Selasa, 23 Februari 2016

[Majalah Bobo] Rahasia Kotak Kayu Jati




Cerita saya “Rahasia Kotak Kayu Jati” dimuat di Majalah Bobo nomor 46, 18 Februari 2016. Bagaimana perasaan saya? Senang banget dong. Sudah sekian lama saya tak pernah lagi mengirim naskah ke Bobo. Suatu hari saya ikut di kelas Kurcaci Pos yang digawangi oleh Bambang Irwanto. Bagi pencinta Majalah Bobo, pastilah kenal dengan beliau. Dari sana, saya jadi bersemangat lagi mengirimkan beberapa naskah. Akhirnya, salah satu dari naskah itu dimuat juga. 
Sebenarnya, ini adalah cerita saya yang ketiga yang pernah dimuat di Majalah Bobo. Satu diantaranya merupakan cerita dari hasil menang lomba yang pernah diselenggarakan Bobo untuk para guru. Cerita lengkapnya silakan baca di SINI dan di SINI.


“Hoaaam ....” Dantis menguap sambil melihat jam dinding di kamarnya.
Baru jam enam pagi. Padahal setiap hari Minggu, Dantis selalu bangun lebih siang. Semalam Dantis tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus teringat pada kotak kayu seukuran kotak sepatu.
Tanpa sengaja, Dantis sempat melihat kotak kayu itu di atas meja kerja Mama. Ia membawanya ke kamar. Dantis meletakkan kotak kayu jati itu di atas tempat tidurnya. Ia ingin membukanya setelah selesai mandi. Setelah Dantis keluar dari kamar mandi, kotak itu sudah tidak ada.
            Kira-kira apa ya isi kotak itu? gumam Dantis untuk kesekian kalinya.
            “Dantis!” suara Mama mengejutkan Dantis.
Dantis melompat dari tempat tidurnya. Dengan sigap ia merapikan tempat tidur dan kamarnya. Dantis tidak mau Mama memergoki kamarnya yang berantakan.
Di liburan panjang ini, Mama dan Papa memutuskan untuk tidak pergi kemanapun. Dantis sebenarnya sedih. Setiap kali liburan sekolah, orangtuanya tidak pernah mengajaknya ke rumah Nenek dan Kakek dari Mama. Setiap kali pula Dantis ingin bertanya, Mama selalu lebih dulu memberi alasan. Dantis tidak berani memaksa.
“Dantiiis...!” suara Mama terdengar lagi.
“Iya, Ma!” sahut Dantis terburu-buru membuka pintu kamarnya.
            “Kamu sarapan dulu. Setelah itu temani Mama ya,” ujar Mama.
            “Mau ke mana, Ma?” tanya Dantis bingung. 
“Sudah, ikut saja,” jawab Mama.  
Dantis terdiam. Matanya tertuju pada kotak yang terbuat dari kayu jati yang dipegang Mama. Sejak semalam, kotak kayu jati itu sudah memenuhi pikiran Dantis. Rasa penasaran Dantis semakin besar. Ia buru-buru menghabiskan sisa sandwich di tangannya. Dantis ingin tahu ke mana Mama akan mengajaknya bersama kotak kayu jati itu.
“Kalau sudah selesai sarapan, kita berangkat sekarang,” ajak Mama sambil melangkah menuju pintu depan. Dantis mengikutinya.
Akhirnya Dantis dan Mama sudah ada di dalam mobil. Mama menghidupkan mesin mobilnya dan perlahan membawa mobil itu melaju.  Dantis merasakan keheningan di dalam mobil. Mama hanya menyetir sambil menatap lurus ke jalan. Sementara Dantis sesekali melirik ke arah Mama dan kotak kayu di jok belakang. Dantis ingin mengajak Mama mengobrol tapi ia ragu. Sejak pagi tadi Mama seolah menyimpan sesuatu.
