(Foto: pixabay.com) |
Menjadi seorang Ibu
yang menyenangkan adalah impian bagi perempuan yang sudah memiliki anak. Namun,
tidak semua Ibu bisa melakukannya. Lihat saja di luar sana. Selalu ada saja
anak yang tidak bisa hormat pada ibunya. Menganggap Ibu hanya sebagai perempuan
yang sekadar melahirkannya ke dunia. Namun, jangan buru-buru menyalahkan anak.
Mengapa Ibu dianggap tidak menyenangkan oleh anak-anaknya? Bisa jadi, kebiasaan
dan karakter yang Ibu tampilkan dalam mengasuh anak-anaknya, tidak membuat mereka
nyaman.
Bagaimana
cara menggapai impian menjadi Ibu yang menyenangkan dan disenangi oleh anak-anaknya?
Ada sebuah kewajiban yang semestinya tidak boleh diabaikan atau menganggapnya
biasa-biasa saja. Dan di ujung kewajiban pasti selalu menunggu sebuah kata yang
bernama tanggung jawab. Hal ini tak bisa lepas pada urusan hitung-hitungan di
hari akhir kelak. Bukan dengan manusia tapi dengan Sang Khaliq.
Menyadari
kewajiban tersebut, sebagai seorang Ibu saya pun merasa selalu ada yang
mengawasi, jika saya salah melakukan tanggung jawab itu. Untuk itu, saya berusaha
keras agar kelak tidak diberatkan oleh hitungan yang salah dalam
mempertanggungjawabkannya di hadapan Al Hasiib (Yang Maha Membuat Perhitungan).
Berat?
Memang. Sebab, tidak semua hal baik-baik yang saya inginkan sebagai Ibu dari
anak-anak, akan selalu saya dapatkan. Semua butuh proses. Ada yang lama ada
yang cepat, dan ada pula yang berubah-ubah.
Mira dan Khalid beberapa tahun silam |
Saya sudah melewati masa-masa
memiliki anak balita. Sesekali saya juga pernah merasakan kelelahan dalam
mengurus anak-anak saya. Kelelahan tersebut umumnya lebih pada fisik. Sebab,
anak-anak saya yang masih balita butuh pengawasan lebih pada gerak motorik,
gizi dan kesehatannya, serta segala kebutuhan untuk tumbuh kembangnya. Dalam
masa itu, saya butuh energi lebih dalam mengawasi kedua buah hati. Terjaga di
malam hari bukan lagi kondisi yang langka bagi saya. Apalagi jika anak-anak
sedang sakit. Kelelahan itu pasti akan menyertai hari-hari saya.
Begitu
pula dalam mempersiapkan makanan yang bergizi untuk mereka. Saya harus ekstra
mencari tahu apa saja yang pas untuk tumbuh-kembang mereka. Memasak,
merapikan bekas mainan, membersihkan pakaian mereka, dan ragam rutinitas tentu
akan membuat capek. Yang akhirnya saya menyadari bahwa itu lumrah. Idealnya,
saya tidak ingin mengeluh untuk melakukan tanggung jawab ini.
Menikmati setiap fase itu .... |
Seiring dengan pertumbuhan anak,
maka kelelahan saya ikut bergeser pula. Jika anak sudah beranjak remaja,
pendampingan dan pengawasan saya sebagai Ibu tidak lagi terbatas pada hal-hal
ketika anak-anak saya masih balita. Mereka sudah punya dunia lain di luar rumah.
Pergaulannya tentu tidak lagi sama seperti zaman TK atau SD.
Ketakutan
bahwa anak akan salah langkah dalam pergaulannya, menjadi satu hal yang
terkadang mampu menguras energi tidak di bagian fisik tapi pikiran. Anak yang
sudah remaja tidak bisa lagi sekadar diajak bermain seperti waktu balita. Maka
peran saya akan meningkat pada pendampingan ala seorang teman dekat. Menjadi
teman diskusi bagi anak, mengawasi dengan memberikan tanggung jawab, atau
bahkan masuk ke dunia mereka jika memang dibutuhkan. Semua itu semata-mata agar
mereka merasa nyaman serta tidak melupakan posisi ibunya sebagai prioritas
dalam berbagi berbagai hal dan permasalahan.
Bersama Kakak Mira |
Bersama Khalid |
Ibu mana yang
tidak ingin menjadi idola bagi anak-anaknya? Saya juga menginginkannya.
