Jumat, 22 Mei 2015

“Jadi Penulis itu Susah ....”


Saya, Mira, dan para pemenang cerpen terbaik (dokpri)
Mengapa jadi penulis itu susah?
Begini ceritanya ....
Saya pernah bercita-cita ingin menjadi dokter. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya faktor penyebab, cita-cita itu pun akhirnya tidak terwujud hingga saat ini. Akhirnya saya legowo mengikuti perjalanan ke mana nasib membawa saya. Hingga hari ini, saya ditakdirkan menjadi seorang istri, ibu dari dua anak, penulis, guru ekskul, dan agak deg-degan ngaku sebagai blogger (segan sama blogger yang beken-beken itu ... hikks ^-^).

Nah, dari semua status yang saya lakoni itu, entah mengapa justru yang paling membuat saya senang dan nyaman adalah saat mengajar. Berbagi dan berbicara di depan audience tentang pengalaman menulis yang saya miliki (padahal belum ada apa-apanya juga sih ...hehehe), membuat saya selalu happy melakukannya. Yang bikin takjub, ternyata apa yang saya minati (ngomong di depan orang-red), tanpa sadar mulai diwarisi pula oleh putri sulung saya. *sebelum diakui sama bapaknya ....bwuahahaha*

Beberapa minggu sebelum hari “H”, saya di- SMS oleh nomor telepon yang tidak saya kenal. Pesannya meminta kesediaan saya untuk menjadi pemateri pada acara workshop di SMPIT Thariq Bin Ziyad, Jatimulya Bekasi. Singkat cerita, saya menyetujui permohonan itu. Akhirnya saya pun bertemu dengan pengurus OSIS yang menjadi juru bicara mereka. Walaupun mereka mengaku anggarannya kecil, saya tetap bersedia. Honor bukan tujuan utama saya saat berbagi ilmu dan pengalaman.

Nah, di momen berikutnya, menjelang acara, salah satu pengurus OSIS SMPIT tersebut kembali menghubungi saya. Mereka ingin menambahkan bintang tamu lain di sesi workshop itu. Syaratnya harus seorang penulis, tapi yang remaja. Saya ajukanlah nama anak saya (Yasmin Amira Hanan). Saya ceritakan sekilas tentang profil Mira kepada mereka. Mereka pun senang sekali dan langsung menyambut dengan baik.

Saya tahu kalau mereka itu masih SMP, tapi sudah berhasil mengemas acara besar di sekolahnya yang diberi tajuk “Thariq Carnival”. Sementara “Workshop Menulis” yang diisi oleh saya dan Mira, merupakan salah satu dari serangkaian acara lainnya di event tersebut.

Tibalah di hari Senin, 18 Mei 2015. Karena acaranya akan dimulai pada pukul 08.00, saya dan Mira pun ingin tiba tepat waktu. Sebelum jam delapan, kami sudah tiba di sekolah itu. Rasa kagum saya menepis kecewa yang nyaris muncul, ketika jadwal yang disepakati sedikit bergeser. Acara yang seharusnya dimulai dari jam delapan pagi akhirnya karena kurang detail persiapannya, mundur satu jam. Tidak apa-apa.

Semangat kalau melihat pesertanya ramai begini (dokpri)
Setelah acara dibuka oleh pengurus OSISnya, kami pun siap berbagi. Seperti biasa, materi yang saya berikan adalah seputar dasar-dasar tentang menulis cerita. Satu per satu dari langkah-langkah tentang menulis pun saya paparkan, berikut contoh-contohnya. Sesekali saya memancing gelak-tawa mereka untuk menghindari ketegangan dan kebosanan. Hingga tiba pada sesi praktik di bagian pertama, yaitu menentukan karakter tokoh dalam cerita.

