Selasa, 17 Mei 2016

Campur Tangan Allah itu Nyata



            Saya sadar, kalau cerita ini bisa saja dialami oleh para orangtua lainnya. Namun, hati saya begitu kuat untuk tetap mencatatnya di blog ini. Bukan untuk riya. Tidak samasekali. Niat saya sederhana saja. Ingin mengabadikan momen yang pernah saya lewati bersama anak sulung saya, Mira. Dan yang terpenting, saya ingin membagi keyakinan, bahwa Allah itu sungguh Maha Pengasih dan Penyayang.
Mira masih 3 tahun
            Sebagai anak pertama dan kebetulan cucu pertama pula dari kedua belah pihak keluarga saya dan suami, Mira seolah jadi pusat perhatian. Awal-awal kelahirannya menjadi hadiah terindah bagi keluarga saya dan suami. Mulai dari pemberian nama dan ulang tahun pertama hingga beberapa tahun setelahnya pun, kami ungkapkan dalam bentuk tasyakuran. Yasmin Amira Hanan, sebuah nama pemberian saya dan suami ditabalkan di Medan. Sebuah pesta sederhana yang berlangsung di rumah saya kala itu, dihadiri oleh sanak famili. Rasa syukur dan bahagia mewarnai suasana saat itu.
            Keluarga kecil kami tidak tinggal di Medan (kampung halaman saya dan suami). Kami sempat tinggal di Komplek Perdatam, Jakarta Selatan, waktu itu. Hanya setahun. Jelang empat bulan usia Mira, kami pun pindah ke Bekasi hingga saat ini. Setiap tahun menjadi tradisi kami untuk mudik ke Medan. Saat itu ketika usia Mira tepat setahun, bertepatan dengan Idul Fitri, saya dan suami kembali menggelar acara tasyakuran. Mensyukuri setahunnya umur Mira.
            Begitulah, sebelum adiknya dan sepupu-sepupunya lahir, perhatian para kakek dan neneknya belum bergeser. Mira jadi tumpuan kasih sayang kami. Seiring berjalannya waktu, cucu-cucu lainnya pun lahir. Porsi untuk Mira pun mulai terbagi. Seolah tanpa diatur oleh hal-hal tertulis, keberadaannya jadi contoh atau tolok ukur buat adik-adiknya. Waktu itu, saya tidak pernah menyadarinya. Namun dari waktu ke waktu, karakter Mira kian terbentuk sedemikian rupa. Bisa jadi dia tanpa sadar pelan-pelan memosisikan dirinya sebagai “Kakak Tertua” dari adik kandung dan sepupu-sepupunya.

