Minggu, 24 Agustus 2014

Kejutan dari Ibu



 
Cerpenku di Majalah NooR edisi Maret 2014
             Dulu aku mengira bahwa ibuku tak akan pernah terlibat di dunia social media. Ibuku adalah wanita rumahan yang enggan bersentuhan dengan teknologi. Ini yang membuatku terkejut ketika semuanya berubah. Ternyata semua bermula dari sebuah hape hadiah ulang tahun dari suamiku.
            “Tia, aku ingin sekali memberikan hadiah ulang tahun buat Ibu,” ujar suamiku suatu hari.
            “Hmm... tidak ada hadiah lain yang lebih spesial kah?” tanyaku mencoba mengubah pikiran suamiku tentang hadiah ulang tahun untuk Ibu.
            “Lho, bukannya hape itu sungguh spesial?” balasnya bertahan pada keinginan awal.
            “Iya, tapi buat Ibu rasanya lebih baik kita membelikannya bahan baju, tas atau pernak-pernik rumah. Bukankah itu lebih bermanfaat?” ujarku lagi masih berusaha menukar bentuk hadiah yang dipilihkan suamiku.
            “Itu terlalu mainstream ah. Apa sih salahnya kalau kita membelikan Ibu hape? Selama ini aku tak sekalipun melihat Ibu menggunakan gadget itu,” kata suamiku mulai ngotot.
            “Oke...oke, kalau itu sudah menjadi pilihan Abang, ya sudahlah aku menurut saja,” ujarku akhirnya mengalah, meskipun dalam hati aku masih kurang sreg. Aku khawatir kalau Ibu kurang suka dengan hadiah itu.
            Kekhawatiranku tak benar. Ibu begitu girang ketika membuka bungkusan kado dari kami. Matanya berbinar dan senyum merekah di bibirnya yang selalu polos tanpa pewarna itu. Aku senang melihat ibuku puas menerima kado ulang tahun pilihan suamiku.
            “Ah, kalian seperti tahu apa yang selama ini Ibu inginkan,” ujar Ibu dengan rona merah di pipinya.
            “Ini pilihan Bang Haris, Bu,” ujarku seraya melirik suamiku yang spontan menggerakkan matanya. Dia seolah puas dengan keputusan memilih hadiah ulang tahun untuk Ibu.
            Hingga hari ini, sudah lebih dari setengah tahun  Ibu memiliki hape. Dari hari ke hari aku mulai melihat perubahan di sikap Ibu. Bicaranya pun mulai berubah. Ibu mulai sering menyebut-nyebut e-mail, password, facebook, blog, dan chatting. Kulihat Ibu semakin sibuk menggunakan hapenya. Tidak hanya saat di dapur, bahkan sedang berada di kebun bersama tanamannya pun Ibu seolah tak bisa lepas dari hapenya.
            “Tia, besok kau ada acara?” tanya Ibu memupus lamunanku.
            “Enggak ada, Bu. Ada apa?” tanyaku berbalik.
            “Antarkan Ibu ke acara seminar ya,” balas Ibu membuat mulutku menganga.
            “Hah? Seminar? Seminar apa? Memang Ibu diundang?” tanyaku tak percaya.
            “Kalau tak diundang, tak mungkin Ibu minta diantarkan,” jawab Ibu santai.
            “Oke, aku akan antar Ibu. Tapi, seminar apa dan di mana?” tanyaku lagi berubah penasaran.
            “Seminar tentang Perempuan dan Teknologi. Di Jakarta acaranya,” jawab Ibu.
            “Oh, oke...besok aku antar Ibu ke sana,” timpalku belum juga terbebas dari rasa penasaran melihat perubahan pada Ibu.
            Aku tak lagi meneruskan pertanyaan. Hanya mataku yang semakin terheran-heran melihat Ibu. Sambil sesekali memperhatikan gerak-geriknya, aku berniat meneruskan pekerjaan kantor yang tertunda kemarin. Aku sibuk mencari laptop yang biasa kuletakkan di atas meja ruang kerjaku dan suami. Selama ini yang suka masuk ke dalam ruangan itu hanya Mpok Atun. Itu pun karena dia ingin membersihkan ruangan saja.
            “Kau mencari apa?” tegur Ibu mengejutkanku.
            “Laptop,” jawabku singkat sambil menarik beberapa laci.
            “Oh, maaf... semalam Ibu pakai dan lupa mengembalikannya,” lanjut Ibu lagi.
            Badanku yang tadinya membungkuk sambil membuka laci, sontak tegak memandang Ibu. Aku tak percaya kalau Ibu bisa menggunakan laptopku. Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, Ibu buru-buru ke luar dari ruang kerja dan sekejap kemudian sudah kembali dengan laptop di tangannya.
            “Ini, ibu kembalikan,” ujar Ibu dengan memamerkan senyum penuh teka-teki di bibirnya yang tak terlalu tipis.
