Rabu, 30 Maret 2016

Ada Mbah Jumino di Balik Jendela Kamar



Saya saat kelas lima SD
            Dari kemarin saya menimbang-nimbang untuk memilih postingan keempat untuk One Day One Post ini. Sebenarnya tidak perlu bingung, sebab terlalu banyak kenangan masa kecil yang bisa diulas menjadi cerita. Namun, yang ini justru membuat saya sedikit ragu. Nah, lho?! Ada apa sih?
            Masa kecil saya sebenarnya standar saja. Terlahir dari pasangan yang membawa dua suku berbeda (Minang dan Mandailing). Humm … lalu, apa hubungannya dengan judul di atas? Siapa itu Mbah Jumino? Sabaaar … belum sampai pada sosok itu ceritanya. Biar panjang, beri saya kesempatan untuk membuka kisah tentang masa kecil saya dari arah lain dulu ya. *disembur air kumur-kumur … iiih, jijaaai *  Baiklah … baiklah, fokuuus.
            Here we go ….
            Saya lahir dan dibesarkan di kota Medan. Kota yang kaya akan kelezatan kulinernya. Enggak percaya? Tanyakan saja kepada mereka yang sudah pernah ke Medan.
Saya juga punya satu adik laki-laki. Kami hanya dua bersaudara. Terkadang akur, selebihnya berantam juga. Maklumlah, persaingan menarik perhatian orangtua itu terkadang dorongannya lebih kuat dibanding hubungan sedarah. Hahaha … kidding!
Kami dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak terlalu pakem pada aturan dan kedisplinan akan hal-hal tertentu. Seperti makan harus selalu duduk semeja makan di setiap jam makan (pagi, siang, dan malam), gosok gigi sebelum tidur di malam hari (hihi, jangan ditiru ya), harus selalu tepat waktu saat bangun pagi dan tidur di malam hari, dan beragam aturan lainnya. Tidak … tidak seperti itu. Mama dan Papa tidak melakukannya. Walaupun demikian, Mama saya selalu saklek untuk mengingatkan sholat, mengaji, membaca bismillah setiap memulai sesuatu, dan mengucapkan salam setiap keluar dan masuk rumah. Sederhana sekali ‘kan?
            Tadinya saya ingin bercerita tentang saya dan teman-teman masa kecil saya. Tapi, terlalu banyak yang harus saya ceritakan. Kasihan kalau ada yang tidak ikut ditampilkan di blog saya ini. Kalau mereka nanti tiba-tiba nemu blog ini, saya khawatir mereka bakal protes. Saya tidak siap untuk itu. *lebaaay ….*

 Ada Mbah Jumino di Balik Jendela Kamar
            Rumah kami dulu tidak seluas dan semegah rumah-rumah orang kaya pada umumnya. Tidak berpagar keliling, hanya di bagian depan rumah saja yang diberi pembatas dengan pintu pagar sederhana bercat putih metalik (keren kan, warna pagarnya pakai cat metalik … hahaha). Kamarnya ada tiga. Kamar saya, Mama – Papa, dan adik saya. Semua jendela kamar mengadap ke satu arah. Saya lupa itu arahnya ke mana ya? Selatan, Timur, atau Barat. Ah, sudahlah, yang penting hadapnya ke sebelah kiri saya kalau saya berdiri menghadap depan rumah.
            Biarpun kamar saya tidak megah, malah sangat sederhana, tapi saya tidak suka kalau isinya berantakan. Itulah yang membuat saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kala itu. Kalau kamar saya belum rapi, rasanya saya tidak akan nyaman meninggalkannya. Saya tidak akan bisa betah bermain bersama teman-teman saya di luar rumah kalau kamar saya spreinya belum dirapikan. Rajin ya saya? Iya, begitulah … makanya jodohnya gampang. *hahaha … siap disihir jadi upik abu*
            Kembali ke jendela kamar. Di sanalah saya menyimpan kenangan tentangnya hingga hari ini. Bisa jadi hanya segelintir dari keluarga saya yang tinggalnya berdekatan dengan rumah kami, bisa mengingat sosok wanita itu.
Namanya, Mbah Jumino. Saya mengenalnya ketika usianya sudah renta. Fisiknya pun tidak normal. Punggungnya melengkung dimakan usia - atau memang sudah seperti itu sejak lahir - membuat Mbah Jumino selalu berjalan dengan posisi tubuh melengkung. Bongkoklah, supaya lebih mudah menerjemahkannya.
            Entah jam berapa Mbah Jumino memulai hari-harinya di bawah pohon kelapa yang berjajar di sebelah rumah saya. Jarak pohon-pohon kelapa itu sekitar lima belas meter dari tembok rumah kami. Sepagi apa pun saya membuka jendela (kecuali saat hujan), Mbah Jumino sudah duduk di sana sambil menyerut daun pelepah kelapa untuk dijadikan sapu lidi. Sayangnya, saya tidak punya bukti foto sebagai dokumentasi tentang sosoknya. Coba saat itu saya sudah jadi blogger, momen itu pasti tidak akan saya abaikan begitu saja tanpa foto-foto wefie yang santek dengannya. *kualat gak ya ngomong begini….*
            Walaupun tidak ada foto tentang sosok Mbah Jumino, saya berusaha mengisahkannya dengan baik karena saya masih mengingatnya dengan jelas. Kalau hari mulai terang saat saya membuka jendela, Mbak Jumino pasti membagi senyumnya untuk saya. Awalnya saya ragu-ragu membalas senyum tuanya itu. Keberadaannya di sana saja sering meninggalkan tanda tanya besar di kepala saya. Seiring berjalannya waktu, cara kami bersua menjadi kebiasaan. Saya pun tidak ragu lagi membalas senyumnya.

