Minggu, 25 November 2012

Pengalaman Menulis Novel Duet

       Menyatukan dua karakter penulisan dalam satu novel, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Tapi, dengan semangat dan kegigihan, akhirnya saya dan Fita Chakra mampu melakukannya. Ini adalah pengalaman pertama saya dalam menulis novel secara duet. Berawal dari ide yang beberapa waktu sempat mengendap di file naskah saya. Ketika sebuah tawaran datang pada kami yang terhimpun di Galeri Kelas Ajaib , maka saya langsung menawarkan ide tersebut ke rekan duet saya

      Setelah Fita menyetujui, kami lanjutkan membicarakan plot. Kami menyusunnya bersama. Kami pun mulai membagi jatah penulisan dengan cara mengerjakannnya secara bergantian. Setelah satu bab selesai saya tulis, maka Fita akan melanjutkan ke bab berikutnya. Begitu seterusnya. Namun, dalam perjalanan kerjasama ini tentu saja tak semulus yang kami bayangkan. Sempat terjadi perombakan plot. Tapi, untung saja... kami memiliki karakter bercerita yang tak jauh berbeda. Ini tentu saja sangat membantu.

     Dalam waktu tiga minggu yang benar-benar membuat kami jumpalitan (tapi menyenangkan), akhirnya kami mampu menyelesaikan cerita tersebut.

Ini hasil akhirnya:
Judul: Kue-kue Cinta
Penulis: Fita Chakra dan Wylvera W.
Penerbit: Penerbitan Pelangi Indonesia
Jumlah halaman: 234 halaman
Harga: Rp40.000,-
 


Sinopsis

Sepeninggal ayahandanya, Awang dan Nining harus bekerja keras agar bisa tetap sekolah. Ibundanya pun merantau ke Malaysia untuk bekerja. Sambil menahan kerinduan, Awang dan Nining mengamen. Pekerjaan itu tak mudah bagi mereka. Mulai dari modal yang minim, membagi waktu dengan waktu belajar, dan nyaris dikeroyok sekelompok pengamen jalanan mereka alami. Mereka pun beralih menjual kue dari rumah ke rumah.
Apakah mereka berhasil menamatkan sekolahnya? Apakah impian memiliki toko kue tercapai? Dan, apakah mereka bisa bersatu kembali dengan ibundany
a? [Wylvera W.]

Rabu, 14 November 2012

Kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria Tangerang



            Catatan ini berawal dari obrolan ringan antara saya dengan teman. Saat itu beliau bercerita tentang kegiatan yang dilakukan oleh sebuah komunitas di lembaga pemasyarakatan. Dari obrolan itu,  tiba-tiba saya tertarik dan menyimpan keinginan kuat untuk ke sana. Tanpa diduga, teman saya itu mengajak saya untuk melihat dan berkunjung ke Lembaga Pemasayarakatan Anak Pria, Tangerang. Tanpa pikir panjang, saya langsung menyeutujui.
            Pada hari Rabu, 14 November 2012, kami pun bersiap menuju Tangerang. Sebelumnya, saya sudah berusaha memasukkan alamat lapas ke dalam GPS di mobil, tapi berkali-kali tak dtemukan arah yang pasti. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap berangkat dan mencoba bertanya-tanya jika sudah sampai di kota Tangerang. Tepat pukul delapan pagi kami berangkat dari Bekasi.
            Cukup jauh jarak yang kami tempuh. Belum lagi bolak-balik bertanya tentang letak pasti dari lapas tersebut kepada penduduk di pinggir-pinggir jalan. Lalu, ditambah dengan nyasar dan salah memasuki lapas. Kami begitu yakin dan langsung memarkir mobil ketika melihat nama Lembaga Pemasyarakatan, Tangerang tipe 1 A. Namun, saat tiba di pintu gerbang lapas, ternyata itu bukan lapas yang ingin kami tuju. Itu adalah lapas pemuda yang menampung para napi dewasa (usia di atas dua puluhan).
            Ternyata alamat yang benar adalah Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Jalan Daan Mogot, No. 29 C, Tangerang. Setelah diberi petunjuk arah oleh penjaga lapas, kami pun memutar arah kembali. Masih mengalami salah arah lagi, namun kami tak mau putus asa. Dengan meminta bantuan seorang tukang koran keliling, akhirnya kami dipandu menuju lapas yang kami inginkan.

