Kamis, 24 April 2014

Bertemu Calon Penulis Cilik di Sabang


Bersama siswa-i SDN 1 Sabang (doc. pribadi)
Saya akan mengawali catatan dari perjalanan ke Aceh – Sabang dengan pelatihan menulis. Sebab, inilah momen yang paling berkesan bagi saya selama empat hari berada di sana. Momen yang mungkin sulit untuk diulang kembali (tapi, saya berharap agar masih ada waktu berkunjung balik ke sana lho...hehe).
Rencana perjalanan kami menuju Serambi Mekah (salah satu sebutan untuk provinsi Aceh) sebenarnya sudah lama tercetus. Semua bermula dari obrolan iseng ketika dua teman alumni SMP/SMA) saya menjenguk Mira (anak saya) di rumah sakit. Itu terjadi pada akhir Januari 2014 lalu. Rencana yang kesannya lebih pada gurauan saja ternyata benar-benar menjadi kenyataan yang membawa saya sampai ke Sabang.
Dalam perkembangan rencana kami selanjutnya, saya mengajukan usul kepada teman-teman seperjalanan. Saya ingin kunjungan kami ke Aceh tak sekadar diisi oleh kegiatan wisata saja. Setidaknya ada kesan bermanfaat yang bisa menjadi catatan di momen itu. Usul saya tidak muluk-muluk, hanya minta diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman profesi menulis kepada anak-anak di sana. Mereka langsung menyetujui usulan tersebut dan mulai mencarikan sekolah untuk saya. Sekolah itu ada di Sabang, merupakan kepulauan di seberang Utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesarnya. Nama sekolah itu adalah SD Negeri 1 Sabang.  Dan di sanalah jodoh saya untuk berbagi. Bahagia sekali rasanya....
Di dermaga penyeberangan Ulee Lheue (doc. pribadi)
Singkat cerita, Jum’at pagi itu kami sampai di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh. Kapal feri yang kami tumpangi telah siap menyeberang menuju kota Sabang. Selain tak sabar ingin melihat Pulau Weh yang katanya eksotis itu, saya diam-diam membayangkan pertemuan dengan anak-anak di sekolah tempat saya akan berbagi ilmu dan pengalaman. Seperti apakah reaksi dan respon mereka melihat kehadiran saya nanti? Begitu yang berulang-ulang terbesit di kepala saya. Tanpa terasa perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 45 menit itu akhirnya berakhir di dermaga Sabang.
(doc. pribadi)
Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu, Sabtu, 19 April 2014. Tepat pukul 10.00  waktu setempat, saya dan dua teman lagi tiba di lokasi. Kehadiran saya sudah ditunggu oleh guru dan anak-anak murid di sekolah itu. Kami disambut ramah oleh Pak Ari (guru TIK di sekolah itu) dan salah seorang guru yang saya lupa namanya (maaf banget ya, Bu). Mereka menyampaikan permohonan maaf karena Ibu Kepala Sekolah tak bisa menyambut saya karena ada tugas penting di Banda Aceh.
Tiba di SDN 1 Sabang (doc. pribadi)
Tanpa membuang-buang waktu, kami pun diantarkan ke salah satu kelas yang letaknya di lantai dua gedung sekolah itu. Saya kagum pada sekolah ini karena tak seperti bayangan saya sebelumnya bahwa sekolah yang lokasinya berada di sebuah pulau ini ternyata cukup mapan dan sudah melek teknologi. Di atas meja sudah tersedia infocus. Meskipun tanpa layar, saya cukup senang karena tampilan dari PowerPoint (PPt) yang sudah saya kemas sedemikian rupa akan tetap terlihat ciamik pada pantulan di tembok ruangan itu.
Sambil menunggu semua anak yang katanya berjumlah lebih dari 50 siswa itu masuk ke ruangan, saya menyiapkan buku-buku hadiah dan sumbangan yang akan diberikan kepada sekolah. Siswa yang terpilih untuk mengikuti pelatihan menulis bersama saya terdiri dari murid-murid kelas 3, 4, 5, dan 6. Satu per satu mereka memasuki ruangan dengan senyum semangat.

