(Repost)
Siang itu, 26 Maret 2013, selepas saya menghadiri rapat di kantor sekretariat Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia, ada rasa tak sabar untuk segera meninggalkan ruang rapat. Pasalnya, hari itu adalah jadwal saya untuk melanjutkan memberi materi pelatihan menulis di Lapas Anak Pria, Tangerang. Rasa rindu ingin bertemu anak-anak didik lapas yang menjadi peserta pelatihan menulis itu sudah sempurna menguasai hati saya.
Begitu rapat usai, saya pun bergegas meninggalkan gedung Bank Indonesia menuju Tangerang. Namun sebelumnya saya harus menjemput teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja (GPR). Mobil yang saya kendarai melaju dari arah Jalan Thamrin menuju kawasan Tebet dengan kecepatan sedang. Akhirnya kami kembali bersama menuju Tangerang.
Cuaca yang lumayan panas tak menghalangi niat saya untuk menyetir mobil di sepanjang tol. Justru saya ingin segera tiba di lapas, bertemu anak-anak itu, melanjutkan materi untuk berbagi ilmu menulis kepada mereka. Saya sudah berjanji untuk kembali.
Karena waktu Zuhur sudah terlewati beberapa saat, kami pun terlebih dahulu memutuskan untuk singgah di mesjid yang ada di salah satu rest area. Di akhir sholat saya tak lupa memanjatkan doa untuk anak-anak lapas itu. Memohon kasih sayang Allah untuk melimpahkan hidayah dan penerang jiwa kepada mereka. Semoga doa-doa saya diijabah. Aamiin.
Di sinilah kelak mereka merangkai ide |
Akhirnya, kami tiba di lapas tepat pukul 13.30 WIB. Seperti biasa, kami harus mengisi buku tamu terlebih dahulu. Setelah itu Pak Bagus (salah satu penanggung jawab lapas) mendampingi kami menuju aula. Tak berapa lama, anak-anak lapas pun kembali bekumpul. Hati saya yang tadinya berbunga tiba-tiba terselip rasa kecewa. Apa pasal? Mereka tak seramai di pertemuan pertama. Saya nyaris berpraduga bahwa sebagian dari anak-anak lapas itu bosan dan tak ingin lagi mengikuti pelatihan menulis dari saya.
“Kok hanya 14 yang hadir? Yang 6 lagi mana?” tanya saya dengan hati cemas.
“Ada yang lagi bertugas, Bunda. Jadi enggak bisa ikut,” jawab salah satu dari mereka.
Lega rasanya. Dugaan saya ternyata meleset. Dari 20 anak yang ada di pertemuan pertama, saat itu hanya 14 yang bisa kembali hadir di sesi kedua pelatihan menulis. Bukan karena mereka bosan dan jera mengikuti materi menulis yang saya berikan, ternyata ada sebab lain yang tak memungkinkan mereka bergabung di aula lapas itu.
Sambil menunggu Kepala Lapas dan tak ingin membuang waktu, kami pun membuka pelatihan sesi kedua. Kami kembali menyulut semangat mereka untuk tetap sabar dan tekun mengikuti pelatihan.
Sehabis itu, saya putarkan film inspiratif Dick dan Rick Hoyt, yang mengisahkan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya yang cacat sejak lahir. Sang ayah bernama Dick dan si anak bernama Rick. Mereka adalah salah satu tim yang ikut serta dalam sebuah pertandingan triathlon yaitu semacam marathon dengan rupa-rupa olah raga seperti lari yang berjarak 26,2 mil, ditambah bersepeda sejauh 112 mil, serta berenang 2,4 mil.
Di akhir tanyangan berdurasi tak sampai sepuluh menit itu, saya ingin menggugah hati anak-anak lapas. Saya katakan kepada mereka, bahwa keterbatasan yang ada pada diri mereka, jangan sampai menjadi halangan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Jangan sampai menjebak mereka untuk melakukan perbuatan yang justru berakibat fatal bagi diri sendiri. Semangat Dick sebagai ayah yang memiliki anak yang cacat itu patut dicontoh. Tak ada yang tak mungkin jika niat baik sudah kita semai di hati. Begitulah saya menyemai semangat untuk mereka.
“Harus bisa ya, Bunda? Tetap semangat ya, Bunda?” celetuk salah satu anak membuat hati saya kembali terenyuh.
“Ya dong. Kalian lihat film tadi, ayah dan anak itu selalu optimis. Bunda ingin kalian juga seperti itu ya,” tambahku.
“Iya, Bunda...!” jawab mereka semangat. Alhamdulillah... mereka ternyata paham dengan keinginan saya. Semoga tidak hanya sampai di situ. Saya ingin mereka mengaktualisasikannya di dalam kehidupan mereka selama di penjara itu.