           Sampai di sana, kami disambut dengan baik oleh penjaga lapas dan diminta langsung menuju lokasi acara. Acara digelar dalam mesjid yang ada di area lapas tersebut. Saya langsung berkenalan dengan Mbak Suci Susanti (Ketua Gerakan Peduli Remaja/GPR) dan Bunda Yerita Bestina (dari Yayasan Nur Aulia Ihsan) yang sudah lebih dulu tiba di lapas.
            Begitu saya duduk, mata saya langsung menyapu puluhan anak laki-laki yang berada di dalam mesjid Baitur Rohman. Mereka adalah para tahanan yang karena berbagai kasus akhirnya dijebloskan ke lapas itu. Umur mereka rata-rata di bawah 19 tahun. Dan, umumnya pula mereka ini berasal dari keluarga kurang mampu. Saya perhatikan wajah dan sorot mata mereka satu persatu. Seperti tak ada tanda-tanda atau bekas kejahatan tergambar di sana. Alih-alih, mata saya yang nyaris berkaca-kaca.

Anak-anak lapas pria
            Tak berapa lama, acara penyambutan 1 Muharram pun dibuka oleh pembawa acara. Dilanjutkan dengan pembacaan Al Qur’an. Mata saya kembali terpaku pada sosok anak laki-laki yang berjalan ke depan sambil membawa Al Qur’an di tangannya. Saya pikir, bacaannya akan biasa-biasa saja. Namun, saya keliru. Lantunan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dari salah satu anak di lapas tersebut, membuat saya merinding. Seperti tak percaya kalau anak tersebut adalah salah satu dari para tahanan yang terjerat salah satu kasus dari beragam kasus seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian antar remaja, pencurian, dan lain-lain. 
Pembacaan ayat suci Al Qur'an
“Ya Allah, ini kenyataan. Dan, saya tak bisa melukiskannya dengan kata-kata.”
Beberapa sambutan berikutnya melanjutkan acara tersebut. Sambutan pertama disampaikan oleh Wakil Kepala Lapas, Bapak Hisam Wibowo, Bcip, SH. Kemudian Bunda Yerita Bestina memberikan sambutannya sebagai pendahulu acara inti penyambutan 1 Muharram tersebut.
Sambutan Bunda Yerita Bestina
Pembagian snack sebelum ISHOMA
 Di sela-sela acara, saya tak bisa menahan keinginan untuk berbincang dengan beberapa anak di lapas itu. Kebetulan saya duduk dengan seorang anak yang terlihat lebih dewasa dari yang lainnya. Salah satu anak yang sempat saya ajak ngobrol lebih lama adalah R. Inilah obrolan kami yang membuat jantung saya berdetak tak menentu.
"Kasus kamu apa?" tanya saya setengah berbisik kepada R karena acara tengah berjalan. 
Saya tahu namanya R, karena sebelumnya dia sudah memperkenalkan diri.
"Asusila dan pembunuhan, Bunda,” jawabnya sedikit ragu-ragu.
Saya  terdiam sejenak, karena terkejut dengan jawabannya yang begitu datar. Lalu, saya berpikir melanjutkan pertanyaan berikutnya.
"Sudah berapa lama di sini?" lanjut saya lagi.
"Lima tahun. Tapi masa hukumannya delapan tahun."
"Mengapa kamu melakukannya?"
Kali ini R yang terdiam dengan mata redup dan wajah yang ditekuk, seperti bingung ingin menjawab.
"Dendam keluarga," katanya akhirnya.
"Kalian masih saudara?" tanya saya semakin terperanjat.
"Iya Bun. Saya menyesal,” jawabnya lagi kembali menundukkan mukanya.