Tak kenal maka bingung
            Suatu hari, saya begitu penasaran ingin sekali menghampirinya. Duduk berdua di atas tikar persegi empat mungil yang mulai usang mengikuti usia Mbah Jumino. Saya nekat melompati jendela kamar dan menginjak lahan kosong penuh tanaman liar dan beberapa pohon pisang di samping rumah saya. Sementara posisi pohon-pohon kelapa ada di bagian bedeng besar dan keras antara lahan itu, sehingga saat saya membuka jendela kamar, sosok Mbah Jumino bisa langsung terlihat.
         “Sudah jadi lidi ya, Mbah?” begitu saya memulai obrolan yang kembali dibalas dengan senyuman oleh Mbak Jumino.
            Mbah Jumino menepuk-nepukkan telapak tangannya di atas tikar tanpa bicara. Saya pikir itu adalah isyarat agar saya duduk. Saya pun duduk di depannya sambil ikut-ikutan memilih pelepah kelapa yang akan diserutnya. Logika anak-anak saya waktu itu sibuk bertanya. Fisik Mbah Jumino yang seperti itu rasanya tidak mungkin mengambil pelepah-pelepah kelapa sendirian. Saya pun menanyakannya.
            “Cucu lanangku,” jawabnya singkat dengan suara serak parau hampir tidak terdengar.
         Saya baru ingat kalau cucu yang disebut si Mbah adalah Bang Jumino. Dari nama itulah orang-orang memanggilnya Mbah Jumino yang artinya Nenek si Jumino. Herannya, saya malah tidak pernah melihat Bang Jumino di sana membantu Mbahnya menurunkan batang-batang pelepah kelapa itu. Aaah, tidak pentinglah itu untuk diingat-ingat.
            Setelah itu, beberapa kali saya kembali melompati jendela kamar dan menemani Mbah Jumino. Saya jadi tertarik membantunya menyerut daun-daun kelapa dari batang halusnya. Mbah Jumino keliatannya senang saya bantu. Kebersamaan kami lebih banyak dihabiskan dengan saling diam. Sesekali saya bertanya, Mbah Jumino hanya menanggapinya dengan anggukan dan gelengan kepala.
            “Mbah umurnya berapa?”
            Itulah pertanyaan yang membuat Mbah Jumino tiba-tiba ingin berbicara banyak tapi kembali terhenti dan dilanjutkan dengan gelengan kepala. Hanya kalimat dalam bahasa Jawa yang waktu itu samasekali tidak saya mengerti artinya. Sejak itu, saya semakin terbiasa dengan sambutan Mbah Jumino ketika saya membuka jendela kamar.

