Rabu, 04 November 2015

Mengajak Berbuat Baik kepada Orangtua



            Para ulama Islam sepakat untuk menetapkan bahwa birrul walidain (berbuat baik kepada orangtua) hukumnya adalah wajib, kecuali terhadap perkara yang haram. Bahkan kewajiban ini menduduki posisi kedua setelah beribadah dan taat kepada Allah Swt. Ketetapan itu didasarkan pada beberapa firman Allah Swt. dalam Al Qur’an berikut ini;

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun juga dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua Ibu Bapak”. (QS. An Nisa’ ayat 36).

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ۬ وَفِصَـٰلُهُ ۥ فِى عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡڪُرۡ لِى وَلِوَٲلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ
Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf ayat 15)

            Berangkat dari “Birrul Walidain” ini, kami dari Gerakan Peduli Remaja (GPR) ingin sekali mengajak anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang bisa memahami dan mengamalkannya. Inilah tema yang kami bawa sebagai pengisi kunjungan rutin ke sana di hari Selasa, 3 November 2015 kemarin.

Memanfaatkan Waktu Sejam
            Kami berangkat sekitar jam delapan lewat beberapa menit dari Pondok Kelapa. Hari itu agak berbeda dari Selasa lainnya. Suci (Ketua GPR) tidak bisa hadir ke LPKA karena harus memenuhi jadwal lain. Maka yang bertugas menjadi pembimbing di LPKA adalah saya, Lisya, Ningsih, Ratna, Sarah, dan Kiky. 
            Perjalanan menuju LPKA hari itu bertambah ramai dengan ikut sertanya Mira Sahid (Founder Komunitas Emak Blogger/KEB). Beliau ingin sekali melihat kondisi anak-anak binaan di lapas Tangerang itu. Jadilah beliau meluangkan waktunya untuk bergabung bersama kami.
            Singkat cerita, setelah menembus kemacetan tol, kami pun tiba di LPKA kurang dari jam sebelas. Setelah mengisi buku tamu, seperti biasa kami langsung menuju masjid lapas. Ternyata anak-anak sedang mengikuti lomba Muharram-an. Kami diminta menunggu sekitar 10 menit untuk memulai sesi bimbingan.

Saya membuka pertemuan sambil menunggu anak-anak lainnya kumpul
            Tepat jam sebelas, anak-anak pun kembali berkumpul di masjid. Waktu kami tak sampai sejam untuk menemani anak-anak itu. Sangat mepet ke waktu Zuhur. Demi memanfaatkan waktu yang sangat pendek itu, saya langsung membuka pertemuan. Karena tidak melihat kehadiran Bunda Suci (begitu mereka biasanya memanggil Ketua GPR), tentu saja pertanyaan pertama yang mereka lontarkan adalah, “Bunda Suci, mana Bunda?” Saya tersenyum mendengar pertanyaan yang menyiratkan rasa kerinduan itu. Saya langsung menyampaikan salam dari Suci dan mengatakan alasan penting yang membuat beliau tidak bisa bertemu anak-anak LPKA.
            Mata saya berbinar melihat anak-anak yang hadir di masjid. Lumayan ramai. Wajah-wajah mereka terlihat begitu antusias untuk mendapatkan ilmu. Langsung saja kami membagi mereka ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama dibimbing oleh Ratna. Kelompok kedua didampingi oleh Ningsih. Kelompok ketiga oleh Lisya dan saya. Lalu kelompok empat, dipandu oleh Kiki yang belakangan nyusul hadir ke LPKA. Ada Bu Nela juga yang hadir untuk kedua kalinya ke LPKA. Beliau ikut mendampingi Kiki menyampaikan bagian dari materi tentang birrul walidain.

Birrul Walidain
            Tema yang akan kami sampaikan hari itu seragam, yaitu tentang makna dan amalan birrul walidain (berbuat baik kepada orangtua). Tausiah pun dimulai. Masing-masing kami membahas tentang kewajiban berbuat baik kepada orangtua. Di kelompok anak-anak yang kami dampingi, Lisya mengawali dengan memberikan penjelasan tentang apa itu birrul walidain. Lisya juga menjelaskan tentang kebaikan-kebaikan apa yang wajib dipersembahkan oleh anak kepada kedua orangtua mereka. Yang paling utama adalah mendoakan mereka. Kemudian menghormati dan menyayangi orangtua tanpa kecuali. 

Lisya mengawali penjelasan tentang amalan birrul walidain
            Saat Lisya memberi penjelasan, saya tak bisa lepas memerhatikan ekspresi dan sorot mata anak-anak binaan itu. Tentu tidak semua dari mereka khusyuk menyimak. Namun, beberapa dari mereka saya lihat tekun mendengarkan. Luar biasa! Kajian tentang keutamaan berbuat baik kepada kedua orangtua ini ternyata mampu menyentuh kepekaan mereka.