            Setelah setengah jam di perjalanan, Dantis akhirnya bisa bernapas lega. Mobil Mama sudah sempurna terparkir di halaman sebuah rumah. Di halaman depan itu berdiri papan yang bertuliskan “PANTI ASUHAN MELATI”.
            Dantis semakin penasaran. Ia mengikuti langkah Mama. Belum sempat Mama memberi salam, Dantis terkejut saat melihat Miss Prita menyambut mereka.
            “Mari masuk. Ini kunjungan pertamamu ke panti kami ya, Dantis?” ujar Miss Prita semakin membuat Dantis sulit bicara.
            Miss Prita sudah menjadi guru les bahasa Inggris Dantis sejak setengah tahun lalu. Selama itu Dantis tidak pernah mendengar kalau Miss Prita punya panti asuhan. Mama dan Papa juga tidak pernah bercerita tentang Miss Prita.
            Miss Prita mengajak Dantis dan Mama masuk. Dantis sempat melihat Mama meletakkan kotak kayu jati yang dibawanya di atas meja.
            “Kotak itu ...,”  gumam Dantis spontan.
            Miss Prita membuka kotak kayu jati itu. Mata Dantis terbelalak melihat isinya.
            “Dantis, Miss. Prita ini adalah sahabat masa kecil Mama. Kami sama-sama dititipkan di sebuah panti asuhan. Kami tidak pernah mengenal siapa orangtua kami,” kata Mama dengan mata berkaca-kaca. Dantis terdiam.
Mama akhirnya bercerita kalau panti asuhan mereka dulu pernah terbakar. Karena peristiwa itu, Mama dan Miss. Prita pun terpisah. Mereka dibawa oleh orangtua asuhnya masing-masing ke kota yang berbeda.
            “Tuhan akhirnya mempertemukan kita kembali di sini. Sejak punya anak, saya memutuskan untuk berhenti ngantor. Uang yang saya kumpulkan saya gunakan untuk mendirikan panti asuhan ini,” tambah Miss. Prita melanjutkan cerita Mama.
            “Waktu kamu cerita tentang Miss Prita, guru lesmu, Mama sudah menebak-nebak dalam hati. Ciri dan karakternya sama dengan sahabat masa kecil Mama. Makanya Mama ingin sekali membuka kotak kayu jati ini. Lalu diam-diam Mama pergi ke tempat lesmu dan akhirnya bertemu Tante Prita,” lanjut Mama seraya menarik napas.
            Dantis memandangi Mama dan Miss Prita bergantian. Rasa penasarannya sejak semalam satu per satu mulai terjawab.
            “Maafkan Mama ya,” ujar Mama tiba-tiba memelankan suaranya.
            “Mengapa harus minta maaf, Ma? Aku tidak malu kalau akhirnya tahu bahwa Mamaku adalah anak panti asuhan. Selama ini aku hanya heran dan sedih saja. Sekarang aku jadi tahu, mengapa Mama selalu memberikan alasan kalau aku mengajak ke rumah Nenek dari Mama,” ujar Dantis membuat Mama segera memeluknya. Miss. Prita menghela napas lega.
Dantis tersenyum memandangi kotak kayu jati itu. Isinya ternyata foto-foto kenangan serta catatan-catatan masa kecil Mama dan Miss Prita. [Wylvera W.]