Saya menarik nafas, mencoba mengatur detak jantung yang sejak tadi mulai tidak beraturan. Antara haru, geram, kasihan, dan mencoba untuk melihat sisi lebih jauh lagi dari kejahatan/kekhilafan apa yang sudah melatarbelakangi mereka melakukannya. Semoga saya tak salah jika sempat menilai bahwa faktor didikan orangtualah yang begitu memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak-anak ini. Terutama didikan agama.
"Bagaimana perasaan kamu sekarang?" lanjut saya tak begitu pintar memilih pertanyaan.
"Sudah agak tenang, tapi tetap menyesal dan ingin benar-benar bertobat," jawabnya.
“Iya, syukurlah. Kamu punya adik atau kakak?” tanya saya lagi.
“Ada, adik saya perempuan. Makanya saya malu banget, Bunda. Kasus ini sudah bikin keluarga saya malu. Saya kasihan sama keluarga saya,” jawabnya panjang penuh rasa penyesalan yang tak menyiratkan kepura-puraan. (Maaf, saya sengaja tak menampilkan foto R demi kenyamanannya.)
Saya tak kuat meneruskan obrolan. Saya tinggalan doa dalam hati untuknya. Semoga R menemukan hidayah Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar dan sungguh-sungguh bertaubat demi mendapat ampunan-Nya.
Acara penyambutan tahun baru Hijriyah pun dijeda dengan waktu sholat dan istirahat makan siang. Selepas sholat berjemaah dan makan siang, acara dilanjutkan dengan penampilan kelompok marawis anak-anak lapas, tauziah, dan pemutaran film bertema Islami.
Kelompok Marawis lapas
Tauziah
Pemutaran film
Informasi yang saya terima dari Mbak Suci, kegiatan kunjungan ke lapas anak pria di Tangerang ini sudah rutin mereka lakukan. Tujuannya adalah untuk melakukan pembinaan mental dan spiritual anak-anak muslim di lapas tersebut.
“Mereka senang sekali kalau kita ke sini, Mbak. Dan, Alhamdulillah... pihak lapas memberikan kita waktu dan tempat untuk bersentuhan dengan mereka,” begitu ujar Mbak Suci.
Saya begitu kagum kepada Mbak Suci dan teman-teman dari GPR serta pendukungnya. Dengan keikhlasan, mereka kerap meluangkan waktu untuk membina anak-anak lapas tersebut. Kegiatan yang dilakukan oleh GPR ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi anak-anak lapas. Harapannya, agar setelah mereka keluar dari lapas, mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik serta tidak mengulang kesalahan yang sama.
Selanjutnya...dari sekian banyak anak laki-laki di lapas tersebut yang terdata oleh GPR, ternyata ada yang memiliki hobi menulis. Mendengar itu saya langsung tertarik mengajaknya ngobrol dan memintanya mengambil contoh tulisan yang sudah pernah dibuatnya. Subhanallah... tulisan-tulisan anak itu bagus sekali dan tertata dengan rapi. Saat memulai berbincang, anak itu tak ingin saya menuliskan namanya.
Ini salah satu puisi anak itu
“Tulisan saya lebih banyak puisi, Bunda. Saya kepengen banget ada yang mau bantu membukukan puisi-puisi ini,” ujarnya berharap.
“Insya Allah, jangan putus asa. Tetaplah menulis, nanti pasti ada jalannya,” kata saya mencoba memberi semangat.
Saya masih menyimpan niat dalam hati, bahwa saya akan kembali ke lapas itu. Bincang-bincang saya dengan Mbak Suci, R, dan anak yang gemar menulis puisi tadi, serta beberapa anak yang sudah saya ajak bicara tak bisa berlangsung lebih lama karena keterbatasan waktu. Tapi, saya ingin mewujudkan niat dan keinginan mereka untuk menorehkan kisah-kisah mereka kelak dalam sebuah buku kumpulan kisah anak-anak lapas itu.