Selepas sesi praktik, saya kembali melanjutkan materi tentang alur, setting, ending, dan sekilas pengetahuan tentang self editing. Di sela-sela presentasi, sesekali saya melirik Mira. Saya yakin, Mira juga diam-diam memerhatikan cara saya berbicara di depan 75 anak-anak remaja itu. Dia harus siap menggantikan posisi saya di depan untuk memberi motivasi seputar pengalamannya sebagai penulis remaja. Meskipun selama ini Mira sudah sering tampil dan berbicara di depan publik, namun memberi motivasi tentang menulis adalah momen pertama baginya. Saya deg-degan juga.

Suasana pelatihan (dokpri)
Setelah ini ya, sesinya Kak Yasmin Amira dong ^-^ (dokpri)
Materi dari saya pun akhirnya selesai. Sesi praktik menulis cerita sebanyak 200 kata juga sudah terlaksana. Saya meminta waktu sekitar 1 jam untuk membaca dan memilih 4 cerita terbaik dari 75 karya yang terkumpul. Mira pun mengambil alih sesi. Sambil membaca naskah, saya sesekali menyimak motivasi yang disampaikan Mira. Dia mengawali cerita tentang mengapa dia akhirnya jatuh cinta dan memilih terjun sebagai penulis muda.

Saya pikir Mira grogi, malah sebaliknya ... mengaliiir (dokpri) 
Saya tersenyum-senyum ketika Mira berkisah tentang pengalamannya saat tinggal di Amerika. Katanya, dari sanalah kesenangannya pada dunia menulis berawal. Mira juga bercerita kalau ibunyalah yang punya andil besar menumbuhkan minatnya dalam menulis. Wow! Bisa dibayangkan betapa tersanjungnya saya saat itu. *ge-er mood on*

Mira kembali melanjutkan kisah pengalamannya. Dari yang awalnya dia hanya suka membuat puisi-puisi standar, akhirnya berkat dorongan Ibu, dia pun berani mengikuti kompetisi menulis cerita pendek antar sekolah di sana. Cerpennya dipilih sebagai salah satu yang mewakili Martin Luther King School, tempatnya bersekolah di Amerika. Walau belum berhasil meraih juara 1, 2, dan 3, cerpen pertamanya (The Poor Sam), berhasil masuk nominasi.

"Boleh gak, saya nyebut elo dan gue?" tanya Mira membuka sesinya (dokpri)
Dari cerpen itulah semangatnya semakin terpacu. Mira kembali memberanikan diri mengikuti lomba menulis cerpen (masih di Amrik) yang diselenggarakan oleh Indonesian Muslim Society in America Sisters (IMSA Sisters). Karyanya terpilih sebagai cerpen terbaik kedua. Sejak itu, Mira terus memupuk keterampilannya di bidang menulis, sampai kembali ke tanah air. Lagi-lagi, berkat dukungan Ibu, katanya dia akhirnya berhasil mengikuti workshop menulis untuk pertama kalinya. Dia menyebut nama Kak Benny Rhamdani sebagai guru menulis andal yang telah memberinya ilmu tentang dasar-dasar menulis cerita.

Mira begitu semangat berbagi dan memberi motivasi. Satu kalimat yang paling saya ingat dan juga memancing tawa audience, ketika Mira mengatakan, “Jadi penulis itu susah, namun kita bisa membuatnya menjadi mudah ketika membayangkan fee dan royaltinya.” Kalimat awal Mira itulah yang menggelitik saya untuk memilih judul catatan di postingan ini. 

Selanjutnya, Mira juga menceritakan tentang kegembiraannya saat menerima laporan royalti dan honor dari karyanya (novel dan cerpen). “Aku bisa beli hape dengan hasil kerjaku sendiri, bisa nraktir teman makan-makan juga. Trus, bukan cuma itu aja. Jadi semakin dikenal juga di sekolahan. Kalau ada yang nanya, “Yasmin yang mana?” Pasti jawabnya, “Itu lho, anak XI MIA 5 yang penulis itu.” Cieee ... gaya kan aku?” ujarnya kocak, mengundang tepuk tangan.

