Selasa, 31 Maret 2015

Aura Mistis Patung Sigale-gale












#LatePost
Tulisan sy di Koran Pikiran Rakyat edisi Sabtu, 3 Mei '14

 

Berwisata ke Danau Toba, Sumatera Utara rasanya kurang lengkap jika tidak mengunjungi pulau Samosir. Pulau vulkanik yang menawan ini terletak di tengah Danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara. Ada tiga jalur perairan melalui Danau Toba menuju ke pulau ini. Pertama, melalui Pelabuhan Ajibata ke Pelabuhan Tomok. Kedua, dari Muara menuju Nainggolan. Ketiga, melalui Tigaras menuju Simanindo. Kami memilih menumpang kapal ferry dari Ajibata menuju Tomok dengan membayar Rp91.500 (sudah termasuk mobil). Rasanya uang sejumlah itu terbayar dengan suguhan pemandangan danau yang indah dan menakjubkan selama lebih kurang satu jam waktu tempuh menuju lokasi.
Tiba di Samosir, kami menuju Tomok untuk melihat lokasi patung Sigale-gale yang menjadi landmark pulau tersebut. Pertama kali saya memandang patung itu, terasa aura mistis melekat di sana. Mungkin karena patung Sigale-gale sendiri berwujud laki-laki jangkung dengan bola mata melotot memancarkan tatapan yang bagi saya agak menyeramkan. Dengan atasan jas abu-abu, topi yang terbuat dari kain menutupi sebagian kepalanya, bawahan sarung serta ulos yang diselempangkan di bahu hingga pinggangnya, patung Sigale-gale seolah digambarkan seperti manusia bernyawa.
Patung Sigale-gale diletakkan di depan sebuah rumah adat Samosir. Patung ini bisa bergoyang-goyang menirukan gerakan tortor dengan iringan gondang sabangunan (gondang Batak). Jika memperhatikan strukturnya, patung yang diukir menyerupai laki-laki dewasa itu menggunakan tali yang cukup kuat sebagai pengikat di bagian-bagian persendiannya. Mulai dari leher, lengan, lutut, jari-jemari, hingga ke persendian kakinya. Tali itu pula yang disambungkan kepada beberapa orang yang dalam pewayangan disebut dalang untuk menggerakkannya. Tarif untuk melihat pertunjukan tarian patung ini hanya Rp5.000.
Anak-anak saya begitu terkesan dengan patung ini. Mata mereka nyaris tak berpaling memandangi gerakan patung itu. Sementara saya sibuk mencari alasan tentang aura mistis yang terpancar dari patung itu. Mungkin hanya saya yang merasakannya. Dari kesan itu saya mencoba menelusuri sejarah keberadaan patung Sigale-gale ini.
Banyak versi yang tersebar tentang asal-usulnya. Salah satu versi yang saya baca, konon katanya di zaman dahulu ada seorang raja yang sangat bijaksana tinggal di wilayah Toba. Raja itu bernama Rahat. Raja Rahat sangat terkenal dengan kekayaannya. Dia hanya memiliki satu putra yang menjadi putra mahkota dari kerajaannya.
Raja Rahat sangat menyayangi putranya, hingga pada suatu hari kesedihan melanda hatinya. Putranya yang bernama Manggale terjangkit penyakit aneh yang tak seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Manggale menghembuskan napasnya, menghadap Sang Pencipta. Raja Rahat sangat berduka atas kematian putra semata wayangnya.  Raja rahat meminta para pengawalnya untuk mencari para tukang ukir kayu yang mumpuni ke seluruh penjuru kampung. Dari sekian banyak tukang ukir kayu yang ditemui, akhirnya Raja Rahat meminta salah satu yang paling terkenal dari mereka. Nama tukang ukir kayu itu adalah Rahat Bulu atau dikenal dengan gelar Datu Manggeleng.
Datu Manggeleng pun menyanggupi permintaan Raja Rahat untuk menyelesaikan patung kayu yang menyerupai sosok Manggale dalam tiga hari. Datu Manggeleng menuju hutan dan menemukan pohon dengan kayu berkualitas memiliki tinggi yang sama dengan almarhum putra Raja Rahat. Lalu, tukang ukir kayu itu pun menebang pohon tersebut dan mulai mengukirnya menyerupai wujud Manggale.
Betapa gembiranya hati Raja Rahat melihat hasil kerja Datu Manggeleng. Patung berwujud Manggale pun diabadikan setelah Raja Rahat berpesan kepada penduduk di sana bahwa patung itu adalah sebagai pengganti putranya yang telah tiada. Raja Rahat pun memberi nama patung itu dengan sebutan Sigale-gale.
Raja Rahat akhirnya meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Punahlah keturunannya. Namun, penduduk memenuhi permintaan Raja Rahat untuk melaksanakan acara adat pemakaman seperti yang dipesankan Raja. Sigale-gale pun dibuat menari oleh tukang ukir kayu. Selepas acara adat, mayat Raja Rahat pun diantarkan bersama Sigale-gale ke pemakaman.
Kabarnya, pertunjukan Sigale-gale awalnya dilakukan hanya untuk raja-raja yang kehilangan keturunannya. Tetapi, kemudian kebiasaan itu diperuntukkan bagi setiap penduduk yang tak memiliki keturunan. Setiap orang yang sengaja memesan pembuatan patung Sigale-gale untuk alasan papurpur sapata (menaburkan janji). Lalu, Sigale-gale dengan gerakan tariannya menjadi semacam obat bagi impian mereka yang kandas untuk memperoleh keturunan sampai upacara kematiannya tiba.
            Menurut kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat patung Sigale-gale harus rela menyerahkan jiwanya pada patung buatannnya itu agar patung itu bisa bergerak dan hidup seperti manusia.
            Terlepas dari aura mistis yang saya rasakan, pertunjukan tarian patung Sigale-gale yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan itu menjadi hiburan yang menarik bagi saya dan keluarga. [Wylvera W.]