Sapu lidi dari Mbah Jumino
            Hampir seminggu saya menghabiskan liburan sekolah di rumah Nenek. Karena hari Senin waktunya untuk kembali ke sekolah, maka hari Minggu saya kembali ke rumah. Saya sempat terlupa dengan sosok Mbah Jumino. Senin paginya, ketika saya selesai berdandan dan segera berangkat ke sekolah, saya buru-buru mematikan lampu kamar dan membuka jendela. Mata saya langsung mengarah ke tempat Mbah Jumino biasa berkerja. Tak ada dia di sana.
            Karena penasaran, akhirnya saya tanya ke Mama. Ternyata sudah beberapa hari Mbah Jumino sakit. Namun sebelum sakit, dia menitipkan sapu lidi ke Mama saya. Sejujurnya, saya ingin sekali mampir ke rumah Bang Jumino, cucu si Mbah. Namun, saya pasti akan terlambat masuk sekolah. Saya niatkan sepulang sekolah akan singgah di rumahnya yang tidak jauh dari rumah saya.


            Begitulah, selama di kelas otak saya tiba-tiba tidak bisa konsentrasi. Rasanya mau cepat-cepat pulang dan melihat Mbah Jumino. Ketika lonceng sekolah berbunyi, saya seperti ingin terbang saja dari kelas. Saya buru-buru meninggalkan sekolah. Entah mengapa rasanya saya ingin sekali melihat wajah Mbah Jumino waktu itu. Walaupun saya tidak mengerti bahasa Jawa yang sesekali dia ucapkan saat kami berdua di bawah pohon kelapa, tapi saya merasa dia suka sama saya.
            Saya terus melangkah cepat sambil menyusuri jalanan kampung yang biasa saya lewati sepulang dari sekolah. Tidak berapa jauh dari rumah Mbah Jumino yang letaknya sedikit masuk ke dalam dari jalan besar, kaki saya seolah dipaksa berlari. Ramainya orang berlalu-lalang persis di depan rumah Mbah Jumino membuat nyali saya ciut.
Jangan-jangan ….
            Dugaan saya benar. Mbah Jumino baru saja meninggal. Saya tidak sempat melihatnya untuk yang terakhir kali. Hanya sapu lidi yang dititipkannya ke Mama menjadi salam perpisahan di antara kami waktu itu. Setelah itu, tak ada Mbah Jumino lagi yang tersenyum memandang saya ketika saya membuka jendela kamar. Semoga Mbah Jumino mendapat tempat yang indah di sisi Allah sampai hari ini dan nanti. Aamiin.  
Uniknya, kenangan ini bisa tersimpan rapi hingga hari ini. Kalaupun ada yang tahu, hanya Mama yang pernah saya ceritakan. Mungkin karena sosok Mbah Jumino tidak begitu familiar di kampung saya, jadi saya pun merasa tak perlu menceritakannya ke siapa-siapa waktu itu.
“Maafkan saya ya, Mbah. Kenangan bersama Mbah yang tidak pernah menjadi topik pembicaraan hangat di masa anak-anak saya, kini menjadi postingan di blog saya.”  [Wylvera W.]


Note: Postingan hari keempat untuk One Day One Post Fun Blogging            

Selasa, 29 Maret 2016

Manfaat Silaturahmi bagi Kesehatan Jiwa



Saya, sepupu, dan para keponakan dari pihak Papa ^_^
 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;
"Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi". [Muttafaqun 'alaihi].

            Sebagai seorang muslim, saya selalu berusaha untuk melakukan segala sesuatunya dengan merujuk pada tuntunan yang saya yakini di agama saya. Salah satunya tentang silaturahmi. Perintah Allah SWT dan sabda Rasulullah saw. merupakan rujukan yang saya panuti. Namun, saya yakin semua agama pun tentunya memiliki pedoman dalam memaknai kata silaturahmi tersebut. Bagi saya, momen silaturahmi selalu memberi efek kesehatan bagi jiwa dan raga.
Inilah cerita saya tentang silaturahmi, khususnya dengan keluarga besar saya. Baik dari pihak saya maupun suami.
           
Cerita lama selalu mewarnai pertemuan dan silaturahmi kami
Sejak menikah di tahun 1997 staus saya dan suami adalah “Anak Rantau”. Kami yang sama-sama anak Medan pada akhirnya harus pindah ke Jakarta lalu menetap di Bekasi. Sejak itu, jarak pun memisahkan saya dan suami dari keluarga besar kami. Namun, hati kami tentunya tidak ikut berjarak dengan mereka. Hubungan komunikasi jarak jauh terus kami lakukan agar silaturahmi tetap terjaga. Bahkan kami selalu berusaha mewujudkan komitmen untuk pulang kampung. 