Begitulah, setelah kurang lebih 45 menit memberi motivasi, Mira akhirnya menutup sesinya dengan berpesan, “Jadi, inti dari semua yang aku ceritakan tadi. Kalian itu terserah mau milih jadi apa. Jadi dokter, guru, pilot, diplomat, apa aja ... tapi keterampilan menulis jangan diabaikan. Kalian pasti butuh sama itu. Aku nggak maksa kalian harus jadi penulis seperti Ibuku atau wajib nulis-nulis novel seperti aku. Tapi sekali lagi, keterampilan menulis tetap harus kalian asah dan latih. Nanti kalian akan rasakan manfaatnya,” pungkasnya sebelum menutup kalimatnya dengan salam

Cinderamata dari Pengurus OSIS SMPIT TBZ Jatimulya (dokpri)
Terharu rasanya saya melihat Mira yang begitu percaya diri mendampingi saya berbagi sesi mengisi workshop tentang dunia penulis. Saya jadi merasa punya asisten baru. Semoga kesempatan seperti ini suatu hari menghampiri kami kembali. Kami akan dengan senang hati berbagi dan memberi motivasi seputar dunia kepenulisan. Mengajak anak-anak lainnya untuk mencintai dunia literasi. Semoga. [Wylvera W.]

Rabu, 20 Mei 2015

Perempuan dan Teknologi Informasi

(Bagian 2)
Bapak Bambang Kristiono (dari KPPPA) membuka sesi berikutnya (dokpri)

            Di bagian pertama dari judul “Perempuan dan Teknologi Informasi”, saya sudah membagi isi materi dari dua orang narasumber. Yang pertama Adiatmo Rahardi (Founder of the Largest Indonesia Robot Maker Community) dan Amalia E. Maulana, Ph.D., Brand Consultant dan Ethnographer (ETNOMARK Consulting). 
Inilah lanjutan catatan materi dari dua narasumber berikutnya.

Kebutuhan Konten Informasi bagi Perempuan
            Narasumber berikutnya adalah Julie Rostina, SKM, MKM (Dosen UIN Syarif Hidayatullah) dari Forum Peduli Anak Indonesia (FPAI). Beliau membahas tema tentang “Kebutuhan Konten Informasi bagi Perempuan”.  

Ibu Julie Rostinasaat memaparkan materinya (dokpri)