Alhamdulillah, memiliki sepasang anak yang keduanya sudah menjadi remaja,
membuat saya selalu merasa bahagia menjadi seorang Ibu. Sejak mereka kecil
hingga sekarang dan Insya Allah di hari depan nanti, tidak ada satu masalah
yang benar-benar membuat hubungan kami berantakan. Meskipun sesekali ada
kendala, alhamdulillah … selalu terlerai dengan bijaksana.
Sebagai
Ibu, perjalanan dan perjuangan saya agar selalu menjadi sahabat yang
menyenangkan buat kedua anak saya masihlah panjang. Anak pertama saya saja baru
masuk di perguruan tinggi, sementara adiknya masih kelas 2 SMA. Proses untuk
terus menjadi Ibu yang menyenangkan, tentunya tidak selesai sampai di fase ini
saja. Proses itu pula yang saat ini sedang dan terus saya nikmati.
Insya Allah, always full of love .... ^_^ |
Saya
pernah ditanya oleh teman yang kebetulan masih memiliki anak balita. Entah apa
yang ia lihat dari kebersamaan saya dengan kedua ana-anak saya. Menurutnya,
saya dan anak-anak itu terlihat begitu kompak. Lalu, ia pun menanyakan
rahasianya. Lama saya simpan jawaban ini, sebab malu rasanya mendahului para
senior yang anaknya sudah berkerja, bahkan sudah menikah dan punya cucu.
Namun
hari ini akhirnya saya tergoda juga untuk berbagi. Mungkin terlalu sederhana
dan sudah banyak diparktikkan para Ibu lainnya. Tapi, niatnya hanya untuk
saling berbagi agar kita bisa menjadi Ibu yang menyenangkan buat anak-anak
kita.
Menjadi
Ibu yang bijaksana
Menjadi Ibu yang
bijaksana itu relatif bagi setiap anak dan ibunya. Sebab masing-masing anak dan ibunya tentu punya patron
sendiri-sendiri. Kalau saya, simpel saja. Berusaha tidak mudah marah atau
menyalahkan anak jika mereka melakukan kesalahan. Saya selalu menanyakan
penyebab mereka melakukan kesalahan tersebut. Jika mereka melakukannya karena
lupa, tidak sengaja, atau bahkan tidak tahu kalau itu salah, saya berusaha
tidak akan menghukum mereka. Cukup mengingatkannya saja dengan contoh-contoh
yang bisa mereka pahami.
Menjadi
Ibu yang jujur
Mustahil rasanya
Ibu menuntut anak untuk selalu jujur kalau dirinya sendiri sulit berbuat jujur.
Kejujuran itu buat saya tidak bisa didoktrin ke anak, melainkan mencontohkannya
dengan perbuatan. Dari sikap dan perbuatan yang senantiasa menjunjung
tinggi kejujuran inilah, saya meyakini bahwa kedua anak saya berusaha meniru
dan takut untuk berbohong. Tidak hanya tentang kejujuran, banyak prilaku dan
adab lainnya yang perlu dicontohkan oleh perbuatan Ibu, ketimbang hanya
memberikan ceramah panjang lebar ke anak-anak. Saya berusaha melakukan itu
dengan penuh ketulusan.
Menjadi Ibu yang tegas bukan sarkas
Waktu anak-anak
saya balita, ketegasan yang kerap saya lakukan adalah jika mereka tiba-tiba
bertengkar gara-gara memperebutkan mainan. Si Kakak terkadang merasa lebih
berkuasa dari adiknya sehingga ia merasa berhak memarahi adiknya sampai
menangis.Saya marah? Iya, tapi tetap berusaha tidak membuat mereka "takut" melihat saya.
Peran
saya dalam kondisi pertengkaran ini persis seperti wasit tapi tidak dengan
tujuan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demi menenangkan si Adik,
saya biasanya berusaha mencari alternatif mainan lainnya untuk diberikan. Jika
si Adik sudah tenang, saya pelan-pelan mengajak si Kakak ngobrol dalam bahasa
anak seusianya. Menjelaskan kepadanya bahwa posisinya sebagai kakak bukan
berarti ia lebih berkuasa dari adiknya. Justru ia harus belajar menjadi
pelindung buat adiknya. Namun, cara menjelaskannya pun saya usahakan hati-hati
sekali, agar si Kakak tidak merasa perannya sebagai kakak justru terbebani oleh
sikap harus selalu mengalah. Intinya saya tegas tapi berusaha kreatif
menciptakan sebuah contoh sederhana. Alhamdulillah, meskipun tidak instan, perlahan-lahan ini
membuahkan hasil.
