Rabu, 30 September 2015

Aku Ingin Dikenang Sebagai Ustadz


Saya kebetulan tidak sholat, jadi bisa ambil gambar ini (dokpri)

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” -  [Al Ahzab (33): 43]
            Ayat ini yang mendorong saya menuliskan catatan dari kegiatan di lapas anak kemarin. Tidak ada yang istimewa dari kegiatan rutin itu, namun saya menemukan satu hal yang mungkin perlu untuk dibagi.

Selasa, 29 September 2015
Tidak seperti biasanya, hari itu kami datang terlambat. Kemacatan di tol yang tidak bisa diprediksi membuat perjalanan dari Pondok Kelapa – Tangerang menjadi sangat tersendat. Kami pun tiba di halaman parkir Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/ Lapas Anak Tangerang dengan sisa waktu yang mepet ke Zuhur. Hanya tinggal sekitar 45 menit lagi. Namun, bimbingan dan pendampingan rutin harus tetap dilaksanakan.
Materi “Motivasi dan Inspirasi” yang sudah diagendakan oleh Suci (Ketua Gerakan Peduli Remaja), akhirnya tidak bisa disajikan secara lengkap. Demi pemanfaatan waktu agar bisa dimaksimalkan, akhirnya Suci buru-buru meminta anak-anak LPKA berbaris lurus ke depan, lalu saling berhadapan. Ada sekitar 40 anak yang mengikuti bimbingan bersama GPR siang itu. Cukup ramai. Untunglah camilan gorengan yang kami bawa lebih jumlahnya.

Mereka sudah siap menyimak (dokpri)

Saya sepertinya membantu merapikan barisan (dokpri)
Kembali pada materi. Selanjutnya Suci memberikan semacam games yang diberi judul “Motivasi dan Inspirasi”. Anak-anak itu diminta berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar 1 ½ meter. Setelah saya dan teman-teman GPR membantu mengarahkan dan mengatur posisi mereka agar tetap berdiri rapi, Suci pun mulai melontarkan beberapa pertanyaan. 


Pertanyaan pertama diajukan (dokpri)

“Siapa tadi pagi yang tidak sholat Subuh?” tanya Suci membuat jantung saya mulai berdegup sedikit lebih kencang.
Dengan rutinnya kami memberikan bimbingan selama ini, saya berharap lebih banyak yang menjawab sholat dari pada tidak. Ternyata harapan saya meleset. Suci meminta yang tidak sholat untuk maju selangkah ke depan. Subhanallah ... anak yang maju hampir semua. Yang diam di tempat bisa dihitung dengan lima jari saja. Miris hati saya.
“Siapa yang sholatnya penuh lima waktu kemarin?” lagi-lagi Suci mempertanyakan kewajiban utama mereka sebagai anak muslim. Dan, dada saya sesak menahan kecewa. Tidak berbeda dengan sikap tubuh pada pertanyaan pertama.
Setelah itu, bergulirlah pertanyaan-pertanyaan lainnya yang semakin menggetarkan hati saya. Tibalah pada pertanyaan akhir yang meminta mereka menuliskan keinginan terbesar dalam hidupnya. Saya dan teman-teman GPR membagikan kertas dan alat tulis. Mereka diminta mengambil tempat duduk yang paling nyaman untuk merenung dan menuliskan jawabannya. Jawaban yang kami inginkan adalah yang benar-benar dari lubuk hati mereka. 

Anak-anak itu mulai menuliskan keinginannya (dokpri)
Lisya membagikan camilan untuk menyemangati mereka menulis (dokpri)
Setelah diberi batas waktu, akhirnya beberapa dari mereka mengumpulkan terlebih dahulu. Saya sempat mengabadikannya dalam kamera hape saya. Lihatlah! Beberapa di antara mereka menuliskan keinginan terbesarnya dalam hidup ini. Betapa saya kesulitan menyembunyikan airmata yang menggenang di kelopak mata. Mereka yang sulit atau mungkin ogah-ogahan mengerjakan sholat lima waktu, masih memiliki harapan besar untuk menjadi baik. Tulisan yang menyatakan bahwa dirinya ingin dikenang sebagai Ustadz itu yang paling menohok hati saya. 