Perkenalan (doc. pribadi)
 Setelah dibuka oleh guru mereka, saya pun langsung mengambil alih kelas. Seperti biasa setiap membuka kelas saya tak lupa memperkenalkan diri secara fun. Ini saya lakukan untuk memancing perhatian mereka agar tetap fokus hingga akhir pelatihan. Setelah suasana melebur dan saya merasa sudah tersambung dengan mereka, pelan-pelan saya menyajikan tampilan materi tentang dasar-dasar menulis cerita.  
Sambil menjelaskan materi saya tetap menjaga komunikasi dua arah dengan mereka. Dari sanalah saya menemukan bahwa ada salah satu murid yang pernah meraih juara di lomba menulis puisi tingkat kota Sabang. Namun, sedikit miris hati ini ketika saya bertanya tentang buku-buku anak yang pernah mereka baca.
Senang melihat mereka fokus (doc. pribadi)
“Siapa yang senang membaca buku cerita anak?” tanya saya memancing kejujuran mereka. Sesaat ruangan hening. Sekali lagi saya bertanya, barulah ada beberapa yang mengangkat tangan.
“Selain perpustakaan sekolah, di mana kalian mendapatkan buku-buku bacaan itu?” tanya saya lagi mengingat saya tak melihat satu toko buku pun di Sabang.
“Ada Bu, tapi tak lengkap. Kami juga bisa dapat kalau pesan ke Banda,” ujar salah satu siswa dengan logat Acehnya yang kental.
Begitulah, keterbatasan mereka dalam menemukan buku-buku bacaan anak ini membuat saya sedikit galau. Namun, melihat semangat mereka yang begitu tinggi untuk mendapatkan ilmu tentang menulis membuat saya kembali bersemangat berbagi pengalaman. Materi kembali saya lanjutkan. Komunikasi atau materi yang saya sampaikan tidak bersifat searah. Saya tetap meyelinginya dengan interaksi dua arah agar mereka tetap merasa terlibat di dalam kelas tersebut. Salah satu contohnya, mereka saya minta membuat karakter tokoh. 
Salah satu games untuk menguji kreativitas (doc. pribadi)


Yang mendapat hadiah games (doc. pribadi)
Setelah tiga perempat materi tentang menulis cerita hampir selesai, saya mengajak mereka bermain sejenak. Betapa senangnya saya melihat keantusiasan mereka. Semua berlomba ingin terlibat di games yang saya sajikan. Meskipun akhirnya tak satu pun dari mereka yang berhasil memecahkan salah satu teka-teki yang saya berikan di games tersebut, wajah mereka tetap ceria untuk terus menyimak materi pelatihan hingga ke sesi akhir.
Tibalah sesi praktik menulis cerita. Dua teman saya yang sejak tadi membantu di dalam kelas membagikan kertas folio bergaris kepada mereka. Saya meminta mereka menuliskan cerita sepanjang satu halaman folio dengan tema bebas. Mereka pun berlomba menuangkan idenya dalam waktu tiga puluh menit.
Semua tekun menulis cerita di sesi praktik (doc. pribadi)
Sebelum waktu habis, satu per satu dari mereka berhasil menyelesaikan ceritanya. Saya tetap meminta mereka bersabar menunggu teman-teman lainnya. Setelah semua tugas telah terkumpul, saya meminta dua teman saya membaca dan menyeleksi untuk menemukan tiga cerita terbaik dengan berpedoman pada kriteria yang telah saya berikan sebelumnya. Sementara teman-teman saya menyeleksi, saya mengajak anak-anak kembali bermain agar mereka tak bosan menunggu pengumuman cerita terpilih.
Games yang bikin anak-anak semangat (doc. pribadi)

Suasana kelas kembali riuh tapi cukup mennyenangkan. Semua anak sangat bersemangat bermain bersama saya. Di akhir permainan saya tetap memilih pemenang dan diberikan hadiah buku cerita karya saya. Serunyaaa!
Tibalah saatnya mengumumkan 3 cerita terbaik dari 57 cerita yang terkumpul. Penulis dan cerita yang terpilih adalah Jihan (Kenangan Terindah dalam Hidupku), Aura (Menyambut Masa Depan), dan Nanda (Belum Cukup Umur). Kepada ketiganya kembali saya berikan hadiah buku cerita karya saya. Selamat yaaa!
Tiga penulis cerita terbaik (doc. pribadi)
Sampai pada sesi yang selalu membuat saya kembali galau. Saya harus mengakhiri kebersamaan kami dengan berat hati karena waktu yang lagi-lagi membatasi. Akhirnya saya berpesan kepada anak-anak untuk tetap semangat menulis serta memperkaya bahan bacaan mereka, karena dari cerita yang baru saja mereka tulis saya yakin bahwa di Sabang ada calon-calon penulis besar yang belum mencuat ke permukaan. 
Penyerahan sumbangan buku-buku bacaan anak (doc. pribadi)
“Ingat... jangan lupa untuk ikut seleksi di Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2014 kalau tahun ini kembali diadakan ya!” pesan saya kepada mereka.
“Iya, Buuu...!” balas mereka serentak dalam semangat yang menyala.
Sampai bertemu kembali anak-anakku...dan tetaplah menulis! [Wylvera W.]