Minggu, 15 Maret 2015

Bukan Setrika



#CerpenKuliner #TTG4

dokrpi
             Undangan makan siang itu sangat mengejutkan Intan. Ini adalah pertemuan pertama Intan dengan kedua orangtua Bahrum. Sejak setengah jam lalu, Intan sibuk memilih baju yang pantas. Sudah beberapa model baju yang dikeluarkannya dari lemari pakaian, Intan belum juga menemukan yang cocok untuk dipakai.
            “Duh! Pakai baju yang mana ya? Yang ini terlalu resmi. Yang itu seperti warna berkabung. Yang di atas tempat tidur itu sudah pernah aku pakai di ulangtahun Bang Bahrum,” ujar Intan panik karena jarum jam terus bergerak. Intan hanya punya sisa waktu setengah jam untuk memutuskan.
            “Aha! Ini dia!” seru Intan girang memilih baju terusan warna cokelat muda dengan aksen kedut tipis di bagian pinggang dan ujung lengannya.
            Lima belas menit kemudian, Bahrum pun tiba di rumah Intan.
            “Sudah siap?” tanya Bahrum melihat Intan berdiri di depan pintu rumahnya.
            “Sudah,” balas Intan singkat menutupi rasa groginya.
Intan masuk ke mobil Bahrum. Sesekali ia melirik Bahrum. Intan berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
            “Nanti santai aja ya, Tan. Emak dan Ayahku itu orangnya friendly,” ujar Bahrum.
            Intan diam, tidak merespon. Perjalanan berikutnya mereka saling diam. Hanya suara musik dari tape recorder mobil Bahrum yang terdengar.
            Setengah jam kemudian.
            “Nah, sampai kita, Tan,” ujar Bahrum.
            “Ya ampun, gemetar aku Bang,” kata Intan meremas jemarinya sendiri.
            “Santai sajalah,” balas Bahrum menguatkan semangat gadis pujaan hatinya.
            Intan pun berdiri di depan pintu rumah Bahrum. Matanya memandang ke sekitar.
            “Assalamu’alaikum. Mak, Ayah ... ini tamunya sudah datang!” seru Bahrum memanggil kedua orangtuanya.
            Emak Bahrum menyambut Intan.
            “Hoiii ...! Cantiknya calon menantuku ini,” pujinya sambil menarik lengan Intan langsung menuju ruang makan.
           Pipi Intan memerah. Rasa canggung menyergapnya. Setelah itu, matanya setengah terbelalak melihat hidangan di meja makan. Di antara ragam hidangan itu, ada sambal teri kacang, makanan khas kota Medan yang sangat populer. Intan salah satu penggemar sambal teri kacang. Tapi kalau ditanya bagaimana cara membuatnya, Intan pasti menyerah. Ia tidak pernah memasaknya.
            “Ayolah duduk. Kita makan siang dulu ya. Sehabis itu nanti, barulah kita bercakap-cakap,” ujar ayah Bahrum pula tak kalah ramah.
            “Ini semua hasil masakan Emakku, Tan. Emakku ini jagoan masak,” pamer Bahrum tiba-tiba menciutkan nyali Intan.
             Intan berusaha tersenyum. Ia mulai khawatir mendengar Emak Bahrum mahir memasak. Selama ini Bahrum tidak pernah bercerita. Lagi pula, sebelum jadi mahasiswi dan hijrah dari Medan ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya, Intan bukan perempuan yang rajin turun ke dapur. Ia lebih senang jadi tukang bersih-bersih rumah ketimbang memraktikkan resep masakan. Bahkan sambal teri kacang kegemarannya sekalipun. Ia hanya penikmat hasil masakan mamanya.
            Setelah menyelesaikan kuliahnya, Intan kembali ke Medan dan kenal dengan Bahrum. Kebersamaan mereka sudah terjalin selama hampir lima bulan. Intan merasa bahwa Bahrumlah yang pas menjadi calon suaminya. Tapi, ketika Bahrum mengejutkannya dengan undangan makan siang ini, justru Intan mendadak panik dan gugup.
            “Hei, anak gadis tak bolehlah banyak melamun. Pantang kata orang-orang tua dulu,” ujar Emak Bahrum dengan logat Medan yang khas.
