Bermula
dari informasi yang dibagi oleh salah satu teman di grup WhatsApp. Beliau bertanya apakah ada teman-teman di grup yang bisa
mengisi pelatihan menulis di sekolah alam yang berlokasi di Parung Bogor. Beberapa
merespon tapi belum ada yang pasti bisa mengisi. Sebelum ikut
merespon, saya sempat browsing
sebentar tentang profil sekolah alam tersebut. Wah! Melihat sekilas sekolahnya,
saya langsung antusias untuk berkunjung ke sana. Saya mencoba menjapri beliau (Dewi
Liez) dan bertanya seperti apa konsep model pelatihan yang diinginkan.
Ini chat saya dengan Mbak Dewi |
Ini chat dengan Mbak Iin |
Akhirnya
kesepakatan terjadi. Saya dihubungkan dengan salah satu orangtua murid dari
sekolah itu. Respon hangat dan menyenangkan kembali terjadi. “Pucuk di cinta
ulam pun tiba”. Iin Savitry (nama orangtua murid itu) ternyata sudah mengenal
profil saya. Bahkan anak beliau katanya nge-fans
ke saya. Tersanjung banget baca komentarnya. Obrolan singkat pun terjadi dan
akhirnya kembali menghasilkan kesepakatan. Saya kembali dihubungkan dengan
salah satu guru dari sekolah itu untuk membicarakan teknis pelatihan. Tidak
berpanjang-panjang diskusi, mereka menyetujui konsep yang saya ajukan. Maka,
saya pun bersiap menyusun materi tayangan.
Menyiapkan materi sesuai tema yang
diminta
Dari hasil obrolan dengan Iin, kegiatan
pelatihan menulis ini merupakan rangkaian dari acara “Literacy Fair” yang
puncaknya akan digelar pada tanggal 4 November 2017. Di acara puncak nanti, setiap siswa (kelas 3
– 6) diminta membuat karya tulis dengan tema besar “Aku dan Rasulullah saw.”
Oleh sebab itu, saya diminta untuk memberikan materi panduan agar anak-anak
paham bagaimana menuliskan karyanya tentang tema tersebut. Saya juga diingatkan
bahwa karya tulisnya bukan artikel ilmiah. Anak-anak hanya diminta bercerita
lewat tulisan saja.
Dua hari sebelum hari “H” saya pun
sibuk menyiapkan materi. Sementara langkah-langkah menulis cerita serta
motivasi untuk mulai semangat menulis tetap menjadi panduan pembukanya. Tema
“Aku dan Rasulullah saw” Saya jadikan contoh dalam penerapan langkah-langkah
menulis tersebut. Bongkar pasang materi dengan template PowerPoint yang sudah ada akhirnya kelar.
Lelah
efek kemacetan akhirnya terbayar
Hari Kamis, 12 Oktober 2017 pun
tiba. Pagi-pagi sekali saya sudah siap untuk berangkat menuju Sekolah Alam –
School of Universe, Parung Bogor. Perjalanan pagi dari Bekasi yang luar biasa
macetnya menjadi pelengkap perjuangan menyetir agar tiba tepat waktu di sekolah
itu. Rasa cemas mulai mengganggu ketika jam di mobil sudah melewati angka delapan.
Saya harus tiba di sekolah itu tepat pukul 08.30 WIB. Sementara acara pelatihan
akan dimulai pada jam sembilan.
Alhamdulillah, dengan menambah kecepatan
menyetir, saya dan asisten (keponakan saya) yang ikut menemani akhirnya tiba di
sekolah itu kurang dari waktu yang dijanjikan. Begitu turun dari mobil,
kecemasan dan rasa lelah tiba-tiba menguap. Udara alam terbuka yang disuguhkan
oleh School of Universe begitu memanjakan pandangan saya. Ditambah sambutan
hangat para guru (mereka menyebut dirinya fasilitator/fasil) dan Iin Savitry
membuat saya lupa kalau sudah degdegan menyetir selama dua jam lebih dari
Bekasi.
Langsung segar melihat penampakan sekolahnya seperti ini |
Nama “Sekolah Alam” yang digagas
oleh Bapak Lendo Novo ini memang layak disandingkan pada School of Universe.
Lendo Novo yang pernah meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia
(MURI, 12/09/2009) telah mendesain School of Universe menjadi sekolah yang
menyenangkan. Area luas yang ditumbuhi oleh pepohonan dan bunga-bungaan
benar-benar menampilkan model sekolah alam yang sesungguhnya. Ruang-ruang kelas
yang dindingnya terbuat dari papan dan didesain semi terbuka itu membuat mata
saya mendadak fresh. Mood saya langsung melonjak karena tak
sabar ingin segera bertemu dengan peserta pelatihan.