Mira masih TK
            Mira pun masuk play group, TK A dan B, hingga sekolah dasar. Tidak pernah sekalipun saya mempersiapkannya untuk jadi yang terbaik di mata adik-adiknya. Namun, itu tadi, Mira tanpa sadar mendorong dirinya sendiri untuk berada di posisi itu. Beberapa prestasi pun kerap diperolehnya. Di play group saja, sudah ada beberapa piala yang dihasilkannya. Begitu juga di TK, SD, SMP, hingga SMA. Dan semua keberhasilan itu tidak melulu terkait dengan bidang akademik saja.
Sempat beberapa kali terbesit di benak saya, “Apakah semua penghargaan yang pernah diperoleh Mira itu akan membuatnya sulit menerima kekalahan?” Ya, saya beberapa kali membaca ulasan dan paparan para pakar tentang perkembangan karakter anak. Wajarlah kalau saya khawatir. Disebutkan di beberapa artikel itu bahwa anak yang senantiasa mudah mendapatkan keberhasilan, egonya akan sulit dilenturkan. Keras kepala, mau menang sendiri, sulit bernegosiasi, dan hal lainnya yang mengarah ke sana bisa saja mendominasi karakternya. Kekhawatiran itulah yang mengiringi hati saya agar terus mendampinginya untuk mempersiapkan mental.
Tidak semudah itu membentuk karakter anak yang sejak awal merasa jadi panutan dalam keluarga. Namun saya tidak semudah itu juga untuk menyerah. Saya terus memengaruhi pola pikir Mira dalam menyiapkan hati menerima sebuah kekalahan. Itu saya mulai sejak dia masih duduk di sekolah dasar. Semua yang saya lakukan selalu saya sandarkan pada permohonan ridho dari Allah.  Namun, sekali lagi, memang tidak mudah. Sesekali terlontar dari mulutnya, “Aaah, kenapa nggak berhasil sih?” “Memangnya salahku di mana sampai bisa gagal ya, Bu?” “Kesal ni, Kakak … gagalnya di mana ya, Bu?” Dan, masih ada beberapa penolakan lain yang pernah terucap saat dia dihadapkan pada kegagalan.
Kondisi seperti itulah yang akhirnya membuat saya khawatir ketika Mira mulai duduk di bangku SMA. Tapi, Allah SWT ternyata mendengar kekhawatiran saya. Mira semakin hari semakin tumbuh menjadi pribadi yang wise. Saya pun terheran-heran sendiri. Sejak Allah menyembuhkannya dari pasca operasi pengangkatan batu di kantung empedunya (kondisi yang nyaris membuat hidup saya gamang waktu itu), saya diam-diam memerhatikan perubahan karakternya. Mira seolah terlahir kembali menjadi pribadi yang lebih legowo, tidak terlalu ambisius, santai saat mendapatkan bahwa dirinya gagal menerima sesuatu. Meskipun sesekali masih muncul penolakan itu, namun tidak sekuat masa-masa sebelumnya. Alhamdulillah, semua karena izin Allah.
Hingga sampailah menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan mengantarkannya melepas masa SMA. Justru saya yang cemas. Sementara Mira santai dan seolah tidak terlalu terbebani dengan target-target. Begitu juga saat menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Awalnya Mira ingin mengambil jurusan kedokteran. Pilihan ini saya yakini hanyalah bentuk rasa hormatnya saja pada ibu dan bapaknya waktu itu. Ya, saya dan suami sempat mendengung-dengungkan bahwa dulu kami gagal untuk kuliah di jurusan itu. Mira seolah ingin mewujudkan mimpi kedua orangtuanya.
Di seleksi awal jalur undangan, sekolah melakukan pemetaan awal. Saat itu Mira memilih fakultas kedokteran. Begitu hasilnya keluar, posisi Mira ada di nomor urut tiga. Mira seperti disadarkan. Dia bilang ke saya, “Bu, sepertinya Kakak nggak cocok deh ambil kedokteran.” Saya terkejut dengan perubahan yang tiba-tiba itu. Saya pikir dia serius mau mengambil jurusan itu. Namun ternyata Mira hanya ingin menguji kekuatan dan target dari nilai-nilai rapot yang telah diraihnya.
Wajarlah kalau ketika mendengar Mira memilih jurusan yang pernah menjadi obsesi saya dan bapaknya, saya senangnya bukan kepalang. Namun, saya buru-buru menetralkan perasaan. Sekuat hati saya tidak mau memengaruhi pilihannya. Mira yang tahu dia mau jadi apa nanti. Sebagai orangtua, saya dan bapaknya hanya memberikan fasilitas, mendukung, dan mendoakannya.
Sampailah pada akhirnya Mira memutuskan untuk pindah jalur dari IPA ke IPS. Mira memilih Fakultas Hukum UI untuk final pengisian data jalur undangan. Selain itu, Mira menemukan informasi tentang penerimaan jurusan yang sama namun di kelas internasionalnya. Waktu pendaftaran ternyata sudah sangat mepet, sementara syarat yang diminta ada yang belum dimiliki oleh Mira.
Saya dan suami menyemangati Mira agar tidak mundur sebelum bertanding. Akhirnya Mira juga mencoba keberuntungan untuk seleksi di Fakultas Hukum kelas internasional Universitas Indonesia - Talent Scouting. Ada beberapa syarat yang diminta. Pertama, harus memiliki sertifikat IELTS atau TOEFl dengan standar score 5,5. Kedua, harus membuat motivational statement (semacam application letter). Ketiga, nilai rapot semester 1 sampai 5. Keempat, sertifikat prestasi yang terkait.
Mira belum memilik sertifikat TOEFL maupun IELTS. Karena masih ada waktu, saya dan bapaknya pun sibuk menemaninya untuk mengikuti test IELTS waktu itu. Alhamdulillah, Mira berhasil meraih overall score 7 untuk IELTS. Ini menjadi pemicu harapannya untuk diterima di Faculty of Law UI International Class. 