“Tahun 2012, kami pernah diminta oleh KPPPA untuk melakukan studi di 3 provinsi. DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat,” ujarnya mengawali pemaparan materi berdasarkann pengalaman tersebut.
            Julie Rostina mengatakan bahwa dari kajian yang mereka lakukan, ternyata di tiga wilayah kajian mereka, sebagian kaum perempuannya belum memahami apa itu “Teknologi Informasi”. Ini yang membuat mereka tertinggal, baik di pengetahuan tentang menangani masalah rumah tangga, kesehatan reproduksi, cara pengasuhan anak, serta informasi cara menyalurkan, mengembangkan bakat dan kemampuan mereka. Menurut catatan beliau, berdasarkan data UNESCO di tahun 2007, di negara-negara Asia Pasifik (termasuk Indonesia), selama 25 tahun terakhir, perempuan tertinggal tentang IPTEK dibandingkan laki-laki.
“Karena kurangnya informasi tentang pengetahuan, pendidikan di rumah secara tidak sengaja sudah mendikotomi anak perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, anak perempuan yang bermain mobil akan dianggap mirip anak laki-laki, sebaliknya, anak lak-laki yang bermain boneka akan dianggap seperti anak peremupan. Padahal kedua benda itu tidak memiliki kelamin. Jadi, secara tidak langsung kita sering melakukan dikotomi ini dan berefek pada pendekatan IPTEK. Yang berbau IPTEK berarti dekat dengan anak laki-laki,” ujar Julie memberikan contoh kesalahan pemahaman dalam pendampingan tumbuh kembang anak.
            Dari pemaparan yang disampaikan, saya mencoba merangkum beberapa poin penting. Salah satunya tentang dikotomi peran antara perempuan dan laki-laki. Dikotomi ini menjadi penyebab kesenjangan dalam mengakses informasi untuk memahami dan menyerap manfaat dan keuntungan dari teknologi. Di bagian terpenting inilah perempuan yang sudah melek teknologi mengambil peran agar bisa membuka peluang untuk menjadi jembatan penerus informasi tersebut bagi kaum perempuan yang masih tertinggal. Bagaimana informasi bisa dijadikan sebagai alat bantu yang efektif, agar perempuan bisa mengakses dan mendapat peluang demi meningkatkan kualitas dirinya? Melalui kajian ini, diharapkan tidak akan terputus pada satu diskusi saja.
            “Saat ini, teknologi tidak hanya menyentuh kalangan atas, namun juga kalangan bawah. Adapun yang melatarbelakanginya adalah beberapa kebutuhan yang meliputi kebutuhan fisik, kemanan, harga diri, dan aktualisasi diri,” tambah Julie Rostina lagi memberikan latar belakang tentang kebutuhan konten informasi bagi kaum perempuan.
            Menurut Julie (dan saya yakin kita sebagai perempuan juga menyetujuinya), bahwa perempuan memiliki multi peran (sebagai istri, ibu, manajer keuangan, guru, chef, psikolog, dokter, dsb). Inilah yang mendorong kaum perempuan harus melek IPTEK. Dan, berdasarkan multi peran kaum perempuan ini pula KPPPA melakukan kajian secara terus-menerus dengan tujuan untuk membantu meningkatkan statusnya.
Kendala seputar kondisi geografis, status sosial, dan taraf ekonomi, memang sangat berpengaruh pada tingkat kemampuan kaum perempuan untuk mengakses Teknologi Informasi. Inilah yang menjadi tugas kita sebagai perempuan (yang notabene lebih memiliki peluang lebih untuk memperoleh pengetahuan tersebut). Setidaknya, kita bisa membantu menyebarkan pengetahuan yang terkait dengan Teknologi Informasi kepada para perempuan yang membutuhkannya. Penyebaran itu tidak terbatas pada konten infromasi saja, namun lebih lanjut bisa melalui tindakan nyata seperti pendampingan hingga mereka bisa dilepas untuk melakukannya kelak secara mandiri.

Perempuan Harus Tanggap Teknologi
            Kebersamaan kami di forum diskusi ini akhirnya diakhiri oleh pemaparan materi yang singkat, padat, namun menjadi semacam rangkuman dari keseluruhan tujuan pertemuan di dua hari itu. Martha Simanjuntak (Founder dan mantan Ketua Umum Indonesian Woman Information Technology Awareness – IWITA). IWITA yang didirikan pada tanggal 9 April 2009, berkedudukan di Jakarta, memiliki daerah operasional di seluruh Indonesia, adalah organisasi perempuan Indonesia yang tanggap terhadap Teknologi Informasi.

Bu Martha dan slide awal materinya (dokpri)
         Perempuan cantik dan energik ini, mengajak perserta untuk berdiskusi dengan gaya pemaparannya yang renyah, lincah, dan kocak. Saya merasakan suasana semakin mencair begitu saja saat menyimak materi dari beliau. Beberapa hal yang sempat terekam oleh saya saat Martha menjelaskan tentang pentingnya Career Capital (semacam nilai kompetensi yang meliputi pengetahuan dan kepribadian seseorang dalam menghasilkan nilai ekonomi), khususnya bagi kaum perempuan.