Inilah yang dituliskan salah satu anak itu (dokpri)
Lalu ini yang lainnya (dokpri)
Akhirnya saya mau tidak mau harus menyadari, bahwa tidak mudah mengajak anak-anak ini untuk bersegera hijrah ke jalan yang benar. Apalagi untuk menunaikan Rukun Islam yang kedua itu. Sebab Allah Swt. Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Bukan kami. Mungkin kami yang harus memotivasinya lebih kuat lagi agar kesadaran itu muncul dan bertahan kuat serta menjadi kebutuhan. Dari mana mereka berasal, di mana mereka tumbuh dan bergaul selama ini, apa yang sudah mereka kerjakan di luar sana, menjadi tolak ukur bagi karakter dan sikapnya. Itu juga yang harus menjadi ujian kesabaran kami. Untuk itu, kami harus tetap pada komitmen mendampingi mereka.
Saya sangat yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Swt. Jika Dia meridhoi, bukan tidak mungkin dari balik jeruji penjara ini kelak akan lahir ulama besar yang mampu menggiring ummat ke jalan surga. Aamiin Allahuma Aamiin .... [Wylvera W.]

Minggu, 27 September 2015

Catatan di Balik Lahirnya Buku “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess”




Penulis mana yang tidak girang, ketika mendengar kabar kalau bukunya masuk dalam urutan pertama penjualan di toko buku terbesar tanah air? Yang bikin bangga dan nyaris tidak percaya, sembilan buku berikutnya adalah karya para penulis beken di negeri ini.
Ya, buku karya saya yang berjudul “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess” pernah menempati posisi teratas di daftar “Top Ten Gramedia Publishers” di toko Gramedia Cijantung. Kegembiraan itu seolah tak putus ketika saya kembali menerima laporan dari teman-teman penulis lainnya. Buku ini juga diletakkan di rak belakang meja kasir Gramedia, sementara di toko lainnya dikelompokkan pada buku yang direkomendasikan.


Namun di balik kegembiraan itu, tetap terselip rasa khawatir di hati saya. Akankah buku karya saya ini bisa bertahan di posisi yang sama hingga mencapai keseluruhan jumlah eksemplar yang dicetak habis? Mampukah penjualan itu mencapai proses cetak ulang? Atau apakah buku ini benar-benar memberi manfaat bagi seluruh pembaca yang sudah membeli dan membacanya? Pertanyaan ketiga ini sebenarnya yang paling menguasai rasa khawatir saya.

Latar belakang penggarapan 
Baiklah, kita lupakan sejenak rasa gembira dan kekhawatiran itu. Saya ingin mengulas cerita di balik proses penulisan cerita ke-99 judul dalam buku “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess” ini.
Bagi saya, belajar dan terus menggali ilmu menulis itu adalah keharusan bagi seseorang yang berprofesi sebagai penulis. Walaupun saya sudah sering memberi pelatihan menulis kepada anak-anak dan remaja, saya tetap merasa bahwa ilmu menulis saya perlu ditambah terus. Saya tidak pernah minder untuk melebur dalam kelas-kelas menulis, khususnya yang digawangi oleh penulis yang berpengalaman. Semua itu pasti ada manfaatnya. Terutama untuk meningkatkan kemampuan saya dalam teknik menulis yang lebih baik. Selain itu, saya juga bisa menularkannya kepada murid-murid saya. Jadi, tidak ada yang sia-sia.
Semua berawal dari semangat mengikuti kelas menulis online buku bacaan anak yang digawangi Ali Muakhir. Siapa sih yang tidak kenal dengan beliau? Saya menyebutnya sebagai salah satu Suhu menulis buku cerita anak di tanah air. Beliau merupakan founder kelas menulis online yang nge-trend dengan nama “Winner Class”.
Sudah lama saya mendengar tentang “Winner Class” ini, namun belum terbesit di hati untuk bergabung. Hingga pada suatu hari, saya begitu tertarik untuk mengikuti kelas pelatihan editing naskah di sana. Itulah momen awal yang membuat saya melebur di dalamnya. Selain itu, banyak kesempatan yang ditawarkan kepada para penulis buku anak di grup itu. Mulai dari pelatihan editing, proyek menulis buku seri melalui audisi naskah, sampai cara mengonsep buku anak. 

