Senin, 28 Oktober 2013

Jelang Konser Harmoni Nusantara



       Salah satu fungsi musik adalah sebagai alat media komunikasi. Sementara untuk anak, musik bisa membantu mencerdaskannya. Sejak kecil, orangtua saya sudah mengakrabkan kami dengan musik. Maka, ketika saya menjadi Ibu, kebiasaan itu rasanya sulit untuk dihilangkan. Sebagai orangtua dari Yasmin Amira Hanan dan Darryl Khalid Aulia, saya seolah mengulang kebiasaan lama dalam versi berbeda tentang pendekatan dengan musik ini. Bagaimana agar kedua anak saya tetap akrab dengan musik? Tentu jawabnya, saya selalu mencari momen agar mereka bisa bersentuhan dengannya. Salah satunya mencarikan sekolah musik yang pas buat mereka.

Di sini lah anak-anakku belajar bermusik.
            Dimanakah itu? Saya memilih sekolah musik StudioLima untuk anak-anak saya. Sekolah musik StudioLima adalah lembaga pendidikan non formal yang memberi pengajaran tentang musik klasik dan non klasik. Sekolah musik yang berlokasi di Kemang Pratama, Bekasi ini berdiri sejak tahun 1996. Sementara saya sendiri baru mengenal sekolah musik ini di tahun 2009. Saat itu saya dan keluarga baru kembali dari Amerika dan mulai menata ulang untuk kelanjutan pendidikan anak-anak saya.
Mengenang sekilas tentang mulanya kedua anak saya bergabung di sekolah musik ini adalah sebuah kenangan yang unik dan sedikit lucu (menurut saya). Saat itu, saya sedang menunggu antrian pembayaran pajak di kantor pajak Bekasi.  Tanpa diduga saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang memperkenalkan dirinya sebagai Ayank. Cerita pun bergulir. Mulai dari masalah pajak sampai ke anak-anak. Akhirnya saya tahu kalau Mbak Ayank berkecimpung di sebuah sekolah musik bernama StudioLima.
Saya pun akhirnya bercerita tentang kecintaan anak perempuan saya (Yasmin Amira Hanan) kepada musik. Saya juga sempat bercerita tentang pengalaman Mira ketika mengikuti konser di Urbana Illinois, Amerika. Seperti ketemu jodoh buat anak saya, akhirnya saya memutuskan untuk memasukkan Mira ke sekolah musik yang dikelola oleh Mbak Ayank dan kawan-kawan itu. Dan, selang beberapa bulan kemudian, Khalid pun menyusul. Mira memilih biola (sempat berhenti setahun karena kesibukan sekolah), sementara Khalid di gitar.
Begitulah, setelah sekian tahun kursus di sekolah musik StudioLima, kedua anak saya akhirnya diberi kesempatan untuk ikut mengisi konser besar yang akan digelar pada tanggal 10 November 2013 di Auditorium Sekolah Tiara Bangsa, Jakarta.  Awalnya Mira menjadi pemain tamu (undangan) di acara ini. Namun karena kecintaannya terhadap musik, Mira memutuskan untuk melanjutkan kembali kursus biolanya di sekolah musik itu. Dan konser besar ini akan menjadi pengalaman berharga buat mereka, terutama buat Khalid yang baru pertama kali mengikuti konser besar seperti itu.


Konser musik yang akan ditampilkan diberi tajuk “Harmoni Nusantara”. Konser ini ingin mengangkat ciri Indonesia (nuansa nusantara), terutama dalam bahasa seni dan melodinya. Konser besar ini juga akan mempersembahkan penampilan instrumen gabungan, piano empat tangan, piano delapan tangan, ensambel gitar, ensambel perkusi, permainan orkestra, tari, vokal, kelompok drum dan paduan suara. Acara ini didukung oleh pemain dari siswa-siswa terpilih StudioLima.
Menurut Ayank, konser besar kali ini akan menampilkan nuansa berbeda dari konser musik yang sebelumnya pernah digelar oleh StudioLima. Konser Harmoni Nusantara ini bertujuan untuk memupuk semangat kebangsaan dan mencintai lagu-lagu daerah serta memberikan pengalaman yang sangat eksperimental dan memperkaya wawasan kenasionalan, tidak hanya bagi pemain tetapi juga bagi penontonnya kelak.

