Aku
baru saja menikmati kesibukan pagi di kota Bern. Ibukota Swiss ini memang tak
pernah sepi. Apalagi di musim semi seperti ini. Udara yang sudah tidak terlalu
dingin membuat orang semakin nyaman menikmati pemandangan dengan berjalan kaki.
Masih pagi saja sudah begitu ramai orang hilir mudik. Rasa lelahku di
perjalanan dari kota Medan langsung hilang.
Dulu,
ketika Papa masih bertugas di sini, aku selalu diajak Mama menyusuri kota tua
Bern. Kota ini sangat terpelihara dengan baik. Di jalanan yang yang berbaur
bebatuan, menara jam - zytglogge masih
berdiri dengan gagah. Menara yang merupakan landmark
dari abad ketigabelas ini berperan sebagai menara penjaga dan sekaligus denyut
kehidupan kota Bern. Dulu aku selalu berhenti sejenak jika menara jam itu
tiba-tiba memunculkan patung yang bergerak. Kata Mama, patung itu akan muncul
setiap satu jam sekali.
Walaupun
Bern memiliki transportasi umum yang sangat bagus, Mama lebih suka memilih
menikmati kota tua ini dengan berjalan kaki. Kesempatan itu selalu diambil Mama
saat menjemputku pulang dari sekolah. Aku tahu kalau Mama suka memanfaatkan
waktu pulang sekolah untuk berkali-kali melintasi pemandangan yang sama.
“Enggak
usah naik bis ya, Di. Enakan jalan kaki,” ujar Mama sambil sesekali membetulkan
letak syal di leherku.
“Terserah
Mama saja, kan
kemarin-kemarin juga jalan kaki,”
balasku menahan senyum.
“Iya,
Wily juga lebih senang jalan kaki kalau pulang sekolah. Dia enggak pernah mau
saya ajak naik bis,” sambar Tante Mirna, Mama Wily.
Ingatanku
bergerak pada anak laki-laki berkulit hitam manis dan selalu memakai topi itu.
Ya, Wily namanya. Papi Wily juga ditugaskan oleh kantornya di Bern. Awalnya aku
dan Wily teman satu sekolah. Setelah dua tahun di sekolah yang sama, akhirnya
Wily pindah ke level SMP. Tapi, sekolah kami letaknya berdekatan. Tak sampai
seratus meter. Sehingga kebiasaan pulang bersama pun kerap kali terulang.
Meskipun
aku tahu kalau Wily anak tunggal tapi aku suka geli melihat ada anak laki-laki
yang sudah SMP masih mau dijemput sama ibunya. Wily tak pernah merasa jengah
dengan sikap Maminya. Malah sepertinya dia sangat menikmati kebersamaan mereka
saat pulang dan berjalan bersama itu. Kebiasaan menjemput itulah yang membuat
Mamaku dan Mami Wily jadi berteman.
Kenangan
tentang Wily kuhentikan. Sekarang tujuanku bukan untuk menghabiskan waktu di kota
Bern. Ada janji dengannya untuk bertemu di Interlaken. Sebuah kota kecil di
Swiss yang selalu membawaku berlama-lama melamunkannya. Aku bergegas menaiki
kereta api menuju kota yang jaraknya hampir satu jam dari Bern itu. Selain
ingin bertemu dengan teman masa kecilku, ada kenangan manis yang sulit aku
lupakan di kota itu.
Kereta
api yang kunaiki terus melaju, melintasi pemandangan bagai lukisan di balik
kaca jendela kereta. Pohon-pohon dengan warna daun yang menguning, hijau, dan
kemerah-merahan menandakan musim semi sudah sempurna menyelimuti setiap kota. Rumah-rumah
penduduk berdiri anggun di atas hamparan rumput hijau yang tumbuh di atas tanah
berbukit. Sekawanan domba semakin melengkapi lukisan alam itu.
Setiap
kali ada kesempatan mendatangi kota ini, aku tak pernah bosan mengabadikan
pemandangan dari balik jendela kereta yang sedang melaju. Ada kenikmatan
tersendiri yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Takjub!
Keretaku
akhirnya sampai di Interlaken. Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada seseorang yang
berjanji menungguku di tepi kanal.
“Kamu
tahu, kenapa kota ini bernama Interlaken?” tanya Wily waktu itu. Aku menggeleng
dan memandang sinis padanya. Bagiku, Wily memang terkesan sok tahu segalanya.
Meskipun benar dan diam-diam aku mengaguminya, tapi aku selalu gengsi untuk
mengakuinya.
“Karena
letak geografis Interlaken ini unik, Di. Letaknya di antara dua danau besar,
Thun dan Brienzer. Nama Iterlaken berasal dari bahasa Latin, yaitu inter lacus yang artinya di antara dua
danau,” tambah Wily menjelaskan.
Aku
diam saja waktu itu. Lagi-lagi gengsi mengakui kehebatan Wily di pelajaran
Geografi.
Sekali
lagi bibirku tersenyum mengingat semua itu. Janji bertemu dengan Wily membuatku
tak sabar menuju bangku kayu di pinggir kanal itu. Sambil mengayunkan kaki,
mulutku tak pernah lepas dari decakan kagum akan kota ini. Sejauh mata
memandang, keindahan pegunungan Alpen selalu tampak sebagai latar belakang
kota. Interlaken benar-benar seperti negeri Heidy si penggembala domba.
