Dimuat di Majalah Bobo, 27 Desember 2012 |
Aku kesal sama Mama dan Papa. Liburan ke
Frankfurt hanya dihabiskan dengan menonton satu opera ke opera lainnya. Enggak
ada manfaatnya buatku. Sebelum berangkat seminggu yang lalu, aku sudah sesumbar
menceritakan ke teman sekelas, kalau liburanku kali ini akan sangat
menyenangkan. Mama dan Papa
sudah menghabiskan waktuku dengan memaksaku menonton opera yang tak kumengerti
samasekali.
“Enggak
ada tempat lain yang lebih menarik dari ini ya, Ma?” tanyaku tak kuat lagi
menahan kecewa.
“Memangnya
kamu mau kemana?” tanya Mama
tanpa merasa bersalah.
“Ke
tempat-tempat yang banyak dikunjungi anak-anak dong, Ma. Taman mungkin,”
jawabku kesal.
“Di
luar salju mulai turun, kalau ke taman, kamu bisa tertutup salju nanti,” canda Mama tak lucu bagiku.
“Atau
ke museum juga lebih asyik, dari pada menonton pertunjukan yang aku tak
mengerti sama sekali,” protesku semakin meluapkan rasa kesal.
“Lo..kisah
operanya kan buat anak-anak. Mengapa kamu enggak mengerti?” tanya Mama masih tak mau mengalah.
“Iya,
tapi ceritanya aku enggak suka. Kaku dan sangat diatur. Enggak alami,” kataku
lagi membuat Mama
terdiam.
Melihat
Mama terdiam, aku jadi
merasa bersalah juga. Aku mulai sadar kalau Mama
dan Papa mengajakku menonton
opera bukan tanpa alasan. Mungkin saja mereka ingin memperkenalkanku dengan
kisah-kisah bersejarah yang dialami anak-anak di Jerman. Tapi, aku terlanjur
tidak tertarik.
Pertunjukan
baru saja selesai. Kami beriring-iringan ke luar dari gedung.
Begitu sampai di depan gedung opera, aku tertegun melihat seorang laki-laki tua
duduk di tas kedua kakinya yang ditekuk. Laki-laki tua itu hanya melapisi
badannya dengan jaket usang yang tak terlalu tebal. Butiran-butiran salju mulai
menempel di jaket dan topinya. Melihatnya duduk sambil memegang cangkir kaleng
yang hampir seluruh permukaannya berkarat, aku pastikan laki-laki tua ini
adalah pengemis. Aku pikir, hanya di Jakarta saja ada pengemis seperti ini.
“Mau
kemana Key?” tanya Mama
nyaris menarik ujung lengan coatku.
“Sebentar,
Ma. Keysa mau mengisi kaleng pengemis itu,” jawabku sambil terus menghampiri
laki-laki tua itu.
“Hati-hati,
Key!” seru Mama.
Sebelum
memasukkan uang recehan ke dalam kaleng pengemis itu, aku sempatkan
memperhatikan wajahnya . Laki-laki tua ini bukan orang Jerman. Dari raut wajah,
bentuk hidung dan matanya, aku yakin dia bukan penduduk asli. Wajahnya Arab sekali. Aku ingin menyapa, tapi
bingung mau memulainya dengan pertanyaan apa. Akhirnya aku hanya memasukkan
uang ke dalam kaleng yang dipegangnya.
“Teşekkür ederim,” katanya dengan suara berat. Aku terperanjat dan tak
mengerti apa maksudnya.
“Itu bahasa Turki,” ujar Papa yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.
“Danke,”
ujarnya lagi seperti menyadari kalau aku tak mengerti dengan bahasanya.
“You
are welcome,” jawabku dalam Bahasa Inggris. Dia mengangkat sedikit wajahnya
dan tersenyum padaku.
Hari masih siang, karena pertunjukan
opera selesai sekitar pukul 12 siang waktu Frankfurt. Papa dan Mama belum ingin kembali ke hotel. Kami memutuskan untuk
makan siang di salah satu restoran sederhana yang tak terlalu mahal harga
menunya. Kalau saja salju belum turun, kami lebih memilih menikmati jajanan di
pinggir-pinggir jalan dan menikmatinya
sambil duduk di kursi taman. Tiba-tiba, ingatanku kembali kepada pengemis tadi.