Meraih gelar The Best Speaker
Berikutnya, Mira pun sibuk membuat motivational statement dan memilih tiga sertifikat yang pernah diperolehnya (salah satunya sertifikat “The Best Speaker pada kompetisi English Debating” antar SMA se-Bekasi). Semuanya sudah berhasil disubmit. Tinggal menunggu hasil.
Ketika UAN telah terlampaui, pengumuman kelulusan pun telah keluar, detik-detik kecemasan dimulai lagi. Jujur saja, orang paling cemas saat menunggu pengumuman kelulusan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) adalah saya. Ya, saya … ibunya Mira. Daaan … Mira tidak lulus undangan. Saya pikir Mira down. Ternyata dia tenang-tenang saja. Justru sayalah yang agak cemas. Kalau jalur undangan tidak lolos, harapan berikutnya adalah Talent Scouting. Kalau itu pun gagal, Mira harus siap bersaing lewat ujian tertulis bersama ratusan siswa SMA lainnya lewat SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan Simak UI.
Mira pun tidak mau konyol. Dia memilih untuk ikut kelas intensif IPS demi mempersiapkan diri di jalur-jalur test tadi. Talent Scouting sementara dilupakannya. Tiga tahun dijejali dengan pelajaran IPA membuatnya sedikit kesulitan saat pertama kali mendapatkan materi pelajaran IPS. Nilai tryout-nya pun standar sekali. Mira hanya mampu berada di urutan ke-50 di antara teman-teman lesnya. Minggu-minggu berikutnya, Mira terus berusaha hingga akhirnya ia mampu meraih hasil nilai tryout yang membawanya pada posisi 10 untuk kelas IPS.
Di tengah-tengah mempersiapkan diri untuk test SBMPTN dan Simak UI, tibalah saatnya menunggu pengumuman Talent Scouting FH UI, 16 Mei 2016. Ini seolah menjadi klimaks dari penantian kami. Mira kembali memunculkan rasa khawatirnya. Berulang-ulang dia bilang ke saya, “Kok tangan Kakak dingin ya, Bu. Jam tiga masih lama banget ya?” Duuuh … kondisi ini mau tak mau membuat saya ikut cemas, bahkan lebih cemas dari Mira sendiri. Termasuk ibu saya (Nenek) pun yang awalnya tenang akhirnya terbawa cemas.
Menjelang pukul 15.00 WIB, kami semakin uring-uringan. Begitu tepat jam tiga, Mira langsung mengecek website. Berulang-ulang dicoba tetap saja gagal. Hingga akhirnya Mira memutuskan menunggu azan untuk sholat Ashar. Saya yang sedang tidak sholat menunggu dengan harap-harap cemas. Ibu saya pun mendahulukan sholat. Namun, saya tetap tidak berani mencoba-coba membuka website-nya.
Setelah selesai sholat, Mira berubah sedikit lebih tenang dan mulai membuka websitenya kembali. Akhirnya bisa! Mira memasukkan passwordnya.
“Ya Allah … Alhamdulillah, aku diterima! Aku lulus, Bu! Lulus!” serunya dengan suara serak. Saya spontan mencium kepalanya dan kami berpelukan (lebay ya … tapi sesungguhnya itulah yang terjadi). Sesaat setelah merasakan kegembiraan itu, saya buru-buru mengingatkan Mira untuk sujud syukur. Bahagianya tak terkira. Allah akhirnya menjawab doa-doa dan penantian Mira dan kami semua. Dan, saya percaya, bahwa keberhasilan ini sedikit banyak adalah berkat doa dari teman-teman saya juga (baik di facebook, whatsApp, dan lainnya).
“Alhamdulillah, aku sekarang sudah jadi mahasiswa ya, Bu. Doa-doa kita di sholat-sholat tengah malam itu sudah dijawab Allah. Alhamdulillah ya, Bu,” ujar Mira bikin kami tersenyum haru.
Speechless….  
Saya hanya tersenyum haru menyimak kata-kata Mira. Terima kasih, Ya Allah. Sungguh, kebesaran dan janji-janji-Mu untuk orang-orang yang ikhlas terbangun pada sepertiga malam, semakin membuktikan bahwa Engkau Maha Mengabulkan permintaan hamba-Mu yang bersungguh-sungguh berharap. Alhamdulillah….
Tanpa campur tangan-Mu, semua kebahagiaan yang Mira dan kami rasakan ini tidak akan terjadi. Untuk itu, kami kembalikan segalanya pada kuasa dan kasih sayang-Mu, Ya Allah. Perjalanan Mira masih panjang (jika Engkau meridhoinya). Ini adalah permulaan baginya dalam memasuki gerbang kedewasaan demi meraih cita-cita yang diinginkannya. Saya mohon, jaga dan bimbinglah anak kami untuk tetap tawadhu’ dan istiqomah dalam menuntut dan mengamalkan ilmunya - untuk dunia dan bekal akhiratnya - di jalan yang Engkau ridhoi. Aamiin …. [Wylvera W.]
           

