Ini buku antologiku yang keenam, bersama Nurul Asmayani, Viana Akbari, dkk.
Diterbitkan oleh Quantum Media.
"Kehidupan rumah tangga Ibrahim AS dan istrinya Sarah penuh perjuangan. Setelah terasing di antara para penyembah berhala di kota raja Namrud. Lalu peristiwa pembakaran Ibrahim, disusul perjalanan panjang mereka menuju kota baru yang lebih aman. Semuanya sangat melelahkan. Semua rangkaian ujian keimanan itu semakin berwarna ketika buah hati yang dinantikan Ibrahim AS sebagai penerus risalah tak jua hadir mengisi hari-harinya.
Berpuluh tahun penantian itu mereka lalui (sebagian ulama berpendapat penantian Ibrahim selama 40 tahun). Tak terbayang, betapa sepinya hari. Betapa gemuruhnya lantunan doa yang mereka panjatkan. Betapa segala ikhtiar juga mereka upayakan.
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (Q.S. As-Saffat:100)
Ibrahim kemudian menikahi Hajar, wanita yang diberikan oleh Raja Mesir sebagai hadiah kepada Sarah. Hingga datanglah kabar gembira itu.
“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (Q.S.as-Saffat:101)
Tak lama, Hajar hamil dan melahirkan Ismail. Anak lelaki yang sabar dan diharapkan akan meneruskan perjuangan ayahnya. Melambung syukur dan bahagia Ibrahim AS. Namun, rupanya kembali Allah menguji kemurnian cinta dan imannya.
Allah memerintahkan pada Ibrahim untuk membawa anaknya Ismail bersama ibunya ke sebuah
tempat yang sangat jauh dan belum berpenghuni. Duhai, seperti apakah warna hati Ibrahim saat itu? Sedih tentu saja. Namun Ibrahim adalah seorang Nabi yang teruji cintanya.
Meski belum tahu hikmah apa yang akan Allah bentangkan di balik kejadian itu kelak, Ibrahim membawa keluarganya ke lembah tak bertuan itu. Di tempat di mana saat ini berdiri Baitullah.
Ditinggalkannya kedua belahan jiwanya tanpa sanggup menoleh lagi. Hingga tiba di suatu tempat bernama Tsaniyyah dan Hajar sudah tidak melihatnya lagi, Ibrahim menghadapkan wajahnya melihat tempat Hajar dan Ismail ditinggalkan. Dengan mengangkat kedua tangannya, ia berdoa,”Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka berupa buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”[1]
Bertahun-tahun berlalu. Rindu Ibrahim pada Ismail luar biasa. Dilangkahkannya kaki menemui putranya yang kini menginjak remaja. Namun, kembali cinta itu diuji.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q.S. As-Saffat:102)
Allah…apa warna hati Ibrahim AS dan Ismail AS saat itu? Sungguh, hanya Dia yang tahu. Anak yang begitu dirindukan kehadirannya, diperintahkan untuk ditinggal di sebuah tempat tak berpenghuni. Lalu kini, saat anak itu menjelma remaja, diperintahkan untuk dikurbankan? Tapi, inilah ujian cinta. Dan Ibrahim serta Ismail tahu benar, bahwa Allah tak pernah menyiakan apapun amalan mereka.
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya di atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh engaku telah membenarkan mimpi itu. Sungguh demikianlah Kami member balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya, ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (kambing). Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim.” Demikianlah Kami member balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Q.S. As-Saffat:103-111)
Subhanallah. Sempurnalah cinta Ibrahim AS hingga ia dijuluki Khalilullah, kekasih Allah. Beratnya ujian, dan panjangnya penantian kini telah Allah ganti dengan ganjaran yang lebih besar. Abadilah nama Ibrahim dalam pujian kita, “Salaamun `ala Ibrahim.”
Lalu, tibalah kabar gembira berikutnya. Para malaikat datang ke tempat kediamannya di Palestina. Membawa sebuah kabar besar tentang kelahiran penerus risalah dari rahim istrinya Sarah.
“Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Janganlah takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut.” Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya`qub. Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” Mereka (para malaikat) berkata, “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih.” (Q.S. Hud: 69 – 73)
Ya, tak ada yang mustahil ketika Allah telah berkehendak dan memutuskan. Maka mengandunglah Sarah yang sudah berusia 90 tahun itu. Hingga lahirlah dengan selamat seorang bayi laki-laki bernama Ishaq yang kelak menjadi Nabi Allah juga. Sempurnalah kebahagiaan itu. Usailah penantian panjang mereka selama berpuluh tahun.
Sebuah pelajaran besar tentang kesabaran dan pengorbanan yang tak pernah putus disajikan oleh keluarga Ibrahim AS untuk kita. Subhanallah.
***
Tulisan di atas diambil dari Bab 1 buku "Ya Allah, Beri Aku Satu Saja... Tutur Jujur Para Pendamba Momongan". Diterbitkan oleh Qultum Media, Jakarta. Terbit Desember 2011. Semoga bukunya kelak akan memberikan manfaat dan inspirasi bagi para pembacanya. Buku ini kami persembahkan bagi pasangan yang masih menanti kehadiran buah hati. Harapan itu selalu ada pada setiap ikhtiar yang kita upayakan. Pun, juga untuk para Ayah Bunda yang telah merajut cinta bersama buah hatinya. Bersyukurlah, amanah itu kini sudah berada di buaian.
Kisah-kisah dalam bab berikutnya di buku ini akan menuturkan suka duka penantian buah hati.
Tentang sebuah penantian yang masih belum berakhir. Tentang kuntum-kuntum cinta yang kemudian disunting Allah. Dan tentang warna-warni penantian yang berbuah bahagia.
Buku ini akan memberikan pemahaman pada kita, bahwa Allah mengabulkan doa dan harapan selalu pada saat yang tepat. Saat seluruh upaya telah dikerahkan. Saat kita sebagai manusia berada pada titik maksimal kepasrahan kepada Allah. Saat tak ada lagi kekuatan yang kita harapan selain kekuatan dan kekuasaan-Nya."
Tertarik membaca dan memiliki?
Untuk info harga dan pemesanan, silakan hubungi saya ya.
[1] Dalam shahih Bukhari