Senin, 05 Desember 2016

Cemburu itu Membuat Saya Malu


 
Sumber foto: WhatsApp Group

            Sebelum berbagi pengalaman versi saya tentang aksi damai 411 dan aksi super damai 212, saya mohon perlindungan terlebih dahulu kepada Allah. Semoga tidak terselip niat riya selama menyelesaikan cerita yang sarat dengan segala rasa ini.
            Bismillah ….
Sebagai seorang yang aktif di facebook, teman-teman yang ada di friend list saya mengenal saya sebagai penulis. Selain itu sebagian dari mereka juga tahu kalau saya adalah guru ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis di salah satu sekolah Islam Bekasi. Sejak memiliki akun fecebook, saya hampir tidak pernah memasang status yang rentan memancing perdebatan. Status saya biasanya terkait dengan buku atau karya-karya saya, cerita-cerita tentang anak-anak saya, dan pengalaman lain yang ringan-ringan. Mungkin itu sebabnya belakangan ini ada satu dua orang yang penasaran dan mengajukan pertanyaan.
            "Mbak Wyl beda ya sekarang. Status-statusnya di FB beda banget. Nggak nulis buku lagi ya, Mbak?"
            Semua itu berawal dari kasus dugaan penistaan terhadap Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 51 yang merebak di media sosial. Meskipun mulanya saya belum begitu tergerak untuk menyikapinya. Saya biarkan hati saya terus mengikuti perkembangan beritanya. Hingga akhirnya saya sadar bahwa sebagai umat Islam, saya tidak seharusnya diam dan menjadi penonton saja. Quote-quote penggugah rasa pun bertebaran di facebook. Hati saya begitu tercubit saat membaca apa yang dikatakan oleh Buya Hamka.
“Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis, sebab kehilangan ghirah sama dengan mati.” – (Buya Hamka). 


            Walaupun sebenarnya Al Qur’an tak butuh pembelaan, sebab Allah SWT telah menjaganya hingga akhir zaman nanti. Namun, sejak itu, hati saya seperti digiring untuk terus melakukan pembelaan. Saya mulai merasakan kemarahan dan kekecewaan. Saya terluka dengan penghinaan itu. Mengapa ayat Al Qur’an yang agung dan merupakan firman Allah SWT yang menjadi pedoman umat muslim dalam menjalankan aqidahnya dinodai sedemikian rupa? Saya tidak boleh diam saja tanpa bersikap.
Saya malu jika mengingat kisah semut Ibrahim. Kalau seekor semut saja mampu memosisikan dirinya, kenapa saya tidak? Sejak itulah status-status saya di facebook mulai menampakkan keberpikahan saya yang sesekali memancing perdebatan. Sampai saya pun akhirnya mengambil jalan memutus pertemanan di facebook dengan teman yang komentar-komentarnya sangat tendensius dan cenderung merusak mood saya. Untuk itu, saya mohon Allah mengampuni sikap ketidaksabaran dan kekurangikhlasan saya.       
Kembali ke pertanyaan teman tersebut, saya pun memberi jawaban dari apa yang saya rasakan. Inilah jawaban saya di facebook;
Saat ini iya, saya jeda dulu dari menulis untuk buku. Hati saya sedang fokus pada menulis dan menyuarakan apa yang sedang diperjuangkan saudara-saudara seiman saya. Walau hanya di status facebook. Kan saya sejatinya hanya ibu rumah tangga. Tidak terdesak oleh tuntutan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Jadi saya punya waktu lebih banyak untuk melibatkan diri. Di luar sana, banyak perempuan muslim yang bekerja full time saja rela meluangkan waktunya untuk memperjuangkan kasus yang masih belum kelar ini. Masa saya cuek sih? Saya takut nanti Allah murka pada saya. Na'udzubillahimindzalik. Saya nggak siap mempertanggungjawabkannya di yaumil hisab nanti. Saya rasa saya masih punya waktu untuk ikut berjuang walau efeknya kecil, dan mungkin nggak ngaruh juga. Namun, semoga yang kecil sekali ini, Allah jadikan tabungan saya untuk di sana nanti. Aamiin.”
Meskipun demikian jawaban saya, jauh di lubuk hati, saya tetap menyimpan rasa cemburu itu. Dan bisa jadi ada riya bersemayam diam-diam di sudut hati ini tanpa saya sadari. Astaghfirullah. Sejujurnya, apa yang saya lakukan tidaklah berarti. Saya hanya mampu membela dari wall fecebook saya saja. Bahkan saat saudara-saudara seiman saya turun berkumpul melakukan Aksi Bela Islam II, pada tanggal 4 November 2016 (411), saya tidak bisa melibatkan diri. Walau hati ini ingin sekali ikut bersama mereka, saya tetap tidak bisa. Sebab saat itu saya sedang ada di Lombok.
Saya cemburu sekali pada mereka, sehingga keberadaan saya di Lombok terasa tidak maksimal karena pikiran saya terpecah. Saya cemburu jika karena ketidaktotalan saya berjuang, Allah akan murka pada saya. Saya cemburu jika momen ini tak memberi kesempatan pada saya untuk menambahkan berat pahala sebagai penolong saya di yaumil hisab nanti. Astaghfirullah ….
Sepulang dari Lombok, saya kembali fokus mengikuti perkembangan kasus penistaan Surah Al Maidah ayat 51 ini. Sampai akhirnya tuntutan bergulir pada tahap  bahwa Basuki Tjahaya Purnama/Ahok diputuskan sebagai tersangka. Alhamdulillah.
            Tuntutan umat muslim yang merasa kitab sucinya dinistakan belumlah usai. Walaupun Ahok telah diputuskan sebagai tersangka, namun keberadaannya masih bebas. Para ulama kembali berjuang untuk melakukan tuntutan hukum agar Ahok segera diadili dengan tuntas. Atas kuasa dan izin Allah SWT, akhirnya sampailah pada kesepakatan untuk menggelar “Aksi Bela Islam III” pada tanggal 2 Desember 2016. Kesepakatan itu saya saksikan di layar tivi. Tidak hanya saya, di sebelah duduk Mama saya yang begitu serius menyimak acara tersebut. 