Latihan menjelang konser.
            Sebagai salah satu pencinta seni musik dan suara, saya tak mau melewatkan kesempatan untuk selalu setia mengantar dan mendampingi kedua anak saya untuk latihan bermusik. Demikian juga dalam rangka jelang konser ini. Setiap kali Mira dan Khalid latihan dalam mempersiapkan konser besar tersebut, saya selalu menjadi “penonton sejati”. 
 
Briefing sebelum latihan
            Ada rasa bangga sekaligus pengalaman baru yang saya rasakan. Sebagai orangtua, siapa yang tidak bangga jika kedua anaknya akan tampil di sebuah perhelatan besar di bidang musik yang dibungkus dengan nama “Konser besar”? Ya, saya bangga dan sekaligus bersyukur karena kedua anak saya diberi kepercayaan untuk ikut terlibat di acara itu nanti.
Dari hari ke hari di setiap latihan menjelang hari ‘H’, konser Harmoni Nusantara yang digawangi oleh Theresia Friska Ratihsagita, selaku Art Director ini menjadi catatan buat saya. Dan, dari sanalah hati saya tergerak untuk menuangkan dan membaginya di blog ini. Meskipun tidak semua sesi latihan saya ikuti, tapi setidaknya saya bisa mengikuti jalannya persiapan menjelang konser. 

Orkestra
Tak sabar untuk melihat hasil akhirnya. :)
Karena Mira ikut di orkestra, maka saya hampir tak pernah absen untuk melihat persiapannya. Sambil menonton, sesekali rasa haru dan kagum muncul dan berbaur di hati saya. Apalagi ketika mereka memainkan instrumen lagu “Tanah Airku”, hati saya sempat bergetar. Saya membayangkan nanti, jika lagu ini dikumandangkan dan disaksikan oleh lebih dari seratus penonton, maka akan membuat ruangan senyap dan hening oleh indahnya alunan instrumen yang memainkan syair dari lagu tersebut.

Latihan untuk penampilan Ensambel Gitar










Begitu juga ketika saya mengantarkan Khalid untuk berlatih gitar bersama tujuh rekannya yang lain. Meskipun saya tak selalu bisa melihat di saat Khalid latihan (dia kurang suka difoto, itu alasannya, hehehe), namun setidaknya petikan dari gitar mereka sayup-sayup terdengar sampai ke ruang tunggu. Saya bisa membayangkan betapa semangatnya mereka agar bisa tampil dengan sempurna di konser nanti.
Anak-anak yang akan menari. :)

Permainan alat musik drum
 Sesi latihan yang membuat saya sesekali tersenyum adalah kelas tari karena semua yang menari adalah anak-anak SD yang imut-imut dan lincah. Wayan, selaku koreografer tari begitu sabar dalam membimbing dan menyelaraskan gerakan mereka. Lucu dan menggemaskan!

Semoga sukses!
            Saya kagum pada kinerja StudioLima dalam mengupayakan terselenggaranya acara konser besar ini. Dari mulai persiapan konsep acara, latihan, sampai pemenuhan semua hal yang mendukung suksesnya acara ini mereka lakukan dengan kerja keras yang didasari pada kecintaan terhadap dunia seni (terutama musik). Sebagai salah satu orangtua, tentunya tak ada kata lain yang saya harapkan selain doa sukses untuk acara Konser Harmoni Nusantara ini.
          Well... sukses untuk sekolah musik StudioLima dan semua pendukung konser. Sampai bertemu di tanggal 10 November 2013 nanti! [Wylvera W.]

Note: 
Yang pengen ikutan nonton, bisa pesan tiket masuknya di saya ya.
Harganya 100 ribu rupiah saja. Murah kaaan? *_^

Rabu, 16 Oktober 2013

#TitikBalik Cita-cita itu ....



