Mengisahkan
sosok yang menghabiskan sebagian waktu serta rezekinya untuk mereka yang
membutuhkan adalah sesuatu yang membuncahkan rasa hormat sekaligus haru dalam
diri saya. Apa yang telah mereka lakukan setidaknya mampu memicu hati saya untuk
belajar mencontohnya. Insya Allah.
Selama
ini ada beberapa nama yang saya kenal baik. Pertama, Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, pemilik Yayasan Ummu Amanah - PKBM Al Falah Bantar Gebang, Bekasi, yang
biasa saya panggil dengan Mbak Sari. Semangatnya yang luar biasa. Selama
bertahun-tahun beliau tak segan-segan berkubang aroma sampah demi mengumpulkan
anak-anak pemulung untuk disekolahkan. Dan sekolah itu telah berdiri serta
berjalan hingga saat ini dengan modal awal yang dikumpulkannya sendiri.
Sari bersama keluarga pemulung di Bantar Gebang, Bekasi (dokpri) |
Kedua,
Suci. Ibu muda yang ikhlas menyisihkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk
anak-anak di penjara. Anak-anak Lapas Tangerang selalu memanggilnya dengan
sebutan sayang “Bunda Suci”. Beliaulah yang membuat saya ikut tergerak untuk
berbagi ilmu menulis di lapas tersebut.
Bunda Suci, saya, KaLapas dan anak-anak Lapas. (dokpri) |
Sosok
ketiga yang hingga saat ini mampu membuat hati saya bergetar setiap kali
berkunjung ke kediamannya di daerah Pondok Cabe, Tangerang. Beliau adalah
pendiri dan pemilik Panti Asuhan Al Munasharoh. Usianya sudah mendekati 90 tahun. Sejak tahun ‘70-an hingga menjadi
janda veteran saat ini, Ibu Hanani masih setia menampung dan memberi harapan
hidup kepada anak-anak yatim piatu dan sekaligus menyediakan tempat tinggal
untuk mereka. Sayang saya tak punya foto beliau dan anak-anak yatim tersebut,
sebab setiap kali mengunjunginya kami tak sempat terpikir untuk berfoto
bersama.
Untung saya masih menyimpan data anak-anak yang ditampung Bu Hanani. (dokpri) |
Ketika Mak Winda Krisnadefa mengadakan lomba di blognya
dengan judul postingan, “Kontes Semangat Berbagi Blog Emak Gaoel Bersama
Smartfren” khusus di bulan Ramadan ini, saya tertarik untuk ikut menggaungkan kiprah
sosok-sosok di atas yang sudah saya kenal baik selama ini. Merekalah
yang menjadi pembuka inspirasi saya untuk memaknai arti kata “BERBAGI”. Namun
akhirnya, di kesempatan Ramadan ini saya tak jadi menuliskan kisah mereka yang mungkin
sudah banyak diliput oleh media (kalau penasaran, coba search saja di google
atau boleh klik tautan yang sudah saya berikan di atas).
Kali
ini saya ingin mengangkat sosok yang sangat sederhana dan mungkin hanya saya
yang tahu kiprah dan semangatnya untuk berbagi. Dia hanya ibu rumah tangga
biasa dengan kehidupan ekonomi yang juga sangat biasa-biasa saja (baca: pas-pasan). Saya
mengenalnya karena kami tinggal di lingkungan yang sama di Perumahan Bumi Bekasi Baru Rawa Lumbu, Bekasi. Selama
ini saya tak pernah mengetahui kalau teman saya yang periang dan senang membuat orang tertawa ini punya kebiasaan terpuji.
Pembawaannya yang easy going mampu
mengecoh pengamatan saya selama ini. Luar biasa!
Mbak Dewi dan paket Ramadan yang siap dibagikan. (dokpri) |
Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya tahu kalau dia sudah lama membiasakan
diri menyisihkan sebagian rezekinya yang tak seberapa itu (bahkan setahu saya,
dia justru kekurangan) untuk fakir miskin.
“Bisa
minta waktunya sebentar, Kakak cantik?” tanyanya waktu itu lewat pesan di hape. Dia selalu memanggil saya
dengan sebutan yang selalu membuat saya tersenyum semringah.
“Ada
apa Mbak?” balik saya bertanya.
Mulailah
dia bercerita tentang kegiatannya selama ini. Dia menanyakan apakah saya mau
ikut berbagi memberikan nasi kotak untuk pengemis di jalanan, pemulung,
tukang-tukang becak, dan siapa saja yang layak diberi.
Ketika saya tanya, sejak kapan ide itu muncul, dia tersenyum.
Ketika saya tanya, sejak kapan ide itu muncul, dia tersenyum.
