Minggu, 31 Januari 2016

Perempuan dan Kepemimpinan





            Kepemimpinan adalah satu area yang telah lama diyakini hanya milik kaum laki-laki. Inilah yang menyebabkan perempuan dianggap tabu sebagai pemimpin. Sebenarnya pemahaman ini berangkat dari keberadaan sosok perempuan dalam sebuah keluarga. Suamilah yang berhak menjadi pemimpin untuk keluarganya, karena dia adalah imam untuk istri dan anak-anaknya. Ini benar. Tidak ada yang pantas membantahnya, kecuali bagi perempuan sebagai single parents. Dari hal yang mutlak ini, berkembanglah budaya tabu untuk kaum perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan. Semakin kuat mengakar sehingga digeneralisir pada semua aspek kehidupan.
Berabad-abad sudah perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah. Dalam bersikap dipandang sulit mengendalikan perasaannya sehingga dianggap emosional. Dari pandangan ini, maka kaum perempuan belum sepenuhnya layak sebagai makhluk yang mampu mengendalikan banyak hal. Sehingga di beberapa kancah, perempuan selalu diragukan untuk tampil sebagai pemimpin. Tersisih oleh sosok laki-laki yang dianggap rasional dan tegas dalam mengambil segala keputusan.
            Namun, jika dilihat dari gerakan emansipasi, pandangan bahwa perempuan adalah sosok yang lemah semakin hari semakin memudar. Saat ini, kaum perempuan telah menunjukkan posisinya. Mereka mampu bersaing dengan kaum laki-laki di berbagai bidang. Bahkan sudah banyak kaum perempuan yang berada di garis depan sebagai pemimpin yang sukses.
            Kenyataan menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin di berbagai sektor kehidupan. Kondisi ini akhirnya mematahkan mitos yang selama ini menganggap mereka adalah kaum yang lemah. Tidak bisa diabaikan bahwa pada kenyataannya, sebagian kaum perempuan berhasil menunjukkan jati dirinya. Mereka tidak kalah dari kaum laki-laki. Mereka juga bisa tegas, berani, dan kuat menghadapi tantangan.
            Topik yang diketengahkan Redaksi Insani kali ini adalah tentang “Perempuan dan Kepemimpinan” di luar kehidupan berkeluarga. Sebab, sejatinya dalam setiap keluarga, peran kepemimpinan tetaplah berada di pundak kaum laki-laki sebagai kepala keluarga. Untuk itu, kita tidak mencampuradukkan peran tersebut dalam kehidupan berkeluarga. Kekuatan dalam kata “kepemimpinan” yang menjadi pembahasan di edisi kali ini adalah yang terkait dengan dunia pendidikan, seni, olahraga, serta beragam organisasi yang digawangi oleh kaum perempuan.
Di dunia pendidikan saja, sudah banyak kaum perempuan yang diberi amanah serta tanggung jawab sebagai Kepala Sekolah. Bahkan tidak sedikit yang menjadi ketua dari sebuah yayasan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Di level pelajar pun, seperti OSIS (Organisasi Intra Sekolah), tidak hanya diketuai oleh siswa laki-laki. Begitu juga di kancah politik. Kisah keberhasilan kaum perempuan memegang posisi puncak sudah banyak tersebar di media sosial.
Belum lagi di beragam organisasi dan komunitas, peran kepemimpinan perempuan sudah bukan barang tabu lagi. Termasuk peran pemimpin dalam menggerakkan dan memajukan PIPEBI (Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia) selama ini. Melihat kuatnya semangat gerakan emansipasi di tanah air tercinta ini, Insani merasa perlu memilih tema yang terkait dengan itu. Maka, Insani mencoba mengaitkan peran kepemimpinan perempuan dalam menggerakkan roda sebuah perkumpulan yang selama ini kita kenal dengan nama PIPEBI (Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia).
Jika kita putar ulang ke belakang, maka bukti bahwa kaum perempuan mampu menjadi seorang pemimpin. Tidak semata-mata karena semua yang berstatus istri pegawai Bank Indonesia itu adalah perempuan. Namun, sosok-sosok mereka yang mengemban amanah untuk memajukan PIPEBI yang menjadi titik perhatian Insani.
Sejak terbentuk hingga saat ini, PIPEBI semakin eksis dan mampu memberikan manfaat. Tidak hanya memberi manfaat kepada anggota, PIPEBI juga telah banyak melakukan sumbangsih kepada masyarakat yang membutuhkannya. Semua itu tidak bisa lepas dari peran seorang pemimpin, yang lebih akrab kita sebut sebagai “Ketua”. Dan mereka semua adalah perempuan. [Wylvera W.]