Foto: Aku sesaat setelah wisuda

Dulu, saya sempat mendapat ejekan dari salah seorang kerabat. Pasalnya, saya pernah umbar tentang cita-cita saya yang ingin menjadi dokter. Beliau menganggap saya “besar pasak dari tiang”. Saya legowo menerima ejekan itu. Saya sadar kalau saya terlahir dari keluarga yang tidak berlebih secara ekonomi. Bahkan untuk menamatkan kuliah S1 saja, saya harus ikut bekerja paruh waktu sebagai penyiar dan reporter kala itu.
Setelah 7 tahun bekerja di radio, 4 tahun di asuransi jiwa, hingga akhirnya saya menikah. Saya memiliki dua orang anak.  Saya tak pernah lagi memikirkan cita-cita. Saya memilih mengabdi kepada keluarga sambil menekuni profesi sebagai penulis, guru jurnalistik, pemimpin redaksi sebuah majalah dan sesekali menjadi pemateri di pelatihan menulis. Saya cukup bangga dan puas dengan profesi itu. Bukan materi lagi yang saya kejar saat ini. Dunia menulis telah memberikan kepuasan lahir batin buat saya.

Foto: Inilah dunia saya sekarang

Saya tak pernah bersentuhan dengan pasien di ruang praktik dokter, tapi saya cukup puas ketika diberi kesempatan berbagi ilmu, khususnya kepada anak-anak yang tidak mampu seperti anak-anak pemulung di sekolah berbau sampah, Bantar Gebang, Bekasi, anak-anak tahanan di Lapas Anak Pria, Tangerang. Dari sana saya terobsesi mewujudkan impian, mengumpulkan karya mereka dalam satu kumpulan cerita, sehingga momen itu benar-benar menjadi pelengkap dari titik balik yang saya rasakan. Aamiin. []

Note: Ini kukisahkan dalam rangak ikut berbagi di event #TitikBalik Manulife.


Selasa, 08 Oktober 2013

Menyiapkan Mental Calon Pemimpin


Saya dan anak-anak beberapa tahun lalu saat di Menado.

       Sejak menjadi seorang Ibu, saya mulai menyadari bahwa pengasuhan anak merupakan peran terpenting. Tanpa kasih sayang dan sentuhan Ibu, seorang anak akan merasakan kepincangan dalam proses pertumbuhannya (terutama mentalnya). Jadi, apa pun kondisinya, seorang Ibu janganlah sekali-kali berkata “lelah” atau “menyerah” dalam proses pengasuhan buah hatinya. Sebab, di tangan ibulah fundamen dasar mental seorang anak bertumbuh. Jika mental Ibu lemah maka bukan tidak mungkin anak akan mudah menyerah menghadapi tantangan hidupnya di masa yang akan datang. Ini yang selalu saya yakini.
            Saya teringat momen lucu dan sekaligus membuat saya berpikir jauh ke depan. Saat itu, saya dan anak-anak sedang makan bersama. Kami berbincang tentang pekerjaan bapak mereka. Lalu, sampailah pada obrolan tentang cita-cita.
            “Adek cita-citanya apa sih?” tanya saya kala itu.
           “Mau jadi presiden atau pemain sepak bola terkenal ya? Masih dipikirin,” jawabnya membuat saya tersenyum.
            “Kalau Kakak?” tanya saya pula ke yang sulung.
         “Jadi dokter presidan atau dokter pemain sepak bola yang terkenal itu saja,” jawabnya membuat saya tak lagi bisa menahan tawa.
            Itulah anak-anak saya. Terkadang obrolan kami membuat saya banyak belajar. Terutama belajar untuk mempersiapkan hari depan mereka.  Sebagai calon pemimpin di masa depan, tentunya saya harus mempersiapkan bekal untuk kedua anak-anak saya (Yasmin Amira Hanan/15 tahun dan Darryl Khalid Aulia/12 tahun).
Selain fisik, pertumbuhan mentalnya perlu saya arahkan agar tetap kuat dan tangguh menghadapi segala aral dan rintangan di kehidupan mereka kelak. Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menjalankan peran sebagai pendamping  pertumbuhan mental anak-anak saya? Tentunya, selain memberikan asupan makanan yang bergizi bagi jasmani mereka, saya juga tak boleh abai dengan asupan yang dibutuhkan oleh rohani mereka. Semua itu bertujuan untuk menopang serta menunjang impian dan cita-cita mereka di masa depan.
Mira dan Khalid saat ini, begitu cepat waktu bergulir.
Dari dua anak yang berjenis kelamin berbeda, lagi-lagi saya jadi banyak belajar. Yang terpenting bagi saya, mereka mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika fundamen itu sudah terbentuk secara kokoh, maka bukan tidak mungkin kelak mereka mampu menjadi pemimpin bagi sekelilingnya. Untuk itu saya harus membekali mereka dengan beberapa hal mendasar, seperti yang telah saya lakukan sejak mereka masih berada dalam kandungan hingga sekarang keduanya tumbuh remaja. Saya berharap bahwa proses untuk memperkuat fisik dan mental mereka ini akan terus berjalan hingga mereka memetik hasilnya kelak.

