangan pada korban bencana alam.
Sebagai makhluk sosial, kita tidak mampu untuk hidup sendiri. Kita pasti membutuhkan orang lain walaupun hanya dalam kapasitas kecil. Untuk itu kita terkadang perlu bergabung dalam suatu organisasi atau wadah kebersamaan. Kita bisa belajar membuang sifat egois dan materialistis sehingga kita bisa mengembangkan rasa kepedulian sosial itu kepada objek yang lebih luas lagi. Tidak hanya terhadap sesama anggota dan lingkungan terdekat.
PIPEBI adalah wadah yang sudah dibentuk untuk pengaplikasian rasa kepedulian sosial sesama anggotanya. Tinggal kitalah yang memilih seperti apa bentuk aplikasi itu, baik ke dalam maupun ke luar. [Majalah Insani PIPEBI, Rubrik Sketsa, edisi Januari 2015]


Rabu, 04 Februari 2015

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan UU ITE

Saat membaca undangan di grup Learning Forever, saya langsung tertarik. Apa itu Learning Forever? Grup ini adalah tempat para blogger yang pernah ikut di Workshop "Fun Bloging" dengan pemateri tiga perempuan cantik; Ani Berta, Haya Aliya Zaki, dan Shinta Ries.
Kembali ke undangan yang di-share di grup tersebut. Isinya adalah tentang “Dialog Kemerdekaan Berekspresi di Media Sosial Indonesia” yang digelar oleh Forum Demokrasi Digital (fdd). Sebagai pengguna media sosial yang hampir tidak pernah absen setiap harinya, saya juga ingin tahu apa yang perlu dipahami. Namun, mengingat akan ada pembahasan undang-undang di situ, saya yakin topik yang akan dibahas cukup berat. Namun, saya berharap akan banyak pengetahuan baru yang bisa saya dapatkan di acara itu, terutama yang terkait dengan penggunaan media sosial.

Ini undangannya (foto dari LF)
Untuk alasan itu, di hari Selasa, 3 Februari 2015, pagi-pagi sekali saya sudah bersiap untuk berangkat. Saya sengaja ikut dengan suami yang tempat kerjanya searah dengan lokasi acara (Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta Pusat). Di undangan terjadwal acara akan dimulai pada pukul 08.30 WIB. Jadi, saya pikir sudah paslah jika saya ikut sekalian dengan suami.

Setelah mengantar suami ke kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, saya pun langsung meluncur ke lokasi acara. Saat tiba depan ruangan acara, suasana masih terlihat sepi. Di meja penerima tamu saya bertemu dengan Mas Eddy Prasetyo a.k.a Mataharitimoer. Kepada beliaulah saya mendaftar sebagai peserta undangan beberapa hari sebelumnya. Setelah berbincang sebentar saya akhirnya masuk ke ruangan.
Belum ada pesertanya:) (dokpri)
Ternyata ada yang lebih pagi datangnya dari saya. Setelah saling berkenalan, saya akhirnya tahu kalau mereka adalah pasangan suami istri yang akan berbagi di acara dialog itu. Bagi yang tidak pernah absen memantau perkembangan berita, pasti tahu nama Ervani Emi Handayani. Dialah salah satu korban UU ITE yang belakangan santer jadi objek berita di media. Ervani datang dari Jogjakarta bersama suami.
Saya dan Ervani (dokpri)
Wah! Saya senang sekali bisa berkenalan dan berbincang lebih dulu dengan mereka. Tanpa sungkan Ervani bercerita tentang kasus yang telah menimpanya kepada saya. Gara-gara memasang status di akun facebook, terkait ketidakpuasan dan kritik terhadap perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja (ini salah satu link beritanya), Ervani dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dari pengalaman pahit beliau, saya bisa memetik pelajaran penting dalam adab dan etika bersosial media.
Mas Banyumurti sebagai moderator acara (dokpri)



Setelah menunggu sekitar satu jam lebih, acara pun dibuka oleh Moderator, Indriyanto Banyumurti (Relawan TIK). Pada kata pembuka yang disampaikan, Mas Banyu menginformasikan bahwa acara dialog bersifat diskusi cair dan santai. Semua yang hadir diperbolehkan mengajukan pertanyaan, pendapat, serta masukan sesuai dengan topik yang akan dibahas.

Mas Ipul Gassing (dokpri)
Serius menyimak (dokpri)
Selanjutnya, paparan pertama disampaikan oleh Ipul Gassing, mewakili SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara. Ipul memaparkan beberapa kasus pelanggaran kebebasan berinternet di Indonesia yang tercatat oleh SAFENET sejak tahun 2008 – 2014. Sejak tahun 2008, UU ITE telah melahirkan 74 kasus dan tersebar di dunia maya dan dicatat oleh SAFENET.

