Saya sadar, kalau cerita ini bisa
saja dialami oleh para orangtua lainnya. Namun, hati saya begitu kuat untuk
tetap mencatatnya di blog ini. Bukan untuk riya. Tidak samasekali. Niat saya sederhana saja. Ingin mengabadikan
momen yang pernah saya lewati bersama anak sulung saya, Mira. Dan yang
terpenting, saya ingin membagi keyakinan, bahwa Allah itu sungguh Maha Pengasih dan
Penyayang.
Mira masih 3 tahun |
Sebagai anak pertama dan kebetulan
cucu pertama pula dari kedua belah pihak keluarga saya dan suami, Mira seolah
jadi pusat perhatian. Awal-awal kelahirannya menjadi hadiah terindah bagi
keluarga saya dan suami. Mulai dari pemberian nama dan ulang tahun pertama
hingga beberapa tahun setelahnya pun, kami ungkapkan dalam bentuk tasyakuran.
Yasmin Amira Hanan, sebuah nama pemberian saya dan suami ditabalkan di Medan.
Sebuah pesta sederhana yang berlangsung di rumah saya kala itu, dihadiri oleh
sanak famili. Rasa syukur dan bahagia mewarnai suasana saat itu.
Keluarga kecil kami tidak tinggal di
Medan (kampung halaman saya dan suami). Kami sempat tinggal di Komplek Perdatam, Jakarta Selatan,
waktu itu. Hanya setahun. Jelang empat bulan usia Mira, kami pun pindah ke
Bekasi hingga saat ini. Setiap tahun menjadi tradisi kami untuk mudik ke Medan.
Saat itu ketika usia Mira tepat setahun, bertepatan dengan Idul Fitri, saya dan
suami kembali menggelar acara tasyakuran. Mensyukuri setahunnya umur Mira.
Begitulah, sebelum adiknya dan
sepupu-sepupunya lahir, perhatian para kakek dan neneknya belum bergeser. Mira
jadi tumpuan kasih sayang kami. Seiring berjalannya waktu, cucu-cucu lainnya
pun lahir. Porsi untuk Mira pun mulai terbagi. Seolah tanpa diatur oleh
hal-hal tertulis, keberadaannya jadi contoh atau tolok ukur buat adik-adiknya.
Waktu itu, saya tidak pernah menyadarinya. Namun dari waktu ke waktu, karakter
Mira kian terbentuk sedemikian rupa. Bisa jadi dia tanpa sadar pelan-pelan
memosisikan dirinya sebagai “Kakak Tertua” dari adik kandung dan
sepupu-sepupunya.
Mira masih TK |
Mira pun masuk play group, TK A dan B, hingga sekolah dasar. Tidak pernah
sekalipun saya mempersiapkannya untuk jadi yang terbaik di mata adik-adiknya.
Namun, itu tadi, Mira tanpa sadar mendorong dirinya sendiri untuk berada di
posisi itu. Beberapa prestasi pun kerap diperolehnya. Di play group saja, sudah ada beberapa piala yang dihasilkannya. Begitu
juga di TK, SD, SMP, hingga SMA. Dan semua keberhasilan itu tidak melulu terkait dengan bidang akademik saja.
Sempat
beberapa kali terbesit di benak saya, “Apakah semua penghargaan yang pernah
diperoleh Mira itu akan membuatnya sulit menerima kekalahan?” Ya, saya beberapa
kali membaca ulasan dan paparan para pakar tentang perkembangan karakter anak.
Wajarlah kalau saya khawatir. Disebutkan di beberapa artikel itu bahwa anak
yang senantiasa mudah mendapatkan keberhasilan, egonya akan sulit dilenturkan.
Keras kepala, mau menang sendiri, sulit bernegosiasi, dan hal lainnya yang
mengarah ke sana bisa saja mendominasi karakternya. Kekhawatiran itulah yang
mengiringi hati saya agar terus mendampinginya untuk mempersiapkan mental.
Tidak
semudah itu membentuk karakter anak yang sejak awal merasa jadi panutan dalam
keluarga. Namun saya tidak semudah itu juga untuk menyerah. Saya terus
memengaruhi pola pikir Mira dalam menyiapkan hati menerima sebuah kekalahan.
Itu saya mulai sejak dia masih duduk di sekolah dasar. Semua yang saya lakukan
selalu saya sandarkan pada permohonan ridho dari Allah. Namun, sekali lagi, memang tidak mudah.
Sesekali terlontar dari mulutnya, “Aaah, kenapa nggak berhasil sih?” “Memangnya
salahku di mana sampai bisa gagal ya, Bu?” “Kesal ni, Kakak … gagalnya di mana
ya, Bu?” Dan, masih ada beberapa penolakan lain yang pernah terucap saat dia
dihadapkan pada kegagalan.