Menjadi
Ibu, teman diskusi, dan pendengar yang baik
Saya tidak
begitu kesulitan untuk menjadi Ibu dan teman buat kedua anak saya saat mereka
masih balita dan anak-anak. Banyak hal yang bisa membuat kebersamaan kami
menyenangkan. Selain mereka seolah memahami bahwa kendali lebih besar di saya,
mereka juga lebih menurut dan enjoy.
Berbeda setelah mereka beranjak remaja. Beberapa kebiasaan baru pun bermunculan
tanpa saya duga.
Cerita
tentang pergaulan bersama teman-teman sekolah yang tidak hanya sekadar bermain
lagi seperti zaman TK dan SD pun mulai mereka bagi. Ketidaksukaan mereka pada
sesuatu yang saya pilihkan terkadang menjadi masalah yang muncul secara
tiba-tiba. Dalam kondisi ini memang tidak selalu berakhir dengan mulus secara
cepat. Bahkan sesekali menemukan jalan buntu yang membuat saya dan anak-anak
berdebat dan saling mempertahankan argumen masing-masing.
Untunglah,
saya bukan tipe Ibu yang nyaman berlama-lama pada kondisi saling marahan dengan
anak. Oleh karena itu, saya tidak bisa diam untuk bertahan membiarkan suasana
keruh di antara kami. Saya kembali berusaha belajar memahami perubahan fase
mereka. Seperti apa dunia remaja dan kebiasaan-kebiasaannya, trend apa yang sedang menjadi
pembicaraan di luar sana, dan hal lainnya, menjadi pertimbangan saya untuk
mencari tahu. Upaya ini saya lakukan agar saya tidak lagi memaksakan kehendak
pada mereka. Kecuali jika pilihan mereka bertabrakan dengan norma dan agama. Saya
akan ajak mereka lagi-lagi berdiskusi dan mencari panduan yang tepat. Biasanya
saya ingatkan mereka pada ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist-hadist yang relevan
dengan itu.
Sebagai
Ibu, saya juga tidak memaksakan agar anak-anak saya harus selalu mendengarkan
kata-kata saya. Ada kalanya saya hanya diam menyimak cerita-cerita mereka. Saya
tidak akan menjelma menjadi sosok yang tiba-tiba sok bijaksana dan tahu
segalanya. Sesekali justru saya yang memosisikan diri menjadi pendengar yang
baik. Intinya saya selalu berusaha menciptakan komunikasi yang “hidup” di
antara kami.
Menjadi
Ibu yang tidak pelit memuji
Mungkin masih ada
Ibu yang malu dan terkadang gengsi memuji dan menyatakan sayang dan cinta pada
anaknya. Padahal, kata-kata pujian dan ungkapan kasih dan sayang itu bisa
menjadi asupan "gizi" untuk tumbuh kembang psikis mereka. Saya selalu percaya
ini, sehingga walaupun marah, saya hampir tidak pernah lupa mengakhiri
kemarahan dengan mengatakan, “Ibu marah sama kalian ini bukan karena Ibu benci,
tapi justru karena Ibu terlalu sayang sama kalian.” Atau jika mereka melakukan
hal yang baik, saya tidak segan-segan melontarkan pujian, “Kereeen…! Hebat ih!”
Jika
sedang ada rezeki berlebih, prestasi dan usaha mereka yang telah membuahkan
hasil yang baik, saya tidak hitung-hitungan untuk memberikannya hadiah. Tidak
harus mahal. Dengan menraktir makan siang, makan malam, membelikan buku favorit
mereka, atau nonton bareng saja, saya sudah bisa melihat binar bahagia di mata
mereka. Dan binar itu tidak bisa dinilai dengan angka-angka.
Itulah beberapa hal yang selama ini
saya lakukan untuk kedua anak saya. Lalu, apakah saya sudah cukup menyenangkan
buat mereka? Biarkan mereka yang menjawabnya. Yang terpenting, saya takkan
pernah berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang buat mereka sampai kapan
pun. Dan, alhamdulillah, hingga hari ini dan Insya Allah sampai kapan pun, saya
masih selalu merasakan kasih sayang mereka buat saya. [Wylvera W.]