Jumat, 30 Oktober 2015

Gamang Setelah Bebas



Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk kembali ....

Entah sudah keberapa kalinya saya tercekat kalau mengingat bagian dari lirik lagu ini. Dulu, saya juga sempat menjadikannya sebagai pembuka catatan saya tentang anak-anak LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), atau yang masih dikenal dengan sebutan lapas.
Kemarin, lagu ini kembali mengalun di kepala saya. Apa pasal?
Sebagai pendamping anak-anak di lapas untuk sesi konseling, tentunya saya dan teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja (GPR) merasa senang jika ada yang akan bebas. Tapi, ternyata kegembiraan kami tidak sama dengan apa yang mereka rasakan.
Seperti biasanya, setiap Selasa, kami selalu berkunjung ke LPKA Pria, Tangerang. Dari waktu ke waktu, kami terus mengikuti perkembangan dan informasi terbaru dari anak-anak binaan itu. Jika ada yang ingin mengisi sebagai pengganti konseling (asal sejalan dengan konsep GPR), Insya Allah kami akan memosisikan diri sebagai jembatan penghubung dengan pihak LPKA. Sebaliknya, sesekali kami yang mengundang dan menggandeng.

Ketua GPR membuka acara
Seperti pada tanggal 20 Oktober 2015 yang lalu. Kami menggandeng Septian Eka, seorang motivator muda untuk berbagi pengalamannya kepada anak-anak LPKA. Acara yang biasanya digelar di masjid LPKA, kali ini berpindah tempat di sebuah ruangan yang mirip seperti aula. Pihak LPKA menyebutnya sebagai “Ruang Data”. Di ruangan inilah pertama kalinya saya mengisi sesi “Pelatihan Menulis” untuk anak-anak LPKA tersebut. Dan, dari momen indah itu pula saya jatuh cinta untuk terus mengunjungi mereka. 
Acara dibuka pada pukul 13.45 oleh Suci (Ketua GPR). Setelah itu, sebelum memaparkan materinya, Kak Eka mengajak anak-anak untuk senam otak. Senam yang disajikan oleh Kak Eka menjadi pembuka yang menyenangkan bagi anak-anak LPKA. Mereka spontan melepas tawa ketika kepayahan mengikuti gerak yang dicontohkan. Melihat tawa mereka, saya yakin kalau paparan selanjutnya pun akan mudah mereka terima.

Diawali dengan senam otak
Namun, tiba-tiba perhatian saya tersedot pada sosok H. Saya sudah mendengar kabar kalau H akan bebas seminggu lagi. Entah mengapa feeling saya mengatakan kalau saat itu hanya fisik H saja yang ada di ruangan. Sementara pikirannya seolah melayang entah ke mana. Mata H tidak lagi fokus pada Kak Eka yang begitu bersemangat menyajikan materi tentang kematian, semangat hijrah, dan paparan lain yang sarat dengan motivasi.
Begitu acara selesai, H menghampiri saya. “Kalau Bunda ke sini, kita nggak ketemu lagi ya, Bunda. Makasih ya, Bun fotonya,” ujarnya dengan nada parau. Hingga akhirnya ruang aula mulai sepi. Tinggallah H dan dua temannya, saya, teman-teman GPR, serta Pak Haji (salah satu pembina lapas).
Obrolan pun akhirnya fokus ke H yang akan bebas. Saat kami memberi nasihat agar H jangan sampai kembali lagi melakukan tindakan yang terkait dengan hukum, matanya berkaca-kaca. Saya langsung bisa membaca betapa H resah dengan status baru nanti. Keluar dari tahanan dan kembali ke masyarakat seolah menjadi tantangan baru buatnya.
Saya jadi teringat obrolan kami beberapa waktu lalu saat konseling di masjid LPKA.
“Kamu sudah punya rencana mau ngapain kalau bebas nanti?” begitu saya bertanya padanya.
“Belum tau, Bun. Saya mau ke rumah Om dulu,” jawabnya samasekali tidak yakin.
“Bunda mohon, kamu jangan kembali lagi ke lingkungan yang sudah membawamu ke sini ya,” ujar saya membuatnya tersenyum kecut.
“Insya Allah, Bunda. Doakan ya,” balasnya seolah enggan menunggu pertanyaan saya berikutnya.