Naluri buat berfoto mendadak kambuh :) |
Pukul 08.45,
saya diajak menuju lokasi pelatihan yang sudah disiapkan pihak sekolah. Sambil
berjalan menuju tempat yang mereka sebut joglo itu, mata saya masih saja
jelalatan memandangi area sekitar yang begitu sejuk dan asri. Betapa anak-anak
yang bersekolah di situ betah berlama-lama menikmati alam terbuka sambil
menimba ilmu.
Pelatihan
menulis cerita
Ketika sampai di joglo, saya
memandangi sekilas wajah anak-anak yang terlihat sama tak sabarnya menunggu
kehadiran saya. Dengan sigap para fasil mengatur duduk mereka agar terlihat
rapi sebelum acara dimulai. Dari 75 orang yang akan mengikuti pelatihan, lebih
dari setengahnya adalah murid laki-laki.
Surprise!
Baru
kali ini saya mendapatkan peserta pelatihan yang didominasi oleh anak laki-laki
usia sekolah dasar dan terlihat bersemangat ingin mendapatkan ilmu menulis. Saya
senyum-senyum sendiri melihat tatapan mata mereka yang tak lepas memandangi
saya yang bersiap menyuguhkan ilmu menulis.
Bu Ana membuka acara |
Pelatihan menulis dibuka oleh Bu Ana
(salah satu fasil) dengan mengenalkan saya kepada anak-anak yang telah duduk
rapi. Tidak lama, Bu Ana langsung menyerahkan acara kepada saya. Salam pun saya
ucapkan untuk memulai sesi pelatihan. Sekilas saya mengenalkan diri kembali.
Sebelum memulai pelatihan, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka.
Diantaranya tentang alasan mereka berkumpul dan menunggu saya di tempat itu.
Spontan mereka menjawab “Mau belajar menulis ceritaaa …!” Jawaban penuh rasa
semangat itu membuat saya yakin dan segera membuka materi pertama.
Pelatihan pun dimulai |
Tayangan dari materi pertama yang
saya tampilkan adalah tentang sebuah pertanyaan “Saya ingin menulis, apa yang
harus saya lakukan?” Lagi-lagi spontan mereka mengangkat tangan dan berebutan
menjawab. “Harus ada alat tulis!”, “Pakai cerita!” “Ada temanya!” Lalu
sayup-sayup terdengar seorang anak menjawab, “Harus ada ide!”
Saya membenarkan semua jawaban
mereka dan melengkapi jawaban dengan slide
berikutnya. Saya sampaikan bahwa keinginan mereka untuk menulis harus diawali
dengan niat, keyakinan, fokus, kekonsistenan, dan kedisplinan. Mendadak
ekspresi mereka berubah takjub sambil menatap ke layar infokus. Lucu
melihatnya.
Selalu ada saja yang nggak fokus tapi itu biasaaa ;) |
Setelah saya paparkan satu per satu
dari lima modal awal itu, barulah saya tanyakan lagi hal apa lagi yang mereka
perlukan saat menulis. Kembali mereka berebutan menjawab. Dua anak lantang
berseru, “Ideee …!” Jawaban kedua anak yang bernama Melodi dan Alya itu sangat
tepat. Selanjutnya Melodi dan Alya pula yang berulang-ulang saya jadikan contoh
di sela-sela pemaparan materi. Mereka tersenyum-senyum malu.
Melodi (jilbab hijau) dan Alya (jilbab cokelat) |
Setelah saya menyampaikan tahapan
awal menulis, terlihat sekali anak-anak itu mulai tak sabar ingin
memraktikannya. Saya lanjutkan materi dengan langsung memberikan contoh tema
besar tentang “Indahnya Akhlak Rasulullah saw”. Pelan-pelan saya jelaskan bagaimana
cara agar ide tentang tema besar itu bisa dijadikan sebuah cerita menarik dan
memberi kesan buat pembaca. Mulai dari mengemas pohon ide sampai kepada rantingnya.
Memberikan contoh cara menciptakan konflik/kendala pada cerita, memunculkan
karakter tokoh, menjelaskan tiga unsur besar (tema, setting, alur) dan unsur
penting lainnya yang dibutuhkan dalam menulis cerita. Tak lupa saya berikan tips
agar tidak kesulitan membuat judul.
Untuk lebih memudahkan mereka
memahami apa yang sudah saya jelaskan, saya juga memberikan contoh bagaimana
cara membuat pendahuluan dalam cerita, seperti apa bentuk konflik/tantangan
itu, dan bagaimana mengemas ending
(akhir) dan penutup cerita agar memberi kesan mendalam bagi pembacanya. Mata mereka
tak lepas-lepas memandangi saya dan sesekali menatap layar.