Note: Tulisanku di Majalah Insani, Sketsa edisi Januari 2016

(versi asli) 


         

Sabtu, 23 Januari 2016

Berbagi Kasih di Negeri Sampah



Inilah "Negeri Sampah" itu (dokpri)
           Sejak tahun 2012, saya mulai mengakrabkan diri dengan lokasi yang selalu menyuguhkan aroma busuk dari gunungan sampah. Di kawasan itu pula terdapat beberapa sekolah dengan murid-murid yang berasal dari lingkungan setempat. Rutinitas saya menuju lokasi yang dekat dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) itu adalah untuk membagi ilmu menulis. Saya mengajar kelas menulis salah satu sekolah di sana.
Di kawasan Bantar Gebang tersebut, berjajar rumah-rumah bedeng dengan 7.000 kepala keluarga yang tinggal di bantaran dekat pegunungan sampah setinggi 30 meter. Sementara anak-anak di kawasan tersebut terdiri dari usia balita hingga remaja (SMP). Sehari-hari mereka membantu orangtuanya memulung, memilih sampah, dan menjualnya kepada pengusaha sampah. Tak pernah putus rasa haru di hati saya saat mendatangi lokasi itu.
Didampingi oleh gunungan sampah yang selalu menebar aroma tak sedap, wajah anak-anak itu selalu menunjukkan aura semangat untuk meraih ilmu di bangku sekolah. Lalu dari manakan istilah “Negeri Sampah” itu munculnya?

Kepedulian Econity90 dan Wings Peduli Kasih
            Hari itu, Selasa, 19 Januari 2016, saya diundang untuk menghadiri acara bertajuk “Membangun Impian dari Negeri Sampah” di Sekolah Alam Tunas Mulia yang berlokasi di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) – Sumur Batu Bantar Gebang. Acara ini diprakarsai oleh Econity90 dan Yayasan Wings Peduli Kasih untuk ratusan anak dan warga sekitar wilayah TPA Bantar Gebang, Bekasi. 



Dalam kegiatan tersebut, Econity90 menggandeng Yayasan Wings Peduli Kasih. Bentuk perhatian serta sumbangan yang diberikan adalah berupa pendirian fasilitas pendidikan untuk Sekolah Alam Tunas Mulia, terutama bangunan tempat belajar dan mengajar nantinya.
            Acara tersebut dihadiri oleh Ibu Felice (perwakilan dari Yayasan Wings Peduli Kasih), Bapak Aristo Kristandyo - Group Head of Marketing Communications PT. Sayap Mas Uatama (Wings Food and Beverages), Bapak Rahmat Susanta (Ketua Dewan Pengurus Econity90), Bapak Topik Ajimulya (Lurah Sumur Batu Bantar Gebang), dan Bapak Nadam Dwi Subekti selaku pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, serta para orangtua murid dan tamu undangan lainnya. 

Anak-anak di Negeri Sampah menyuguhkan ragam hiburan seni

Sambutan dari pihak sekolah begitu terlihat antusias. Anak-anak murid Sekolah Alam Tunas Mulia memberi sambutan berturut-turut dengan lagu pembuka berjudul, “Guruku Tersayang” serta tarian dari Sumatera Barat (Dindin Badindin/Indang). Ini menunjukkan bahwa sekolah tersebut tidak hanya fokus pada bidang pelajaran akademik, namun tetap mengajarkan hal berbau seni yang terangkum dalam bidang non akademik. 
Topik Ajimulya (Lurah Sumur Batu)

Dalam sambutannya, Bapak Rahmat Sutanta (Ketua Dewan Pengurus Econity90) mengatakan, bahwa di Indonesia terdapat lebih dari seratus ribu sekolah yang dianggap tidak layak pakai. Meskipun Sekolah Alam Tunas Mulia sudah berjalan sekian tahun lamanya, menurut Pak Rahmat sekolah itu termasuk dalam kategori sekolah belum layak.    