Saya, suami, keponakan, dan cucu dari pihak Papa (sudah punya cucu lho ^^)
            Tinggal dan meneruskan hidup di perantauan membuat saya dan suami kehilangan momen untuk rutin mengunjungi keluarga besar kami. Kalau bukan karena mudik lebaran, kami sulit mengatur waktu untuk pulang ke Medan. Itu sebabnya, lebaran adalah momen yang selalu kami tunggu-tunggu. Kerinduan akan kampung halaman dan bertemu sanak keluarga menjadi pemicunya. 

Dengan sebagian kecil dari keluarga besar suami
            Sebelum mudik, biasanya kami mengatur rencana dan kesepakatan terlebih dahulu. Karena keluarga saya dan suami sama-sama keluarga besar (bukan fisiknya yang besar lho, tapi jumlahnya … hihihi), kami harus bijak membagi jadwal kunjungan dengan jatah cuti suami yang sangat singkat. Idealnya, semua ingin kami kunjungi, namun terkadang realisasinya tidak memungkinkan. Kondisi seperti itu selalu kami sikapi dengan ikhlas dan tidak menyalahkan keterbatasan waktu yang diberikan Allah.

Mira menikmati permainan tradisional bersama sepupu-sepupunya
            Saat bertemu kembali setelah setahun tidak bertatap muka tentu ada saja yang menjadi topik obrolan yang seru. Salah satunya adalah mengenang kejadian-kejadian lucu masa lampau. Sebagai contoh yang saat itu membuat saya dan sepupu-sepupu tertawa adalah kenangan saat saya mengambil jambu biji milik Uak kami tanpa meminta izin.  
            Dulu, sewaktu masih sekolah dasar, saya dan para sepupu serta keponakan suka bermain sama. Mulai dari main alip cendong, patok lele, sampai rebutan memanjat pohon. Waktu itu, pohon jambu biji Uak kami sedang berbuah lebat. Saat main alip cendong, saya bukannya sembunyi di balik tembok atau pagar rumah, tapi malah memilih naik ke pohon jambu. Saya ngiler melihat jambu biji yang ranum-ranum itu dan ingin segera memetiknya. Tapi naas, saat turun, saya merasakan gatal di bagian paha. Belakangan baru saya sadar kalau paha saya telah ditempeli ulat bulu. Saya tidak tahu kapan ulat itu menjalar di paha saya.

Saya, Mira, Khalid bersama keluarga Mama
            “Hahaha … itu akibatnya kalau nyuri jambu Uak. Kualat kau, Wiek!” komentar salah seorang sepupu saya memancing tawa kami.
            Kalau dibawa ke hati, ledekan-ledekan seperti itu tentulah bikin bête. Namun kami tidak pernah membiarkan perasaan lebay itu menyusup dan merusak kebersamaan yang hanya setahun sekali bisa kami rasakan. Selain cerita tentang ulat bulu yang membuat paha saya bengkak menahan gatal yang luar biasa, masih banyak cerita-cerita nostalgia yang kerap mewarnai kebersamaan kami di momen silaturahmi itu. Saya selalu menikmatinya.

Menikmati kuliner khas Medan
            Selain cerita-cerita nostalgia yang bikin ketawa setiap pulang ke Medan, kami selalu mendapatkan jamuan makan khas Medan yang bikin rindu. Dari lontong khas Medan sampai memilih dan pergi bersama-sama ke restoran yang menyajikan hidangan tradisional khas Medan. Momen itu pula yang membuat kedua anak saya selalu mengingat-ingatnya ketika kami kembali ke Bekasi.

Dijamu makanan khas Medan. Yummyyy .... (keluarga suami)
            Selain itu, kebersamaan dalam momen silaturahmi juga kami manfaatkan untuk memilih, berunding, serta memutuskan untuk memasak sesuatu bersama-sama sebagai pelengkap acara kumpul-kumpul. 


Ide masak-masak bareng yang pindah ke restoran (keluarga suami)
Makan-makannya pindah ke sini saja ^^ (keluarga saya dari pihak Papa)

Jika pilihan tidak juga ditetapkan padahal diskusi sudah menghabiskan waktu lebih dari sejam, di sanalah uniknya. Kami saling mengusulkan makanan favorit masing-masing, sementara tidak mungkin untuk memasak sekaligus jika ada sepuluh pilihan selera. Ujung-ujungnya, kami memutuskan untuk makan di restoran pada akhirnya. Mau marah? Ya, tidaklah. Justru perdebatan itu poin yang membuat pertemuan kami menjadi lebih seru dan heboh.

