Bagaimana saya tidak mencintai
profesi ini? Dari profesi sebagai penulis, saya telah menemukan banyak sekali
pengalaman indah dan mengesankan. Permintaan untuk berbagi ilmu tentang menulis
seolah tak pernah putus menghampiri. Bahkan ketika saya sedang merasa kurang
produktif melahirkan karya buku pun permintaan itu tetap berdatangan. Seperti
biasa, saya selalu sulit untuk menolaknya.
Tepat sehari setelah memasuki
Ramadan 1437 H, saya mendapat tawaran melalui inbox facebook. Ade Ganiarti
(teman saya yang juga penulis) menanyakan kesediaan saya untuk menjadi
narasumber dalam kegiatan pencanangan “Gerakan Literasi Siswa SMA”. Seperti
biasa, saya berusaha tidak menolak setiap tawaran untuk berbagai ilmu menulis,
terutama untuk anak-anak dan remaja. Namun, kali ini murid-murid SMA yang akan
saya berikan motivasi dan keterampilan menulis itu berada di Pulau Pramuka,
salah satu pulau yang ada di Kepulauan Seribu Jakarta.
Singkat cerita, Mbak Ade yang berprofesi
sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Jakarta itu menyambungkan
komunikasi dengan Pak Firdaus, Kepala Sekolah SMA Negeri 69 Pulau Pramuka.
Tawaran pun kembali diajukan langsung oleh Pak Firdaus lewat whatsapp (WA). Hingga akhirnya kami
menemukan kesepakatan tentang tanggal dan hari pelaksanaan.
Menuju pantai Marina Ancol
Menjelang hari “H”, saya sudah siap
untuk berbagi pengalaman kepada murid-murid SMA N 69 di Pulau Pramuka. Tepat di
hari Kamis, 21 Juli 2016, selepas sholat Subuh, saya sudah siap menyetir
menuju pantai Marina Ancol. Dari sanalah kapal boat cepat yang akan mengantarkan saya menuju Pulau Pramuka. Saya
tidak sendiri. Ada Ratna, sahabat yang Insya Allah akan selalu mendampingi saya
di kegiatan pelatihan menulis. Ratna menyebut dirinya sebagai asisten.
Sementara saya menjulukinya sebagai manejer. Lucu ya? Begitulah kami.
Menunggu naik ke kapal boat cepat |
Menikmati ombak kecil menuju Pulau Pramuka |
Pak Firdaus telah menyiapkan tiket
pergi dan pulang untuk kami berdua. Tiba di pantai Marina Ancol, kami hanya
perlu melakukan registrasi ulang di meja penjualan tiket, lalu menunggu waktu
keberangkatan. Tidak hanya kami yang akan diantarkan oleh kapal boat cepat itu. Ada banyak pengunjung
dan wisatawan yang akan turun di pulau-pulau kecil lainnya selain Pulau
Pramuka. Begitu jam delapan, kami pun berkumpul di dermaga untuk menunggu
giliran dipanggil menaiki kapal. Setelah semua penumpang kapal naik, perjalanan
menempuh lautan lepas pun dimulai.
Tiba di dermaga Pulau Pramuka dan SMA Negeri 69
Jakarta
Perjalanan laut yang menghabiskan
durasi sekitar satu jam itu, akhirnya membawa kami tiba di dermaga Pulau
Pramuka. Satu per satu penumpang menuruni kapal, termasuk saya dan Ratna. Begitu
turun, dengan percaya diri kami langsung jalan melewati pintu gerbang
kedatangan di Pulau Pramuka. Sementara saya sendiri belum tahu letak sekolah
yang akan kami tuju.
Naik andong menuju SMA N 69 |
Ternyata untuk menuju sekolah itu
tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki buat ukuran kaki kami. Itu yang dikatakan oleh seorang
ibu (warga yang tinggal di pulau itu). Ibu itu menyarankan agar kami naik
andong - gerobak yang mampu menampung sepuluh penumpang - yang ditarik
dengan sepeda motor. Perjalanan pun dilanjutkan menuju SMA N 69 dengan menaiki
andong. Bayarannya murah sekali. Cukup memberi 5000 rupiah saja untuk satu
orang. Namun, saya memilih melebihkannya, mengingat jarak tempuhnya lumayan
mutar-mutar.