“Alhamdulillah
sudah lama, Kakak. Saya segan mengajak. Takut mengganggu,” ujarnya.
Diam-diam
hati saya justru tertohok. “Takut mengganggu”. Dua kata yang membuat saya
benar-benar tertampar. Tak pernah terpikir oleh saya untuk melakukan hal yang
sama yang telah dijalankannya selama ini. Subhanallah, niatnya sungguh mengetuk
nurani saya.
Kembali
kepada kesempatan yang telah dibuka oleh Mak Winda di kontes semangat berbagi
inspirasi ini, saya akhirnya mantap memilih sosok Dewi Retnawati. Perempuan
kelahiran 10 Maret 1966 ini awalnya keberatan jika saya mengekspose kegiatan
kemanusiaannya ke publik. Alasannya sangat sederhana.
“Janganlah,
Kakak cantik. Saya takut pahalanya nanti menguap. Biar Allah saja yang
menilainya. Saya 'kan bukan seleb,” ujarnya nyaris mematahkan niat saya untuk
meneruskan membagi kiprahnya. Namun, saya berusaha meyakinkannya bahwa ini
semata-mata untuk berbagi inspirasi. Semoga tak dinilai sebagai riya.
Alhamdulillah, akhirnya dia memberikan kepercayaan kepada saya.
Inilah serangkaian kegiatan berbagi yang dilakukan Mbak Dewi di Bekasi. (dokpri) |
Kemarin
saya sengaja bertandang ke rumahnya. Mulut saya ternganga. Saya melihat tumpukan
paket yang terdiri dari makan kemasan dan minuman. Paket-paket itu akan diberikan kepada anak yatim, para janda yang tak memiliki mata
pencaharian tetap, tukang becak dan siapa saja yang dianggapnya layak untuk
dibagi di seputar tempat tinggal kami. Dari uang sebagai honorer selama
bekerja di Rumah Sakit Awal Bros, Bekasi yang diterimanya, ditambah THR (Tunjangan
Hari Raya) yang tak seberapa jumlahnya, Mbak Dewi kembali menyisihkannya
untuk kepentingan beramal.
“Alhamdulillah,
kebetulan ada rezeki sedikit di bulan puasa ini. Nggak harus nunggu kaya ‘kan, Kakak?”
ujarnya bercanda menahan senyum, lagi-lagi menohok jantung saya.
“Saya
selalu berdoa kalau saya meninggal nanti, ini bisa membantu meringankan
dosa-dosa saya,” lanjutnya membuat dada saya mendadak sesak.
Betapa
saya kesulitan menahan airmata. Memang benar, Mbak Dewi bukanlah sosok yang
kaya dan serba berkecukupan. Bahkan beberapa tahun lamanya dia pernah menjadi single parent dari tiga orang anak yang
semuanya laki-laki. Dengan segenap tenaga yang dia miliki, Mbak Dewi berusaha
menghidupi diri dan ketiga anaknya dengan penghasilan yang tak seberapa. Rumahnya
pun masih mengontrak hingga saat ini. Dia juga tak pernah mementingkan mengisi
rumahnya dengan barang-barang seperti seperangkat sofa yang bagus, tempat tidur
yang nyaman atau lemari hias yang bisa dipajang di ruang tamunya yang terkesan
kosong itu. Bahkan setelah dia menikah lagi tahun lalu, keadaan tetap tak mengubah kesederhanaannya.
“Duh...
malu bilangnya,” ujarnya tiba-tiba memenggal kalimat.
“Kenapa,
Mbak?” cecar saya penasaran dengan kalimat menggantung itu.
“Hum...
saya sebenarnya malu kalau diam-diam sering bilang kepada Allah, kalau saya
nggak mengeluh dengan kondisi saya. Justru saya senang karena dengan kekurangan
saya ini Allah masih memberi kesempatan untuk bisa berbagi. Saya suka takut
minta ke Allah,” katanya lagi semakin membuat saya berusaha keras mengerjapkan
mata agar airmata saya tak meleleh.
Saya dan Mbak Dewi di antara tumpukan paket Ramadannya. (dokpri) |
“Kalau
nanti saya dan anak-anak kembali kepada-Nya, penginnya kami diberi tempat kecil
yang nyaman di sana,” katanya dengan suara bergetar.
Begitulah,
sosok Dewi Retnawati yang sederhana telah saya masukkan juga ke daftar teman
yang mampu menginspirasi saya tentang kata “berbagi”. Semoga hal sangat sederhana
(menurutnya) yang telah dia lakukan ini juga mampu menginspirasi pembaca
postingan ini. Sebab, tak perlu menunggu kaya untuk bisa berbagi. [Wylvera W.]