Manfaat silaturahmi yang saya rasakan
            Karena momen lebaran datangnya setahun sekali, saya dan suami selalu berusaha untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin. Tidak menjadikan hal-hal kecil sebagai kendala yang dapat merusak momen silaturahmi dengan keluarga. Selalu mengingatkan hati untuk menikmati setiap momen pertemuan, baik dengan sanak keluarga dari pihak saya maupun suami. Berusaha memperkenalkan anak-anak saya dengan sepupu-sepupu, uak, om dan tante, paklik dan buklik, dan para kakek - nenek mereka yang masih ada di Medan sana.    

Dengan keluarga Papa dan Mama saya
Mira bersama Om dan tante-tantenya (keluarga saya dari pihak Mama)
        Saya tegaskan kembali, bahwa silaturahmi merupakan bentuk ibadah selain ibadah wajib lainnya di agama yang saya anut. Manfaat utama yang saya dapatkan dari momen silaturahmi dengan keluarga besar saya dan suami, yaitu tersambungnya secara terus-menerus hubungan kekerabatan hingga ke generasi berikutnya. Anak-anak kami pun bisa mengenal siapa keluarga mereka. Jika tradisi mulia ini tidak kami teruskan, bukan tidak mungkin mereka bertemu di suatu tempat tapi tidak saling mengenal. Padahal bisa jadi hubungan mereka adalah sepupuan. Ini bisa saja memicu hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Semoga Allah melindungi kami. Aamiin. 

Mira, Khalid, dan sepupu-sepupu mereka (anak adik kandung saya)
Selain itu, saya juga yakin bahwa tak ada manusia yang bisa hidup sendiri di dunia ini. Sekecil apa pun bentuknya, kita pasti akan membutuhkan orang lain, apalagi keluarga.
Seperti yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an Surah An Nisaa’ ayat 1 yang artinya;  "Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Ini yang membuat saya yakin bahwa menjaga dan memelihara silaturahmi adalah perbuatan mulia yang Insya Allah membawa berkah karena mendapat pengawasan dari Allah SWT. Jika mampu menjadikannya sebagai asupan yang bermanfaat bagi jiwa, maka efeknya raga pun selalu pada status sehat dan bahagia. Bagaimana dengan kamu? Sharing yuuuk …. [Wylvera W.]


Note: Postingan ketiga untuk #ODOP Fun Blogging

Senin, 28 Maret 2016

Tanaman Kunyit dan Kemangi dari Pekarangan Sendiri




            Membuat catatan tentang tanaman obat, saya jadi ingat satu cerita yang pernah membuat saya panik. Waktu itu anak pertama saya (sekarang sudah SMA kelas 12) masih berumur 2,5 tahun. Entah apa sebabnya, Mira tiba-tiba muntah, perutnya kembung, dan badannya panas. Saya sudah memberinya obat penurun panas, tapi Mira keliatan masih gelisah. Karena saat itu tanggal merah dan sudah larut malam, kami tidak membawanya ke dokter. Saya memberi pertolongan pertama dengan mengoleskan minyak kayu putih ke perut Mira lalu memberinya air putih agar panasnya turun. Tidak bertahan lama, Mira kembali muntah dan suhu tubuhnya masih hangat.
            Saya ingat kalau di depan halaman rumah kami ada pohon jarak. Entah siapa yang menanam pohon yang tumbuh subur persis di pinggir parit itu. Dengan sigap saya memetik beberapa lembar daun jarak itu. Saya bersihkan lalu membakarnya di atas kuali kering. Setelah itu, saya mengoleskan minyak sayur yang dicampur dengan minyak kayu putih pada lima lembar daun jarak yang sudah saya panggang tadi. Saya letakkan lima lembar daun itu di atas perut Mira dan membalutnya dengan kain tipis agar tidak bergeser dan jatuh.  Alhamdulillah, perlahan-lahan Mira tertidur hingga terbangun di pagi hari dengan senyum manisnya yang khas.           
            Dari pengalaman itu, saya jadi belajar untuk memanfaatkan lahan pekarangan rumah. Walaupun saya tidak begitu hobi bercocok tanam, tanaman yang bisa difungsikan sebagai obat selalu ada di pekarangan rumah kami. Tidak banyak tapi cukuplah untuk berjaga-jaga. Beberapa tanaman itu bisa juga dimanfaatkan sebagai pelengkap bumbu masakan. Ada kunyit, kemangi, mengkudu, binahong, dan sere. Namun untuk postingan One Day One Post dari Ani Berta ini, saya akan bercerita tentang kunyit dan kemangi saja. Yuuuk ….