Mama saya menyiapkan bekal ikut aksi 212
            Yang paling membuat saya terkejut, saat Mama saya tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk ikut aksi 212 itu.
            “Serius Mama mau ikut? Kok tiba-tiba mau ikut, kenapa , Ma?” tanya saya masih belum yakin.
            “Iya. Kemarin jujur saja, Mama takut waktu kau bilang kalau ada demo lagi mau ikut. Mama takut terjadi apa-apa. Tapi begitu tadi mendengar Habaib Riziq bilang akan aman karena aksinya super damai, Mama jadi yakin mau ikut denganmu. Malu juga kalau cuma diam-diam di rumah, padahal hati Mama pun marah sama si Ahok. Bukan soal politik-politikan ini. Enggak ngerti Mama kalau soal itu. Mau ikut bantu berdoa. Mudah-mudahan habis aksi ini, Allah menolong umat Islam dan menunjukkan siapa yang salah,” jawab Mama bersemangat dengan sudut pandangnya yang sederhana.
Masya Allah, cemburu di hati saya kembali mencuat mendengar kata-kata Mama saya itu. Puncak rasa cemburu itu, ketika saya mengikuti berita bahwa rombongan para santri dari Ciamis akan datang ke Jakarta. Mereka tidak datang dengan menumpang kendaraan, melainkan berjalan kaki. Foto-foto alas kaki santri yang bolong, santri dengan kondisi fisiknya yang jika dipandang oleh kasat mata, rasanya tidak mungkin sampai ke Jakarta dengan berjalan kaki, ternyata bisa tiba juga. Dan, masih banyak gambaran yang begitu menggetarkan hati. 