Setelah menonton film, saya segera melanjutkan materi. Namun, di dua puluh menit pertama, Kalapas pun memasuki aula. Karena di pertemuan pertama Kalapas belum sempat meresmikan kegiatan Pelatihan Menulis itu, maka di kesempatan kedua itulah beliau menyampaikan apresiasinya sekaligus meresmikan pelatihan menulis untuk anak-anak didik lapas (ANDIKPAS).
Peresmian Pelatihan di Aula Lapas |
Kalapas, Heny Yuwono memperkenalkan kepada peserta pelatihan. Beliau sangat berterimakasih dengan niat baik itu dan berharap kelak akan lahir kisah-kisah bernas dari anak-anak didik lapas yang terkumpul dalam satu buku kompilasi. Begitu pula harapan saya.
Sebelum melanjutkan pelatihan, Kalapas meminta kami berfoto bersama dengan beliau. Sesaat sebelum meninggalkan aula, saya melihat pancaran optimis di mata Pak Heny Yuwono. Saya menangkap kalau itu adalah luapan dari keinginannya agar anak-anak didik lapas tetap semangat dan konsisten mengikuti pelatihan hingga kelak bisa menghasilkan karya.
Foto bersama Kalapas dan ANDIKPAS |
Pelatihan menulis pun berlanjut. Saya kembali mengurai materi tentang penokohan, setting, alur, dan ending cerita. Saya memberikan beberapa contoh untuk masing-masing unsur penting dalam sebuah cerita itu. Anak-anak lapas tetap serius memerhatikan. Sesekali celotehan berupa komentar mewarnai kelas.
“Gimana kalau enggak berhasil nanti ya, Bunda?” tanya Doni.
“Jangan menyerah sebelum mencoba. Kalian pasti bisa, karena di awal Bunda sudah bilang, bahwa pada dasarnya semua orang bisa menulis, hanya perlu latihan untuk membuatnya berhasil melahirkan sebuah tulisan yang enak untuk dibaca,” kata saya kembali menyulut semangat mereka.
“Yakin kalau kalian akan mampu membuat cerita dari pengalaman kalian?” tanya saya sekali lagi
“Ya! Yakin, Bundaaa...!” jawab mereka.
Sebelum mengakhiri pelatihan, saya kembali menguji mereka lewat game sederhana. Saya meminta mereka merangkai sepuluh kata kunci yang sudah saya persiapkan. Saya meminta mereka membuat cerita minimal 10 kalimat dan memasukkan 10 kata kunci tersebut di ceritanya dalam waktu 10 menit.
“Ya ampuuun, Bundaaa... sepuluh menit? Cepat banget!” protes salah satu dari mereka.
“Iya, Bunda mau lihat sejauh mana kalian mampu menyerap materi yang sudah Bunda berikan. Dan, untuk tiga pemenang, Bunda akan kasih hadiah novel terbaru Bunda, ada buku antologi juga dari Bunda,” balas saya menahan tawa sebab ini memang tak biasa. Saya belum pernah memberikan durasi sedemikian pendek untuk menyelsaikan tugas di game yang saya berikan. Tapi, saya hanya ingin membuktikan kalau mereka mampu.
“Siiip! Okelah kalau begitu!” seru mereka menjadi semangat.
Mereka pun mengambil posisi duduk yang paling nyaman untuk menulis. Mereka bukan penulis andal. Waktu 10 menit itu memang sangat singkat untuk mereka merangkai kata menjadi 10 kalimat. Tapi, saya yakin mereka mampu melakukannya.
“Oke, siaaap? Waktunya dimulai!” seru saya memberi aba-aba.
Mereka dengan sigap menuliskan kata-kata itu. Ada yang masih berpikir dan belum menemukan ide. Saya menyemangati mereka yang masih bingung, tak bisa membuka kalimat dengan satu kata pun. Akhirnya saya mencoba memberikan contoh. Begitu saya selesai memberi contoh, semua akhirnya mencair dan fokus pada kertas tulisanya masing-masing.
Sepuluh menit berakhir. Terpilihlah tiga pemenang, karena paling cepat mengumpulkan, memenuhi semua kriteria, dan rangkaian katanya lumayan bagus. Mereka adalah Nurhadi, Jayman Ariyamas, Dimas.
Demikianlah, semua materi di pelatihan menulis sudah selesai saya berikan. Untuk feedbacknya, saya memberikan tugas akhir kepada mereka. Saya meminta mereka menuliskan kisah-kisah mereka yang dikumpulkan di pertemuan berikutnya. Kelak kisah-kisah mereka itu akan kami satukan dalam kumpulan cerita anak-anak Lapas Pria, Tangerang.
Saya akan terus berupaya mewujudkan impian ini menjadi kenyataan. Kami ingin memberikan sesuatu yang mampu membangkitkan semangat dan percaya diri untuk anak-anak lapas (peserta pelatihan menulis itu) bahwa mereka juga bisa menjadi penulis. Insya Allah. []
Catatan ini telah menjadi HL di Kompasiana, 27 Maret 2013.