            “Eh, maaf Tante. Saya terkesan sama sambal teri kacangnya. Sepertinya gurih dan lezat,” balas Intan buru-buru menutupi kegugupannya.
            “Oh, sambal teri kacang ini masakan andalan Tante. Sudah banyak yang memuji kelezatan dan kegurihannya. Banyak pula yang minta resepnya lalu mencoba memraktikkan. Tapi entah kenapa, tetap tak pernah bisa menyamai masakan strika Tante,” timpal Emak Bahrum.
            “Setrika? Kok namanya kayak gosokan kain?” tanya Intan heran.
            “Bukan setrika, tapi strika. Itu singkatan dari Sambal Teri dan Kacang,” jawab Emak Bahrum tersenyum mendengar komentar Intan.
            Beberapa saat kemudian, acara makan siang bersama pun selesai. Intan membantu membersihkan meja dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Melihat keakraban Intan dan Emaknya, Bahrum mengedipkan sebelah mata ke Intan.
Selepas itu, Tante Imah, Emak Bahrum, mengajak Intan duduk di tepi kolam ikan. Intan kembali diam. Hatinya masih bertanya-tanya, apa yang akan diperbincangkan.
            “Eh, kau kan sudah selesai ya kuliahnya? Si Bahrum pun sudah bekerja. Jadi kalian mau menunggu apa lagi?” Tiba-tiba Tante Imah membuka obrolan dengan pertanyaan rencana pernikahan. Intan terkesima dan masih diam, tidak bisa menjawab.
            “Tante mau pensiun jadi tukang masaknya si Bahrum. Nanti kaulah yang menggantikannya,” tambah Tante Imah lagi semakin menciutkan nyali Intan.
            “Si Bahrum itu juga sangat suka makan strika. Jadi, nanti kau harus sering-sering memasakkan si strika itu untuknya. Jangan lupa, kawannya si strika itu gulai daun ubi tumbuk,” tambah Tante Imah membuat Intan terbayang pada gulai daun singkong buatan mamanya.
Intan semakin terpaku. Jangankan gulai daun singkong tumbuk, sambal teri kacang saja Intan tak pernah mengerti cara membuatnya.
       “Wah, melamun lagi? Intan, jangan dibiasakan banyak melamun, apalagi kalau sudah dekat-dekat hari pernikahan nanti. Pantang itu,” ujar Tante Imah membuat Intan sempurna gugup.
            “Eh, i ... iya Tante. Maaf,’ ucap Intan pelan.
        “Baiklah kalau begitu. Tante sudah utarakan maksud kami mengundangmu makan siang bersama ini. Bilang sama orangtuamu kalau dalam waktu dekat Tante dan Om akan datang melamarmu. Syaratnya gampang kok, cuma ujian memasak strika saja. Hahaha....” ujar Tante Imah lagi bergurau.
Intan mengangguk pelan. Di kepalanya hanya ada gambaran sepiring strika alias sambal teri kacang. Intan harus belajar membuat strika itu dengan mamanya. Intan sangat takut. Kalau hanya gara-gara gagal memasak strika, hubungannya dengan Bahrum jadi berantakan, Intan tidak bisa membayangkannya.
            Dua minggu kemudian, Tante Imah kembali mengundang Intan untuk datang di acara arisan keluarga. Intan diminta membawa sambal teri kacang hasil bikinannya sendiri. Intan uring-uringan memikirkan sambal teri kacangnya. Sudah dua kali dia mencoba resep mamanya, namun tetap saja rasanya tak sama dengan buatan Tante Imah.
Intan sudah memraktikkan semua cara yang diberikan Mama. Ikan terinya disiram dan ditiriskan di saringan kelapa, sampai benar-benar kering. Kacang tanahnya digoreng dengan minyak yang tidak terlalu panas. Intan juga sudah menggiling cabe merah dan bawang merah sampai halus, lalu mencampurkannya dengan satu sendok makan air rendaman asam jawa.
            “Apalagi yang salah ya, Ma? Ikan terinya sudah Intan goreng sampai garing, kacang tanahnya juga sudah dimasak dengan sempurna. Sambalnya sudah dimasak di atas wajan dengan api kecil,” gerutu Intan kesal melihat hasil masakannya.
