Sabtu, 29 September 2012

Pelatihan Menulis di SMP Islam Dian Didaktika, Cinere Estate



Sesi I. 22 September 2012.

Alhamdulillah, salah seorang orangtua murid (Mbak Chitra Savitri-red) di SMP Islam Dian Didaktika mengajukan nama saya sebagai narasumber/pemateri di pelatihan menulis yang akan mereka gelar. Maka, setelah melewati pembicaraan via telepon, akhirnya kesepakatan pun terjalin. Saya didaulat menjadi pemateri sebanyak dua kali pertemuan di pelatihan menulis tersebut, yaitu 22 dan 29 September 2012.
Sabtu pagi, 22 September 2012 udara sangat bersahabat, sehingga membuat saya lebih bersemangat. Segala keperluan untuk melengkapi pelatihan sudah saya siapkan. Mulai dari materi dalam bentuk power point (ppt), laptop, flash disk, pointer, buku-buku untuk hadiah kuis dan games, semua sudah siap dibawa.
Perjalanan dari Bekasi menuju Jl. Rajawali blok F No. 10 Cinere Estate, menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Saya tiba di lokasi pukul 07.20 WIB.
Kedatangan saya disambut oleh salah satu guru di sekolah itu. Setelah berkenalan, saya pun diajak memasuki ruangan tempat pelatihan. Masih kosong. Sambil menunggu, saya mencoba beradaptasi dengan kondisi kelas. Tak berapa lama, guru lainnya pun tiba di tempat.
Setelah semua disiapkan dan peserta yang hadir (23 siswa) sudah lengkap, sesi pertama pelatihan menulis pun dimulai pukul 08.30 WIB. Acara diawali oleh kata pembuka oleh pemandu acara (Ibu Syaidah). Kemudian, Bapak Sukardi selaku kepala sekolah di SMP Islam Dian Didaktika memberi sambutan sekaligus membuka secara resmi kegiatan pelatihan menulis.
Bapak Sukardi mengatakan, bahwa kegiatan pelatihan menulis ini adalah langkah pertama yang akan mengawali rencana mereka untuk membentuk komunitas dan cikal bakal penulis muda di sekolah tersebut. Penjelasan ini tentu saja menerbitkan rasa tersanjung di hati saya, karena saya terpilih menjadi bagian dari tim pelopor rencana mulia itu.


Selanjutnya, acara sepenuhnya diserahkan kepada saya. Saya buka sesi pelatihan dengan memperkenalkan diri kepada para peserta. Awalnya, saya melihat wajah-wajah yang malu-malu dan belum memberi respon terhadap keberadaan saya. Namun, setengah jam setelah itu... mereka seolah lebur dengan saya.

 
Di kesempatan ini, saya memilih memberikan materi penulisan cerita pendek. Saya awali materi dengan membangkitkan semangat mereka untuk menulis terlebih dahulu. Saya katakan kepada mereka bahwa tak perlu takut jika merasa tak berbakat dalam menulis, karena bakat hanya 1% dibutuhkan dalam keterampilan menulis. Selebihnya adalah usaha, latihan, dan kerja keras.
Selanjutnya saya membagikan tips kepada peserta pelatihan tentang bagaimana caranya agar tetap konsisten menulis dan berhasil menghasilkan tulisan yang baik, yaitu dengan niat, keyakinan, fokus, konsisten, dan terakhir... harus mendisiplinkan diri.
Materi tentang langkah menulis cerita pendek pun tersampaikan satu persatu. Mulai dari tahapan menulis cerpen dari memilih ide, menentukan judul, membuat sinopsis, membuat tantangan/kendala atau yang sering disebut dengan konflik, penokohan, setting cerita,  sampai pada tahap self editing. Saya juga menerangkan kepada mereka tentang unsur-unsur penting dalam cerpen dan membuat alur yang menarik.
Sesekali saya bertanya apakah anak-anak itu sudah paham dengan apa yang saya sampaikan. Mereka selalu mengatakan, “Paham, Bu.” Yang paling menarik perhatian mereka adalah saat saya menyampaikan materi tentang self editing. Ternyata selama ini, ada beberapa di antara mereka yang gemar menulis, tapi tak pernah mempersoalkan tentang aturan-aturan EYD, typo, dan kesalahan-kesalahan kecil yang sangat mempengaruhi mutu tulisan mereka.