Rahmat Sutanta
Untuk itu, selaku wakil dari Wings Peduli Kasih, Bapak Aristo Kristandyo mengatakan bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Namun, menurutnya, yang sering menjadi kendala adalah masalah kekonsistenan. “Ide dan upaya harus terus kita lakukan secara konsisten. Membangun impian juga harus konsisten. Semua berangkat dari keluarga masing-masing. Jangan lupa untuk selalu menyemangati anak-anak. Itulah bentuk konsistensi kita,” himbau beliau di sambutan berikutnya.
Aristo Kristandyo
Bapak Aristo juga megatakan bahwa setelah bangunan nanti berdiri, Wings Peduli Kasih dan Econity90 tidak melepas begitu saja. Mereka akan kembali lagi untuk melihat progressnya. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan kepedulian dari Wings Peduli Kasih yang berkomitmen untuk selalu terlibat dalam pemberdayaan masyarakat dan komunitas. Terutama pembinaan sumber daya manusianya (pelatihan terhadap tenaga pengajar). Wings Peduli Kasih juga menerima pengajuan proposal terkait dengan daerah yang layak untuk diberikan bantuan, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. 
Nadam Dwi Subekti
Sekolah Alam Tunas Mulia yang didirikan oleh Bapak Nadam Dwi Subekti ini telah mampu menampung 60 orang anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), 50 orang anak SD, dan sekitar 20 anak setingkat SMP dengan 8 guru. Sejak sekolah itu berdiri, tentu perhatian dari pihak luar pun mulai berdatangan untuk berbagi. Begitu pula dengan perhatian tulus yang diberikan oleh Econity90 (yayasan sosial yang didirikan oleh para almuni Fakultas Ekonomi UI, angkatan ’90). Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Nadam. 

Salah satu ruang belajar
Dalam sambutan berikutnya, Bapak Nadam Dwi Subekti mengatakan bahwa ia sangat terharu dan senang sekali dengan bentuk perhatian yang diberikan oleh Econity90 dan Wings Peduli Kasih. Akan dibangunnya ruang kelas untuk anak-anak Sekolah Alam Tunas Mulia, tentu memberi semangat baru.  Selama ini mereka melakukan kegiatan belajar dan mengajar di bangunan yang semi permanen, berbentuk rumah panggung. 

Ruang belajar lainnya
Dari bangunan sederhana itu, Sekolah Alam Tunas Mulia telah berhasil mengantarkan tujuh murid-muridnya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Bahkan ada yang akan lulus kuliah di tahun ini (2016). Di sela sambutannya, Pak Nadam membeberkan kisah tujuh murid yang telah berhasil dibina di sekolah itu. Ketujuh murid tersebut telah mampu menginspirasi Bapak Nadam dan teman-temannya untuk membukukan kisah berjudul “Impian dari Negeri Sampah” dalam bentuk novel.
Perpustakaan
“Waktu itu sejak tahun 2004 saya sudah mengajar mengaji di pemulungan. Ternyata murid-murid saya tidak ada yang bersekolah. Jadi saya berpikir, kenapa saya tidak mendirikan sekolah saja untuk mereka. Sejak itu, saya dan teman-teman pun berupaya mendirikan sekolah untuk anak-anak pemulung itu. Karena sekolah ini menjalankan sistim kejar paket, maka saya memilih model sekolah alam agar lebih dekat dengan mereka,” ujar Pak Nadam saat saya diberi kesempatan berbincang dengan beliau.
Selama setahun Bapak Nadam terus berupaya mendapatkan izin untuk mewujudkan mimpinya mendirikan sekolah tersebut. Dan, akhirnya hingga saat ini Sekolah Alam Tunas Mulia pun sudah banyak memberi manfaat kepada anak-anak pemulung di kawasan tersebut. 

Tommy Prabowo (MC)
            Sebelum berlanjut ke acara berikutnya, MC Tommy Prabowo memandu acara puncak, yaitu peletakan batu pertama untuk pembangunan ruang kelas/belajar Sekolah Alam Tunas Mulia. Dengan didirikannya bangunan kelas ini, diharapkan anak-anak bisa lebih nyaman dan bertambah semangat belajarnya. 
peletakan dan pencangkulan (tanah) pertama (groundbreaking)
 
            Acara dilanjutkan dengan suguhan hiburan. Anak-anak sangat senang mendengar dongeng Kak Inne Sudjono (pembaca berita, penyiar radio, storyteller, dan aktivis dunia anak). Mereka terlihat sangat antusias menyimak. Lewat dongeng yang disampaikan, Kak Inne ingin memotivasi agar anak-anak yang bermukim di kawasan pembuangan sampah itu tetap semangat, giat, dan tekun belajar untuk meraih cita-cita mereka.

Anak-anak tekun menyimak dongeng Kak Inne
            Tidak hanya anak-anak yang diberi motivasi, Dokter Cindhe Puspito juga memaparkan tentang cara hidup sehat kepada para orangtua murid yang hadir di acara itu. Lingkungan yang selalu dikelilingi sampah, hendaknya jangan membuat mereka tidak peduli pada kebersihan. Kebersihan diri dan keluarga tetap menjadi prioritas utama demi menjaga kesehatan. 
 
dr. Cindhe Puspito
Praktik mencuci tangan yang benar
Menjaga kebersihan dengan memulainya dari hal kecil. Mencuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan kuku, dan mencuci bahan makanan yang ingin dimasak dengan cara yang benar. Menurut Dokter Cindhe, tubuh yang bersih akan membuat fisik sehat dan kuat. 