Selasa, 03 Mei 2016

Mengenal Profesi lewat Kelas Inspirasi



Sempat berfoto karena masih pagi ^_^
            Semua bermula dari colekan seorang teman di facebook. Ia membagi info tentang Kelas Inspirasi yang akan digelar di Jakarta dan sekitarnya. Di sana dikatakan bahwa Kelas Inspirasi Jakarta #5 kembali mengundang para profesional yang sukses karena pendidikan, untuk terjun langsung berbagi cerita dan inspirasi tentang jejak langkah profesi selama sehari di Hari Inspirasi Jakarta.
            Membaca kata “profesional”, awalnya sempat mengendurkan semangat saya untuk ikut mendaftarkan diri. Sekuat hati saya berusaha membulatkan tekad dengan mengedepankan rasa kepedulian terhadap pendidikan. Akhirnya saya pun mendaftar. Setelah mensubmit form isian pendaftaran, saya berharap agar bisa lolos. Alhamdulillah, akhirnya saya memang terpilih dari ratusan pendaftar. Saya pun tergabung dalam Kelas Inspirasi Jakarta yang kelima (#KIJKT5).

Pertama kali ikut briefing
            Setelah lolos dalam seleksi pendaftaran, semua relawan yang tergabung di Kelas Inspirasi Jakarta 5 melakukan briefing pada tanggal 17 April 2016. Saya hadir di Gedung The Energy Building Soehanna Hall, Jakarta Selatan. Saat saya tiba di sana, belum begitu ramai. Hingga akhirnya gedung pun dipenuhi para relawan, baik yang baru pertama kali ikut seperti saya maupun yang sudah pernah.

Inilah para relawan Kelas Inspirasi Jakarta #5
            Dalam diam, saya terus mengamati suasana. Betapa saya terharu melihat ratusan relawan dengan wajah-wajah suka-cita berkumpul di sana. Mereka siap menyisihkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk berbagi dan menginspirasi anak-anak SD di penjuru Jakarta.

Dari whatsapp, meeting, lesson plan, survey, hingga hari inspirasi
            Dari briefing, kami pun dibagi ke dalam beberapa kelompok. Saya tergabung di kelompok Jakarta 48 yang akan berbagi inspirasi di SDN 01 Kalibaru, Cilincing Jakarta Utara. Saya tiba-tiba seolah merasa muda kembali. Anggota kelompok Jakarta 48 ini terdiri dari anak-anak muda yang energik dan luar biasa kreatif. Kami berkumpul di whatsapp group. Bayangkan saja. Dari semua grup whatsapp yang ada di hape saya, Kelas Inspirasi 5 – JKT 48 lah yang paling heboh. Kalau saja malam boleh tidak tidur, mungkin mereka akan melakukan obrolan 24 jam penuh dalam sehari. *ngikik ngebayanginnya*
            Saya tidak terlalu lincah mengikuti semua perbincangan teman-teman satu tim di whatsapp. Lebih sering menyimak dan mengikutinya plus senyum-senyum kalau pas topik membelok ke yang lucu-lucuan. Hebatnya, interaksi seperti itu yang akhirnya melekatkan pertemanan kami. Di antara mereka, ada beberapa orang yang sudah pernah menjadi relawan inspirator, dokumentasi dan fasilitator Kelas Inspirasi. Sisanya baru pertama kali, termasuk saya. Namun seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Bonding (ikatan) pertemanan di antara kami terekat begitu saja.

Meeting pertama dengan tim Jkt48
            Dari whatsapp group itu pula kami menyusun lesson plan (rencana pembelajaran) untuk hari “H”. Pertemuan-pertemuan berikutnya ditetapkan. Sayangnya, saya hanya bisa hadir satu kali. Padahal ingin sekali rasanya bisa ikut meninjau sekolah yang menjadi tempat kami berbagi inspirasi. Apa daya, waktu saya kurang pas dengan jadwal survey itu. 
            Menjelang hari “H”, obrolan di grup whatsapp semakin intens. Hanya satu alasan yang memotivasi kami berupaya menyusun rencana serapi mungkin, yaitu agar anak-anak di SDN 01 Kalibaru benar-benar terinspirasi dengan kehadiran kami. Hingga malam sebelum tanggal 2 Mei 2016, kami masih saling mengingatkan satu sama lain. Termasuk janji bertemu di beberapa titik agar bisa tepat waktu tiba di lokasi, menjadi bagian pembicaraan. Intinya, rasa tak sabar menunggu hari bersejarah itu begitu tersirat. Salut saya!

Keseruan di hari inspirasi, 2 Mei 2016
            Pagi bersejarah (buat saya sih sebenarnya) itu kami awali dengan briefing singkat yang ditutup dengan doa bersama. Hari itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Momen yang lagi-lagi membuat saya merasa sangat beruntung. Untuk pertama kalinya saya ikut Kelas Inspirasi, langsung merasakan momen upacara hari nasional. 