(dokpri)

-          96% wanita Indonesia berpendapat bahwa career capital merupakan faktor penting untuk meraih kesuksesan.
“Jangan rendah diri jika Ibu hanya seorang ibu rumah tangga sebagai penggiat sosial dan blogger. Blogger itu karir, penggiat sosial itu karir,” tegas Martha meyakinkan. Martha juga memberi dukungan semangat dengan mengatakan bahwa perempuan penggiat sosial dan blogger dengan ragam keterampilan yang dimiliki, harus optimis untuk menghadapi masa depan dengan memanfaatkan teknologi (internet) demi meraih produktivitasnya.
-          62% wanita Indonesia menganggap bahwa etos keja dan efisiensi yang tinggi sebagai kontributor paling menentukan dalam kesuksesan pekerjaan dan kerja team.
“Temuan ini tidak terbatas pada kerja kantoran saja, tapi di ragam aktivitas perempuan,” ujarnya memberi penjelasan tambahan.
-          86% wanita Indonesia percaya bahwa memperluas jaringan pribadi dan keprofesionalan, dapat meningkatkan career capital.
“Sebagai contoh untuk temuan ini, blogger perempuan pencinta kuliner. Tentunya dia akan mencari network seperti tempat-tempat makan (restoran) yang sesuai dengan kebutuhan networkingnya,” jelas Martha memberi contoh.
Intinya, menurut Martha, segala aktivitas yang ingin kita lakukan, semua sudah tersedia informasinya di internet.
            Selanjutnya, Martha mengatakan bahwa fakta penting yang ditemukan; terdapat 42% wanita Indonesia lebih memilih bekerja di luar rumah, 50% beranggapan bahwa pengalaman lebih penting dari pada pendidikan. Sementara wanita karir di Indonesia, lebih berani dan percaya diri mengajukan promosi dibanding para wanita di Singapura dan Malaysia. Apa yang menyebabkannya? “Ini semua tidak lepas dari peran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Kuncinya, perempuan-perempuan Indonesia harus berani menghadapi tantangan, persaingan, dan rasa takut. Rasa takut mampu menguras kemampuan hingga 50%, dan sebaliknya jika mampu menaklukkan rasa takut maka kemampuan akan meningkat hingga 150%,” pungkasnya.
           
Sesi Berbagi sebagai Pelengkap Diskusi
            Di sesi akhir sebelum mengakhiri materinya, Martha menampilkan dua karakter manusia dalam menghadapi persoalan hidup di layar infokus. Di sana tertera dua bait kata-kata yang menggambarkan dua tipe karakter manusia. Pertama, menggambarkan tipe karakter gampang menyerah dan pasrah. Kedua, menggambarkan tipe karakter yang kuat, tahan terpaan badai kehidupan, dan optimis. 
 
Saya di sesi sharing (semoga sesuai dengan tipe karakter kedua ^^) - (foto: Ani Berta)
         Ketika Martha menawarkan kesempatan untuk berbagi, saya memberanikan diri tampil. Di kesempatan itulah untuk pertama kali saya berbagi cerita tentang kilas balik kisah hidup saya serta proses pembentukan kepercayaan diri hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Semoga pengalaman yang telah saya bagi mampu memberi inspirasi bagi semua peserta diksusi di ruangan itu.
           
Kesimpulan
            Dari dua bagian catatan yang telah saya bagi, intinya adalah mari bersama-sama kita raih kondisi dimana kaum perempuan Indonesia selalu tanggap terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi. Melalui kesadaran (awareness), pembelajaran (learning), penerapan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat (implementation), serta mampu mensosialisasikannya (sosialization), kaum perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tidak hanya itu, kaum perempuan (para Ibu), mampu menciptakan generasi muda yang andal, kreatif, dan berprestasi. [Wylvera W.]
           