Senin, 14 April 2014

Saya, Dapur Insani, dan Kecintaan pada Menulis


Saya (mewakili INSANI) dan Mantan Ketua PIPEBI (doc. pribadi)

      INSANI adalah nama yang diberikan dari penggagas pertama untuk majalah kebanggan para istri pegawai Bank Indonesia. Saya sendiri tidak mengetahui persis sejarahnya (harus ditelusuri lagi deh, takut gak diakui sebagai pemred...hehe). Yang saya tahu, Insani ini dulu terbit dalam bentuk buletin. Dari waktu ke waktu akhirnya diubahlah menjadi majalah karena tampilannya juga telah banyak mengalami perubahan yang lebih pas disebut sebagai majalah.
Tampilan cover Insani dari waktu ke waktu (doc. pribadi)
          Ketika mengenal majalah ini saya hanya terlibat sebagai kontributor tulisan-tulisan saja. Itu pun tak terlalu sering. Akhirnya pada tahun 2010 saya direkrut menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di INSANI. Namun karena kesibukan saya sebagai penulis dan mengajar waktu itu sehingga tak bisa selalu hadir di setiap rapat redaksi, akhirnya saya sempat beberapa bulan mengundurkan diri. Hingga pada tahun 2013 saya kembali diminta untuk bergabung. Jadilah sampai sekarang saya duduk sebagai Pemimpin Redaksinya. Alhamdulillah... semoga terus amanah hingga akhir periode (2015).

Redaksi (doc.pribadi)
          Lalu, apa saja sih sebenarnya yang kami kerjakan di dapur INSANI ini?
Mungkin tak serupa dengan majalah-majalah nasional yang oplahnya bisa sampai puluhan ribu, INSANI hanya menjalankan bagian dari proses kerja redaksi di sebuah majalah saja. Oplahnya juga hanya 2000 eksemplar (setelah beberapa kali dikurangi dari 3000 eks sebelumnya).
Apa sih yang saya kerjakan di sana?
Mulai dari menentukan tema untuk setiap edisinya hingga proses pemilihan naskah, foto dan tulisan-tulisan para ibu (seluruh anggota PIPEBI) yang layak dimuat, melakukan liputan di acara-acara PIPEBI Pusat, hingga ikut menentukan naik cetak dan terbitnya lalu mengawasi proses distribusinya di setiap edisi, saya terlibat di dalamnya. Selain itu, saya juga harus siap menjawab pertanyaan para ibu anggota PIPEBI lewat sms, bbm, WA dan e-mail.
Tempat lalu lintas naskah/artikel yang akan dipilah-pilih. (doc. pribadi)
          Dalam proses itu tentu saja kami tak luput mengadakan pertemuan berkala. “Rapat Redaksi”, begitu kami menyebutnya. Di rapat inilah saya mengajukan ide tema yang selanjutkan dibahas dan bukan tidak mungkin usulan tema dari saya akan berubah jika dirasa masukan dari yang lainnya lebih bagus, tapi alhamdulillah...sejauh ini usulan dari saya jarang ditolak sih (hahaha.... takut saya ngambek  mungkin ya... ah, ge-er :p).
         Setelah tema disepakati, kami pun menyusun konten rubrik. Tugas saya belum usai sampai di situ. Saya harus terus memantau kiriman naskah tulisan lewat e-mail (dibantu team) baik berupa artikel maupun kisah-kisah inspiratif dari berbagai perwakilan. Selanjutnya saya juga harus memilah-milih kiriman foto-foto untuk dimuat di rubrik “Figura” (foto-foto kegiatan para istri BI dari pusat hingga seluruh kantor perwakilan).       
          Kemudian untuk profil yang lebih sering mengangkat figur para istri “pejabat” (istri Gubernur, istri Deputi Gubernur serta istri Direktur dari berbagai Departemen di Bank Indonesia) adalah menjadi tugas saya juga sebagai pewawancara dan pencari informasinya. Beruntungnya saya, dalam pelaksanaan kunjungan ke kediaman para istri pejabat ini selalu ada Ketua atau Wakil Ketua PIPEBI serta fotograper dari Insani yang mendampingi saya sehingga semua terasa lebih mudah dan nyaman.