“Kami percaya, masih banyak lagi kasus di luar itu yang tidak sempat tercatat oleh SAFENET,” ujar Ipul.

Dalam lanjutan paparannya, Ipul menyebutkan bahwa ada 53% kasus (30% dengan rata-rata 4 kasus perbulannya) terjadi di tahun 2014 terkait dengan status di internet. Sebarannya terjadi mulai dari Aceh sampai ke Sulawesi Selatan (Makasar). Sebanyak 92% kasus yang dilaporkan adalah tindakan pencemaran nama baik, baik di akun facebook, SMS, twitter, bahkan di ranah yang dianggap tertutup, seperti line group. Namun, menurut catatan SAFENET, kasus serupa belum pernah terjadi di Timur karena kesulitan berinternet di sana.

Sementara, 71% dari kasus tersebut dibawa ke pengadilan dan 13% dinyatakan bersalah serta menerima hukuman di bawah 1 tahun penjara. Sisanya selesai begitu saja tanpa kejelasan. Lalu, 37% dari 74 kasus tadi, dilaporkan oleh pejabat publik. Pejabat publik ini melaporkan warganya yang telah mencemarkan nama baik lewat media sosial.

Ipul memaparkan contoh terkait dengan pencemaran nama baik tersebut. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan yang melibatkan Muhammad Arsad sebagai pelakukanya. Arsad mengkritik kebijakan pejabat Selayar melalui status BB-nya. Status itu membuat Arsad dilaporkan telah mencemarkan nama baik. Tidak hanya dipenjara, Arsad juga dicopot dari jabatannya.

Sesi berikutnya diselingi dengan acara launching buku rangkaian seri “Internet untuk Semua”, hasil penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Buku diserahkan secara simbolis oleh Wahyudi Djafar (wakil dari ELSAM) kepada Ervani Emi Handayani (salah satu korban UU ITE). Ada empat rangkaian seri buku yang di-launching pada acara tersebut.

Penyerahan buku ELSAM secara simbolis (dokpri)
Di dalam buku berjudul “Membelenggu Ekspresi” yang disusun oleh ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) itu dikatakan, bahwa meningkatnya penggunaan internet telah berdampak pada terjadinya peningkatan jumlah kasus dan jenis kejahatan dunia maya. Berangkat dari sana, maka dibuatlah sejumlah kebijakan yang dimaksudkan bisa mengontrol dan mengawasi penggunaan internet, yang dibarengi dengan ancaman pemidanaan.

Kebijakan ini khususnya yang terkait dengan konten internet itu sendiri. Ada dua isu penting terkait dengan pengaturan konten internet, yaitu isu mengenai pembatasan dan penyaringan konten, serta pemidanaan terhadap pengguna akibat konten yang disebarluaskan. Ini pula yang menjadi bagian pembahasan dalam dialog.

Acara berikutnya adalah sharing pengalaman pahit yang telah menimpa para korban implementasi UU ITE. Sharing pertama disampaikan oleh Wisniyetti, salah satu korban UU ITE asal Bandung. Wisniyetti terjerat Pasal 27 ayat 1 terkait dengan isi chat-nya di inbox facebook dengan salah satu temannya. Karena kasusnya masih berjalan, maka saya tidak bisa menuangkan secara rinci di catatan ini.

Sharing berikutnya disampaikan oleh Ervani Emi Handayani. Dia menyampaikan kronoligis kejadian yang telah menyeretnya ke ranah hukum. Seperti yang telah disampaikan Ervani kepada saya sebelumnya, kasusnya bermula dari status yang dia buat di akun facebooknya. Dalam status tersebut Ervani menyampaikan ketidakpuasan dirinya dan suami atas perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja. Ervani dituduh mencermarkan nama baik dan saat ini sudah dinyatakan bebas.
Ervani menyampaikan kasusnya di forum dialog (dokpri)
Berikutnya, Muhammad Arsad yang terjerat pasal 27 ayat (3) karena menulis hal yang dianggap melecehkan salah satu pejabat di Makasar di status Bbm-nya. Kata-kata yang dituliskannya akhirnya menyeretnya hingga ke penjara selama 100 hari.

“Kebanyakan orang-orang yang terjerat Pasal 27 ini adalah karena mereka melakukan kritik terhadap apa yang dianggapnya tidak benar, namun akhirnya membahayakan diri mereka sendiri,” ujar Arsad.