Pembagian goodie bag
            Acara diakhiri dengan pemberian goodie bag kepada anak-anak Sekolah Alam Tunas Mulia. Semoga kepedulian yang dilakukan oleh Econity90 dan Wings Peduli Kasih ini dapat menjadi contoh, agar bangsa yang kita cintai bisa lebih maju, baik dari sisi pendidikan maupun kesehatannya. [Wylvera W.]

Sumber foto: Koleksi pribadi 

Minggu, 10 Januari 2016

Melepas yang Dicinta



Beberapa edisi Majalah Insani yang saya gawangi (dokpri)
            Menyukai “sesuatu” lalu memberi rasa cinta padanya, menjadi sebuah momen yang selalu menyenangkan. Apalagi jika rasa cinta itu mampu menumbuhkan semangat serta meningkatkan kreativitas. Tentu berat jika tiba-tiba harus melepasnya.
            Menulis adalah sesuatu yang membuat saya selalu merasa lebih hidup dan berenergi. Dengan menulis saya seolah bebas menciptakan ruang pribadi. Atau membuka ruang itu untuk bisa dinikmati dan memberi inspirasi bagi siapa saja. Seperti itulah saya menggambarkan kecintaan saya pada menulis yang saya sebut sebagai “sesuatu” tadi.
            Kecintaan pada keterampilan menulis dari waktu ke waktu berhasil menambah warna hidup saya. Bahkan akhirnya saya yakin menyatakan profesi saya saat ini adalah penulis. Seolah saya tidak peduli, jika profesi yang saya sematkan sendiri di diri saya ini mungkin sempat menjadi tertawaan mereka yang lebih mumpuni. *semoga saja belum ada yang menertawakan ya ^^*
         Profesi penulis dari hari ke hari membuka banyak kesempatan kepada saya. Mulai dari mengajar kelas ektrakurikuler "Jurnalistik dan Menulis" di level sekolah dasar, diundang sebagai pemateri di workshop menulis pada beberapa event, hingga didapuk menjadi pemimpin redaksi pada majalah internal di organisai para istri pegawai Bank Indonesia. Maka semakin yakinlah saya bahwa penyematan kata “penulis” sebagai profesi saya bukan sekadar isapan jempol belaka. *sombong sedikit boleh kan ya, ketimbang disombongin :p*
              Baiklah, terlalu panjang prolognya ya. Sebenarnya saya sedang sedih. Pengin curhat. Cuma supaya terlihat elegan dan tidak terkesan lebay, yaaa beginilah. *padahal ya lebay juga ih ... tarik napas dalam* 

Mantan team Redaksi Majalah Insani (2013 - 2015) yang solid (dokpri)
          Begini ceritanya. Pasalnya, saya harus melepas salah satu pekerjaan yang saya cintai. Selama ini saya dipercaya mengomandoi team redaksi majalah internal Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI). Nama majalah itu adalah Insani. Kepercayaan itu tentunya tidak serta-merta diberikan. Sebelumnya saya memang sudah pernah menjadi anggota bahkan menjabat sebagai wakil pemimpin redaksinya. Ceritanya ada di sini
        Begitulah, mungkin kontribusi saya di majalah itu dinilai baik oleh Ketua PIPEBI terpilih periode 2013 – 2015. *ini bukan ge-er tapi pede, haiiish* Beliau meminta saya duduk di posisi yang lebih menentukan. Resmilah saya menjadi pemimpin redaksi majalah itu sejak 2013 sampai saat ini.
         Selama menjadi komando barisan pemimpin redaksi di Majalah Insani, saya sendiri tidak pernah memberi pujian dalam pencapaiannya. Biarkan pembacanya yang menilai. Alhamdulillah, berbagai reward pun menghampiri. Mereka melihat dan mengatakan bahwa Majalah Insani semakin hari semakin bervariasi dan sajian kontennya lebih fresh. Sejujurnya saya tidak mengharapkan pujian. Namun, sebagai manusia biasa tentu saja komentar-komentar positif yang datang dari ibu-ibu istri pegawai BI itu, membuat hati saya berbunga-bunga (semoga semuanya tulus ya). Dan, ini tentu saja tidak lepas dari kerja sama team redaksi, para kontributor, dan bantuan editor spora (dari percetakan) di dalamnya.        
            Ada beberapa hal yang membuat saya betah dan semakin mencintai posisi sebagai pemimpin redaksi di Majalah Insani. Saya jadi banyak belajar tentang kemampuan memimpin, mengorganisir, serta memahami beragam karakter anggota dan pimpinan yang lebih berwenang dari posisi saya. Ini jelas sekali membedakan ketika saya menulis untuk diri saya sendiri atau untuk blog saya. Meskipun hampir 75 persen saya yang memberi keputusan dalam menentukan tema, rubrik, dan kontennya, namun peran Ketua, Wakil, serta pengurus PIPEBI tetap menempati 25 persennya. Lagi-lagi porsi ini membuat saya semakin belajar untuk menerima masukan. 