Inilah tema dari Kelompok #JKT48
Saya tiba di sekolah ini
Bangga dan bahagia memenuhi rongga dada saya begitu upacara dimulai. Rasa haru terus menguasai hati saya selama menyaksikan urutan acara yang diawali dengan pengibaran bendera, menyimak grup marching band yang anggotanya terdiri dari murid-murid sekolah itu sendiri, hingga akhirnya kami diperkenalkan oleh pembina upacara satu per satu kepada seluruh murid dan para guru. Selebihnya, acara semakin heboh dan seru saat teman inspirator (Adi Waluyo) mengambil alih untuk memimpin yel-yel bersama murid-murid di lapangan sekolah itu. 

Saat upacara bendera memperingati Hari Pendidikan Nasional
Kami berdiri di depan barisan murid-murid SDN 01



Permainan tepuk tangan yang variatif sebagai contoh ice breaking yang paling gampang tapi menyegarkan, langsung mencairkan suasana. Anak-anak begitu gembira dan bersemangat. Termasuk kami, para inspirator yang akan mengajar di kelas menggantikan guru-guru mereka.  
                                                                                                                                               Kelas Inspirasi pun dimulai 
Tibalah waktunya masuk ke kelas. Saya mendapat 4 kelas (kelas 5D, 4A, 5B, dan 1A). Lesson plan yang sudah saya persiapkan lengkap dengan segala propertinya sangat membantu. Setiap kelas tentu berbeda. Kelas pertama yang akan saya masuki adalah kelas 5D yang kelasnya ada di lantai 3. 
Alhamdulillah, pengalaman mengajar di sekolah dasar (walau hanya seminggu sekali) selama enam tahun banyak membantu saya. Hari itu, saya seolah sedang bersiap-siap mengajar murid-murid saya sendiri. Apalagi materi yang akan saya bagi juga sama, yaitu bercerita tentang profesi saya sebagai penulis. Salam dan perkenalan membuka pertemuan saya dan anak-anak kelas 5 itu. Saya sebutkan nama saya tanpa memberitahu apa profesi saya.
Hal berikutnya yang saya lakukan adalah memancing mereka dengan pertanyaan tentang cita-cita mereka. Mereka dengan lantang menyebutkannya. Ada yang ingin menjadi dokter, guru, tentara, polisi, insinyur, ustad, dan pilot. Tak satu pun yang menyebut cita-cita seperti profesi saya saat ini. Minderkah saya? Oh, tentu tidak! Justru saya semakin merasa tertantang dan semangat ingin mengenalkan profesi saya.
Teringat pesan dari penggagas Kelas Inspirasi, sebagai inspirator, saya tetap konsisten untuk mengajak murid-murid sekolah dasar (khususnya murid-murid di kelas yang saya temui) untuk tetap memupuk semangat, belajar dengan sungguh-sungguh agar apa pun yang mereka cita-citakan bisa tercapai sesuai dengan harapan mereka.
Kembali ke profesi, walaupun saat upacara sebelumnya, salah satu teman inspirator (Alief) yang bertugas sebagai pembina upacara sudah memperkenalkan kami lengkap dengan profesinya masing-masing, tidak semua anak akan mengingatnya. Kartu tanda pengenal (name tag) dari Kelas Inspirasi, sengaja saya balik agar mereka semangat untuk menebak. Saya tertawa mendengar mereka sibuk menebak profesi saya. Paling banyak menyebut saya ini guru. Mungkin penampilan saya saat itu tidak jauh berbeda dari ibu-ibu guru mereka. *pengin ganti kostum sih sebenarnya, hahaha*


Saya pun kembali bertanya, “Siapa yang senang membaca?” “Buku apa yang paling suka dibaca?” Sebagian dari mereka menjawab buku cerita adalah buku yang paling mereka sukai. Dari sanalah saya akhirnya menjelaskan bahwa buku-buku yang pernah mereka baca itu tidak tercipta begitu saja. Ada seseorang yang telah berupaya menuangkan ide-idenya agar tersusun menjadi rangkaian cerita yang akhirnya layak untuk dibukukan.
“Nah, sekarang kalian sudah bisa menebak apa profesi Ibu?” tanya saya lagi.
“Penuliiis …!” jawab sebagian mereka bersamaan. Hebat!
Tentu tidak semua bisa langsung paham dengan profesi saya ini. Saya maklumi itu. Profesi penulis bisa jadi belum akrab buat mereka. Itulah sebabnya mengapa saya membulatkan tekad saat mendaftar di seleksi Kelas Inspirasi. Saya ingin agar lebih banyak anak yang akrab dengan profesi penulis. Saya juga menceritakan bagaimana pengalaman saya dalam memutuskan untuk memilih profesi itu. Intinya, jika ingin menjadi penulis, fokuslah. Jadilah penulis yang memiliki kedisplinan dan ketekunan. Begitu juga dengan cita-cita lain yang ingin mereka capai.