Sisi dalam bangunan SMA N 69 (Sumber foto: www.beritajakarta.com) |
Sesampainya kami di depan pintu
gerbang SMA N 69, beberapa siswa perempuan menyambut kedatangan kami dengan
wajah yang sedikit bingung. Sempat terbesit keraguan di hati saya melihat
ekspresi wajah mereka itu. Namun, setelah saya mengatakan ingin bertemu dengan
Pak Firdaus, mereka langsung mengantarkan kami untuk bertemu dengan Bu Dewi
(guru Bahasa Indonesia di sekolah itu).
Bu Dewi mengajak kami ke ruang
Kepala Sekolah. Setelah menunggu beberapa saat, Pak Firdaus akhirnya kembali ke
ruangannya. Perkenalan pun berlangsung menyenangkan. Pak Firdaus bercerita
sekilas tentang kondisi sekolahnya. Beliau ternyata baru dua bulan ditempatkan
dan menjadi kepala sekolah di sana. Kalau dilihat dari fisik sekolahnya, SMA
Negeri 69 memang terlihat megah dengan bangunannya yang cukup permanen. Tapi
ternyata tidak sebanding dengan jumlah tenaga pengajar dan kemampuan siswa-siswinya
di bidang akademik.
“Sekolah
kami sebenarnya masih sangat membutuhkan tenaga guru untuk beberapa mata
pelajaran penting, namun sampai saat ini belum terpenuhi juga,” ujar Pak
Firdaus sangat berharap.
Yang
menjadi pertimbangan dan penghambat utama bagi para guru yang akan ditempatkan
di sekolah itu mungkin adalah jarak dan lokasi sekolah. Pak Firdaus dan
guru-guru lainnya yang ada di SMA N 69 itu sendiri harus rela bermukim
sementara di Pulau Pramuka. Mereka tinggal di mess yang disediakan untuk tenaga
pengajar sekolah itu. Tidak bisa pulang pergi setiap hari. Kondisi itulah yang
membuat saya menyimpan rasa kagum dan salut pada Pak Firdaus dan para staf
pengajar di sekolah itu. Mereka rela meninggalkan keluarga untuk mengabdikan
ilmunya kepada anak-anak di pulau itu. Semoga keinginan Pak Firdaus untuk
penambahan tenaga pengajar di sekolah itu segera terwujud. Aamiin ….
Gerakan perdana literasi siswa
Terkait dengan “Gerakan Literasi”
sendiri, kehadiran saya yang berprofesi sebagai penulis adalah hal baru buat
sekolah itu. Selama ini belum pernah ada penulis yang khusus didatangkan untuk
memberikan materi dasar tentang penulisan cerita. Betapa tersanjungnya saya
mendengar itu walau diam-diam menyimpan rasa tertantang untuk memberikan yang
terbaik.
Mereka sudah siap mengikuti pelatihan menulis |
Bu Dewi membuka acara |
Setelah
berbincang-bincang mengisi perkenalan dan menjalin keakraban bersama Pak
Firdaus dan Bu Dewi, kami bersama-sama menuju ruang lab komputer. Di sana sudah
menunggu 50 siswa-siswi yang siap menyimak materi motivasi dan pelatihan
menulis dari saya.
Bu Dewi yang bertindak sebagai
pemandu acara langsung menertibkan anak-anak dan membuka kegiatan pelatihan.
Setelah itu, Pak Firdaus menyampaikan sambutan dan menjelaskan latar belakang
digelarnya kegiatan tersebut. Beliau berharap, agar setelah saya memberikan
motivasi dan materi dasar tentang menulis, anak-anak yang ada di ruangan itu semangat
dan tergugah untuk memraktikkan ilmunya.