Contoh cara membuat konflik/kendala cerita |
Di awal pertemuan dengan beberapa
fasil, saya diminta memaklumi jika dalam pelatihan akan sulit mengarahkan
anak-anak. Namun selama dua setengah jam di sesi pertama, saya justru tidak
merasa terganggu. Anak-anak peserta pelatihan yang terdiri dari kelas 3, 4, 5,
dan 6 itu relatif fokus. Padahal katanya anak-anak itu sangat kreatif, aktif,
dan terkadang susah diajak duduk tenang. Ada sekitar lima anak yang
berkebutuhan khusus juga diikutkan dalam pelatihan itu. Satu anak sesekali lari
ke depan dan mengambil mic yang saya
pegang. Yang lainnya ada yang menangis juga tapi semua itu bukan kendala besar
dan tak terlalu sulit menenangkannya kembali.
Betapa
bahagia dan bersyukurnya karena sedikit pun saya tidak merasa kesulitan
mengajak anak-anak itu untuk tenang dan konsisten fokus menyimak materi yang
saya sampaikan dari awal hingga akhir.
Games
dan jokes sebelum sesi praktik
Jangankan anak-anak, orang dewasa
saja terkadang sulit untuk mempertahankan ritme agar tidak bosan saat menyimak
materi yang disajikan lebih dari dua jam. Gestur seperti itu tentu sesekali
terlihat pada beberapa anak School of Universe yang menjadi peserta pelatihan
menulis itu. Namun, tidak terus-menerus dan tidak terlalu mengganggu.
Dari sekian banyak pengalaman
menjadi pemateri di pelatihan menulis untuk anak-anak yang pernah saya lakoni,
kekuatan joke dan celetukan jenaka
bisa mencairkan suasana bosan. Ditambah games
menarik terkait materi juga mampu membuat perhatian anak-anak peserta pelatihan
itu tetap terjaga. Tips itu pula yang
saya lakukan pada pelatihan menulis di sekolah alam tersebut.
Saya bertanya siapa di antara 75 anak
yang ada di joglo itu mau ke depan. Suara riuh dan saling berebut tunjuk tangan
sambil menyebut “Saya, Bu …!” kembali menggaung. Akhirnya saya memilih tiga
murid laki-laki (Faruq, Hanif, dan Kayne) untuk maju. Walaupun tidak ada hadiah
yang disediakan untuk permainan itu, keantusiasan mereka tidak surut. Tidak
hanya Faruq, Hanif, dan Kayne yang asyik dalam permainan, saya tetap melibatkan
semua anak untuk memandu ketiga teman mereka yang ada di depan. Terciptalah
suasana menyenangkan yang kembali membuat mereka rileks sebelum mengawali sesi
praktik menuliskan ceritanya.
Praktik
menulis sesuai tema
Tibalah sesi praktik menulis yang
hasilnya akan diperlombakan untuk mendapatkan hadiah. Setelah kertas bergaris
dibagikan, saya pun menampilkan tema apa yang harus mereka jadikan cerita di
layar. Saya meminta mereka menulis tentang tema “Aku dan Rasulullah saw.” Tema
inilah yang akan dijadikan bahan pameran di acara puncak “Literacy Fair” di
sekolah itu.
Mereka
saling berpandangan dan terkesan senang. Di awal saya memang sempat mendengar
informasi bahwa saat anak-anak ini diminta menuliskan tema tersebut, mereka
masih bingung mau menuliskan apa. Itu sebabnya saya diundang untuk memberikan
panduan menuliskannya. Itu pula yang membuat binar di mata mereka spontan
terpancar. Alhamdulillah … saya senang melihat ekspresi itu.
Sekitar
45 menit mereka saya beri waktu untuk menuangkan ide-idenya terkait tema yang
diberikan. Tentu saja tidak semua anak bisa langsung berkreasi menuangkan
idenya menjadi sebuah cerita. Tetap ada saja yang masih bingung dan dalam
sepuluh menit waktu berjalan, kertasnya masih kosong. Hal ini wajar karena
kemampuan anak dalam menyerap ilmu tentu berbeda.