Begitulah, beberapa jam saya berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Tangerang itu...hati saya sudah dipenuhi dengan berbagai rasa. Haru, takjub, iba, dan perasaan lain yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Semua rasa itu membuat saya tak sempat mengabadikan banyak momen dalam foto. Saya begitu terhanyut dengan suasana. Semoga lain waktu, saya akan sempatkan berfoto dengan mereka.
Dalam memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1434 Hijriyah ini, hanya do’a yang bisa saya titipkan untuk mereka. Semoga mereka diberi cahaya penuntun ke jalan kebenaran oleh Allah SWT, sehingga mereka benar-benar menyadari segala kejahatan, kekeliruan, dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Semoga Allah meridhoi taubat mereka demi meraih hidayah-Nya. Aamiin. [Wylvera W.]

Selasa, 06 November 2012

Sekolah Mapan dan Sekolah Sampah

       Indonesia memiliki penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Setiap warganya berhak mendapatkan pendidikan. Sementara, pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat kita. Dari data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2011, tercatat tidak kurang dari setengah juta anak SD serta sekitar 200 ribu anak SMP, tak mampu meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kondisi ini menempatkan Education Development Index Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara.

Catatan di atas membuat naluri saya, yang hampir lebih dua tahun ini ikut berkecimpung di dunia pendidikan, merasa terusik. Saya hanya mengambil peran kecil dari kehidupan para guru, yaitu sebagai pengajar ektrakurikuler “Jurnalistik dan Kepenulisan” di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu, Bekasi. Selama itu pula saya belum sempat berpikir untuk menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Mungkin ini lebih disebabkan kenyamanan yang sudah saya dapatkan di sekolah tersebut, sehingga saya tak sempat menelaah nasib guru-guru lainnya di luar sana.

Penulis dan murid-muridnya di SDIT Thariq Bin Ziyad PHP
Semua berawal dari kehadiran saya di acara Peresmian Gerakan Indonesia Berkibar di Museum Arsip Nasional, pada tanggal 28 Oktober 2012 yang lalu. Dari acara tersebut,  saya sempat menyimak, membuat liputan kecil, dan telah mencatatnya di blog saya. Dari situ, diam-diam saya menyimpan beberapa pertanyaan. “Ke mana saja saya selama ini? Apakah saya sudah puas dengan apa yang sudah saya lakukan sebagai guru ektrakurikuler? Apakah saya tak ingin melihat bagaimana perjuangan para guru di sekolah lain yang tercatat sebagai sekolah yang serba tertinggal, mulai dari kualitas gurunya, kualitas kurikulumnya, maupun kualitas infrastrukturnya?” Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggerakkan saya menuliskan catatan singkat di blog saya.
Saya awali dengan mengamati sebuah sekolah yang berisikan murid-murid dari keluarga mampu. Saya menyempatkan diri untuk meninjau prasarana (infrastruktur) sekolah tersebut. Mulai dari perangkat pendukung belajar yang serba lengkap, seperti laboratorium bahasa, komputer, lapangan untuk berolahraga, sampai sarana untuk kegiatan ekstrakurikuler pun hampir seluruhnya tersedia.
Laboratorium Komputer
Laboratorium Bahasa
Lapangan olahraga
Melihat semua perangkat pendukung itu, tentu saja akan menarik minat para orangtua untuk menitipkan putra-putri mereka di sekolah tersebut. Mereka sudah memiliki bayangan, jika anak-anak mereka tak akan ketinggalan dalam pengetahuan tentang teknologi. Apalagi jika melihat catatan prestasi beberapa siswanya dan dukungan pengalaman para pengajarnya. Rata-rata para guru tersebut telah dibekali dengan kemampuan mengajar serta mendidik yang baik. Kenyataan ini akan semakin membulatkan tekat para orangtua yang notabene dari keluarga mampu, untuk menitipkan anak-anak mereka di sekolah tersebut.
            Lalu, saya mencoba membandingkannya dengan “Sekolah Sampah” yang berlokasi di kawasan bau busuk menyengat. Saya menyebutnya “Sekolah Sampah” karena sekolah itu terletak di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Tentu saja, jauh sekali rentang kesenjangannya. Sekolah itu bernama Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Al – Falah di bawah Yayasan Ummu Amanah.  Tidak seperti sekolah-sekolah reguler lainnya, di sekolah ini masih memakai kurikulum pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C.
Penulis di lokasi pembuangan sampah yang dekat dengan sekolah
Inilah nama sekolah itu



 Jumlah murid yang ada di sekolah tersebut tidak merata di setiap jenjangnya. Untuk jenjang sekolah dasar (SD) tidak sampai seratus murid yang tersebar di masing-masing kelas. Bahkan ada yang hanya dua belas murid saja dalam satu kelasnya. Sedangkan untuk SMP dan SMA hanya delapan murid. Dan, tentu saja itu bukan untuk anak-anak yang berada di luar lokasi sampah. Sekolah itu diperuntukkan kepada anak-anak para pemulung. Selain itu, guru-guru di sana pun tak didukung penuh oleh infrastruktur seperti sekolah pertama yang saya amati.
Perangkat komputer sumbangan Donatur
Ruang guru yang sangat sederhana

Murid kelas 2 (ada yang berseragam ada yang tidak)
 Kondisi yang memprihatinkan kerap dialami para guru dan murid di “Sekolah Sampah” itu. Meskipun bangunan yang sekarang mereka tempati sudah lumayan memadai, namun bau busuk serta geliat dari belatung-belatung yang berebut mengurai tumpukan sampah, masih tak bisa lepas dari keseharian mereka. Di kondisi seperti itu pula mereka berjuang dan bertahan berbagi senyum. Dengan prasarana yang belum bisa dikatakan memadai, mereka mencoba membekali para muridnya dengan ilmu yang mereka miliki. 