Bersama Ny. Nies Agus Martowardojo (Istri Gub. Bank Indonesia)
Bersama Ny. Arulita Mirza Adityaswara (Istri Deputi Gubernur Senior BI)
Sementara untuk pengeditan naskah, saya tidak 100% mengerjakannya karena ada editor dari percetakan (spora) yang membantu. Untuk layout sepenuhnya dikerjakan oleh pihak percetakan dengan tetap meminta persetujuan/usulan dari INSANI dan Ketua PIPEBI Pusat. Semua ini kami lakukan setiap tiga kali dalam setahun menjelang terbitnya, yaitu April, Agustus, dan Desember. Meskipun hanya tiga kali terbit, prosesnya tetap dimulai dua bulan sebelum bulan terbit agar tidak terburu-buru dan mundur dari jadwal terbitnya.
        Kesibukan inilah yang sudah menambah rutinitas hari-hari saya sebagai penulis. Bukan mau excuse karena di tahun 2014 ini (hingga bulan April) saya belum mampu menghasilkan karya dalam bentuk buku sebenarnya, tapi beginilah pekerjaan saya sekarang. Saya harus legowo dan tetap bersemangat meskipun hanya dua cerpen dan satu naskah traveling yang sempat nongol di majalah nasional (NooR dan Annisa) di tahun ini. Nah lho... kok ujung-ujungnya jadi curhat? (hahaha... ini sih supaya seru aja biar penutup dari tulisan ini lebih dramatis gitu. :p)
Rapat Redaksi (doc. pribadi)
Saya tetap senang karena di sela-sela pekerjaan dan tanggung jawab sebagai pemimpin redaksi dan guru ekskul juga ibu rumah tangga (kalau yang ini sih semua ibu pasti merasakannya...hehehe) masih ada waktu dan kesempatan untuk berbagi pengalaman (menulis dan profesi) kepada anak-anak selain murid-murid di tempat saya mengajar. Biarlah karya saya dalam bentuk buku bacaan hanya bisa terbit satu dalam setahun, asal saya bisa membagi ilmu yang sedikit ini buat anak-anak di luar sana, karena saya tahu persis begitu banyak dari anak-anak itu yang menyimpan keinginan untuk bisa terampil menulis juga. Mereka tak tahu bagaimana caranya atau bahkan enggak punya uang untuk bayar uang kursus menulis yang terkadang relatif mahal bagi ukuran kantong orangtua mereka. Itu sudah cukup memberi kepuasan batin buat saya. Eh, kok melenceng ke mana-mana ya?
Oke...kembali ke topik ah, sudah mau sampai di ending ini.
Menekuni semua pekerjaan yang seluruhnya tak jauh-jauh dari kegiatan menulis membuat saya yakin kalau cinta saya pada dunia menulis masih membara (halaaah...lebaynyaaa, qiqiqi). Eh, bener lho... diam-diam semangat menulis dan mengurai ide menjadi sebuah buku tetap menyala di hati ini. Seriuuus...sueeer tekewer-kewer. ;) [Wylvera W.]