“Kasihan pengemis tadi ya, Pa,”
ujarku membuka obrolan di tengah jam makan siang.
“Iya, di sini banyak juga
pengemis-pengemis seperti itu. Mereka tersebar di beberapa tempat,” kata Papa menjelaskan.
“Seperti di Jakarta saja ya?”
komentarku.
“Iya, bedanya mereka enggak mengerti
Bahasa Indonesia,” sela Papa
bercanda.
Kami
beranjak ke emperan pertokoan, karena hujan salju mulai deras. Permukaan taman
dan jalan-jalan mulai memutih. Cantik sekali. Suasana seperti ini yang selalu
membuatku rindu untuk kembali menetap di Swiss, tempat Papa sebelumnya
ditugaskan. Tapi, masa dinas papaku sudah berakhir dan kami harus kembali ke
Jakarta setahun lalu.
“Kalau
setiap tahun kita liburannya ke Eropa begini, duit Papa bisa habis dong ya?”
tanyaku tiba-tiba kasihan melihat Papa.
“Ya,
enggak setiap tahun dong ah. Pemborosan itu namanya,” sela mama mengucek
rambutku. Aku ikut tertawa sambil menggelayut manja di lengan Papa.
“Key..ada
tiga tiket lagi yang harus kita pakai malam ini,” ujar Mama seperti takut-takut.
“Haaah?!
Opera lagi?” tanyaku terperanjat.
“Iya,
sayang tiketnya sudah terlanjur dibeli,” kata Mama lagi memaksaku untuk mengalah.
Akhirnya
kami kembali ke gedung opera tadi. Kupaksakan hatiku supaya bisa menikmati
pertunjukan. Tak berapa lama pertunjukan pun dimulai. Judul pertunjukannya agak
aneh buatku. “PRETENDING,” yang artinya berpura-pura. Seperti judul lagu Glee
yang biasa kudengar di youtube.
Satu
persatu pemain muncul. Mereka mempertontonkan kehidupan para pengungsi dan
korban Perang Dunia ke-2,
yang pernah kubaca di buku koleksi Papa.
Tiba-tiba aku terperanjat.
“Lihat!
Itu pengemis dari Turki tadi!” seruku tak sadar. Di remang-remang barisan para
penonton, rasanya beberapa kepala menoleh ke arahku.
“Sssst...jangan
berisik, Keysa,” bisik Mama
dan Papa serentak
mengingatkan aku. Terpaksa aku terdiam menunggu akhir dari pertunjukan itu. Aku
mulai gelisah ketika melihat akting pengemis tua yang tadi siang sempat aku
hampiri di depan gedung ini. Laki-laki Turki itu sudah membohongiku dengan penampilannya
yang berpura-pura menjadi pengemis.
Pertunjukan
opera hampir berakhir. Para pemain berdiri berjajar menghadap penonton.
Pengemis tua itu tiba-tiba maju sedikit ke depan menuju mikropon dan memberi
ucapan terimakasih kepada seluruh penonton. Kalimat terakhirnya membuatku
tersentak.
“Dan,
terima kasih
pula kepada gadis kecil yang siang tadi telah membagi sebagian uang recehnya di
kaleng saya. Semoga gadis kecil yang manis itu memaafkan saya karena telah
berpura-pura menjadi pengemis di depan gedung opera ini!” ujarnya sambil terus
memperhatikan seluruh wajah penonton. Aku tak tahan dan langsung berdiri serta
mengangkat sebelah tanganku.
“Aku
di sini, Pak tua!” teriakku dari barisan kedua bangku penonton. Laki-laki turki
yang sudah menyamar menjadi pengemis itu melambaikan tangannya dan memintaku
naik ke atas panggung. Pertunjukan opera dengan judul “PRETENDING” kali ini
menjadi cerita berkesan yang bisa kubagi ke teman-temanku di Jakarta.
“Danke! Ma, Pa, sudah
memaksaku menonton opera ini,” kataku berbisik sambil tersenyum ke Mama dan papaku. [Wylvera W.]