Note: Mau ikut mengirim cerita ke Majalah Bobo, silakan mampir dan lihat syaratnya di SINI ya.

Minggu, 07 Februari 2016

Berbagi Kisah dari Kawasan Sampah

Beginilah kondisi lingkungan yang tak jauh dari sekolah Al Falah
Tidak ada manusia yang ingin dilahirkan menjadi miskin. Sejatinya, semua pasti menginginkan kehidupan yang cukup dan layak. Namun, kita tidak bisa menghindar dari ketentuan yang sudah digariskan Allah. Setiap manusia memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan anak-anak yang senantiasa saya temui di PKBM Al Falah Bantar Gebang.
Hampir semua murid-murid di Al Falah itu lahir dan tumbuh di lingkungan yang mungkin bagi kita sangat tidak nyaman. Mereka hidup dari hasil memulung sampah yang menjadi mata pencaharian orangtuanya. Bahkan mereka pun ikut membantu orangtuanya mencari nafkah dari sampah-sampah itu.

Memilih untuk bersekolah
Awalnya sekolah adalah bentuk pengekangan bagi mereka. Lewat sebuah proses yang cukup panjang, akhirnya mereka menyadari bahwa sekolah adalah kebutuhan dasar selain memulung. Dari kesadaran itulah mereka memilih untuk menggali dan menimba ilmu di sekolah PKBM Al Falah Bantar Gebang. 

Dulu sekolah itu masih seperti ini (foto: Al Falah)
Sekolah itu dirintis dan dibangun di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang hingga menjadi seperti sekarang ini. Aroma busuk yang dibawa angin sepoi-sepoi selalu menjadi warna dari sekolah itu. Di sanalah mereka berkumpul, belajar, bereksperimen, menggali potensi kreatif, berkarya, serta menimba ilmu agama sebagai kompas hidup mereka menuju jannah-Nya. 


Berkat perjuangan keras pendirinya akhirnya berproses seperti ini (foto: Al Falah)
Al Falah saat ini, namun aroma sampah tetap jadi sahabat mereka (dokpri)
Saya hanya bagian terkecil dari sekolah itu. Atau bahkan bukan siapa-siapa. Keterlibatan saya di sana pun tidak bermula dari saat sekolah itu masih berdinding tepas dan sisa-sisa tripleks bekas. Saya datang dan mengenal sekolah itu setelah menjadi bangunan yang permanen seperti sekarang ini. Namun, sekecil apa pun yang bisa saya lakukan untuk sebagian kecil murid di sana, saya berharap Allah meridhoinya.

Kelas Ektrakurikuler Menulis yang Sederhana
            Sejak pertama kali mengenal pendiri PKBM Al Falah Bantar Gebang, pikiran saya langsung tertuju pada dua kata, yaitu “Kelas Menulis”. Alhamdulillah, ternyata Allah terus meluaskan jalan menuju kedua kata itu. Hingga saat ini, saya merasa telah resmi menjadi guru pembimbing kelas menulis di sana. Bahkan saya nekat mengukuhkan sendiri bahwa kehadiran saya di setiap hari Jum’at di sana adalah untuk mengisi “Kelas Ekstrakurikuler Menulis”.

Suasana di kelas Ekskul Menulis (dokpri)
            Tidak mudah menjalani dan mewujudkan obsesi saya ini. Saya sadar sekali itu. Keterbatasan murid-murid yang saya bimbing tentu menjadi tantangan. Mereka memulai masa pendidikannya dengan proses panjang dan tidak seperti murid-murid di sekolah reguler lainnya. Untuk bisa membaca dan menulis dengan lancar pun mereka butuh proses serta perjuangan yang panjang dan lumayan berat. Tiba-tiba saya hadir menyuguhkan hal baru kepada mereka. Kagok, bingung, bengong, susah nyambung, dan ekspresi lainnya yang masih terlihat di sikap mereka, sangat saya rasakan. 
Lihatlah betapa antusiasnya mereka walau hanya menulis di buku tulis (dokpri)
            Saya belum menyerah, dan semoga tidak mudah kalah pada kondisi itu. Tekat saya yang ingin membuat mereka bisa menulis cerita pendek masih menggebu-gebu hingga hari ini. Insya Allah, keyakinan saya bahwa mereka bisa mengikuti proses yang saya suguhkan menjadi modal kuat. Semoga semesta juga mengaminkannya.
            “Bagaimana progressnya, Bu?”
            Pertanyaan dari Kepala Sekolah kemarin mengejutkan saya. Walaupun sebenarnya saya tahu bahwa pertanyaan itu suatu hari akan diajukan. Kalau anak-anak di sekolah berkecukupan mungkin akan berhasil membuat 1 cerita pendek dalam 4 kali pertemuan. Murid-murid ekskul menulis bimbingan saya baru mampu membuat cerita satu halaman dengan alur yang belum bisa disebut bagus. Namun, dari judul dan ide yang belum mampu terurai dengan baik itu, saya berani menyimpulkan bahwa mereka mulai memahami materi yang saya sampaikan.