Rombongan santri Ciamis yang berjalan kaki dari tempat asalnya :'(
Sumber foto (atas dan bawah): Facebook

Allahu Akbar!
Lagi-lagi hati saya menangis. Saya menyaksikan kebenaran kabar itu di televisi dan media-media sosial. Siapa yang menggerakkan mereka? Uang? Perintah ulama? TIDAK! Mereka datang atas dorongan keyakinan (iman) serta nurani yang marah dan tidak rela menerima penistaan terhadap Al Qur'an, Surat Al Maidah 51 oleh Ahok. Ghirah yang ada di hati mereka tak surut saat mengetahui bahwa sempat ada pelarangan dari aparat kepolisian kepada pengusaha bus untuk menyewakan kendaraannya menuju Aksi Bela Islam III 212.  Lalu, sebesar apa kontribusi saya dan Mama saya pada perjuangan membela Al Qur’an dari penista tersebut? Tidak lebih besar dari senoktah. Ya Allah, ampuni kami ini.
Sehari sebelum Jum’at, 2 Desember 2016, saya seperti nyaris kehilangan kesempatan untuk mewujudkan keinginan hadir di Aksi Super Damai 212. Tiga kali mencoba bergabung dengan rombongan dari Bekasi, berakhir batal karena beberapa kendala. Namun, lagi-lagi atas izin Allah SWT, saya dan Mama akhirnya diberi kesempatan berangkat bersama rombongan mujahid dan mujahidah dari Pesantren Enterpreneur Bekasi. Alhamdulillah ….

Briefing di depan kantor PE, Emerald Sumarecon Bekasi sebelum berangkat
Menunggu keberangkatan dari stasiun kereta Bekasi
Dari keberangkatan itulah rasa cemburu saya mulai berkecamuk. Tiba di stasiun kereta, saya menyaksikan rombongan yang berniat sama, menuju Silang Monas Jakarta. Mulai dari yang muda, tua, hingga anak-anak pun ikut serta dengan menampilkan wajah-wajah yang mengekspresikan keberanian dan siap berjihad dalam pekik takbir yang berkumandang berulang-ulang.  Masya Allah … saya tak bisa melukiskan gemuruh di dada saya ketika itu. Sesak menahan tangis semakin terasa berat. Apalagi ketika menyadari bahwa semangat dan ghirah saya ternyata hanya sebutir debu di antara semangat mereka.
Tiba di stasiun Gondangdia, Jakarta, tubuh saya kembali bergetar pelan. Dada saya bolak-balik bergemuruh mendengar gema takbir yang berulang-ulang dikumandangkan para mujahid dan mujahidah yang semakin membaur dari segala penjuru. Saya lirik Mama saya sekilas. Mata beliau sudah sempurna bekaca-kaca menahan tangis. Mungkin Mama merasakan hal yang sama dengan saya. Sebab, ini juga menjadi pengalaman pertama bagi Mama saya.

Dari stasiun Gondangdia menuju Silang Monas
Sumber foto: facebook

Rombongan kami pun akhirnya membaur dengan yang lainnya. Kami berjalan menuju Silang Monas. Seketika itu saya seolah diingatkan oleh suasana saat menjalankan prosesi berhaji yang berjalan bersama jema’ah menuju Mina untuk melempar jumrah. Merinding, degdegan, haru, berbaur menjalari tubuh saya.  Saya yang baru merasakan nikmatnya berhaji bulan September 2016 lalu, seolah dikembalikan pada suasana yang mirip di tanah haram, Mekkah. Gelombang manusia yang datang dari Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Palembang, Jogjakarta, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi tumpah ruah di Jakarta. Saya yakin bahwa Allah SWT yang menggerakkan itu semua. Semua datang demi untuk satu tujuan, yaitu menuntut agar hukum ditegakkan seadil-adilnya bagi Ahok, si penista Surat Al Maidah 51.
Saya yang baru pertama kali ikut aksi demo, tentu saja takjub melihat pemandangan yang luar biasa itu. Sebentar-sebentar saya menarik napas agar air mata ini bisa ditahan. Dada saya sesak menahan haru yang meluap-luap. Apalagi saat berpapasan dengan para relawan yang begitu gesit membagikan makanan dan minuman di sepanjang jalan menuju Monas. Ya Allah, sampai saya sulit menolaknya, padahal tas saya dan Mama sudah sesak dengan makanan. Saya tidak berani menolak apa yang mereka berikan, sebab bagi mereka itu adalah nilai-nilai yang mereka yakini sebagai amalan jihad. Allahu Akbar!


