Saya bersama Sari |
Berawal
dari dongeng Bapak di masa kecil.
Sambil duduk
mencabuti uban sang Bapak, Sari menyimak dongeng yang berkisah tentang kemanusiaan
yang kerapkali disampaikan ayahnya. Hal
ini memancing imajinasi Sari dan menyentuh nurani kekanakannya. “Itu dahsyatnya
sebuah dongeng. Bapakku dulu suka mendongeng dan dongengnya kebanyakan yang
melas-melas tentang orang-orang miskin. Sampai aku sering nangis Mumbay
mendengar dongeng Bapak,” begitu ujarnya mengenang masa kecil.
Selain
itu, sang Bapak juga suka melakukan tindakan kemanusiaan seperti, menampung
anak-anak yatim dan orang yang tak mampu di rumah. Ada yang dijadikan sopir
sampai diberi modal usaha. Karena melihat kebiasaan orangtuanya inilah, lama
kelamaan empati Sari tumbuh.
Sari
juga sering dikirim orangtuanya ke Jogja untuk menghabiskan waktu liburnya. Di kota budaya itu, Sari pun banyak bersentuhan dengan orang-orang tak mampu, termasuk para
pemulung. “Kalau boleh bertukar nasib, orang-orang seperti para pemulung itu
tentu ingin sekali seperti kita, Mbak,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca dan
helaan nafas dalam.
Empati
itu nyata dan menuai tindakan mulia.
Berawal pada
tahun 2000 di Malang, saat itu Sari sudah mulai bergerak mewujudkan impian masa
kecilnya untuk berbagi dengan orang-orang miskin. Sari mendatangi anak-anak tak
mampu itu sampai ke pinggiran-pinggiran kali/sungai untuk disekolahkan. Semua
dilakukan Sari dengan hanya menyisihkan uang belanja yang diberikan suaminya.
Tahun 2006, Sari dan keluarga hijrah
ke Bekasi. Ada kegundahan terbesit di hatinya, karena harus meninggalkan
anak-anak asuhnya di rumah penampungan miliknya di Malang. Akhirnya, Sari
berhasil bekerjasama dengan sebuah yayasan untuk menyambung mengurusi anak-anak
tersebut, dengan jaminan bahwa rumah penampungan milik Sari boleh ditempati
oleh yayasan yang kantornya masih mengontrak saat itu. Ini dilakukan Sari agar
pihak yayasan bisa langsung memantau anak-anak asuhnya yang berjumlah lebih
dari sepuluh orang beserta para janda di rumah tersebut. “Simbiosis mutualisme
lah, Mbak,” ujarnya tersenyum.
Kondisi awal ketika Sari berjuang mendirikan sekolah pemulung |
Di awal-awal kepindahannya dan
menemptai sebuah rumah di kawasan Kemang Pratama, Bekasi, Sari kerap menangis.
Pasalnya, hatinya tiba-tiba kosong karena tak lagi bersentuhan dengan anak-anak
miskin yang sebelumnya mengisi hari-harinya selama di Malang. Sari membujuk
suami untuk membawanya berkeliling di kota Bekasi hanya untuk menemukan
anak-anak jalanan yang ada di perapatan lampu-lampu lalu lintas kota Bekasi.
Lokasi TPA Bantar Gebang |
Betapa
girangnya Sari ketika bisa menemukan mereka. Sari membagikan nasi bungkus dan
sengaja meluangkan waktu untuk duduk bergabung bersama anak-anak jalanan dan
para pengemis itu. Sementara, suami dan anak-anak Sari selalu memaklumi dan
bahkan mendukung penuh semua niat mulia dan kegiatan kemanusiaannya. Dan, Sari
sangat terampil membagi waktu serta hatinya antara keluarga dan kegiatan
kemanusiaan yang digelutinya selama ini.
Perjuangan
mendirikan sekolah sampah di Bantar Gebang, Bekasi.
Januari 2007, Sari menemukan lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sejak
itulah, dia mulai gencar mendatangi bedeng-bedeng pemulung demi menawarkan
sekolah/pendidikan kepada para orangtua dari anak-anak pemulung itu.
Tak mulus perjuangan Sari dalam
mengumpulkan anak-anak pemulung itu. Dari aroma busuk gunungan sampah,
belatung-belatung yang kerap menempel di gamisnya, Sari sempat dicurigai,
dicaci maki, bahkan diusir di sana. Tapi, Sari tak pernah menyerah, dia terus
mendatangi para pemulung, merayu, memohon, dan membujuk anak-anak mereka untuk
mau belajar. Bukan hanya itu, Sari juga berjuang membujuk kaum Bapak untuk mau
mengikuti pengajian yang digelarnya secara kecil-kecilan di sebuah mushola,
yang dipinjamnya dengan lagi-lagi dari menyisihkan uang belanja.
Berkat kegigihan dan niat mulianya,
Tuhan membukakan jalan dan akhirnya Sari mampu mengumpulkan 60 anak pemulung
untuk diberi pendidikan awal. Namun, usahanya belum berjalan lancar.
Berulangkali guru bantu yang direkrut, selalu mundur karena tak kuat dengan bau
sampah yang menyengat.
Sari
tak mau patah semangat. Akhirnya dia menemukan solusi dengan merekrut guru
bantu dari warga setempat yang lebih akrab dengan aroma busuk sampah-sampah
itu. Sejalan dengan perjuangannya itu, mulai berdatangan lah bantuan dari
berbagai pihak, terutama teman-teman Sari yang ikut membantu keuangan demi
berlanjutnya niat mulia ini.
Sari bersama para guru dan anak didiknya |
Hingga
saat ini, sekolah yang sudah terbentuk menjadi Yayasan Ummu Amanah itu, telah
dilengkap dengan jenjang pendidikan mulai SD sampai SMA dengan berbasis kejar
paket. Atas perjuangannya, Sari telah meraih penghargaan dari Gubernur Jawa
barat sebagai Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan di Hari Ibu ke-81
tahun 2009 lalu.
Dari
perbincangan yang memakan durasi lebih dari sejam itu, dada saya tak
henti-hentinya menahan sesak akibat tekanan rasa kagum dan haru yang membaur
luar biasa. Yang pasti, saya merasa tersentuh, terusik, dan tersentil. Di saat
banyak orang bertarung untuk hidup, Sari telah menemukan makna dari hidup itu
sendiri. Ketika banyak orang saling sikut demi memuaskan ego untuk meraih
materi, Sari telah menemukan sisi mulia dengan tetap teguh berjalan di jalan
kebenaran. Luar biasa! [Wylvera W.]
Telah dimuat di Majalah Insani (majalah Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia), edisi 19/TH VII/Desember 2012