“Kota
yang damai dan tenteram,” gumamku melepas kekaguman.
Ingatanku
kembali ke Wily. Setelah tiga tahun bertugas di Bern, Papi Wily masih harus
meneruskan masa dinasnya di kota administratif itu. Jika liburan panjang, keluargaku
suka diajak melancong ke Interlaken. Di kota inilah dulu kami sering
menghabiskan waktu sepanjang liburan. Di sini pula kami menghabiskan
kebersamaan terakhir sebelum akhirnya Papaku kembali ke tanah air. Sementara
keluarga Wily masih harus melanjutkan hari-harinya untuk menetap di Bern.
Dulu
keluargaku dan Wily selalu melengkapi kebersamaan kami dengan menyusuri
Boulevard di sepanjang tujuh ratus meter, jalan utama kota Interlaken. Turkis
Kebab, tempat makan favoritku dan Wily juga masih ada dan terlihat tetap ramai
saja oleh pengunjungnya. Entah mengapa, dari sekian banyak pilihan jajanan dan
restoran yang menyajikan makanan khas Eropa di Interlaken, Turkis Kebab yang
selalu menjadi pilihanku dan Wily.
“Kalian
mau makan apa?” begitu Om Herman selalu memberi pilihan awal kepada kami.
Seolah aku dan Wily menjadi penentu.
“Aku
enggak akan pernah bosan menikmati kebab, Pa. Kamu gimana, Di?” tanya Wily
mengharapkan dukunganku.
“Iya,
aku juga. Lebih aman dan halal,”
“Mengenyangkan
pula,” sambar Wily sambil menepuk-nepuk perutnya. Geli juga kalau mengingat
itu.
Ya,
selain kenangan bersama Wily, aku memang selalu mengagumi kota ini. Jalanan
yang bersih dengan bangunan pertokoan tertata rapi. Musim semi semakin
melengkapi keindahan kota kecil ini dengan bunga-bunga segar yang
berwarna-warni. Tak banyak yang berubah. Kota ini tetap cantik seperti dulu.
Sebentar
lagi aku sampai di tepi kanal tempat Wily berjanji menungguku. Kupercepat
langkah. Tiba-tiba kakiku terpaksa berhenti sejenak. Senyumku kembali merekah
ketika melihat iring-iringan sapi berbadan gemuk berjalan berlawanan arah
denganku. Suara lonceng yang menggantung di leher sapi-sapi itu mengeluarkan
bunyi yang indah.
Kenangan
lucu masa lalu kembali melintas manis di benakku. Dulu Wily suka mendorongku
sampai merapat ke sapi-sapi itu. Dia tahu kalau aku takut sekali. Tapi,
sekarang justru aku ingin mengelus badan sapi-sapi itu. Pemandangan seperti ini
membuat ingatanku semakin menancap pada sosok Wily. Aku harus segera bertemu
dengannya.
“Wily?!”
seruku ketika melihat seorang pemuda dengan topi pet cokelat duduk di bangku
kayu itu. T-Shirt hitam bergaris putih tipis-tipis itu membalut tubuh
jangkungnya.
Pemuda
itu menoleh ke arahku. Matanya menyipit. Beberapa saat ada keraguan di benakku. Sepuluh tahun cukup lama untuk membuat struktur tubuh dan wajah seseorang
berubah. Wily tumbuh menjadi pemuda jangkung. Badannya tak terlalu kurus.
Meskipun dalam keadaan duduk, aku bisa mengukur bahwa perawakan Wily sangat
proporsional untuk standar peragawan.
Wily
mencoba berdiri dari bangku kayu yang dulu sering kami pakai untuk melepas
lelah. Namun, Wily kembali terduduk. Matanya menatap air kanal yang berwarna
kehijauan di depannya. Aku masih
berdiri tak begitu jauh dari tempatnya duduk. Ingin memastikan apakah pemuda
itu benar-benar Wily. Kudekati bangku kayu itu.
“Iya,
Dian. Ini aku, Wily... laki-laki SMP yang selalu dijemput Maminya saat pulang
sekolah ketika itu,” ujarnya lirih.
“Kakimu...?”
“Iya,
aku mengalami kecelakan ketika mencoba mendaki Alpen,” sambarnya cepat.
Aku
menghela napas. Perlahan aku duduk di sebelah Wily. Mulutku terkunci. Tak
sanggup melanjutkan obrolan. Padahal sebelumnya aku ingin melepas rindu yang
membuncah di rongga dadaku. Banyak hal yang ingin kupertanyakan atas
kabar-kabar lewat e-mail yang
dikirimkan Wily. Salah satu pertanyaan tentang mengapa Wily tak pernah mau lagi
mengirimkan foto-fotonya,
kini sudah terjawab.
Aku
tak sanggup melihat Wily dengan kaki sebelah yang terkulai lemah. Penyangga
seperti tongkat yang tersandar di sisi bangku kayu itu membuat dadaku bagai tertindih
beban berat. Tanganku masih mencengkeram sisi bangku kayu yang sudah menua
dimakan cuaca ini. Kubiarkan kami sama-sama terdiam. Air kanal di depan kami
mulai memunculkan riak karena kepakan kaki bebek-bebek yang berenang. Hanya
suara bebek-bebek di kanal Interlaken itulah yang terdengar di kebisuanku dan
Wily. []