Kenyataan itu kembali membuncahkan rasa cemburu di hati saya. Rasa cinta pada Al Qur’an dan Islam begitu besar sehingga membentuk kekuatan yang super dahsyat untuk sebuah tujuan yang sama. Dari pagi hingga selesai sholat Jum’at pada hari itu telah menyelipkan banyak sekali pengalaman dan kenangan indah dalam batin saya. Gema takbir dan tahlil dari jiwa-jiwa yang ingin membela kebenaran kian memenuhi lapangan Monas dan sekitarnya. Saf-saf untuk persiapan sholat Jum’at perlahan kian penuh. Merinding saya melihat kenyataan yang sedemikian menakjubkan itu. Sekali lagi, saya seolah terbawa ke suasana wukuf di Padang Arafah. Saat itu, air mata saya tak bisa dibendung lagi. Lepas sudah membasahi pipi ini.
Ketakutan dan kekhawatiran akan terjadi kerusuhan yang di awalnya sempat terselip sebelum tiba di area aksi superdamai, seketika pupus tanpa bekas. Bertukar dengan rasa syukur yang tak bisa digambarkan dengan keindahan kata-kata. Maha Mulia Allah SWT yang telah menggerakkan hati para hamba-Nya untuk menunjukkan pada dunia bahwa inilah umat muslim yang sesungguhnya. Yang selama ini kerap dikecam sebagai sumber kemunculan teroris, provokator, dan pandangan negatif lainnya. 

Saf para Mujahidah yang tetap tertib hingga akhir aksi
 Puncak kecemburuan saya akhirnya sampai pada momen pelaksanaan sholat berjema’ah. Saya yang saat itu sedang berhalangan sholat merasa sedih sekali. Sekuat  tenaga saya menenangkan hati dan meyakinkan diri bahwa sesungguhnya Allah sedang memberi kesempatan kepada saya. Dengan berhalangannya saya sholat, saya memiliki kesempatan untuk lebih melihat dan merenungi sekeliling saya saat itu. 

Hujan tak menghalangi kekhusyukan sholat
Ini salah satu yang membuat pipi saya basah air mata bercampur tetes hujan ;'(
Betapa keikhlasan itu jelas tergambar di mata saya begitu melihat hujan yang kian tercurah dari langit Allah. Hujan yang sudah sempurna membasahi sajadah, mukena, hijab, dan baju mereka seolah menjelma seperti air yang menyejukkan jiwa. Mereka tetap khusyuk menegakkan sholat berjema’ah. Sama sekali tak membuat para mujahid dan mujahidah beranjak dari safnya. Ya Allah … Engkau tampakkan pada saya bentuk ikhlas yang demikian besar. Tak sepantasnya rasa cemburu ini saya simpan berlama-lama dalam hati. Astaghfirullah ….
Sekali lagi saya menyapu pandangan ketika semua khusyuk menegakkan sholat. Inilah ummat muslim yang selalu Allah jaga hati dan sikapnya dari keberingasan, kebusukan, serta kekotoran hati dan niat yang ingin menghancurkan keutuhan bangsa dan negara (NKRI). Kami datang dan berkumpul untuk melantunkan doa-doa demi mengetuk pintu langit dan memohon keridhoan Allah SWT untuk satu tujuan mulia. Kami hanya ingin hukum dan keadilan ditegakkan agar tak ada penista agama/kitab suci yang bisa bebas melakukan kesombongannya tanpa ganjaran. Semoga Engkau menggerakkan hati para pemimpin negeri ini, para penguasa dan penegak hukum untuk jujur menjalankan amanah dan tanggung jawabnya. Aamiin Ya Rabb.
Kami dan seluruh ummat muslim (rakyat Indonesia) yang mendukung aksi 411 dan 212 ini hanya menginginkan satu hal. Tuntutan ummat Islam terhadap tersangka penista Al Qur’an Surat Al Maidah 51, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) segera diproses dengan sejujur-jujurnya. Aamiin. [Wylvera W.]
       
Note: Semoga catatan ini menjadi pengingat saya dan anak cucu saya kelak. Aamiin          

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...