Memancing ide lewat gambar
            Setelah menjelaskan tentang profesi saya sebagai penulis, saya pun mengajak anak-anak  berlatih tentang salah satu proses dalam kegiatan menulis cerita. Saya ajak mereka untuk memancing idenya lewat gambar-gambar yang sudah saya pilihkan. Saya berikan waktu sekitar 15 menit dan memilih 1 dari 4 gambar yang saya sajikan.

Satu dari 4 gambar yang harus mereka pilih untuk dijadikan cerita
Inilah 3 tulisan yang berhasil selesai dalam durasi 15 menit
            Tiga murid yang lebih dulu menyelesaikan cerita singkat yang sudah dibuatnya, saya minta tampil ke depan kelas (maaf, tidak ada fotonya ya :( ). Mereka pun bergiliran membacakan ceritanya. Luar biasa! Imajinasi mereka sudah seperti seorang penulis betulan saja. Singkat ceritanya tapi sudah lumayan bagus untuk murid yang tidak pernah mendapatkan pelatihan menulis cerita selama ini. Saya ajak teman-teman mereka memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi.

Menampilkan video singkat dan membuat cerita dari boneka
            Kelas berikutnya yang saya masuki adalah kelas 4A yang letaknya ada di lantai 2. Salam dan pembuka tidak jauh berbeda dari kelas sebelumnya. Hanya improvisasi di bagian-bagian kecil saja agar saya sendiri tidak bosan. *hahaha … pengakuan ini*
            Sebenarnya saya ingin menunjukkan video yang menampilkan bagaimana saya telah mencapai berbagai prestasi dan manfaat dari profesi yang saya pilih. Namun karena keterbatasan fasilitas (tidak ada infokus), saya hanya menyajikannya lewat laptop yang saya bawa. Saya mengangkat laptop itu dan berjalan mendekati bangku mereka. Saya memutar ulang beberapa kali agar semuanya bisa melihat. Lagi-lagi sayang, tidak ada bukti dokumentasinya. Harap maklum ya, pembaca. *mengatupkan sepuluh jari*
            “Wah! Itu ibu fotonya di luar negeri ya?!” seru salah satu murid ketika melihat foto saya sedang memegang buku karya saya dan memakai baju musim dingin.
            Itulah pertanyaan yang membuka pintu bagi saya untuk menjelaskan betapa profesi penulis pun mampu menghantarkan kita ke negeri lain. Bagaimana caranya? Tentu dengan tekun dan disiplin melahirkan karya-karya buku yang bagus dan bermanfaat agar banyak yang membutuhkannya. Selain mendapatkan uang dari karya, profesi penulis juga bisa membawa kita untuk lebih dikenal. Kalau sudah dikenal maka kesempatan lainnya akan mengikuti.  

Shira sedang bercerita dengan tokoh seekor sapi (foto: Sita)
            Selanjutnya, saya mengajak mereka memraktikkan cara mencari ide dan merangkainya menjadi cerita lewat alat peraga boneka. Saya sudah menyiapkan tiga boneka; monyet, sapi, dan kelinci. Mereka sangat antusias di awalnya untuk mengangkat tangan dan memilih boneka mana yang lebih dulu dijadikan tokoh utama ceritanya.
            Akhirnya boneka sapi mendapat pilihan terbanyak. Secara bergantian mereka maju ke depan kelas dan memamerkan idenya. Ada 4 anak yang bergantian maju dan masing-masing mampu menyusun 5 kalimat. Luar biasa! Jadi penulis itu ternyata tidak sesusah yang dibayangkan.