Ada yang masih bingung memulai ceritanya |
Saya
hampiri beberapa anak yang masih bingung itu. “Saya memang sudah pernah dengar
cerita Rasulullah tapi saya lupa, Bu. Gak tau mau nulis apa,” ujar salah satu
dari anak yang bingung itu. Tidak ingin mematahkan semangatnya, saya justru
menyemangati untuk tetap menulis cerita tentang mengapa dia lupa pada kisah
itu. “Jangan bingung. Kelupaan kamu pada kisah Rasulullah saw. tetap bisa
menjadi sebuah cerita yang menarik. Ayo ceritakan kenapa kamu bisa lupa padahal
dulu kamu pernah mendengar cerita Rasulullah dari guru kamu,” ujar saya
memancing agar ide itu muncul di kepalanya. “Ooo … boleh nulis gitu ya, Bu?”
tanyanya lugu. Saya mengangguk mantap. Matanya kembali berbinar dan mulai menulis.
Ada
juga anak yang katanya paling susah kalau disuruh menulis karena ia tidak suka.
Mencatat bahan pelajaran pun hampir tak pernah dilakukannya. Bu Ana
menceritakan itu di akhir sesi. Untunglah saat sesi praktik, saya menemukan
anak itu. Mungkin tanpa sadar saat saya bertanya “Adakah yang belum menuliskan
satu kata pun?” anak itu mengangkat tangannya. Dengan lantang ia berseru, “Bingung
mau nulis apaan!”
Lagi-lagi
tidak ingin mematahkan semangatnya untuk ikut serta berlomba menulis, saya
meminta ia menuliskan tentang rasa bingung itu. Mengapa ia bingung mau
menuliskan apa? Apakah ia tidak ingat atau belum pernah mendengar kisah tentang
Rasulullah? Sebisa mungkin saya arahkan anak itu untuk memancing ide di
kepalanya agar bisa dijadikan tulisan. Tidak mengapa jika apa yang ditulisnya
tidak sesuai dengan tema, yang penting ia mau memulainya.
Cerita
terbaik mendapat hadiah
Setiap memberikan pelatihan menulis,
saya berusaha untuk tidak pelit membawa hadiah. Biasanya hadiah yang saya bawa
berupa buku-buku karya saya sendiri, buku kompilasi, dan buku-buku karya
anak-anak saya yang stoknya masih ada di rumah. Di samping itu, saya juga
selalu menanyakan apakah pihak penyelenggara juga mau menyediakan hadiah. Hadiah
dari saya biasanya tidak saya beritahu kepada panitia. Saya jadikan itu sebagai
kejutan agar peserta pelatihan merasa lebih bersemangat saat mengikuti sesi
praktik menulisnya.
Ini sembilan cerita yang terpilih |
Di awal sesi praktik saya sampaikan
bahwa selain hadiah dari pihak sekolah, saya juga akan memberikan bonus hadiah
untuk mereka yang berhasil menulis cerita yang keren. Mendengar itu, anak-anak
terlihat bersemangat dan tak sabar untuk memulai menuliskan cerita mereka.
Ini para pemenangnya ... eh, satu lagi ke mana ya? |
Lebih 45 menit mereka berlomba
menuliskan cerita bertema “Aku dan Rasulullah saw”. Saya pun diberi waktu untuk
membaca dan memilih para pemenangnya di saat mereka salat dan makan siang. Terpilih
sembilan cerita terbaik. Penulisnya terdiri dari murid kelas 3, 4, 5, dan 6.
Ada
pertemuan tentu ada perpisahan
Usai sudah pelatihan menulis bersama
anak-anak Sekolah Alam – School of Universe, Parung Bogor. Saya tutup momen
kebersamaan di hari itu dengan kembali memotivasi agar mereka terus berlatih
dan menjadi terampil menulis. Saya katakana bahwa ingin menjadi apa pun mereka
nanti dan profesi apa saja yang ingin mereka tekuni, kemampuan menulis bisa
memperkaya keterampilan mereka. Saya yakinkan bahwa banyak sekali keuntungan
positif jika mereka mau melatih kemampuan menulisnya.
Bersama seluruh peserta dan panitia pelatihan menulis |
Sebelum benar-benar berpisah, kami
pun berfoto bersama. Ada satu hal yang membuat saya haru. Tiba-tiba seorang
anak laki-laki menghampiri saya dan berkata, “Bu … saya kok jadi pengin nulis
cerita tapi bukan pendek tapi cerita seperti buku cerita gitu. Ternyata gampang
ya, Bu. Jadi semangat saya,” ujarnya dengan mimik lucu penuh antusias. “Bu,
kapan lagi Ibu datang ke sini?” lanjutnya lagi membuat saya sempurna terharu. Saya
respon ia dengan balasan tak kalah antusias.
Terima kasih, School of Universe :) |
Semoga apa yang saya berikan di
sekolah alam itu bisa diserap dan jadikan bekal dalam kegiatan tulis – menulis.
Aamiin. Sampai jumpa di pelatihan lainnya. Salam. [Wylvera W.]