Saya dan H
Selama di lapas, saya sudah lama mengenal dan kerap berinteraksi dengan H. Dialah satu-satunya anak yang getol minta difoto. Bahkan dengan gayanya yang khas, H tidak segan-segan meminta foto bareng saya. “Buat kenang-kenangan, Bun,” itu alasan yang selalu diulang-ulangnya.
Begitulah ... sekarang H sudah bebas, namun saya belum mendengar kabar darinya. Bagaimanakah kondisinya sekarang? Apakah H sudah menemukan pekerjaan yang halal? Pertanyaan ini akhirnya mendorong saya mengurai catatan ini. Semoga H masih ingat untuk memberi kabar terbaru darinya. Semoga H tidak gamang menghadapi kehidupan baru pasca menjadi anak binaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Pria, Tangerang. Semoga pembinaan yang diperolehnya selama ini mampu menggerus sisi jiwanya yang kelam dan pelan-pelan hijrah menuju taqwa. Aamiin ....

Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah....

            Lirik lagu Ebiet G. Ade kembali menggema di kepala saya. [Wylvera W.]

Senin, 19 Oktober 2015

Mendongeng di Summer Madrasah



Ekspresi saya kayak pendongeng kelas atas ya? ^_^  (dokpri)

            Bicara tentang dongeng, lagi-lagi membuat saya mengingat banyak kenangan. Di postingan pertama, saya berkisah tentang efek dongeng dari Papa pada bagian kehidupan saya. Yang kedua, bagaimana mendongeng mampu mendekatkan jarak antara saya dengan murid-murid saya. Nah, yang berikut ini tentang apa lagi ya? Yuk, disimak.
            Beberapa tahun lalu, saya dan keluarga sempat tinggal di Urbana Illinois, Amerika. Keluarga kami tinggal di komplek apartemen (Orchard Down - red) yang lebih dikhususkan untuk para student University of Illinois. Beruntung sekali waktu itu, karena ternyata bukan hanya kami warga Indonesia yang tinggal di komplek apartemen keluarga pelajar itu. Ada beberapa keluarga lainnya. Status kami yang sama-sama perantau akhirnya membentuk ikatan tali persaudaraan yang semakin hari semakin erat.
            Lalu mana bagian cerita tentang dongengnya? Sabaaar ....
           Saat itu kami sibuk memikirkan kegiatan apa yang bermanfaat untuk mengisi liburan musim panas yang begitu panjang. Singkat cerita, akhirnya kami menemukan satu ide menarik yang akhirnya dikemas dengan tajuk “Summer Madrasah”. Kegiatan itu memang digelar khusus untuk anak-anak muslim Indonesia di sana. Salah satu materi pengisi acara adalah tentang story telling atau mendongeng. Lalu, kami pun memilihkan kisah-kisah Islami untuk diceritakan ulang kepada anak-anak. Tujuannya untuk mengenalkan nilai-nilai moral Islami kepada anak-anak kami, lewat sifat-sifat terpuji para Nabi. Untuk sesi ini, hanya diisi oleh para ibu. 

Ibu Ida ikut mengisi sesi mendongeng (dokpri)
Saya memilih menyampaikan dengan gaya story telling, yaitu cara yang dilakukan untuk menyampaikan suatu cerita kepada para penyimak, baik dalam bentuk kata-kata, gambar, foto, maupun suara. (sumber: Wikipedia)

Ibu Riyan story telling tentang apa ya ini? Lupa ih. (dokpri)

Kisah Nabi Muhammad Saw. dan Nabi Musa a.s menjadi pilihan saya. Tibalah hari di mana giliran saya bercerita di depan anak-anak. Saya yang tidak memiliki keterampilan bercerita ala pendongeng terkenal, sedikit merasa deg-degan. Saya mungkin tak pandai memainkan mimik yang pas. Modal saya hanyalah mengingat-ingat kebiasaan saya mendongeng untuk anak-anak saya semasa di tanah air. 
Sesekali nyontek catatan boleh kok (dokpri)
Alhamdulillah ... anak-anak kami bisa konsentrasi dan fokus menyimak. Kisah teladan Nabi Muhammad Saw. pun sukses saya sampaikan dan mendapat respon yang aktif dari mereka. Sifat-sifat mulia Rasulullah Saw. yang menjadi panutan ummat muslim itu juga menjadi bahan pertanyaan serta membuat mereka ingin mencontohnya.
            Dari pengalaman berkisah tentang Nabi Muhammad Saw. itu, saya semakin percaya diri. Ternyata tidak harus menunggu mahir dulu baru mau dan berani mendongeng. Asal kita mampu memilihkan cerita apa yang pas dan kita bisa menyampaikannya dengan baik, tentu hikmah cerita pun akan sampai pada cara mereka memahaminya.

