Sabtu, 16 Maret 2013

Kertas-kertas Berisi Penyesalan dan Harapan

Apakah bila telanjur salah akan tetap dianggap salah? 

Tak ada waktu lagi benahi diri 

Tak ada tempat lagi untuk kembali

      Tiba-tiba saya rindu pada syair lagu ini. Bagian dari bait syair lagu Ebiet G. Ade yang berjudul Kalian Dengarkah Keluhanku ini seolah mewakili keberadaan anak-anak di lapas itu. Dan, saat ini lagu itu rasanya sangat pas sekali untuk mengurai perasaan saya. Ya, saya sedang menatap dan membaca satu per satu hasil tulisan awal dari anak-anak lapas itu.
Hasil karya anak Lapas. (dokpri)
         Dulu, ketika saya masih anak-anak, kata penjara adalah momok yang sangat menakutkan buat saya. Ketika itu saya dan teman-teman sekolah sempat melintas di depan salah satu lembaga pemasyarakatan yang ada di kota kelahiran saya, Medan. Saya sengaja mendayung sepeda sekencang-kencangnya, lantaran alergi pada tempat itu. Saya menganggap tempat itu adalah “sarang” bagi orang-orang jahat yang telah melakukan kesalahan besar dan tak terampuni.
        Tapi, itu dulu…dulu sekali. Sekarang saya justru merasakan kerinduan jika berlama-lama tak ke sana. Ada rasa kedekatan yang saya rasakan jika menatap wajah dan mata mereka. Rasa ingin menguak sisi gelap dari latar belakang yang telah memicu mereka melakukan kesalahan fatal sehingga mereka terjerat di jeruji besi.
        Saya bukan psikolog, tak mungkin saya melakukan itu dengan pendekatan-pendekatan psikologis. Saya hanya penulis biasa yang baru memiliki beberapa karya. Namun, naluri saya terpanggil untuk berbagi kepada mereka, sekecil apa pun itu. Itulah sebabnya, saya ingin memberikan sedikit saja perhatian kepada anak-anak remaja di lapas itu. Agar saya tetap mendapatkan alasan untuk kembali bertemu mereka. Perhatian yang saya lakukan yaitu dengan berbagi ilmu menulis.
       Beruntung sekali, karena niat dan keinginan saya ini disambut hangat oleh ketua Gerakan Peduli Remaja (GPR), Suci Susanti dan pengurus lainnya. Mereka mengajak dan mengenalkan saya kepada Kepala Lapas Klas IIA Anak Pria, Tangerang, Heny Yuwono. Akhirnya kesempatan berharga itu pun saya peroleh berkat izin Bapak Kepala Lapas melalui teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja.                              
Di ruang Kalapas (dokpri)
         












 Dan, kemarin adalah momen yang sangat menggetarkan hati saya. Setelah beberapa kali saya berkunjung ke Lapas Anak Pria, Tangerang itu, saat itulah waktu yang membuat saya benar-benar mendapat kesempatan untuk berdiri dan berbicara di depan mereka. Niat saya yang tulus untuk berbagi ilmu menulis akhirnya terwujud pada hari itu, Rabu, 13 Maret 2013.
dokpri

         Sesaat sebelum pelatihan, hati saya bergemuruh. Saya perhatikan wajah mereka satu demi satu. Ada rasa cemas yang mengganggu. Saya takut kalau anak-anak lapas ini tak akan serius mengikuti pelatihan yang saya berikan. Saya juga takut kalau mereka memandang sinis kepada saya. Saya takut kalau mereka tak nyaman mereka akan benci dan marah kepada saya. Namun, ketakutan-ketakutan itu sirna ketika saya melihat mereka begitu bersemangat. Mata mereka menunjukkan luapan rasa haus akan ilmu menulis itu.