Pak Firdaus memberika sambutan dan pengarahan |
“Semoga
setelah mendapatkan ilmu dari Bu Wiwiek nanti, kalian menjadi semangat untuk
membuat tulisan dan cerita yang bagus. Kalau ceritanya bagus, kita akan coba
membukukannya menjadi kumpulan cerita,” ujar Pak Firdaus berusaha membakar
semangat anak-anak muridnya.
Mendengar
kata-kata Pak Firdaus, dalam hati saya bertekad akan memberikan yang terbaik
kepada anak-anak yang duduk menyimak dengan mata penuh antusias itu.
Motivasi dan pelatihan menulis berjalan lancar dan
menyenangkan
Selepas Pak Firdaus memberikan
sambutan dan pengarahan, saya segera mengambil alih sesi berikutnya. Salam
perkenalan dan penjelasan profil saya menjadi pembuka keakraban di pagi
menjelang siang itu. Saya menatap beberapa pasang mata di depan saya. Mata itu
penuh dengan rasa ingin tahu. Agar lebih akrab lagi, saya menyebut panggilan
“Bunda” untuk diri saya.
Saya memulai pelatihan |
“Sebelumnya
Bunda ingin tahu, adakah di antara kalian yang pernah dan punya hobi menulis?
Apakah itu cerpen, puisi, atau apa saja?” tanya saya ingin tahu.
Hening
….
Tak
satu pun di antara mereka yang pernah melakukannya. Ini benar-benar tantangan
buat saya dalam menyajikan materi. Saya tidak mau menyerah.
Mereka serius menyimak |
“Atau
adakah yang pernah curhat dan menuliskan curhatnya di buku harian atau diari,
buku tulis atau kertas apa saja?” pancing saya lagi.
Beberapa detik kembali hening.
Tiba-tiba ada yang riuh dan bisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Samar-samar
saya mendengar kalau ia punya buku diari.
“Nah, kamu punya buku diari ya?”
tebak saya langsung ke arahnya.
Anak itu mengangguk. Legalah sedikit
hati saya. Dari sana, saya pun melanjutkan materi berisi motivasi tentang
menulis. Saya berikan beberapa quote
dari orang-orang terkenal yang mencintai dunia literasi. Seperti Ali bin Abi
Thalib, J.K. Rowling, Helvy Tiana Rosa, dan quote
dari saya sendiri yang memancing senyum dan tawa kecil mereka.
“Nah, kalau yang paling bawah itu, quote dari penulis cantik yang berdiri
di depan kalian ini,” ujar saya membuat mereka tertawa.
Semua cerita berawal dari ide |
Sering sekali bakat menjadi alasan
untuk enggan memulai niat menjadi penulis. Termasuk anak-anak yang tak pernah
mendapat asupan semangat di dunia tulis-menulis seperti mereka. Saya tidak mau
anggapan itu menjadi penghalang bagi mereka. Hanya 1% bakat yang diperlukan
untuk keterampilan menulis cerita, sisanya adalah kesungguhan berlatih secara
terus-menerus. Saya berusaha meyakinkan mereka untuk itu.
Nadia mencoba membuat opening cerita |
Selanjutnya, saya meminta mereka
untuk meyakinkan diri masing-masing tentang tujuan mereka menulis, menetapkan
jadwal rutin menulis, mencoba memberi reward
dan punishment terhadap jadwal yang
sudah ditetapkan, dan berusaha tekun serta disiplin untuk melakukannya. Setelah
itu, saya lanjutkan memberikan materi inti tentang teknik menulis. Mulai dari
mengemas ide, membuat judul yang menarik perhatian calon pembaca, menentukan
karakter tokoh dan konflik cerita, mempercantik alur dan membuat dialog-dialog
yang efisien (tidak bertele-tele), hingga pentingnya melakukan self editing terhadap tulisan sendiri
sebelum mengirimkan karya ke media atau mengikutkan tulisan tersebut untuk
lomba.