Menyusun guntingan kata menjadi sebuah pembuka cerita
            Selesai di kelas 4A, saya harus kembali menuruni tangga menuju kelas 5B. Begitu sampai, saya sempat terkejut sekaligus terharu. Mereka menyambut saya dengan nyanyian selamat datang yang diakhiri dengan ucapan terima kasih di akhir lirik lagunya. Untunglah saya masih kuat menahan air mata. Padahal sejujurnya, hati ini mulai bergerimis waktu itu. Dua kelas pertama yang saya masuki sebelumnya saja sudah membuat saya excited, tiba-tiba saya dikejutkan dengan penyambutan seperti itu. *meleleh ….*
Salam dan pembuka serta pengenalan profesi serta upaya saya mencapai profesi pun kembali saya ulas di depan kelas. Berikut dengan ajakan untuk tetap semangat meraih cita-cita yang mereka inginkan. 
Seperti di kelas 5 sebelumnya, saya juga mengenalkan pekerjaan penulis itu seperti apa. Sebagai contoh, saya ajak mereka untuk menyusun guntingan kata (sudah saya siapkan dari rumah) menjadi kalimat pembuka cerita. Sesaat saya sempat berpikir bagaimana caranya agar mereka bisa dibagi menjadi enam kelompok. Kalau menggeser-geser meja, jatah durasi yang hanya 45 menit, tidak akan cukup.
“Bu, ngerjainnya sambil duduk di bawah aja. Ini aja alasnya!” tiba-tiba salah satu murid memberikan usul keren. 
Seru melihat mereka serius berdiskusi menyusun kata
Mereka pun sibuk mengambil beberapa karpet tipis untuk digelar di lantai, tepat di depan papan tulis. Sementara saya membantu menggeser posisi meja guru merapat ke dinding. Setelah saya membagi 6 bungkus plastik berisi guntingan kata dan kertas manila, mereka mulai sibuk berdiskusi. Waktu yang saya berikan hanya 15 menit. Dalam waktu yang bagi mereka sangat singkat, mereka berusaha keras menyusun kata-kata itu.
Sempat terjadi kericuhan saat satu kelompok berdebat menentukan posisi kata. Yang satu mengatakan A, yang lainnya memilih B untuk diletakkan di bagiam kalimat yang sudah mereka susun. Saya puas melihat keantusiasan mereka.
“Emang kalau jadi penulis harus begini ya, Bu?” ada yang bertanya tiba-tiba.
“Tidak harus seperti ini. Tapi dari cara seperti ini, akan membantu memancing kreativitas kalian. Itu modal buat menulis,” jawab saya.
“Ooo … gitu,” balasnya dengan wajah polos.
 
Hasil kerjasama mereka
Akhirnya dua kelompok berhasil menyusun kata-kata menjadi satu paragraf pembuka cerita. Meskipun tidak sempurna susunan kalimatnya, yang penting mereka sudah ikut merasakan bagian kecil dari pekerjaan seorang penulis.

Kelas 1A yang memicu adrenalin
            Setelah selesai di kelas 4A, kami diberi waktu untuk istirahat. Udara yang semakin siang semakin gerah itu, sempurna membuat kami basah oleh keringat. Maklumlah, sekolah tempat kami berbagi tidak ada pendingin ruangannya. Sementara kami harus tetap konsisten bergerak dan berbicara dalam durasi 45 menit tanpa jeda. Begitulah pekerjaan seorang guru. Hari Pendidikan Nasional pada hari itu membuat saya benar-benar menjura pada pengabdian para guru.
            Sebelum tiba sesi terakhir buat saya, sempat terjadi kekeliruan sebentar. Saking semangatnya, saya tidak melihat jam lagi. Begitu bel tanda masuk berbunyi, saya buru-buru menuju lantai 2 untuk mencari ruang kelas 1A. Saya kembali terpana ketika tiba di depan kelas. Ibu guru meminta murid-murid kelas 1 itu bernyanyi untuk menyambut saya. Belum lagi anak-anak itu selesai menyanyi, Alief (salah satu teman inspirator) muncul di depan kelas. Alief memberitahukan kalau saya masuk setelah sesinya. Akhirnya kami sama-sama tertawa. Terutama saya yang sudah keliru. *pengin nyanyi lagu yang judulnya "Keliru" ... aaah, jaduuul :p*
            Alief meminta saya tetap di kelas. Saya sempat membantunya membagikan kertas untuk menuliskan nama-nama murid kelas 1A itu. Beberapa saat setelah itu, saya memilih keluar dan melihat teman yang juga mengajar di kelas 1B. Saat saya kembali ke kelas 1A, saya melihat Alief mulai kewalahan. Beberapa murid laki-laki heboh memegangi kakinya, menarik-narik lengannya, hingga akhirnya Pak Guru Alief tertelungkup di lantai. Bukannya menyerah, anak-anak itu semakin bersemangat menaiki badan Alief. “Bapak menyeraaah …!” seru Alief. Saya pun membantu agar anak-anak itu turun dari punggung Alief. *hahaha ... momen paling seru di hari itu*
Memang berbeda saat mengajar murid kelas 3, 4, 5, dan 6 dibandingkan murid kelas 1 dan 2. Bagi mereka, "kericuhan" menjadi bagian dari sesi bermain. Namun, kejadian itu justru menjadikan pengalaman. Setelah Alief, saya pun mengambil alih kelas 1A.
Alhamdulillah, suasana kelas kembali terkendali. Melihat teman saya baru saja kesulitan mengendalikan kelas, saya berusaha agar anak-anak mau duduk rapi di atas karpet. Saya minta mereka menghadap arah berlawanan dengan posisi saya berdiri. Sambil menuliskan nama di papan tulis, saya terus mengarahkan mereka untuk duduk rapi tanpa bersuara. Setelah itu, saya berjalan dan memilih duduk di atas tempat yang mirip pentas kecil. Tidak di depan papan tulis. Saya berusaha menenangkan anak-anak kelas 1 itu dengan mengajak mereka menyimak cerita. Saya menunjukkan dua buku karya saya dan meminta mereka memilih buku yang mana yang mau mereka dengarkan ceritanya.
Kembali terjadi kericuhan saat menentukan pilihan. Baiklah, akhirnya saya memilih satu buku saya yang ceritanya berjudul “Kue Kejujuran”. Dalam hati saya bersyukur karena begitu saya mulai bercerita, tiba-tiba kelas hening. Mereka tekun menyimak hingga ceritanya hampir berakhir, saya sempat memeragakan salah satu tokoh yang badan dan perutnya gendut.
“Si Kimonya kayak Ibu ya. Hahahaha….” seru salah satu anak sambil tertawa-tawa. *pembaca jangan ikutan ngakak ya*
Ilfil juga sih beberapa detik. Tapi, saya harus melanjutkan misi untuk mengenalkan profesi saya dengan cara yang paling sederhana agar mereka mengerti. Saya kembali meminta mereka duduk tenang. Saya bilang ke mereka bahwa yang baru saja saya ceritakan ada di buku yang saya pegang saat itu.
“Cerita barusan ada di buku ini. Yang nulis dan bikinnya Ibu lho,” ujar saya.
“Ibu yang nulis?” celetuk murid perempuan antusias.
“Betul!” jawab saya.