Pendidikan Agama.
 
Khalid di Summer Madrasah.
Sebagai umat muslim, saya sangat meyakini bahwa pendidikan agama merupakan pondasi utama yang harus saya siapkan untuk kedua  buah hati saya. Karena menjadi pemimpin yang baik tentunya harus memiliki pondasi agama yang kuat. Saya tanamkan pendidikan agama kepada anak-anak saya sejak mereka masih berada di dalam kandungan, seperti memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an, menyimak kajian-kajian agama  yang saya harapkan dapat memberi efek positif pada pertumbuhannya di rahim saya. Setelah mereka lahir dan bertumbuh, saya (dibantu suami) juga mengenalkan mereka kepada Sang Penciptanya. Rasa takut akan dosa  selalu kami tanamkan  agar mereka paham pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Memberikan makanan dengan gizi seimbang.

Ragam menu untuk keluarga racikan saya yang bergantian hadir di meja makan.
           Sejatinya, sebagai seorang Ibu, saya selalu berharap agar makanan yang saya berikan kepada kedua buah hati saya akan memberikan mereka gizi yang cukup dan seimbang. Setiap pagi (sebelum berangkat ke sekolah) saya tak pernah lalai menyediakan sarapan di meja makan. Lauk pauk lengkap tersaji. Ada nasi, sayur, ikan, udang, tempe, tahu, daging sapi, telur atau ayam (ini bergantian saya sajikan). Dilengkapi dengan segelas susu untuk penyempurna sarapan pagi anak-anak saya. Bahkan buah-buahan pun tak pernah lupa saya suguhkan. 
Bekal makan siang di sekolah.
Tetapi, setiap proses tentunya tak selalu mulus seperti keingingan saya. Dalam praktiknya, saya sempat menemukan kegagalan. Putri sulung saya ternyata kurang menyukai asupan sayur dan buah. Dan, saya tidak bisa sedikit keras mengarahkannya untuk mengkonsumsi itu secara rutin. Kondisi ini akhirnya berdampak pada kesehatannya. Dari kegagalan itu saya mau tak mau harus mengubah pola pendekatan. Saya harus pelan-pelan memberikan pengertian bahwa dengan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, kebutuhan serat di tubuhnya akan tercukupi dan penyakit yang sudah terlanjur mampir di tubuhnya diharapkan berangsur-angsur sembuh. Dan, saya bersyukur karena sejak itu pola makannya berubah drastis. Mira semakin menyadari kesalahannya. Dia tak ingin cita-citanya yang tinggi kandas hanya gara-gara tak suka makan sayur dan buah.

Pendidikan formal.
            Ketika anak-anak saya sudah memasuki usia sekolah, saya dan suami memilihkan sekolah berbasis Islam untuk mereka. Enam tahun pertama di masa kanak-kanaknya, kami mengharapkan pola pengajaran yang dekat dengan ajaran agama mereka, bisa tertanam dengan baik. Ketika memasuki jenjang SMP dan SMA, kami lebih membuka pilihan kepada keduanya. Dan, kedua anak saya memilih bersekolah di sekolah negeri dengan mutu sekolah serta pendidikan yang baik pula. Alhamdulillah, Mira sekarang sudah duduk di kelas 10 SMA Negeri 1 Bekasi. Sementara Khalid masih duduk di kelas 8 SMP Negeri 1 Bekasi.
Kiri: Mira (ketika SD) diwawacarai kru tivi di acara Indonesian Science Festival.
Kanan: Khalid (ketika SD) berpidato dalam Bahasa Inggris di depan tamu dari Qatar.
            Sampai saat ini saya sangat bersyukur karena keduanya telah banyak mencetak prestasi, baik di bidang akademis maupun non akademis. Semoga bibit yang saya tanam selalu berbuah manis.