           
             

Minggu, 17 Mei 2015

Perempuan dan Teknologi Informasi

[Bagian Pertama]

Serius menyimak (foto: Ani Berta)


            
          Di era golabalisasi ini, sumber daya manusia merupakan kekuatan utama dalam pembangunan.  Untuk mewujudkan pembangunan demi meningkatkan kemakmuran, peran masyarakat sangat diharapkan.  Terutama di dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Termasuk di dalamnya peran kaum perempuan. Keterlibatan kaum perempuan dalam perannya ini mau tidak mau membuat mereka harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki. Kesempatan yang terpenting adalah bisa mendapatkan, mempelajari, dan memanfaatkan teknologi untuk mencerdaskan diri sendiri dan keluarganya. Sebab dari diri dan keluargalah segalanya berawal. 
          Sebagai seorang perempuan, saya pun merasa terpanggil untuk ikut berperan dalam pembangunan, sekecil apa pun bentuknya. Beruntunglah saya, tinggal dan hidup di area perkotaan yang tidak terlalu sulit mengakses pengetahuan tentang TIK. Dan, bersyukur sekali juga rasanya ketika saya mendapatkan kesempatan berharga untuk ikut duduk bersama dan berdiskusi dengan para perempuan hebat. Kami bertemu dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diprakarsai oleh Deputi Bidang PUG Bidang Ekonomi, KementrianPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI untuk membahas tema tentang “Pemberdayaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Perempuan”.

Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Ragam Aktivitas
            Acara yang berlangsung dua hari berturut-turut (7 - 8 Mei 2015) di ruang rapat Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW), Gedung Nyi Ageng Serang lantai 2 Jakarta Selatan itu, menghadirkan empat praktisi yang ahli di bidangnya masing-masing sebagai narasumber.
      Saya terkagum-kagum ketika Adiatmo Rahardi (Founder of the Largest Indonesia Robot Maker Community), menyajikan materi tentang “Making Things for the Internet of Things”. Beliau memaparkan cara kerja sebuah sistim untuk membantu kita dalam melakukan banyak aktivitas. 
(dokpri)

       Salah satu contoh yang sempat saya rekam adalah dalam hal penggunaan mesin cuci. Mesin cuci ternyata bisa dioperasikan dengan kontrol jarak jauh. Kalau saya bisa mengoperasikan alat ini, tentu akan sangat membantu. Saya bisa mengerjakan naskah-naskah cerita di depan komputer, sementara pakian kotor siap dijemur, tanpa harus berbasah-basah di dekat mesin cuci itu.
            Adi Robot (sebutan populer dari Adiatmo) juga memberi penjelasan tentang betapa hebatnya kemampuan teknologi sehingga memudahkan kaum perempuan untuk melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Sebagai contoh kecil (sebenarnya sangat besar buat saya ^^), Adi Robot juga memaparkan keunikan cara kerja alat sensor yang bisa mendeteksi kelalaian terhadap kewajiban sikat gigi dalam keluarga. Jika Ibu diberi alat kontrol (semacam komunikasi jarak jauh) untuk mengecek apakah ada salah satu anggota keluarga yang lalai melakukan rutinitas sikat gigi tersebut, maka Ibu sebagai pemegang alat kontrol itu akan tahu. Keren kan?


Adiatmo Rahardi saat memaparkan materinya (dokpri)

            Bukan itu saja. Masih banyak contoh kecanggihan pemanfaatan teknologi lainnya bagi keluarga yang diberikan Adiatmo Rahardi. Salah satunya alat pengecek (sensor) persediaan makanan di kulkas. Jika isi kulkas mulai kosong, maka sensor itu yang akan memberitahu pemiliknya. Bahkan sampai sensor tentang pengeluaran belanja dan jenis makanan sehat yang akan kita konsumsi dari isi kulkas tersebut pun bisa dideteksi oleh alat pintar tersebut.  Wow! Mau banget ya punya alat sensor seperti ini. Jika ingin melihat model-model teknologi lain, bisa mengunjungi Instructables.com. “Di sana ada penjelasan tentang tutorial pembuatan alat-alat teknologi seperti robot tersebut,” ujar Adi.
        Satu lagi yang paling ingin saya miliki (bukan karena kepo ya ^^), yaitu alat pengecek untuk mengawasi anggota keluarga yang serumah dengan kita. Dengan alat ini, kita bisa mengecek kegiatan yang dilakukan anggota keluarga di rumah, sementara kita tidak berada di sana. Luar biasa! Saya yakin, sebagai perempuan (terlebih Ibu), bukan hanya saya yang tergiur dengan manfaat penggunaan alat-alat berteknologi canggih seperti yang diutarakan oleh Adi Robot. 