Lagi-lagi Ibu ke luar dengan terburu-buru dari ruang kerjaku. Rasa penasaran yang sejak tadi mulai membumbung membuatku tergesa-gesa menyalakan laptop. Aku menunda meneruskan pekerjaan kantor. Yang pertama ingin kulihat adalah akun facebookku. Dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Semua itu hanya karena aku ingin membuktikan sesuatu.
“Wah...benar saja. Bukan hanya menggunakan hape, ternyata ibuku juga sudah piawai membuka akun facebook.
Ibu meng-add aku untuk bergabung di friend list nya. Aku langsung mengonfirmasi ajakan pertemanan itu. Aku ingin melihat sosok ibuku di facebook. Mataku bolak-balik terbelalak melihat postingan-postingan Ibu di wall-nya. Ibu tak hanya menuliskan kata-kata indah di dinding akun facebooknya. Ibu juga memajang hasil rajutan dan tanamannya. Lalu yang semakin membuatku terkejut, lebih dari dua puluh hasil kreasi Ibu di dapur terpajang dengan cantik di koleksi foto-fotonya.
Keterpanaanku tak berhenti sampai di situ. Ibu mengumumkan bahwa dia jiga memiliki blog tempatnya menuangkan catatan lebih banyak tentang semua hasil kreasinya selama menjadi ibu rumah tangga. Dari sanalah Ibu mendapatkan undangan resmi tentang seminar yang besok akan dihadirinya. Keterkejutanku seolah belumlah usai. Aku masih harus menunggu besok.
*
“Ibu sudah siap. Mari kita berangkat,” ajak Ibu membuatku tak bisa berkedip memandangnya.
“Ibu cantik sekali,” puji suamiku tulus sambil melirik ke arahku.
Suamiku memang sangat menyayangi Ibu. Sejak aku menikah dengan Bang Haris, dia sudah berstatus sebagai yatim piatu. Itu sebabnya, dia mengajak Ibu tinggal bersama kami setelah ayahku meninggal lima tahun lalu.
“Hei...melamun!” tegur Ibu sambil mencubit pelan lenganku. Aku diam dan mengikuti mereka menuju mobil.
Perjalanan kami menuju kawasan Sudirman hening. Kami terhanyut oleh pikiran masing-masing. Aku tak tahu apa yang sedang dilamunkan Ibu dan Bang Haris. Sementara aku masih terus menyimpan rasa penasaran menjelang acara seminar yang akan dihadiri Ibu.
Kami pun tiba di depan para penyambut tamu. Aku dan Bang Haris tak ingin melepas Ibu begitu saja. Kami ikut mengantarkannya sampai ke depan meja tamu.
“Selamat datang Bu Ilham. Silakan mengambil tempat yang sudah disediakan panitia,” sambut penerima tamu memperlakukan Ibu seolah tamu terhormat.
Ketika aku dan Bang Haris ingin berpaling meninggalkan Ibu menuju ruang seminar, Ibu memegang lenganku.
“Undangannya bukan hanya untuk Ibu. Kalian berdua boleh ikut masuk,” kata Ibu membuatku refleks memandang Bang Haris. Wajahnya tak sedikitpun menunjukkan sikap terkejut melihat perubahan pada Ibuku.
Akhirnya aku mengikuti Ibu menuju ruang seminar. Aku kembali terkejut melihat beberapa orang yang berpakaian serupa sibuk menyambut kedatangan Ibu.
“Selamat datang Bu Ilham. Sebentar lagi acara akan kita buka. Ibu bisa duduk di depan. Semoga pesan kami semalam tak membuat Ibu keberatan sebab sesi Ibu menjadi naik ke urutan pertama acara,” ujar perempuan berkebaya putih itu memberi penjelasan yang membuatku semakin tak menemukan kejelasan.
Kami pun terus mendampingi Ibu menuju deretan bangku terdepan. Aku tak bisa berkata-kata lagi ketika melihat tulisan di atas roundtable bertuliskan, “Pembicara”. Ternyata ibuku adalah salah satu pembicara di seminar yang melibatkan para perempuan yang melek teknologi ini.
“Sudah...rasa heran dan terkejutnya disimpan saja, Tia. Suamimu ini yang telah banyak mengajari Ibu tentang gadget dan melibatkan diri di jejaring sosial. Kalau bukan karena hape hadiah ulang tahun yang dipilihkannya waktu itu, tak mungkin Ibu sampai sejauh ini,” bisik Ibu membuatku spontan membesarkan klopak mata ke arah Bang Haris.
“Bang...!” seruku tertahan.
“Ssst...acaranya sudah dimulai,” sela Bang Haris menahan tawa yang disambut senyum bangga oleh ibuku. [Wylvera W.]

NB.
Cara mengirim naskahnya bisa ke alamat e-mail mereka di majalahnoor@gmail.com dan majalahnoor@yahoo.co.id atau ke alamat redaksinya; Jl. Karang Pola VI No. 7A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540. 
Yuk, yang mau nyoba. :)
             



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...