Catatan ini berawal dari obrolan ringan
antara saya dengan teman. Saat itu beliau bercerita tentang kegiatan
yang dilakukan oleh sebuah komunitas di lembaga pemasyarakatan. Dari obrolan itu, tiba-tiba saya tertarik dan menyimpan
keinginan kuat untuk ke sana. Tanpa diduga, teman saya itu mengajak saya untuk
melihat dan berkunjung ke Lembaga Pemasayarakatan Anak Pria, Tangerang. Tanpa
pikir panjang, saya langsung menyeutujui.
Pada hari Rabu, 14 November 2012,
kami pun bersiap menuju Tangerang. Sebelumnya, saya sudah berusaha memasukkan
alamat lapas ke dalam GPS di mobil, tapi berkali-kali tak dtemukan arah yang
pasti. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap berangkat dan mencoba
bertanya-tanya jika sudah sampai di kota Tangerang. Tepat pukul delapan pagi
kami berangkat dari Bekasi.
Cukup jauh jarak yang kami tempuh.
Belum lagi bolak-balik bertanya tentang letak pasti dari lapas
tersebut kepada penduduk di pinggir-pinggir jalan. Lalu, ditambah dengan nyasar
dan salah memasuki lapas. Kami begitu yakin dan langsung memarkir mobil ketika
melihat nama Lembaga Pemasyarakatan, Tangerang tipe 1 A. Namun, saat tiba di
pintu gerbang lapas, ternyata itu bukan lapas yang ingin kami tuju. Itu adalah
lapas pemuda yang menampung para napi dewasa (usia di atas dua puluhan).
Ternyata alamat yang benar adalah
Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Jalan Daan Mogot, No. 29 C, Tangerang. Setelah
diberi petunjuk arah oleh penjaga lapas, kami pun memutar arah kembali. Masih
mengalami salah arah lagi, namun kami tak mau putus asa. Dengan meminta bantuan
seorang tukang koran keliling, akhirnya kami dipandu menuju lapas yang kami
inginkan.
Sampai di sana, kami disambut dengan
baik oleh penjaga lapas dan diminta langsung menuju lokasi acara. Acara digelar dalam mesjid yang ada di area lapas tersebut. Saya langsung berkenalan
dengan Mbak Suci Susanti (Ketua Gerakan Peduli Remaja/GPR) dan Bunda Yerita
Bestina (dari Yayasan Nur Aulia Ihsan) yang sudah lebih dulu tiba di lapas.
Begitu saya duduk, mata saya
langsung menyapu puluhan anak laki-laki yang berada di dalam mesjid Baitur
Rohman. Mereka adalah para tahanan yang karena berbagai kasus akhirnya
dijebloskan ke lapas itu. Umur mereka rata-rata di bawah 19 tahun. Dan, umumnya pula mereka ini berasal dari keluarga kurang mampu. Saya
perhatikan wajah dan sorot mata mereka satu persatu. Seperti tak ada
tanda-tanda atau bekas kejahatan tergambar di sana. Alih-alih, mata saya yang
nyaris berkaca-kaca.
|
Anak-anak lapas pria |
Tak berapa lama, acara penyambutan 1
Muharram pun dibuka oleh pembawa acara. Dilanjutkan dengan pembacaan Al Qur’an.
Mata saya kembali terpaku pada sosok anak laki-laki yang berjalan ke depan
sambil membawa Al Qur’an di tangannya. Saya pikir, bacaannya akan biasa-biasa
saja. Namun, saya keliru. Lantunan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dari
salah satu anak di lapas tersebut, membuat saya merinding. Seperti tak percaya
kalau anak tersebut adalah salah satu dari para tahanan yang terjerat salah
satu kasus dari beragam kasus seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian antar
remaja, pencurian, dan lain-lain.
|
Pembacaan ayat suci Al Qur'an |
“Ya
Allah, ini kenyataan. Dan, saya tak bisa melukiskannya dengan kata-kata.”
Beberapa
sambutan berikutnya melanjutkan acara tersebut. Sambutan pertama disampaikan
oleh Wakil Kepala Lapas, Bapak Hisam Wibowo, Bcip, SH. Kemudian Bunda Yerita
Bestina memberikan sambutannya sebagai pendahulu acara inti penyambutan 1
Muharram tersebut.
|
Sambutan Bunda Yerita Bestina |
|
Pembagian snack sebelum ISHOMA |
Di
sela-sela acara, saya tak bisa menahan keinginan untuk berbincang dengan
beberapa anak di lapas itu. Kebetulan saya duduk dengan seorang anak yang
terlihat lebih dewasa dari yang lainnya. Salah satu anak yang sempat saya ajak
ngobrol lebih lama adalah R. Inilah obrolan kami yang membuat jantung saya
berdetak tak menentu.
"Kasus kamu apa?" tanya saya setengah
berbisik kepada R karena acara tengah berjalan.
Saya tahu namanya R, karena sebelumnya dia sudah
memperkenalkan diri.
"Asusila dan pembunuhan, Bunda,” jawabnya sedikit ragu-ragu.
Saya terdiam sejenak, karena terkejut dengan
jawabannya yang begitu datar. Lalu, saya berpikir melanjutkan pertanyaan berikutnya.
"Sudah
berapa lama di sini?" lanjut saya lagi.
"Lima
tahun. Tapi masa hukumannya delapan tahun."