Kondisi
seperti itulah yang akhirnya membuat saya khawatir ketika Mira mulai duduk di
bangku SMA. Tapi, Allah SWT ternyata mendengar kekhawatiran saya. Mira semakin
hari semakin tumbuh menjadi pribadi yang wise.
Saya pun terheran-heran sendiri. Sejak Allah menyembuhkannya dari pasca operasi
pengangkatan batu di kantung empedunya (kondisi yang nyaris membuat hidup saya
gamang waktu itu), saya diam-diam memerhatikan perubahan karakternya. Mira
seolah terlahir kembali menjadi pribadi yang lebih legowo, tidak terlalu ambisius, santai saat mendapatkan bahwa
dirinya gagal menerima sesuatu. Meskipun sesekali masih muncul penolakan itu,
namun tidak sekuat masa-masa sebelumnya. Alhamdulillah, semua karena izin
Allah.
Hingga
sampailah menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan mengantarkannya
melepas masa SMA. Justru saya yang cemas. Sementara Mira santai dan seolah
tidak terlalu terbebani dengan target-target. Begitu juga saat menentukan
pilihan untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Awalnya Mira ingin
mengambil jurusan kedokteran. Pilihan ini saya yakini hanyalah bentuk rasa
hormatnya saja pada ibu dan bapaknya waktu itu. Ya, saya dan suami sempat
mendengung-dengungkan bahwa dulu kami gagal untuk kuliah di jurusan itu. Mira
seolah ingin mewujudkan mimpi kedua orangtuanya.
Di
seleksi awal jalur undangan, sekolah melakukan pemetaan awal. Saat itu Mira
memilih fakultas kedokteran. Begitu hasilnya keluar, posisi Mira ada di nomor
urut tiga. Mira seperti disadarkan. Dia bilang ke saya, “Bu, sepertinya Kakak
nggak cocok deh ambil kedokteran.” Saya terkejut dengan perubahan yang
tiba-tiba itu. Saya pikir dia serius mau mengambil jurusan itu. Namun ternyata
Mira hanya ingin menguji kekuatan dan target dari nilai-nilai rapot yang telah
diraihnya.
Wajarlah
kalau ketika mendengar Mira memilih jurusan yang pernah menjadi obsesi saya dan
bapaknya, saya senangnya bukan kepalang. Namun, saya buru-buru menetralkan
perasaan. Sekuat hati saya tidak mau memengaruhi pilihannya. Mira yang tahu dia
mau jadi apa nanti. Sebagai orangtua, saya dan bapaknya hanya memberikan
fasilitas, mendukung, dan mendoakannya.
Sampailah
pada akhirnya Mira memutuskan untuk pindah jalur dari IPA ke IPS. Mira memilih
Fakultas Hukum UI untuk final pengisian data jalur undangan. Selain itu, Mira
menemukan informasi tentang penerimaan jurusan yang sama namun di kelas internasionalnya. Waktu pendaftaran ternyata sudah sangat mepet, sementara
syarat yang diminta ada yang belum dimiliki oleh Mira.
Saya
dan suami menyemangati Mira agar tidak mundur sebelum bertanding. Akhirnya Mira
juga mencoba keberuntungan untuk seleksi di Fakultas Hukum kelas internasional
Universitas Indonesia - Talent Scouting. Ada beberapa syarat yang diminta.
Pertama, harus memiliki sertifikat IELTS atau TOEFl dengan standar score 5,5. Kedua, harus membuat motivational statement (semacam
application letter). Ketiga, nilai rapot semester 1 sampai 5. Keempat, sertifikat
prestasi yang terkait.
Mira
belum memilik sertifikat TOEFL maupun IELTS. Karena masih ada waktu, saya dan bapaknya
pun sibuk menemaninya untuk mengikuti test
IELTS waktu itu. Alhamdulillah, Mira berhasil meraih overall score 7 untuk IELTS. Ini menjadi pemicu harapannya untuk
diterima di Faculty of Law UI International Class.
Meraih gelar The Best Speaker |
Berikutnya,
Mira pun sibuk membuat motivational
statement dan memilih tiga sertifikat yang pernah diperolehnya (salah
satunya sertifikat “The Best Speaker pada kompetisi English Debating” antar SMA
se-Bekasi). Semuanya sudah berhasil disubmit.
Tinggal menunggu hasil.
Ketika
UAN telah terlampaui, pengumuman kelulusan pun telah keluar, detik-detik
kecemasan dimulai lagi. Jujur saja, orang paling cemas saat menunggu pengumuman
kelulusan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) adalah saya.