Selasa, 08 April 2014

Bunga Untuk Ibu Imah



Buku kumpulan 13 Cerpen Pemenang Lomba Cerpen Guru 2012 #Bobo


Didin masih kesal dengan gurunya. Gara-gara tidak mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, Bu Imah menyetrap Didin dengan menyuruhnya berdiri di depan kelas. Selama di kelas lima, Didin sudah tiga kali diberi hukuman yang sama oleh Bu Imah. Didin malu pada teman-temannya. Tapi, Didin juga tak pernah mau mengubah kebiasaannya yang malas mengerjakan tugas sekolah itu.
“Awas ya, Bu Imah, aku akan balas nanti,” gerutu Didin dengan tangan mengepal.
          “Eh, memangnya kamu mau membalas apa ke Bu Imah?” tanya Agung terpancing dengan gerutuan Didin.
            “Itu rahasia, yang penting Bu Imah harus merasakan kesal yang sama dengan ku!” jawab Didin tak mau mengatakan rencana balas dendamnya.
            “Dosa itu Din. Bu Imah kan guru kita,” balas Agung mencoba menyadarkan Didin.
“Halaaah...mikirin dosa, dia saja enggak mikir kalau aku lelah berdiri sejam di depan kelas!” kata Didin bertambah kesal.
            “Iya, tapi....”
            “Sudah! Kamu enggak usah ikut campur, Gung! Sok baik kamu. Mau dapat nilai tinggi ya? Cari muka!” potong Didin cepat membuat Agung tak berani meneruskan kata-katanya. Agung buru-buru meninggalkan Didin. Dia tak mau mencari masalah dengan Didin.
            “Nah! Itu dia sepeda Bu Imah,” seru Didin sambil melangkah dengan cepat menuju ke tempat parkir sekolah.
            “Makanya, jangan main-main sama Didin,” ujar Didin sambil membuka tutup pentil sepeda Bu Imah. Setelah selesai mengempiskan ban sepeda Bu Imah, Didin kembali ke kelas.
            Tinggal satu mata pelajaran lagi. Didin tak sabar menunggu waktu pulang. Dia ingin melihat wajah Bu Imah yang menahan kesal karena ban sepedanya kempis.
            Teeet!
       Akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi. Didin buru-buru menuju kamar mandi sekolah yang letaknya tak jauh dari parkiran. Bibir Didin menahan senyum kepuasan, saat melewati ruang guru. Didin sempat melihat Bu Imah merapikan buku-bukunya. Mata Didin berbinar-binar melihat Bu Imah yang sebentar lagi akan pulang dengan berjalan kaki.
            “Eh, Din! Kemari kamu!” panggil Bu Imah. Jantung Didin seolah berhenti berdetak.
            Wah, gawat! Apakah Bu Imah tahu kalau aku telah mengempiskan ban sepedanya ya? tanya Didin ketakutan dalam hatinya.
            “Didin!” panggil Bu Imah sekali lagi. Dengan langkah gemetar, Didin mendekati ruang guru.
            “Iya Bu. Maafkan saya,” ujar Didin sambil menundukkan kepalanya.
         “Maaf? Untuk apa? Bukannya tadi Ibu sudah memaafkan kamu gara-gara tidak mengerjakan pe-er?” tanya Bu Imah kebingungan.
            “Anu, anu Bu,” jawab Didin terbata-bata.
         “Sudahlah, Din. Ibu cuma mau mendidik kamu supaya bisa mengubah kebiasaan malasmu itu. Kasihan ibumu yang berjuang sendiri membiayai sekolahmu,” balas Bu Imah. Didin semakin menundukkan kepalanya.
         “Mengerajakan pe-er itu tujuannya untuk melatih kedisplinan juga, Din,” tambah Bu Imah lagi. Didin diam. Dia tak berani menatap wajah Bu Imah. Saat ini, yang ada di kepala Didin hanya bayangan ban sepeda Bu Imah yang kempis gara-gara ulahnya.
         “Nah, tadi kebetulan Ibu dapat rezeki dari Bapak Kepala Sekolah. Karena Ibu dengar ibumu sedang sakit, maka rezeki ini sebaiknya Ibu bagi buat ibu kamu,” ujar Bu Imah. Didin berusaha mengangkat wajahnya.
            “Berikanlah kotak kue ini ke ibu kamu ya. Sampaikan salam Ibu juga. Semoga ibu kamu cepat sembuh dan bisa berjualan lagi di pasar,” kata Bu Imah semakin membuat Didin bingung dan malu.
            “I...iya Bu. Maafkan saya,” balas Didin gugup.
            “Ibu mendengar kabar ini dari Agung, teman sebangkumu. Kalau tidak, Ibu enggak pernah tahu jika ibumu sedang sakit,” ujar Bu Imah lagi.
            “Maafkan saya Bu,” sekali lagi Didin mengucapkan permintaan maafnya.
            “Ibu sudah memaafkanmu, Din. Sekarang pulanglah. Hati-hati ya, kotak kuenya jangan sampai terjatuh,” kata Bu Imah. Didin hanya mengangguk pelan dan buru-buru menuju tempat parkir.
            Didin menuliskan permohonan maafnya di selembar kertas. Setelah itu, Didin memetik setangkai kembang sepatu yang sedang mekar di sekeliling halaman parkiran. Didin menjepitkan kertas tadi dan ujung tangkai kembang sepatu di boncengan sepeda Bu Imah.
            “Maafkan saya ya Bu Imah,” bisik Didin dengan suara parau. []
Kata Pengantar dalam buku dan keterangan para pemenang
***
          


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...