Pemilik bisnis kuliner di Banjaramasin yang perlu sentuhan TIK (dokpri)
        Semua perempuan, apalagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, kecanggihan fungsi alat pintar itu akan sangat membantu memudahkan aktivitas mereka. Namun, masalahnya, bagaimana dengan perempuan-perempuan yang tinggal di pelosok-pelosok negeri tercinta ini? Seperti ketika saya berkunjung ke Banjarmasin dan sempat melihat perempuan-perempuan yang punya bisnis kuliner. Kesederhanaan dalam pengelolaan bisnis dan cara kerja mereka, menjadi salah satu contoh yang perlu dikenalkan dengan sentuhan teknologi yang lebih canggih. 

Anak-anak Pemulung yang belum tersentuh TIK. (dokpri)
        Contoh lain adalah kesulitan yang sempat saya rasakan saat memberi materi tentang menulis kepada anak-anak pemulung di sekolah pemulung Bantargebang. Akses teknologi, khususnya internet yang terbatas atau bahkan tidak ada samasekali, menjadi sebuah tantangan bagi saya sebagai trainer di sana.
        Melalui forum diskusi inilah saya berusaha mencari masukan tentang langkah-langkah untuk memikirkan solusinya. Tidak ada masalah yang tak memiliki jalan keluar. Semua harus diawali dengan semangat. Salah satu contohnya adalah dengan mengunjungi daerah-daerah terpencil itu, memberikan sosialisai, dan mengenalkan teknologi dari tingkat dasar, serta dilakukan secara berkesinambungan. Dan, itu adalah tugas perempuan juga sebagai bagian dari penggerak pembangunan.

Perlukah Personal Branding bagi Perempuan?  
            Dalam memanfaatkan Teknologi Informasi, satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah peran sosial media. Perempuan sebagai penggunanya, perlu mengukuhkan kekuatan di sosial media agar mampu mengontrol segala aktivitasnya di sana. Untuk menjawab kondisi tersebut, Amalia E. Maulana, Ph.D., Brand Consultant dan Ethnographer (ETNOMARK Consulting), hadir sebagai narasumber berikutnya.
Amalia E. Maulana, Ph.D dan materi tentang Personal Branding (dokpri)

            Perempuan hebat dan smart yang murah senyum ini, menyajikan materi seputar personal branding serta pemanfaatan kekuatan sosial media untuk kegiatan marketing yang efektif dan efisien.  Beliau mengatakan, “Sosial media adalah uncontrollable media. Untuk itu kita perlu membangun kekuatan di dalamnya.” Untuk membangun kekuatan tersebut, personal branding memang sangat diperlukan. Dengan kekuatan personal branding ini kita akan bisa mengetahui seperti apa kita di mata orang lain. Apa yang mereka bicarakan tentang kita (positif maupun negatif) saat kita tidak bersama mereka? Seberapa besar mereka mengingat profil kita, di sanalah sebenarnya brand kita terbentuk.
            Di awal paparan materinya, Amalia mengatakan dirinya adalah “Agent of Change”. “Saya yakin, ibu-ibu yang diundang dan hadir di sini adalah Agent of Change juga. Dan, sebagai Agent of Change, kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus bekerjasama,” tekannya memberi apresiasi kepada kami yang ada di ruangan itu. Wah! Tiba-tiba rasa tersanjung itu menyusup di hati saya. Namun, sebelum rasa tersanjung itu membubung, rasanya saya perlu menyimak lebih jauh lagi tentang personal branding ini. 
 