Ketiga korban pada prinsipnya meminta dukungan para pengambil kebijakan terkait dengan hukum dan masalah yang telah dan sedang mereka hadapi di ranah maya (media elektronik). Semuanya itu merujuk pada UU ITE Pasal 27.

Lalu, ada apa sih dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE ini? Dalam buku Problem Pasal Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya, disebutkan bahwa dalam UU ITE pada Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dilihat dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa secara umum elemen-elemen kejahatan dalam pasal ini melibatkan:

1. Setiap orang
2. Dengan sengaja dan tanpa hak
- mendistrribusikan
- dan/atau mentransmisikan
- dan/atau membuat dapat diaksesnya
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
4. Yang memiliki muatan
- penghinaan dan/atau
- pencemaran nama baik

Sementara dari apa yang saya pahami (sebagai masyarakat awam yang suka nge-blog, punya akun facebook, twitter, dan suka juga chattingan), dari implementasi UU ITE ini, khususnya Pasal 27 ayat (3), ternyata cakupannya cukup luas dan multitafsir. Kekuatannya tidak hanya pada orang yang membuat muatan internet secara bebas, tetapi juga moderator serta pengguna lain yang ikut meneruskan muatan tersebut.

Untuk itu, banyak pihak berharap agar pasal-pasal dalam UU ITE itu dirumuskan ulang. Sebagai pengguna media sosial, saya dan kita semua menginginkan agar UU ITE terkait pasal-pasal yang sifatnya multitafsir tadi, direvisi menjadi ketentuan yang tidak mengekang kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi.

Selanjutnya mengapa Forum Demokrasi Digital (ffd) memfasilitasi untuk menggelar diskusi terkait dengan Undang Undang ITE? Dari kasus-kasus yang telah terjadi, dikhawatirkan bahwa UU ITE akan menjadi alat baru yang bisa digunakan oleh penguasa untuk membungkam para pengkritiknya.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu juga dirasakan bisa sangat merugikan para pengguna media sosial. Rumusan pada pasalnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, karena sangat rentan pada penafsiran apakah suatu protes serta pernyataan pendapat/pikiran dapat dikategorikan sebagai penghinaan.

Atas semua kekhawatiran yang sedemikian memuncak itulah, dialog digelar. Dialog ini bertujuan membahas usulan revisi atau bahkan penghapusan terhadap Pasal 27 Junto pasal 45 ayat 1 di UU ITE, yang mengatur tentang hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ini diharapkan menjadi prioritas Legislasi pertama komisi I DPR RI di tahun 2015 ini.
Bapak Rudiantara menyampaikan tanggapannya (dokpri)
Bapak Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika RI) yang hadir di acara dialog tersebut, memberikan pendapatnya. Pada dasarnya beliau akan terus berupaya melakukan upaya peninjauan ulang terhadap UU ITE Pasal 27 ayat (3) tersebut. Menurut Rudiantara, sebenarnya UU ITE yang telah berjalan selama ini sudah memberikan keuntungan kepada semua pihak pengguna Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurutnya lagi, sebenarnya yang menjadi dasar permasalahan bukan pada pasalnya, tapi lebih pada penerapan Pasal 27 ayat (3) tersebut.

“Kalau aparat hukum mau menerapkan Pasal 27 ayat (3) itu dengan sanksi hukum di atas 5 tahun, pertama harus berhati-hati, kedua harus mempunyai kapasitas yang memadai,” tambah Rudiantara.
Ibu Meutya Hafid (Anggota Komisi I DPR RI)
Apa yang disampaikan oleh Menkominfo, sejalan dengan paparan Meutya Hafid (Anggota Komisi 1 DPR). Pada prinsipnya usulan dan masukan revisi terhadap Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (3) akan tetap diakomodir. Menkominfo juga berjanji akan mengawal revisi UU ITE pada Program Legislasi Nasional 2015. Namun tetap harus mengikuti proses terkait yang semua bermuara pada proses politik di DPR. 
Foto bersama (Sumber foto: Mataharitimoer Mt)
Saya dan Menkominfo (dokpri)


Acara berakhir pada pukul 13.30 WIB dan ditutup dengan makan siang bersama. Dengan berakhirnya acara tersebut, hasil dialog yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan (mewakili para pengambil kebijakan), para korban, pemerhati internet/demokrasi digital, civil society organization, dan para blogger ini diharapkan akan memberikan masukan yang konstruktif terhadap usulan revisi UU ITE Pasal 27 ayat (3). [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...