Minggu, 17 Maret 2013

Waktu yang Tersisa




Oleh Ny. Wiwiek Indra Gunawan

Riyah bersimpuh menatap pusara di sisi duduknya. Tanah kuburan itu masih dipenuhi bunga-bunga yang sudah mengering. Seminggu yang lalu Riyah baru saja kehilangan Beno, anak laki-laki kesayangannya. Riyah tak pernah membayangkan kalau Beno akhirnya pergi untuk selamanya dengan cara mengenaskan. Riyah terlalu percaya pada putra sulungnya itu. Dia selalu menjadikan Beno sebagai contoh anak mandiri bagi kedua anak perempuannya. Riyah kembali teringat perdebatan yang pernah terjadi dengan kedua putrinya.
“Mengapa sih kalian tak bisa mencontoh Abang kalian? Masih kelas tiga SMA saja dia sudah tak banyak menyusahkan Mami,” ujar Riyah waktu itu.
“Bang Beno bukan contoh yang baik buat kami! Mami enggak pernah tahu kan, apa yang dilakukan Bang Beno di belakang Mami?” sela Hani sengit tak setuju dengan pandangan ibunya tentang Beno.
“Apa maksudmu, Han?” tanya Riyah mulai gusar.
“Coba deh sekali-sekali Mami tanya ke dia,” jawab Ratih menimpali.
Riyah lagi-lagi mengabaikan kata-kata Hani dan Ratih. Dia menganggap  kedua anaknya itu cemburu pada Abang mereka. Riyah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantornya, tak mau ambil pusing dengan Hani dan Ratih yang dianggapnya sedang dilanda kecemburuan.
Bagi Riyah, Beno adalah segalanya. Beno tak pernah menyusahkannya dengan keluhan-keluhan tentang pelajaran sekolah. Riyah mengira Beno selalu rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah bersama teman-teman sekelasnya. Terkadang Riyah malah kasihan melihat Beno karena harus menginap di rumah temannya hanya untuk menyelesaikan tugas dari guru. Riyah justru merasa bersalah karena tak punya waktu untuk membantu Beno dalam urusan sekolahnya.
Riyah menyimpan kebanggaan itu di hatinya. Mata hatinya tertutup oleh kejanggalan-kejanggalan yang kerap dilakukan Beno. Rasa sayang Riyah pada Beno menggelapkan semua logikanya. Riyah tak pernah mengikuti perkembangan Beno dari hari ke hari. Kepercayaan yang diberikan Riyah sangat berlebihan sehingga justru berbalik menjadi tak peduli. Kontak batin yang biasa terjadi antara anak dan ibu, seakan terkikis oleh kesibukan. Riyah mengabaikan semua itu demi karirnya.
Riyah sudah lima tahun hidup tanpa suami. Sejak kematian Rahmat, tidak membuat Riyah semakin dekat dengan ketiga anak-anaknya. Riyah malah semakin tenggelam dengan kesibukannya di kantor. Pergi pagi dan kembali ke rumah saat anak-anaknya sudah terlelap. Bahkan Riyah jarang sekali mengintip kamar Beno yang kosong.
Ke mana Beno pergi di malam-malam gelap itu?
Riyah tak pernah sadar kalau anaknya sudah lama ternggelam dengan genk narkoba. Beno tak pernah menyusahkan Riyah soal uang, bukan lantaran dia kasihan melihat ibunya, tapi justru dia punya penghasilan sendiri dari hasil penjualan barang haram itu. Hingga akhirnya Beno tak bisa melepaskan diri dari jerat kenikmatan benda terlarang itu. Beno menjadi pembohong besar jika berhadapan dengan ibunya. Sikap manis Beno itulah yang membuat Riyah tak pernah tahu sepak terjang anaknya di luar sana.
Suatu malam, Riyah dan kedua putrinya dikejutkan oleh dentuman keras di pagar rumahnya. Saat itu jam di dinding sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Riyah, Hani, dan Ratih tergopoh-gopoh menuruni tangga rumah mereka. Dengan terburu-buru Riyah membuka pintu. Mereka berlari menuju gerbang rumah yang nyaris roboh. Tubuh Riyah bergetar hebat begitu melihat Beno terkapar penuh darah di sisi sepeda motor. Riyah tak sempat lagi berpikir dari mana Beno mendapatkan sepeda motor itu.
Malam itu juga Beno dilarikan ke rumah sakit terdekat. Proses penanganan Beno begitu cepat. Akhirnya Beno dipindahkan ke ruang ICU. Dengan jantung berdegup kencang, Riyah membisu tak sangggup lagi berkata-kata. Hanya pandangannya saja yang berkaca-kaca menatap mata Hani dan Ratih. Kalau saja waktu itu dia mau mendengar kata-kata peringatan dari kedua putrinya, mungkin Beno masih bisa diselamatkan dari jeratan pengaruh narkoba.
Kini Riyah hanya bisa menyesali pilihan sikap yang diambilnya. Membiarkan anak-anaknya yang sudah kehilangan figur seorang ayah, tumbuh bersama waktu tanpa perhatian ibu di sisi mereka. Riyah tak bisa menyalahkan Beno, justru dirinyalah yang harus menanggung semua tragedi yang paling menyakitkan ini di sisa umurnya.
“Maafkan Mami, Nak. Kalau saja Mami tak membiarkanmu dan selalu memberi perhatian layaknya seorang Ibu di setiap waktu tumbuhmu, saat ini Mami tentu saja masih bisa mendekapmu. Kita masih  bisa berbincang tentang masa depan atau apa saja yang kamu butuhkan. Kamu tak sampai mencicipi barang haram itu. Maafkan Mami....” isak Riyah terus meyesali dirinya.
“Mi, sudahlah. Mami masih punya waktu banyak untuk kami,” bisik Hani parau. Riyah tersentak mendengar suara lembut putrinya. Ternyata Hani sejak tadi diam-diam mengikuti dan memperhatian ibunya.
Riyah mendekap Hani. Isakan Riyah masih tersisa. Hani membiarkan ibunya memuaskan tangis. Takdir Beno sudah menjadi pukulan dahsyat untuk ibunya. Hani tak ingin menambahi beban itu di sisa waktu hidup wanita yang paling dicintainya.
***

Dimuat di Majalah Insani (majalah ibu-ibu istri pegawai BI), edisi 18/TH VII/Agustus 2012. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...