Salah satu kiriman foto dari teman penulis
Saya sudah dua kali lolos audisi untuk sebuah proyek buku seri Islami di sana. Namun, kesempatan itu tidak lantas membuat saya puas. Ketika tawaran untuk belajar “Cara Mengonsep Buku Anak” kembali diumumkan di grup, saya lagi-lagi ikut bergabung. Jadilah saya salah satu peserta yang direkrut dari beberapa teman penulis anak lainnya. Oleh Imran Laha dari Penerbit Adibintang yang diundang Ali Muakhir, kami diajarkan untuk melihat peluang saat ingin mengajukan sebuah konsep naskah ke penerbit.
Setelah tips dan trik melihat peluang dipaparkan, kami pun ditantang untuk mengajukan konsep buku anak Islami oleh Imran Laha. Saya nekat mengajukan 4 judul waktu itu. Setelah melalui beberapa tahap seleksi, akhirnya dari keempat konsep buku yang saya tawarkan, hanya dua yang lolos. Namun, baru satu yang mampu saya selesaikan, yaitu “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess”. Alhamdulillah ....
Konsekuensi dari lolosnya konsep tersebut, saya harus memenuhi target deadline yang ditetapkan oleh Imran Laha. Untuk menyelesaikan cerita dari 99 judul yang saya ajukan, Imran Laha memberikan waktu 1 bulan. Merinding saya membayangkannya. Namun, saya tak berani menawar. Saya kerjakan saja dulu sekuat tenaga. Mulai dari mengumpulkan referensi tentang makna 99 Asmaul Husna, lalu menyusun judul dan isi cerita yang sesuai dengan makna nama-nama mulia milik Allah itu.
Ketika waktu yang ditentukan nyaris berakhir, saya hampir putus asa tapi gengsi meminta tambahan waktu. Lama saya mempertimbangkannya sambil terus berusaha mengejar target. Sebenarnya bukan hanya saya yang melewati batas waktu yang diberikan. Beberapa teman penulis lainnya juga masih banyak yang belum menyetor naskahnya. Tapi, sungguh bukan itu alasan saya menunda-nunda waktu. Banyak kendala yang menghambat saya tidak bisa menepati deadline.
Hingga akhirnya saya nekat menawar juga dan meminta tambahan waktu setengah bulan lagi kepada Imran. Alhamdulillah ... betapa senangnya saya ketika beliau tanpa ragu memberi tambahan waktu itu. Tambahan waktu itu tentu tidak saya sia-siakan. Saya mengubah kecepatan menulis dan berusaha fokus.