Kantung dan benda-benda yang menjadi objek tebakan
Selebihnya, saya mengajak anak-anak itu bermain tebak benda dalam kantung. Sebelumnya saya keluarkan semua isi kantung kain itu. Ada sekitar 15 benda di dalamnya. Mulai dari pensil, penghapus, penggaris, sampai rautan. Permainan ini saya lakukan untuk menguji kepekaan mereka ketika bersentuhan dengan objek tanpa melihat dengan kasat mata. Ini juga salah satu modal bagi penulis dalam menuangkan rasa pada tulisannya. 

"Saya, Bu! Saya, Bu!"
Akhirnya anak-anak baik ini mau mengantri
Mata mereka saya tutup dengan sapu tangan. Lagi-lagi momen ini bikin heboh. Semua anak kembali berebutan minta dipilih lebih awal untuk menebak. Mereka merapat dan menempel ke badan saya. Menarik-narik dan berteriak minta dipilih. Untunglah, saya masih bisa mengatasi kelas walau harus berusaha keras.
Di penghujung sesi, saya membagikan kertas berbentuk gambar awan yang harus mereka isi dengan nama mereka dan cita-citanya. Teman-teman isnpirator yang mengajar di sesi terakhir pun seperti itu. Setelah itu kami memandu anak-anak menuju lapangan untuk mengikuti sesi penutupan Kelas Inspirasi.  

KI Jkt#48 bersama para guru (Foto: Fakhry)
Sesaat setelah sesi penutupan KI
Sesi penutupan si siang yang terik itu tidak mengendurkan semangat anak-anak. Mereka tetap sabar mengikuti arahan dari para inspirator. Masing-masing mereka memegang bendera kertas berwarna merah putih dan kertas berbentuk awan berisi cita-cita mereka. Senang melihat kebersamaan yang indah itu.

Foto bersama beberapa guru di sana
Bersama tim inspirator #JKT48
Hadiah dari salah satu murid untuk saya
Aaah … saya masih betah di sana. Semoga saya bisa kembali ikut di Kelas Inspirasi berikutnya. Ikut berbagi cerita tentang profesi, membangun semangat anak-anak negeri untuk berjuang meraih cita-cita mereka. Semoga. [Wylvera W.]

Note: 
Sementara, ini dulu yang bisa saya ceritakan. 
Foto lengkap dan video pendukungnya menyusul ya
Saya masih menunggu tim dokumentasi. ^_^                       

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...