Aneka ragam manfaat tanaman kunyit
            Siapa sih yang tidak kenal dengan kunyit? Sangat mudah dijumpai. Kunyit selalu digunakan sebagai pelengkap rempah-rempah. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara pun kunyit sangat familiar. Selain untuk hiasan taman, kunyit memiliki banyak khasiat.
Inilah salah satu contoh khasiat kunyit yang biasa saya manfaatkan dalam masakan rendang. Kebiasaan menambahkan irisan daun kunyit pada rendang saya contoh dari Mama. Awalnya saya penasaran tentang efeknya. Mama bilang kalau daun kunyit itu akan membuat aroma rendang terasa dan membuat bumbunya semakin gurih serta meresap ke dalam serat daging. Sebenarnya cara menggunakan daun kunyit ini tergantung selera. Bisa dengan menyobek daunnya kemudian diikat lalu dimasukkan ke dalam masakan. Atau dengan cara saya, yaitu mengiri halus daun kunyit lalu menyemplungkannya saat santan mendidih.

Pohon kunyitku
Daun kunyit juga bisa mengurangi bau amis pada masakan. Selain daunnya bisa dipakai untuk campuran bumbu rendang, buahnya juga  bisa dipakai untuk bumbu  masakan gulai, soto, sayur lodeh, kari, dan pewarna alami nasi kuning.
Tanaman kunyit memang paling banyak khasiatnya. Selain sebagai penyedap dan pelengkap masakan, kunyit juga sangat bermanfaat untuk kesehatan. Beberapa penyakit yang bisa dibantu dengan pengobatan olahan kunyit adalah diabetes mellitus, sakit perut karena haid, dan melancarkan ASI. Sementara cara mengolahnya bisa di-search. Yakinlah, Anda pasti akan menemukan panduannya. *hihi… gak mau repot penulisnya ini*

Aroma daun kemangi yang aneh di penciuman saya
            Pertama kali mengenal daun kemangi, saya langsung bilang kalau saya tidak akan pernah mencicipinya. Baunya begitu asing dan aneh di hidung saya. Sementara, teman-teman saya dengan lahap menyantap daun kemangi yang kecil-kecil bentuknya itu bersama sambal terasi dan ikan lele yang baru digoreng.
            Selama hijrah ke Jakarta dan akhirnya menetap di Bekasi, saya semakin sering melihat daun kemangi. Daun ini biasa disajikan bersama irisan ketimun, daun kubis, dan sambal sebagai teman ikan maupun ayam goreng. Belakangan saya melihat lagi kalau daun kemangi juga bisa digunakan dalam masakan pepes. Namun, lama sekali rasanya saya bisa akrab dengan daun yang satu ini.
            Yang membuat saya semakin kuat untuk mencicipinya, ketika waktu itu saya melihat Mama - yang awalnya saya yakin tidak akan suka karena lidah kami tentu tidak jauh berbeda – ternyata begitu lahap menyantap daun kemangi yang dihidangkan di salah satu restoran Sunda. Suatu hari saking penasarannya, saya akhirnya browsing tentang khasiat daun kemangi ini. Ternyata banyak sekali manfaatnya.
Daun kemangi
            Dengan rajin mengonsumsi daun kemangi maka aliran darah pun akan lancar. Kandungan magnesium dan betakaroten yang terdapat dalam kemangi mampu membantu pembuluh darah dan jantung menjadi rileks, sehingga kesehatan organ jantung ikut terjaga dengan baik. Zat arginin pada kemangi berfungsi membantu daya hidup sperma semakin kuat alias mampu mencegah kemandulan. Daun kemangi juga bisa mengobati sariawan, meningkatkan kekebalan tubuh, memperbaiki sel-sel yang rusak, membantu perkembangan tulang, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
            Nah, itu dua dari beberapa tanaman lainnya yang ada di pekarangan rumah saya. Tinggal di komplek perumahan dengan lahan terbatas, tidak menutup kesempatan untuk tetap melestarikan tanaman sebagai apotek hidup. [Wylvera W.] 

Note: Postingan kedua pada #ODOP Fun Blogging

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...