Di sela-sela sajian slide materi, saya menanyangkan dua
ilustrasi. Saya mencoba meminta mereka memancing ide dengan membuat konflik
cerita dengan bantuan ilustrasi tersebut. Beberapa saat tidak ada yang berani
mencobanya. Saya tidak putus asa dan terus menyemangati. Akhirnya satu murid
bernama Nanda memberanikan mencoba.
Membuat konflik dengan bantuan ilustrasi |
“Adel melihat isi dompetnya.
Ternyata dompet itu kosong dan samasekali tidak ada sisa uang jajan di
dalamnya. Adel sedih karena obsesinya untuk membeli novel Geranium Blossom
belum tercapai,” ujar Nanda membuat saya senang sebab ia mampu membuat konflik
cerita dengan lumayan baik.
Nanda mencoba membuat konflik cerita |
Pelatihan menulis terhenti sekitar
setengah jam untuk melaksanakan sholat Zuhur dan makan siang. Jam satu tepat
acara dimulai lagi untuk memasuki sesi praktik membuat cerita. Saya meminta
anak-anak itu untuk mengerahkan semua kemapuannya dalam memilih dan menuliskan
cerita dengan memraktikkan materi yang sudah saya berikan. Alhamdulillah, dari
50 cerita yang terkumpul, terpilihlah 3 cerita terbaik yang ditulis oleh Nava
Rinta Aresa, Virdatun Nabila, Laiylatul Kodria.
Sesi praktik menulis cerita |
Siswa laki-laki tak kalah semangat dengan yang perempuan |
Sopian akhirnya berani memulai tulisannya |
Tiga penulis cerita terbaik di sesi praktik |
Acara pelatihan diakhiri dengan foto
bersama. Namun sebelum mengakhiri catatan ini, saya sangat terkesan dengan
salah satu siswa bernama Sopian. Saat saya meminta mereka menetapkan jadwal
menulis, Sopian sempat berkomentar lantang, “Nggak punya waktu, Bun!” Maka pada
saat praktik, saya mencoba mendekati Sopian dan menyemangatinya. “Kamu nggak
perlu mencari ide jauh-jauh. Kamu bisa menceritakan pengalamanmu selama tinggal
di pulau ini,” ujar saya setelah mendapat informasi dari Pak Firdaus bahwa Sopian
sehari-hari membantu orangtuanya yang berprofesi sebagai nelayan. Itu sebabnya
Sopian lantang mengatakan kalau ia tak punya waktu untuk menulis. Di luar jam
sekolah, Sopian harus membantu ayahnya mencari ikan di laut.
Foto dengan sebagian peserta pelatihan (yang lain sudah pulang) |
Setelah meyakinkan Sopian, akhirnya
ia paham. “Boleh ya Bunda saya cerita tentang pengalaman sebagai nelayan?”
tanya Sopian mulai semangat. Saya yakinkan lagi bahwa menuliskan cerita dari
pengalaman sendiri itu, jauh lebih mudah dan hasilnya Insya Allah lebih
berkesan. Sopian pun semangat menuliskan ceritanya yang berjudul “Kerja keras
Membantu Orangtua”. Walaupun cerita itu
tidak terpilih sebagai cerita terbaik, Sopian telah berhasil mengalahkan ketidakpercayaan
dirinya.
Inilah catatan panjang saya tentang
momen berbagi motivasi, pengalaman, dan materi dasar untuk menulis cerita untuk
siswa-siswi SMA Negeri 69 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Jakarta. Tepat
pukul 15.00 WIB, saya dan Ratna harus meninggalkan pulau itu untuk kembali ke pantai
Marina Ancol lalu pulang ke rumah.
Semoga
apa yang sudah saya bagi mampu menumbuhkan semangat dan kesonsistenan mereka
untuk terus rajin membaca dan menulis kisah-kisah indah ke depannya nanti.
Semoga suatu hari hari nanti muncul pula penulis keren dari sekolah itu.
Aamiin.
Insya Allah, saya akan mendapatkan
kesempatan untuk kembali lagi ke sekolah yang sudah meninggalkan kesan
menyenangkan itu. Semoga …. [Wylvera W.]