Anak-anak menyimak tausiah dari Ratna
            Mereka yang hidup dalam keterbatasan perhatian dan kasih sayang orangtua, tentu saja rindu akan bahasan seputar materi ini. Ketika saya memberikan contoh, salah satu dari mereka berkomentar, “Bagaimana kalau orangtuanya sudah tidak ada, Bunda?” “Bagaimana caranya berbuat baik? Bapak Ibu saya sudah meninggal.”
            Mendengar komentar dan pertanyaan itu, saya hening sejenak. Bukan tak paham ingin menjawab apa, tapi tercekat dengan pengakuan yang polos dari anak itu. Wajahnya seolah takut kalau kesempatan mendapatkan pengampunan dari Allah Swt. tak ada lagi, karena orangtuanya sudah tak ada. Dia seolah merasa tak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.
Akhirnya saya menjawab. “Tetaplah mendoakan mereka. Walaupun mereka sudah tidak ada. Mendoakan kebaikan untuk mereka kan juga bentuk dari kasih sayangmu kepada orangtua. Allah pasti mendengarnya kalau kamu tulus dan ikhlas,” ujar saya sambil tetap menatap mata anak itu.
            “Saya nggak pernah dekat sama orangtua saya, Bunda. Mereka nggak ada waktu,” sambung yang lainnya. Lagi-lagi kerongkongan saya nyaris tercekat.
            “Kamu berapa orang bersaudara?” tanya saya tidak langsung merespon komentarnya yang sarat dengan kekecewaan itu.
            “Lima, Bunda,” jawabnya datar.
            “Baik. Kamu dan empat saudaramu yang lainnya butuh biaya nggak?” tanya saya lagi. Dia mengangguk tapi masih bingung.
            “Lalu, pernahkah kamu memikirkan bagaimana orangtuamu berjuang untuk menghidupi kalian berlima?” lanjut saya.
Kepala anak itu pelan-pelan mengangguk. Saya yakin dia mulai paham maksud pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Anak itu sudah lama menjadi binaan di LPKA. Saya juga mengenalnya bukan sebagai anak yang lambat. Dia salah satu anak yang ikut di lomba baca Al Qur’an. Saya sempat melihatnya tadi mengantri di kelompok anak yang mengikuti lomba.
“Mereka butuh waktu untuk bisa mencari nafkah demi menghidupi kamu dan saudaramu yang lainnya. Jadi, kalau mereka tak punya waktu untuk setiap saat mendampingi dan menjagamu, jangan menyalahkan mereka. Justru kamu bantu mendoakan mereka supaya tetap sehat dan bisa mencari rezeki yang halal buat kalian,” kata saya sangat hati-hati. 

Kelompok anak yang dibimbing Ningsih
Diam-diam saya sedikit merasa khawatir dia akan menolak jawaban saya. Karena bisa saja, dia merasa bahwa bukan saya yang menjalani kepahitan hidup yang dia dan keluarganya jalani selama ini. Namun, dengan tetap memohon petunjuk dari Allah, saya tetap menaruh harapan bahwa anak ini mengerti dengan apa yang saya sampaikan.
Penjelasan tentang makna dan kewajiban birrul walidain di siang itu menjadi topik yang sangat mengena dengan anak-anak LPKA. Lisya dan saya saling melengkapi isi tausiah. Jauh di lubuk hati saya, tentunya saya tetap optimis menyelipkan harapan agar anak-anak itu paham serta berusaha untuk mengamalkannya. Meskipun kehidupan yang telah mereka jalani sangatlah getir dan menyulitkan, namun berbuat baik dan berbakti kepada orangtua harus menjadi hal utama yang mereka yakini.
“Jika selama ini kalian tidak sengaja menyalahkan orangtua kalian atas apa yang kalian alami saat ini, cepat-cepatlah beristighfar dan mohon ampunan Allah. Mohon ampun juga kepada orangtua kalian. Seburuk apa pun orangtua kita, kita tetap wajib menghormati dan mendoakan kebaikan untuk mereka,” ujar saya panjang lebar berusaha memilih kata-kata yang pas dan berharap mereka pahami.

Kelompok anak yang bersama Kiky dan Bu Nela
Begitulah, kami sekuat hati dan kemampuan memberikan gambaran kepada anak-anak LPKA tentang kewajiban berbuat baik dan menyayangi kedua orangtua. Meskipun kami tahu, bahwa mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang justru terabaikan dari perhatian orangtuanya. Semua itu terjadi karena faktor kemiskinan dan tuntutan untuk tetap bisa mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan paling mendasar. Bisa makan saja sudah syukur.
Dengan segala tantangan dakwah di sana, kami (GPR) tidak putus asa untuk selalu memberi keyakinan kepada anak-anak itu, bahwa bagaimana pun cara orangtua mereka memperlakukannya, mereka tetaplah seorang anak. Dan, seorang anak tetap wajib menghormati, berbuat baik serta mendoakan kedua orangtua yang baik-baik.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡڪِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra’ayat 23). [Wylvera W.]



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...