Ya, saya … ibunya Mira. Daaan … Mira tidak lulus undangan. Saya pikir Mira down. Ternyata dia tenang-tenang saja.
Justru sayalah yang agak cemas. Kalau jalur undangan tidak lolos, harapan
berikutnya adalah Talent Scouting.
Kalau itu pun gagal, Mira harus siap bersaing lewat ujian tertulis bersama
ratusan siswa SMA lainnya lewat SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri) dan Simak UI.
Mira
pun tidak mau konyol. Dia memilih untuk ikut kelas intensif IPS demi
mempersiapkan diri di jalur-jalur test
tadi. Talent Scouting sementara
dilupakannya. Tiga tahun dijejali dengan pelajaran IPA membuatnya sedikit
kesulitan saat pertama kali mendapatkan materi pelajaran IPS. Nilai tryout-nya pun standar sekali. Mira
hanya mampu berada di urutan ke-50 di antara teman-teman lesnya. Minggu-minggu
berikutnya, Mira terus berusaha hingga akhirnya ia mampu meraih hasil nilai tryout yang membawanya pada posisi 10
untuk kelas IPS.
Di
tengah-tengah mempersiapkan diri untuk test
SBMPTN dan Simak UI, tibalah saatnya menunggu pengumuman Talent Scouting FH UI, 16 Mei 2016. Ini seolah menjadi klimaks dari penantian
kami. Mira kembali memunculkan rasa khawatirnya. Berulang-ulang dia bilang ke
saya, “Kok tangan Kakak dingin ya, Bu. Jam tiga masih lama banget ya?” Duuuh …
kondisi ini mau tak mau membuat saya ikut cemas, bahkan lebih cemas dari Mira
sendiri. Termasuk ibu saya (Nenek) pun yang awalnya tenang akhirnya terbawa
cemas.
Menjelang
pukul 15.00 WIB, kami semakin uring-uringan. Begitu tepat jam tiga, Mira
langsung mengecek website.
Berulang-ulang dicoba tetap saja gagal. Hingga akhirnya Mira memutuskan menunggu azan untuk sholat Ashar. Saya yang sedang tidak sholat menunggu dengan
harap-harap cemas. Ibu saya pun mendahulukan sholat. Namun, saya tetap tidak
berani mencoba-coba membuka website-nya.
Setelah
selesai sholat, Mira berubah sedikit lebih tenang dan mulai membuka websitenya kembali. Akhirnya bisa! Mira
memasukkan passwordnya.
“Ya
Allah … Alhamdulillah, aku diterima! Aku lulus, Bu! Lulus!” serunya dengan
suara serak. Saya spontan mencium kepalanya dan kami berpelukan (lebay ya …
tapi sesungguhnya itulah yang terjadi). Sesaat setelah merasakan kegembiraan
itu, saya buru-buru mengingatkan Mira untuk sujud syukur. Bahagianya tak
terkira. Allah akhirnya menjawab doa-doa dan penantian Mira dan kami semua.
Dan, saya percaya, bahwa keberhasilan ini sedikit banyak adalah berkat doa dari
teman-teman saya juga (baik di facebook, whatsApp, dan lainnya).
“Alhamdulillah,
aku sekarang sudah jadi mahasiswa ya, Bu. Doa-doa kita di sholat-sholat tengah
malam itu sudah dijawab Allah. Alhamdulillah ya, Bu,” ujar Mira bikin kami
tersenyum haru.
Speechless….
Saya
hanya tersenyum haru menyimak kata-kata Mira. Terima kasih, Ya Allah. Sungguh, kebesaran dan janji-janji-Mu untuk orang-orang yang ikhlas terbangun pada
sepertiga malam, semakin membuktikan bahwa Engkau Maha Mengabulkan permintaan
hamba-Mu yang bersungguh-sungguh berharap. Alhamdulillah….
Tanpa
campur tangan-Mu, semua kebahagiaan yang Mira dan kami rasakan ini tidak akan
terjadi. Untuk itu, kami kembalikan segalanya pada kuasa dan kasih
sayang-Mu, Ya Allah. Perjalanan Mira masih panjang (jika Engkau meridhoinya). Ini adalah permulaan baginya dalam memasuki gerbang kedewasaan demi meraih cita-cita yang diinginkannya. Saya mohon, jaga dan bimbinglah anak kami untuk tetap
tawadhu’ dan istiqomah dalam menuntut dan mengamalkan ilmunya - untuk dunia dan
bekal akhiratnya - di jalan yang Engkau ridhoi. Aamiin …. [Wylvera W.]