         “Coba diingat-ingat, pasti ada langkah-langkah yang tidak kau turuti,” ujar Mama menenangkan.
            “Sudah kok, Ma,” kata Intan merasa yakin.
            “Trus, bagaimana jadinya? Apa perlu Mama yang membuatnya? Kalau terinya seperti karet begini, macam mana kau nanti?” tanya Mama membuat Intan galau.
Belum sempat Intan menjawab pertanyaan Mama, Bahrum sudah menjemputnya.
            “Bang Bahrum sudah datang. Macam mana ini?” keluh Intan semakin panik.
            “Sudahlah, kau berterus terang saja ke Emaknya si Bahrum. Bilang saja kalau sebenarnya kau tak biasa memasak, tapi kalau untuk beberes dan merapikan rumah kaulah jagonya,” jawab Mama memberi solusi.
Intan berpikir sejenak. Dengan terpaksa ia tetap memasukkan sambal teri kacang buatannya ke dalam wadah plastik untuk dibawa ke rumah Bahrum.
            “Bismillah sajalah,” bisik Mama menyemangati Intan.
            “Iya, Ma. Doakan ya,” pinta Intan memelas. Mama mengangguk.
            “Yuk, Bang!” ujar Intan mendekati Bahrum.
            “Permisi dulu ya Tante. Salam dari Emak dan Ayah,” ujar Bahrum ke Mama Intan.
            “Iya, sampaikan salam Tante kembali ya,” balas mama Intan. Bahrum mengangguk.
            Intan dan Bahrum pun sudah berada di mobil. Intan merasakan perjalanan dari rumahnya menuju rumah Bahrum begitu cepat dan mendebarkan. Padahal hatinya menginginkan waktu berputar lebih lambat. Intan belum siap menerima kritikan calon ibu mertuanya pada sambal teri kacang buatannya.
            Intan masih memikirkan usul Mama untuk berterus-terang. Ia tak mau pulang dari rumah Bahrum dengan menelan rasa malu. Kalau tidak jadi menantu karena mungkin tak berjodoh, Intan bisa menerima. Tapi, kalau ditolak jadi calon menantu hanya gara-gara pura-pura mengaku pandai memasak sambal teri kacang, Intan tidak bisa memaafkan dirinya.
            “Kita sudah sampai, Tan. Ayo kasi ke Emakku strika buatanmu itu. Hitung-hitung itu pemikat hatinya,” gurau Bahrum samasekali tidak lucu di telinga Intan.
            “Naaah ... ini dia calon menantuku. Si Bahrum pintar cari calon istri. Sengaja dicarinya istri yang pandai memasak strika, supaya Emaknya bisa pensiun memasakkan makanan kesukaannya itu,” ujar Tante Imah menyambut kehadiran Intan.
Sepupu-sepupu Bahrum yang sudah hadir di acara arisan itu ikut tersenyum melihat kehadiran Intan. Semua tampak bergembira, kecuali Intan.
            “Ayo, tunjukkan sama Tante strika buatanmu itu!” seru Tante Imah lagi membuat lutut Intan mendadak gemetar. Intan memberikan sambal teri kacang buatannya.
            “Maaf, Tante ... saya memang suka sekali makan strika, tapi saya tak pandai cara memasaknya,” Intan melepas kata-katanya begitu saja. Ia buru-buru menundukkan wajahnya dalam-dalam. Intan yakin saat ini pasti semua mata tertuju padanya.
            “Ya ampun, Intan! Janganlah khawatir begitu. Tante yang akan mengajarimu memasaknya nanti,” ujar Tante Imah mengejutkan Intan.
            “Ayo, mari sini. Kita praktikkan bersama, supaya si Bahrum nanti tak mencari strika ke perempuan lain,” kembali Tante Imah bergurau.
Intan merasa lega. Akhirnya ia berhasil berterus-terang dan sekaligus mengetahui resep sambal teri kacang buatan calon ibu mertuanya.
            “Supaya tak lengket dan terinya bisa garing, saat mengaduknya ... kau matikan dulu api kompornya. Lalu, kau aduklah teri dan kacangnya dengan rata ke sambal yang sudah matang ini,” ujar Tante Imah.
Intan mengangguk-angguk dan berusaha mengingat rahasia terakhir yang bisa membuat sambal teri kacang buatan Tante Imah begitu gurih, lezat, dan renyah. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...