       Dengan berbekal buku tulis dan pulpen, mereka begitu yakin memasuki aula yang sudah dipersiapkan oleh pihak lapas. Apalagi setelah Suci Susanti membuka pelatihan, saya semakin yakin kalau anak-anak lapas yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu adalah mereka yang sungguh-sungguh ingin mengikuti pelatihan menulis dari saya.
      “Kalian yakin kalau kalian nanti bisa menulis sebuah cerita?” tanya saya di awal pelatihan.
      “Yakiiin…!” jawab mereka serentak dengan suara lantang.
      “Tetap semangat sampai akhir?” tanya saya lagi tak kalah keras.
      “Semangat, Bundaaa…!” balas mereka pula.
      Lega rasanya. Saya pun mengawali pelatihan dengan memberikan motivasi terlebih dahulu kepada mereka. Saya katakan, bahwa setiap orang sebenarnya bisa menulis. Bakat itu tak terlalu berpengaruh, karena jumlahnya hanya sekitar 1%, selebihnya adalah tekad untuk berlatih, berlatih, dan terus berlatih.
       “Betul, Bunda!” tiba-tiba sebuah suara menyela saya.
Saya tersenyum bangga pada anak yang berteriak itu. Sorot matanya tajam memandang serius pada layar infokus. Seolah dia tak ingin terlewat sebaris penjelasan pun dari materi yang saya sampaikan. Waktu yang sangat sempit itu benar-benar mereka manfaatkan untuk meraup ilmu.  
dokpri
        Terenyuh rasanya dada ini. Tak sedikit pun tergambar bahwa mereka pernah melakukan kesalahan sehingga mereka terjerat hukum. Saya mulai terganggu dengan bayangan hari-hari mereka selama ini. Mereka yang mendekam di lapas itu benar-benar butuh sentuhan psikis. Saya terus berusaha mengatur emosi agar konsentrasi saya tak terpecah untuk berbagi ilmu buat mereka. Mereka tak boleh melihat keharuan di mata saya. Justru dorongan semangat lah yang saat ini mereka butuhkan. Yaitu semangat untuk mengikuti pelatihan yang saya berikan. Semangat bahwa mereka masih punya harapan untuk meraih masa depan di luar lapas.
dokpri
dokpri
      Waktu terus berjalan. Mereka begitu aktif merespon penjelasan-penjelasan yang saya sampaikan. Dari sikap mereka itu, saya menjadi menarik kesimpulan bahwa anak-anak itu sebenarnya adalah anak-anak yang cerdas, haus akan ilmu, dan rindu perhatian serta kasih sayang. Terlebih dari seorang ibu. Panggilan “Bunda” untuk saya begitu membuat saya terharu. 
Beginilah cara mereka menulis (dokpri)
       Satu jam bersama mereka di kelas pelatihan menulis telah berhasil membuat saya luluh dan menyimpan tekad besar. Saya akan terus memperjuangkan agar mereka berhasil membuat sebuah cerita tentang kehidupan, pengalaman, cita-cita, dan harapan mereka untuk disatukan dalam satu buku kompilasi. Bersama teman-teman dari Gerakan Peduli Remaja, Insya Allah saya akan terus bergandengan tangan untuk mewujudkan impian mereka.
       Sebelum menutup pelatihan menulis di sesi pertama itu, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk membuat daftar ide cerita yang ada di kepala mereka. Dari beberapa ide itu saya minta mereka memilih satu saja yang paling berkesan dan membuat mereka ingin buru-buru menuliskannya menjadi sebuah cerita.
     Begitu sesi praktik saya buka, mereka bergegas mengambil posisi untuk menuliskan ide-ide mereka. Lagi-lagi saya merasa terharu melihat keantusiasan mereka. Ada yang menggunakan pahanya sebagai alas untuk menulis. Ada mengambil posisi meja di depan agar lebih nyaman, karena pihak lapas memang tak menyediakan meja, hanya bangku saja.
        “Bunda, aku cuma bikin satu ide, cuma itu yang mau kutulis jadi cerita,” ujar Deni sambil meyerahkan kertas bertuliskan idenya.

Diskusi tentang tema cerita (dokpri)
       Sekilas saya baca apa yang ditulisnya. Saya nyaris tak bisa tersenyum karena tekanan rasa haru ketika membaca tulisan itu. Belum lagi kertas Fahmi yang bertuliskan “Hanya Ingin Pulang” kembali diserahkan kepada saya. Itulah ungkapan penyesalan dari apa yang telah mereka lakukan. Saya bisa merasakannya. Semoga kelak mereka bisa menumpahkan hal-hal yang mereka rasakan dalam sebuah karya tulis.
      “Tetap semangat ya, dua minggu lagi kita berkumpul lagi di sini!” ujar saya kepada mereka.
      “Iya, Bunda. Pasti!” kata mereka lagi-lagi bersemangat.
      Pelatihan menulis untuk sesi pertama di lapas itu akhirnya usai seiring dengan kumandang azan Ashar. Saya dan teman-teman GPR pun meninggalkan lapas dengan menyisakan rasa rindu.
Kertas-kertas yang mereka kumpulkan kemarin saat ini ada di tangan saya. Tinggallah saya kini yang bergelut dengan sejuta rasa. Lagu lawas Ebiet G. Ade akhirnya benar-benar saya resapi. Beberapa syairnya sangat mewakili judul-judul ide yang dituliskan anak-anak lapas itu. Semoga penyesalan dan harapan mereka tak hanya terurai lewat tulisan di kertas-kertas ini.[]

Catatan ini sudah pernah menjadi HL di Kompasiana, 15 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...