Pendidikan non formal (seni dan olahraga).
            Di samping pendidikan formal, pendidikan non formal juga memegang peranan penting terhadap perkembangan otak anak. Justru itu, sejak kecil saya sudah mengenalkan kepada anak-anak tentang pentingnya seni. Saya juga suka mengikutkan mereka di kegiatan menggambar, menulis, menari, olahraga, bermusik,  serta bernyanyi. Hingga saat ini, keduanya masih terus menekuni dunia musik yang mereka gemari. Mira mengambil kursus biola serta sesekali berlatih vokal dan mencoba menguasai permainan keyboard. Sementara Khalid tekun mendalami seni bermain gitar di tempat kursusnya. Untuk kegiatan olahraga, Khalid bergabung di ekstrakurikuler pencak silat sekolahnya. Mira memilih ikut di tim voli sekolahnya. Untuk kegiatan olahraga, kami juga menyempatkan diri untuk berenang, maksimal sekali dalam seminggu.
Kegiatan Mira dan Khalid di luar jam sekolah
Dari semua kegitan yang berbau pendidikan non formal itu, ada satu hal yang membuat saya senang dan bangga pada mereka. Betapa tidak, profesi saya sebagai penulis buku-buku bacaan anak dan remaja, diikuti dan ditiru oleh kedua anak saya. Keduanya saat ini juga terjun sebagai penulis cilik yang telah menghasilkan beberapa karya dalam bentuk novel, komik dan antologi cerita pendek. Saya terharu, karena keduanya mampu menyatukan kegiatan seni, olahraga, menulis dan akademis dengan senang tanpa terpaksa dalam proses pembelajaran mereka.

Rasa peduli terhadap sesama.
            Saya dan suami suka mengajak kedua anak-anak kami mengunjungi panti asuhan. Ini kami lakukan hampir sebulan sekali. Di sana, saya sengaja meminta mereka berbaur dengan anak-anak panti. Saya berharap, dari sana kelak mereka bisa merasakan bahwa di luar kehidupan nyaman yang telah  kami berikan, ternyata masih banyak anak yang kekurangan sehingga mereka tak pelit untuk berbagi.
Saat berkunjung ke Darmais, Jakarta (RS untuk penderita kanker).
Tidak sampai di situ, saya juga pernah membawa mereka mengunjungi anak-anak penderita kanker di sebuah rumah sakit. Mereka saya ajak ikut berdialog dengan anak-anak itu.  Rasa empati mereka lambat laun  tumbuh dan menjadi tak lupa untuk tetap bersyukur bahwa mereka diberikan kehidupan yang lebih nyaman dari anak-anak seumurnya. Kepedulian ini yang ingin saya tanamkan sebagai bekal untuk kepekaan mereka terhadap sesama.

Budaya malu.
            Sejak kecil, saya juga tak lupa menanamkan tentang budaya malu kepada anak-anak saya. Zaman sekarang banyak orang yang sudah melupakan rasa malu. Karena itu, saya tak ingin anak-anak saya kehilangan rasa malunya agar mereka selalu ingat dan mengerti mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk dilakukan.

Kepercayaan diri dan sikap mandiri.
            Rasa percaya diri dan sikap mandiri sangat diperlukan bagi pertumbuhan seorang anak. Bila anak mandiri, dia akan percaya diri kapan dan dimanapun dia berada. Namun, saya selalu menyadari bahwa kemandirian dan kepercayaan diri pada anak-anak saya tidaklah bisa tumbuh dengan instan. Perlu pendampingan dan proses dari waktu ke waktu. Maka, sejak Mira dan Khalid masih balita, saya tak bosan-bosan menanamkannya.
            Untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada Mira dan Khalid, ada beberapa hal yang selalu saya praktikkan hingga saat ini. Pertama, saya berusaha untuk selalu meluangkan waktu memberikan perhatian pada hal-hal yang mereka ceritakan kepada saya. Saya menempatkan diri sebagai teman mereka, berbagi cerita dan keluh kesah. Kedua, saya tak pernah pelit untuk memuji, memeluk serta perlakuan yang menunjukkan kasih sayang kepada mereka. Namun, di sisi lain, saya juga tak pernah ragu untuk melakukan koreksi jika mereka melakukan kesalahan. Saya yakinkan bahwa saya mengoreksi perbuatan mereka yang salah, bukan diri mereka. Ketiga, saya selalu memberi kebebasan kepada mereka dalam pengambilan keputusan walau berisiko sekalipun. Tujuannya agar mereka terlatih untuk bijak dalam mengambil pilihannya. Keempat, saya tak lupa mencontohkan jika saya salah maka saya akan jujur mengakui di depan mereka. Hingga sekarang kedua anak saya juga terbiasa mengakui kesalahannya dan buru-buru memperbaikinya.
            Untuk kemandirian,  salah satu contoh yang pernah saya lakukan adalah memisahkan kamar tidur mereka sejak kecil. Apalagi karena keduanya berbeda jenis kelamin. Sejak dini saya sudah memperkenalkan kepada kedua anak saya bahwa mereka adalah perempuan dan laki-laki. Saya juga mengatakan bahwa dengan tidur di kamar yang terpisah akan membuat mereka belajar mandiri. Awalnya memang sulit (terutama buat Khalid), tapi lama-kelamaan mereka justru semakin merasa bebas mengeksplorasi kreativitasnya untuk menciptakan kenyamanan di kamar mereka masing-masing. 
Dari beberapa pengalaman ini, saya sudah merasakan efek positifnya. Mira dan Khalid tak pernah khawatir jika mereka ikut acara tur atau kamping di alam terbuka pada kegiatan pramuka sekolahnya. Bahkan Mira pernah diminta sebagai ketua regu di acara tersebut, serta banyak pengalaman lain yang merupakan imbas dari apa yang saya terapkan untuk mereka di rumah.
Sebenarnya masih banyak kebiasan positif lainnya yang pernah saya lakukan sebagai ibu mereka. Meskipun tak selalu mulus dan lancar, namun saya tak pernah patah semangat mengulang-ulangnya.