Setelah istirahat lima belas menit, pelatihan menulis dilanjutkan dengan kuis dan tanya jawab yang berkaitan dengan materi. Mereka sangat antusias menjawab pertanyaan yang diajukan. Tapi, yang paling tepat menjawablah yang mendapatkan hadiahnya.




Sebelum melanjutkan dengan sesi praktik menulis, saya memutarkan sebuah film pendek dengan tema persahabatan. Tujuannya untuk merangsang imajinasi mereka sebelum masuk ke tahap praktik menulis. Mereka senang sekali ketika menyaksikan tayangan film itu.


 
Acara pelatihan menulis dilanjutkan dengan praktik menentukan judul, penokohan/karakter, konflik, setting, dan sinopsis dari dua tema yang sudah saya tetapkan. Kelompok pertama mendapat tema tentang persahabatan, dan kelompok kedua dengan tema petualangan dan misteri.



Diskusi kelompok ini berlangsung sangat seru. Saya melihat keseriusan mereka dalam berdiskusi untuk menentukan poin-poin yang saya minta. Setelah itu, juru bicara masing-masing kelompok saya minta maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok mereka. Betapa terkesannya saya dengan ide yang muncul dari kerjasama mereka. Idenya luar biasa dan membuat saya diam-diam menyimpan rasa kagum.
Tak terasa pertemuan pertama di pelatihan menulis cerpen tanggal 22 September 2012 itu berakhir tepat pukul 12.00 WIB. Sebelum mengakhiri sesi pertama itu, saya memberikan tugas kepada peserta untuk membuat cerita pendek dengan tema budaya Indonesia untuk dievaluasi di pertemuan Sabtu berikutnya.

Sesi II. 29 September 2012

            Sabtu, 29 September 2012, saya kembali mengisi pelatihan menulis cerpen di SMP Islam Dian Didaktika. Meskipun peserta tak sekomplet di pertemuan pertama, karena berhalangan hadir, namun acara pelatihan tetap terasa ramai dan seru. 
         Sebelum melanjutkan materi berikutnya, saya buka suasana pagi dengan mengajak peserta pelatihan untuk melakukan senam otak bersama.



Diiringi musik India yang “aduhai” itu, kami pun mulai melakukan gerakan-gerakan yang menyegarkan. Tawa dan kelucuan memenuhi ruang pelatihan. Alhamdulillah... suasana Sabtu pagi itu telah dibuka dengan keceriaan.
Pelatihan sesi kedua pun saya mulai. Atas permintaan guru Bahasa Indonesia mereka (Ibu Sri Hastini-red) untuk menambah materi tentang langkah-langkah menulis berita, artikel, dan tahapan melakukan wawancara, saya pun mengawali pagi itu dengan materi tersebut.
Setelah itu, peserta pun maju satu persatu untuk mempresentasikan hasil tulisannya. Sekali lagi, saya menggunakan istilah “kursi listrik” yang sudah dipatenkan oleh Kepala Sekolah Galeri Kelas Ajaib, Benny Rhamdani untuk me-review naskah-naskah mereka.





Subhanallah... ide mereka sungguh luar biasa. Cerita-cerita yang mereka buat sangat mengagumkan. Dari naskah yang berjudul "Jamu vs Soda" sampai "Tragedi Ondel-ondel". Saya sampaikan kepada Bapak Kepala Sekolah, bahwa karya mereka ini layak dibukukan. Dan, ternyata Pak Sukardi juga menyimpan keingan yang sama.



Satu hal yang membuat saya puas, dari beberapa tulisan pertama yang sempat dikirimkan ke saya memberikan kemajuan yang pesat, padahal hanya dalam waktu seminggu. Awalnya mereka masih berantakan mengetiknya (margin yang tak dirapikan, spasi yang berantakan, paragraf yang acak-acakan), tapi setelah mendapatkan materi dari saya... semua berubah drastis. Itu artinya, mereka menyerap apa yang saya sampaikan. 
Itulah yang membuat saya semakin bersemangat membagi ilmu kepada mereka. Untuk itu saya tak segan-segan membagi hadiah berupa buku kepada penulis naskah-naskah terbaik. Dan, memberikan hadiah kepada peserta yang memberikan jawaban yang benar terhadap pertanyaan kuis yang diajukan.