Penulis bersama Kepala Sekolah dan beberapa guru
Saya yakin, para guru di sekolah itu bukan tak menyimpan obsesi besar. Misalnya, tentang kesempatan yang bisa mereka dapatkan untuk membekali diri dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan standar pendidikan di tanah air tercinta ini. Namun, mungkin waktu belum memihak kepada mereka.
            Meskipun beberapa guru di sana sudah ada yang memiliki bekal kemampuan dan pengetahuan yang sama dengan para pengajar di sekolah mapan, namun jika sarana dan prasarana tak selengkap di sekolah pertama yang saya amati tadi, kemampuan itu tak akan maksimal. Dan, melahirkan anak-anak cerdas dari “Sekolah Sampah” itu pasti penuh dengan tantangan serta perjuangan. 
Memang terasa nikmat dan menjadi kebanggan bagi para guru, jika di tengah kesulitan dan usaha yang tertatih-tatih, mereka berhasil melahirkan siswa yang cemerlang dan mampu bersaing dengan murid-murid dari sekolah yang mapan. Tapi, kesejahteraan para pendidik di sana pun perlu mendapat perhatian. Setidaknya kita perlu memberikan dukungan, agar tantangan serta perjuangan tersebut tak menjadikan para pendidik di sana semakin hari semakin tergerus oleh tantangan demi tantangan yang terkadang sulit mereka hadapi. 
Ikrar para murid Al- Falah yang diabadikan dalam frame
Melihat dua sekolah dengan kesenjangan yang sangat jauh berbeda ini, saya mencoba memupuk harapan. Seandainya, ada pihak yang mau meluangkan waktunya untuk menilik sekolah-sekolah seperti ini. Tidak hanya berkunjung, tapi mencoba mencarikan solusi dan memberi bantuan agar “Sekolah Sampah” tersebut bisa memenuhi standar mutu pendidikan yang jauh lebih baik lagi. Atau paling tidak, bisa perlahan-lahan mengikuti sekolah-sekolah mampu lainnya. Baik dari pembenahan kurikulum, sarana dan prasarana, sampai pembekalan keterampilan mengajar/mendidik kepada para gurunya.
            Sebagai solusi, peran Gerakan Indonesia Berkibar yang beberapa waktu lalu sempat saya hadiri peresmiannya, sangat diharapkan dalam pemulihan kondisi ini. Sesuai dengan visi dan misinya yang sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui perbaikan kualitas guru dan sekolah. Banyak harapan yang disandarkan pada Gerakan Indonesia Berkibar dan para pendukung yang terkait dalam pergerakannya. Salah satunya mungkin “Sekolah Sampah” ini. Dan ini tentunya akan menambah catatan Gerakan Indonesia Berkibar.
Tak banyak contoh yang bisa saya sajikan. Ini hanya salah satu dari sekian banyak kondisi sekolah, murid, dan guru yang masih memerlukan pembenahan. Jika masalah dan tantangan ini bisa kita carikan solusinya secara bersama-sama, maka harapan ke arah peningkatan mutu pendidikan di tanah air bisa teratasi. Sehingga sekolah mapan dan sekolah sampah tak lagi terganjal oleh kesenjangan yang tajam, khususnya di masalah penerapan kurikulum, mutu pendidikan, dan kesejahteraan guru yang setiap harinya bersentuhan dengan para murid yang hidup dalam ekonomi pas-pasan tersebut.   
Jika kesenjangan ini perlahan bisa diatasi, bukan tidak mungkin dari sekolah-sekolah macam “Sekolah Sampah” itu kelak, para pendidiknya mampu melahirkan putra-putri bangsa yang bisa ikut serta berperan besar dalam menggerakkan pembangunan di tanah air. Keberhasilan putra putri bangsa itu kelak hendaknya mampu mengubah catatan Education Development Index Indonesia ke posisi yang lebih tinggi di antara negara-negara lainnya. Dan, ini tentunya akan menambah semangat para guru untuk semakin meningkatkan kualitas dan dedikasinya terhadap dunia pendidikan. 
 Semoga! [Wylvera W.]



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...