"Mengapa kamu melakukannya?"
Kali ini R
yang terdiam dengan mata redup dan wajah yang ditekuk, seperti bingung ingin
menjawab.
"Dendam
keluarga," katanya akhirnya.
"Kalian masih saudara?" tanya saya semakin
terperanjat.
"Iya
Bun. Saya menyesal,” jawabnya lagi kembali menundukkan mukanya.
Saya menarik
nafas, mencoba mengatur detak jantung yang sejak tadi mulai tidak beraturan.
Antara haru, geram, kasihan, dan mencoba untuk melihat sisi lebih jauh lagi
dari kejahatan/kekhilafan apa yang sudah melatarbelakangi mereka melakukannya.
Semoga saya tak salah jika sempat menilai bahwa faktor didikan orangtualah yang begitu
memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak-anak ini. Terutama
didikan agama.
"Bagaimana
perasaan kamu sekarang?" lanjut saya tak begitu pintar memilih pertanyaan.
"Sudah
agak tenang, tapi tetap menyesal dan ingin benar-benar bertobat,"
jawabnya.
“Iya,
syukurlah. Kamu punya adik atau kakak?” tanya saya lagi.
“Ada, adik
saya perempuan. Makanya saya malu banget, Bunda. Kasus ini sudah bikin keluarga
saya malu. Saya kasihan sama keluarga saya,” jawabnya panjang penuh rasa penyesalan
yang tak menyiratkan kepura-puraan. (Maaf, saya sengaja tak menampilkan foto R demi kenyamanannya.)
Saya tak
kuat meneruskan obrolan. Saya tinggalan doa dalam hati untuknya. Semoga R
menemukan hidayah Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar dan
sungguh-sungguh bertaubat demi mendapat ampunan-Nya.
Acara penyambutan
tahun baru Hijriyah pun dijeda dengan waktu sholat dan istirahat makan siang. Selepas
sholat berjemaah dan makan siang, acara dilanjutkan dengan penampilan kelompok marawis anak-anak lapas,
tauziah, dan pemutaran film bertema Islami.
|
Kelompok Marawis lapas |
|
Tauziah |
|
Pemutaran film |
Informasi
yang saya terima dari Mbak Suci,
kegiatan kunjungan ke lapas anak pria di Tangerang ini sudah rutin mereka
lakukan. Tujuannya adalah untuk melakukan pembinaan mental dan spiritual
anak-anak muslim di lapas tersebut.
“Mereka
senang sekali kalau kita ke sini, Mbak. Dan, Alhamdulillah... pihak lapas
memberikan kita waktu dan tempat untuk bersentuhan dengan mereka,” begitu ujar
Mbak Suci.
Saya begitu
kagum kepada Mbak Suci dan teman-teman dari GPR serta pendukungnya. Dengan
keikhlasan, mereka kerap meluangkan waktu untuk membina anak-anak lapas
tersebut. Kegiatan yang dilakukan oleh GPR ini diharapkan dapat memberikan
motivasi dan inspirasi bagi anak-anak lapas. Harapannya, agar setelah mereka
keluar dari lapas, mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik serta tidak
mengulang kesalahan yang sama.
Selanjutnya...dari
sekian banyak anak laki-laki di lapas tersebut yang terdata oleh GPR, ternyata
ada yang memiliki hobi menulis. Mendengar itu saya langsung tertarik
mengajaknya ngobrol dan memintanya mengambil contoh tulisan yang sudah pernah
dibuatnya. Subhanallah... tulisan-tulisan anak itu bagus sekali dan tertata
dengan rapi. Saat memulai berbincang, anak itu tak ingin saya menuliskan
namanya.
|
Ini salah satu puisi anak itu |
“Tulisan
saya lebih banyak puisi, Bunda. Saya kepengen banget ada yang mau bantu
membukukan puisi-puisi ini,” ujarnya berharap.
“Insya
Allah, jangan putus asa. Tetaplah menulis, nanti pasti ada jalannya,” kata saya
mencoba memberi semangat.
Saya masih
menyimpan niat dalam hati, bahwa saya akan kembali ke lapas itu. Bincang-bincang
saya dengan Mbak Suci, R, dan anak yang gemar menulis puisi tadi, serta
beberapa anak yang sudah saya ajak bicara tak bisa berlangsung lebih lama karena keterbatasan waktu. Tapi, saya ingin mewujudkan niat dan
keinginan mereka untuk menorehkan kisah-kisah mereka kelak dalam sebuah buku
kumpulan kisah anak-anak lapas itu.
Begitulah,
beberapa jam saya berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Tangerang itu...hati saya sudah dipenuhi dengan berbagai rasa. Haru, takjub, iba, dan perasaan
lain yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Semua rasa itu membuat saya
tak sempat mengabadikan banyak momen dalam foto. Saya begitu terhanyut dengan
suasana. Semoga lain waktu, saya akan sempatkan berfoto dengan mereka.
Dalam memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1434 Hijriyah ini, hanya do’a yang
bisa saya titipkan untuk mereka. Semoga mereka diberi cahaya penuntun ke jalan
kebenaran oleh Allah SWT, sehingga mereka benar-benar menyadari segala
kejahatan, kekeliruan, dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Semoga Allah
meridhoi taubat mereka demi meraih hidayah-Nya. Aamiin. [Wylvera W.]