Proses pemilihan judul
Mengapa saya memilih 99 Asmaul Husna lalu menuangkannya dalam kisah 99 Princess? Pertama, saya membuat target awal untuk calon pembaca buku saya ini adalah anak perempuan. Kedua, menurut saya, trend tokoh yang seolah tak pernah surut di perbukuan anak, salah satunya adalah tokoh princess. Ketiga, selain penulis, profesi saya adalah pengajar eksktrakurikuler jurnalistik dan kepenulisan di salah satu SDIT. Saya memiliki murid yang semuanya anak perempuan. Dari murid-murid saya itulah saya menyimpulkan bahwa pembaca anak (perempuan) masih cenderung menyukai cerita dengan tokoh ala-ala princess. Keempat, bagaimana caranya agar pembaca anak (Islam) mudah mengingat sekaligus memahami nama-nama indah kepunyaan Allah Swt. ini.
Saya ingin agar mereka tidak hanya mampu sekadar menghapal, namun paham menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, saya ambil dari Asmaul Husna “Ar Rahman”. Anak-anak muslim umumnya tahu arti dari “Ar Rahman” adalah “Yang Maha Pengasih”. Lalu, seperti apa aplikasinya dalam kehidupan? Saya pun mengurainya dalam sebuah cerita dengan tokoh putri yang diberi nama Princess Rahmania dengan judul, “Princess Rahmania dan Sayap Burung yang Terluka”. Di cerita Princess Rahmania inilah saya sajikan kisah yang mencerminkan pengamalan dari makna “Pengasih” tadi. Untuk melengkapi pemahaman mereka sebagai pembaca buku ini, di akhir setiap cerita, saya juga menjelaskan kembali arti/maksud dari setiap Asmaul Husna itu.
Terkait dengan target pembaca, sebenarnya tidak mutlak. Saya juga ingin agar anak laki-laki kelak suka dan tertarik untuk membaca buku saya ini. Lalu, bagaimana caranya? Saya pun mencari ide agar 99 cerita yang saya sajikan tidak hanya dapat dibaca oleh anak perempuan saja. Tokoh princess di dalam buku itu hanya sebagai tokoh utamanya saja. Sementara alur dan kisah-kisahnya masih pas dengan anak laki-laki. Ingin membuktikannya? Silakan miliki bukunya ya. *eh, saya serius lho ... ^_^*
Tidak ada proses yang tidak menemukan kesulitan. Saya pun mengalaminya. Saya sangat hati-hati dan takut sekali jika dari 99 cerita yang saya tulis, terjadi pengulangan kisah atau mirip-mirip. Enggak lucu ‘kan, kalau dalam satu buku ada dua cerita yang serupa tapi nama tokohnya berbeda? Untuk itu, setiap judul saya sertakan outline singkat dan fokus dalam penggarapan kisah demi kisahnya. Tapi ini hanya untuk panduan saya saat mengerjakannya saja, alias tidak diserahkan ke editor.  


Buku saya diletakkan dalam jajaran buku rekomendasi

Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil menuntaskan 99 kisah dan menyetornya kepada Imran Laha sebelum waktu setengah bulan yang ditambahkan. Namun, tidak berhenti sampai di situ. Saya harus sabar menunggu keputusan naik cetak naskah calon buku saya. Mulai dari proses editing, penggarapan ilustrasi, layout, dan lainnya. Deg-degan? Tentu!
Kesabaran saya akhirnya berakhir tidak lebih dari tiga bulan. Buku “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess” karya saya pun terbit di bulan Ramadan 1436 H (Juni 2015). Dengan ketebalan 212 halaman, harga 125 ribu rupiah, buku ini tampil dengan desain yang menawan (menurut saya ^^). Alhamdulillah, saya senang sekali. Kerja keras saya berbuah manis.
Tak lupa, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Imran Laha dan Penerbit Adibintang yang telah memberi kesempatan kepada saya menuliskan kisah “99 Asmaul Husna dan Kisah Para Princess” ini. Ucapan terima kasih yang sedalamnya juga saya sampaikan kepada para orangtua dan anak-anak yang telah membeli dan membaca buku ini. Kepada Mbak Nurul yang telah mengapresiasinya dalam blog pribadi seperti di link ini. 
Selanjutnya, sambil menunggu progress penjualannya, saya berdoa agar buku ini selalu mendapat tempat di hati para pembacanya. Isinya dapat memberikan manfaat dan keberkahan. Aamiin. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...