Walau cuma tongkat mainan, tapi berguna banget (dokpri)
            Satu lagi yang menurut saya menarik dan sampai sekarang masih saya ingat, saat saya menyampaikan kisah tentang Nabi Musa. Saya mencoba menggunakan tongkat dari sebatang dahan pohon yang tidak terpakai lagi. Sepanjang saya bercerita, anak-anak seolah tak sabar menunggu di bagian kisah yang mana tongkat yang ada di pangkuan saya akan digunakan.
Mereka tekun menyimak. Hingga akhirnya tongkat itu pun saya mainkan untuk memberi gambaran saat Nabi Musa menggunakannya sebagai bentuk mukjizat dari Allah Swt. Senangnya hati saya ketika melihat perhatian yang mereka berikan. Kisah Nabi Musa yang saya ceritakan ulang mampu menciptakan jalinan emosi di antara kami. 
            Dari kenangan manis di “Summer Madrasah” itu, sebenarnya apa sih yang harus diperhatikan saat mendongeng dan story telling?  
1.      Memilih cerita
Pilihkanlah cerita yang menarik untuk dikisahkan ulang. Atau rangkailah kisah versi sendiri yang tetap memberikan kepuasan bagi anak-anak. Kalau kesulitan memilihnya, gunakan google search engine untuk menemukan cerita-cerita pilihan dari penulis dongeng yang terkenal. Misalnya dengan menggunakan keyword “Dongeng Anak Pilihan”. Selain itu, bisa juga jalan-jalan ke toko buku dan membeli beberapa buku cerita dongeng untuk koleksi. Salah satu penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku dongeng berkualitas adalah Bhuana Ilmu Populer (BIP). 
2.      Menguasai dan memodifikasi isi cerita
Ketika kita ingin mendongeng atau story telling tanpa buku, cara terbaik adalah pahami terlebih dulu isi cerita yang ingin kita sampaikan. Jangan sekali-sekali menghafalnya agar tidak terkesan kaku. Jika diperlukan, kita bisa memodifikasi cerita agar lebih menarik. Yang terpenting adalah menghindari kata-kata yang tidak layak untuk didengarkan oleh anak-anak. Seperti kekerasan, caci maki, atau yang berbentuk hinaan yang sarkas antar tokohnya.
3.      Menguasai karakter tokoh dalam cerita
Semakin kita memahami dan menguasai karakter tokoh dalam cerita yang kita sampaikan, maka semakin mudahlah kita mengekspresikannya. Anak-anak pun seolah-olah bertemu langsung dengan tokoh tersebut. 
4.      Alur yang menarik
Mendongeng atau bercerita dengan alur yang melompat-lompat akan membuat anak bingung. Ceritakanlah pembukaan yang menarik dengan perlahan mengantarkan konflik. Lalu, lanjutkan dengan proses penyelesaian konfliknya lewat kejutan-kejutan yang mampu memikat konsentrasi anak. Kemudian selesaikan cerita dengan membuat kesimpulan berupa pesan moral yang tidak dipaksakan dan terkesan menggurui.
5.      Jaga kontak mata dan perhatian anak
Saat mendongeng atau bercerita, kita asyik sendiri. Sesekali perhatikanlah sikap tubuh dan kontak mata anak agar kisah yang kita sampaikan bisa diselesaikan hingga akhir dengan baik. Jika anak mulai bosan, segeralah mengubah suasana dengan memainkan alur cerita. Pilihan waktu dan suasana yang tepat akan memudahkan kita menjaga perhatian anak saat mendongeng.
6.      Menggunakan media (alat peraga boneka, musik, dan lain-lain)
Kalau diperlukan dan akan menambah seru sesi mendongeng, kita juga bisa menggunakan alat peraga. Bisa dengan boneka-boneka atau benda yang pas dengan jalan ceritanya atau menggunakan iringan musik.
Begitulah, belajar secara otodidak pun mampu menumbuhkan kepercayaan pada diri saya. Ternyata saya tidak hanya bisa mendongeng untuk anak-anak saya saja. Kecintaan pada dunia dongeng dan story telling telah menorehkan kenangan manis dalam “Summer Madrasash” bersama anak-anak muslim lainnya di Orchard Down, Urbana Illinois. 

Yuk, kita budayakan kecintaan mendongeng untuk mengajarkan sifat-sifat baik dan akhlak mulia pada anak-anak. [Wylvera W.]



Postingan ini ditulis dalam rangka menyambut “Festival Dongeng Internasional” yang akan diadakan pada tanggal 31 Oktober dan 1 November 2015 di Museum Nasional.
Info lengkap tentang event tersebut ada di http://indostoryfest.com/

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...