Mbak Chitra Savitri (pengurus POMG sekolah) memberi hadiah
Di penghujung pelatihan, saya tak lupa meminta anak-anak peserta pelatihan tersebut menuliskan feedback terhadap saya. Yaitu berupa kesan, kritik, dan saran mereka. Ini saya anggap perlu, demi koreksi terhadap diri saya pribadi sebagai Trainer penulisan. Dan, betapa terharunya saya ketika membaca tanggapan mereka. Ini salah satu contohnya;



Setiap pertemuan hampir selalu diakhiri dengan perpisahan. Demikian juga dengan pelatihan menulis kali ini. Sebelum menutup kegiatan pelatihan menulis, Bapak Sukardi kembali memberikan sambutannya dan sekaligus menutup pelatihan secara resmi. Saya terharu sekali ketika pihak sekolah Dian Didaktika yang digawangi oleh Bapak Sukardi menyampaikan ucapan terimakasihnya dan memberikan “oleh-oleh” untuk saya bawa pulang.



Akhirnya kebersamaan kami ditutup dengan doa dan foto bersama.

 
Semoga kerjasama ini tak terhenti sampai di sini. Terimakasih.

***

Kamis, 20 September 2012

Juara Lomba Menulis Cerpen oleh Guru di Majalah Bobo




Menang lomba? Wow!
Rasa girang, kaget dan seolah tak percaya, lebur jadi satu. Bayangkan saja, selama ini aku begitu terobsesi agar tulisanku bisa mejeng di majalah anak-anak yang cukup bergengsi itu. Ya! Siapa sih yang enggak kenal sama Majalah Bobo? Tapi, ternyata keberuntungan belum memihak padaku. Belum ada satu cerpenku yang berhasil muncul di majalah itu. Hingga akhirnya pada suatu hari, aku mendapat kiriman link dari teman. Isinya, Majalah Bobo sedang menggelar lomba menulis cerpen khusus untuk para guru se-Indonesia.

Awalnya, aku ragu mau ikut. Mengapa? Ya itu tadi, ngirim cerpen  ke majalahnya saja enggak pernah dimuat, kok nekat sih ikutan lombanya. Tapi, akhirnya rasa kurang percaya diri itu kubuang jauh-jauh. Sebab, keberuntungan bisa datang dari mana saja, asal kita gigih dan terus berusaha.

Singkat cerita, akhirnya aku mengirimkan satu karyaku yang berjudul, “Bunga untuk Ibu Imah”. Ceritanya sederhana. Aku hanya ingin menyampaikan pesan bahwa anak-anak yang cenderung “nakal” atau terlihat “pembangkang” di sekolah bukanlah semata-mata karena anak tersebut terlahir dengan karakter seperti itu. Tentu saja ada faktor-fator pendorong yang terkadang sulit bagi si anak untuk menepisnya, sehingga jadilah dia seperti itu. Dan, sebagai pelebur untuk karakter anak yang seperti itu, aku mencoba menghadirkan sosok Ibu Imah, seorang guru yang tegas dan bijaksana.

Meskipun awalnya Didin (tokoh anak dalam ceritaku) mengira bahwa Ibu Imah sebagai sosok guru yang kejam, galak dan tak peduli padanya, namun... di akhir cerita, Didin menyadari jika apa yang dilakukan Ibu Imah terhadapnya hanyalah sebuah “hukuman” yang sangat mendidik. 
Cerpen inilah yang membawaku menjadi pemenang “Juara II Lomba Menulis Cerpen oleh Guru” di majalah Bobo itu dan hadiahnya lumayan lho... Rp6.500.000. :)

            Didin masih kesal dengan gurunya. Gara-gara tidak mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, Bu Imah menyetrap Didin dengan menyuruhnya berdiri di depan kelas. Selama di kelas lima, Didin sudah tiga kali diberi hukuman yang sama oleh Bu Imah. Didin malu pada teman-temannya. Tapi, Didin juga tak pernah mau mengubah kebiasaannya yang malas mengerjakan tugas sekolah itu.
            “Awas ya Bu Imah, aku akan balas nanti,” gerutu Didin dengan tangan mengepal.
            “Eh, memangnya kamu mau membalas apa ke Bu Imah?” tanya Agung terpancing dengan gerutuan Didin. ....
Bagaimana kelanjutan ceritanya?
Silahkan dapatkan bukunya dan baca kisahnya, siapa tahu kamu pemenang lombanya tahun depan. :)
Ini lho cover depan bukunya....
          
            
***


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...