Seperti inilah cara kerja sosmed (dokpri)


            Sebagai penulis, guru jurnalistik, blogger, dan baru saja memulai usaha bisnis kecil-kecilan (kuliner), saya sendiri sering menggunakan istilah brand atau branding untuk mempromosikan diri dan hasil karya saya. Sementara Amalia mengatakan bahwa brand bukan hanya tentang iklan, banyak hal yang perlu dikaji dan dipahami lebih jauh.
Menurut Amalia, ada tiga label yang perlu dipahami tentang brand ini:
  1. Brand Ambasador, yaitu bersedia mengenalkan produk atau menjadi bagian dari branding produk tanpa harus dibayar.
  2. Brand Endorser, yaitu membantu mempromosikan produk karena dibayar.
  3. Brand Guardian, yaitu terlibat secara aktif dalam melakukan branding produk serta bersedia memberikan jawaban atas keluhan/masalah dari konsumen terhadap produk tersebut.  
Dari penjelasan Amalia, saya menyimak lima kesalahan yang sering terjadi dalam penggunaan sosial media sebagai marketing.
  1. Learning by doing
Amalia sangat menganjurkan untuk meninggalkan konsep “Learning by doing” menjadi “Do it right from the beginning”. “Melakukan semuanya dari awal dengan benar, akan membuat kita terhindar dari masalah-masalah yang menjauhkan kita dari tujuan awal,” ujarnya meyakinkan.

  1. Trial and Error
Buatlah konsep yang efektif dan efisien terhadap apa yang ingin kita tawarkan. Hal ini akan memberikan efek yang tepat sasaran dan tidak memboroskan waktu, uang, dan tenaga. Memahami karakteristik konsumen adalah langkah yang wajib dilakukan. Apa yang dibutuhkan konsumen (customer oriented) harus menjadi pijakan utama. Product oriented akan memberikan efek jangka pendek. 

  1. Competitor Benchmarking bukan Consumer Understanding
Menghindari kebiasaan membuat produk yang sudah ada dan pernah dibuat oleh kompetitor. “Carilah hal-hal baru yang belum pernah diberikan oleh produk yang sama kepada customer untuk memberi kepuasan berbeda,” imbuh Amalia.

  1. Advertising focus bukan “Branding (Research)” focus
Studi dan research yang kreatif tentang sebuah produk, serta menemukan orientasi konsumen dan perilakunya merupakan langkah yang lebih tepat, ketimbang gencar beriklan tanpa konsep yang jelas. 

  1. Tidak memperhatikan Reputasi Diri
Menurut Amalia, reputasi adalah aset terbesar yang harus selalu dijaga dan diperhatikan. Hal-hal positif dan negatif tentang kita akan terekam di sosial media. Ini akan menjadi rekam jejak reputasi kita sepanjang masa. Maka, butuh kehati-hatian yang ekstra di sini.

        Berikutnya, Amalia menjelaskan tentang Revolusi Digital. “Kita harus lebih fokus dalam hal pemahaman konsumen, karena konsumen di era digital lebih berat untuk dipuaskan dibanding zaman sebelumnya. Termasuk memahami prilakunya serta media yang digunakannya,” ujarnya.
        Amalia juga memberi contoh tentang perempuan-perempuan yang belum menggunakan semua ketersediaan akses di sosial media, seperti instagram, twitter, facebook, blog, dan lain-lain. Bagaimana cara menjangkau mereka? Beliau menganjurkan untuk menggunakan prinsip low hanging fruit. Mencari lapisan konsumen yang paling mudah dijangkau dibanding yang sulit, akan memberikan hasil lebih besar.

Menyempatkan foto bareng dgn Ibu Amalia 
Dari paparan tentang personal branding ini, Amalia memberikan gambaran tentang sebuah brand. “Brand yang kuat adalah brand yang cemerlang, relevan, konsisten, dan distinctive (berbeda, istimewa),” pungkas Amalia.  
To be continued .... [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...