Suasana rapat redaksi dengan pengurus PIPEBI dan Spora (dokpri)
            Selain itu, jabatan saya di Majalah Insani, membuka kesempatan untuk lebih mengenal dan berbincang dengan para istri petinggi Bank Indonesia. Kalau bukan pemimpin redaksi Majalah Insani, mungkin saya tidak akan pernah mendapat kesempatan ngobrol dengan Ibu Nies Agus DW Martowardojo (istri Gubernur BI), Ibu Arulita Mirza Adityaswara (istri Deputi Gubernur senior BI), Ibu Hendar dan Ibu Erwin yang sama-sama merupakan istri Deputi Gebernur BI.
            Namun, semuanya harus saya tinggalkan. Masa kepengurusan PIPEBI sudah berakhir di Desember 2015 yang lalu. Itu artinya tanggung jawab sebagai pemimpin redaksi pun ikut berakhir. Beberapa waktu sebelum jabatan itu berakhir, tentunya saya mulai menyusun kegiatan baru untuk mengisinya. Diantaranya; saya bersedia diminta sebagai humas di Gerakan Peduli Remaja (GPR) dengan segala program kerjanya di tahun mendatang dan kembali mengajar kelas menulis di Yayasan Ummu Amanah, PKBM Al Falah (sekolah anak-anak pemulung), Bantargebang. Selain itu, saya ingin kembali fokus pada dunia menulis agar bisa menghasilkan karya buku lagi.
            Tanggal 20 Januari 2016 nanti, serah terima jabatan akan dilaksanakan antara Ketua PIPEBI lama kepada Ketua PIPEBI terpilih untuk periode 2015 – 2017. Saya pun harus bersiap melepas tanggung jawab sebagai pemimpin redaksi. Keputusan itu sudah saya dengung-dengungkan ke mantan ketua. Namun, ternyata saya belum bisa benar-benar melepasnya. Saya diminta kembali untuk menanggungjawabi edisi Januari 2016. Saat ini saya sedang mengerjakannya, masih bersama team yang lama.
            Meskipun sedih karena akan melepas apa yang sudah terlanjur saya cintai, saya harus konsisten. Sebab setelah ini, saya harus fokus pada tanggung jawab dan amanah yang baru. Itu yang saya mantapkan dalam hati. Namun, lagi-lagi saya dibuat galau. Belum lagi Insani terbit untuk edisi Januari 2016, tiba-tiba Ketua PIPEBI terpilih menghubungi saya via telepon. Sempurna galau jadinya.
            Ketua baru meminta dengan sepenuh hatinya agar saya tetap menggawangi majalah tercinta milik PIPEBI itu. Bayangkanlah, betapa saya gugup menjawab permohonan  beliau di telepon waktu itu. Di satu sisi, saya memang masih cinta dan ingin meneruskan mengurusi majalah Insani. Namun, di sisi lain, saya juga tidak boleh abai pada komitmen baru yang sudah saya pilih. Akhirnya karena menimbang-nimbang semua itu, saya masih menggantung dan terkesan memberi harapan pada beliau.
            Kemarin, setelah berdiskusi dengan suami tercinta, akhirnya saya mantap mengambil keputusan. Saya harus rela melepas jabatan pemimpin redaksi itu, walaupun saya masih cinta dan ketua terpilih sangat mengharapkan keberadaan saya di sana. Saya harus tegas, kata suami. Jangan menggantung atau memberi harapan palsu. Mudah-mudahan setelah saya memutuskan secara pasti nanti, PIPEBI menemukan pemimpin redaksi baru yang lebih mumpuni dan amanah dari saya. Semoga Majalah Insani tidak berhenti terbit dan terus memberikan manfaat bagi seluruh keluarga besar Bank Indonesia. Semoga setelah curhat di sini hati saya tidak galau lagi. Semoga .... Aamiin. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...