Menang dan kalah dalam lomba.
            Kalau untuk lomba, kedua anak saya tidak memiliki kegemaran dan keinginan yang sama. Khalid cenderung tak terlalu suka pada perlombaan. Namun, Mira suka memberi contoh kepada adiknya bahwa dengan mengikuti perlombaan, dia menjadi tahu cara mengukur dan mempersiapkan diri. Dari contoh itu, akhirnya Khalid sesekali mau mengikuti lomba, baik itu di bidang akademis maupun non akademis.
Lalu, saya mendampingi pemahaman mereka tentang kata “kalah” dan “menang”. Perlombaan sejatinya memang untuk mencari kemenangan, tetapi sebelum meraih kemenangan, saya meminta anak-anak saya tetap mempersiapkan diri menerima kekalahan. Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan Mira dan Khalid paham pada konsep legowo dan menerima kekalahan itu. Satu hal yang selalu saya tanamkan dalam diri saya sebagai Ibu bahwa saya harus tetap menghargai perjuangan dan usaha anak-anak saya, sekalipun mereka kalah dalam perlombaan.

Mencintai seni dan budaya bangsa.
Mira dan Khalid tampil di acara UN Day sekolahnya (waktu masih di Amerika).
            Saya pernah merasa begitu bangga kepada kedua anak-anak saya. Meskipun kami pernah tinggal di Amerika, namun kecintaan mereka terhadap seni dan budaya bangsanya tak pernah luntur.  Mira selalu ingat pada lagu-lagu nasional yang suka saya lantunkan di rumah. Maka, pada saat berlatih untuk menyanyikannya bersama teman-temannya di sana, Mira tak menemukan kesulitan. Dia gembira melakukannya. Selain itu, Mira sangat bangga mengenakan kebaya nasionalnya. Sementara, Khalid begitu bersemangat dan gembira memakai kemeja batik, hasil seni bangsanya pada perayaan United Nation Day di sekolah mereka waktu itu. Semoga ini menjadi cikal bakal bagi perkembangan jiwa mereka. Dimanapun  nanti mereka berada dan menjadi pemimpin, mereka akan tetap menjunjung tinggi seni dan budaya bangsanya.

       Itulah beberapa hal mendasar yang sejak dini saya tanamkan kepada kedua buah hati saya. Di samping itu, saya dan suami (sebagai orangtua mereka) juga terus belajar menjadi role model yang baik bagi mereka. Sebab, apa pun yang kami (khususnya saya sebagai ibu mereka) dambakan jika kami sendiri tak pandai memberikan contoh yang baik, mustahil anak-anak kami tumbuh menjadi calon pemimpin yang tangguh.[Wylvera W.]





Tulisan ini diikutsertakan di lomba penulisan artikel "Peran Ibu untuk Si Pemimpin Kecil" #LombaBlogNUB


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...