Menulis dari apa yang pernah dirasakan
            Saya sudah memberikan materi dasar tentang menulis di empat kali pertemuan kelas ekskul menulis itu. Setiap hari, saya selalu mencoba mengaplikasikannya dalam bentuk praktik. Mulai dari memilih ide dan meminta mereka menguraikannya secara singkat dalam satu paragraf, memilih dan mencoba menentukan karakter tokoh dari beberapa gambar yang saya sajikan, serta membuat cerita singkat tentang tokoh, karakter yang sudah mereka pilih dan tentukan. Walau belum menjadi cerita utuh, semua berjalan dengan baik. Hanya satu dua orang yang masih bingung dan belum menyelesaikan tugasnya dengan tuntas.

Untung ada tempat buat duduk ya ^_^ (dokpri)
           Di pertemuan ke-4, Jum’at (5 Februari 2016) kemarin, saya mencoba mengajak mereka keluar kelas. Saya memilih sebuah tempat yang bisa membuat mereka lebih mudah menemukan ide untuk dituangkan dalam ceritanya kelak. Menulis dari apa yang pernah dirasakan dan dialami tentu akan lebih memudahkan. Itulah ide awal saya mengajak mereka melakukan pengamatan di sekitar lokasi pembuangan sampah. 
Memilih posisi masing-masing 
Sambil memandang lalu menuliskannya

Tidak sepenuhnya niat saya klop dengan keinginan mereka. Salah satu dari mereka justru terlihat kesulitan. Sikapnya gelisah. Kalau teman-temannya sibuk dan semangat mencatat semua yang mereka lihat dan rasakan di sekitar tempat kami berkumpul, murid saya yang satu itu justru membiarkan halaman buku tugasnya kosong.
           “Kamu kenapa? Kok belum menulis?” tanya saya pura-pura tidak peka pada sikapnya.
            “Saya bingung mau nulis apaan, Bu,” jawabnya pelan sekali.
            “Sini, dekat sama Ibu. Biar Ibu bantu menunjukkan objek mana saja yang bisa kamu tuliskan di situ,” bujuk saya mendekatinya.
            “Saya sudah sering liat tempat ini, kan saya tinggal di sini,” balasnya lagi masih bertahan tidak mau menulis hasil pengamatannya.
          “Justru itu, seharusnya kamu semakin mudah dong menuliskannya. Kok malah bingung?” bujuk saya lagi mulai berusaha keras menahan haru.
            “Bingung aja. Males aja nulisnya. Kan udah tau,” jawabnya semakin membuat saya tertantang.
Apa ya yang mereka lihat di bawah sana?
            Akhirnya saya duduk di dekatnya. Saya menunjuk gunungan sampah yang saat itu sedang dikeruk oleh sebuah mesin besar. Saya pancing dia dengan komentar, “Sampai menggunung begitu ya sampahnya. Ibu kok pengin ya naik ke gunung sampah itu.”
         “Jangan, Bu! Bahaya itu. Bisa tenggelam Ibu di situ. Ibu ada-ada aja. Seram saya,” selanya tiba-tiba.
            “Naaah, itu dia. Sekarang Ibu tanya deh. Apa yang bisa kamu tulis dari obrolan kita barusan?” tanya saya kembali memancingnya.
            “Oooh, iya ... iya ... oke, Bu. Saya ngerti. Yaudah, tungguin ya, Bu. Waktunya masih lama, ‘kan?” balasnya tiba-tiba semangat.
    Saya tersenyum. Apa sih yang membuatnya tiba-tiba bilang ngerti? Silakan pembaca yang menyimpulkannya ya. *maaf, gak ada hadiahnya sih buat yang bisa menjawab:p*

Senang melihat mereka semangat
            Begitulah, saya bersyukur karena sejauh ini, dari hari ke hari mereka masih menunjukkan semangatnya. Dan, saya masih butuh waktu lebih lama agar mereka bisa menghasilkan satu cerita pendek yang enak dibaca dan layak dibukukan. Saya juga yakin kalau murid-murid ekskul menulis di Al Falah butuh praktik yang lebih beragam lagi. Semua itu bertujuan untuk membantu kreativitas dan imajinasi mereka. Semoga saya dan mereka selalu klik di pertemuan-pertemuan berikutnya. Aamiin. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...