Foto: Aku sesaat setelah wisuda |
Dulu, saya sempat
mendapat ejekan dari salah seorang kerabat. Pasalnya, saya pernah umbar tentang
cita-cita saya yang ingin menjadi dokter. Beliau menganggap saya “besar pasak
dari tiang”. Saya legowo menerima ejekan itu. Saya sadar kalau saya terlahir
dari keluarga yang tidak berlebih secara ekonomi. Bahkan untuk menamatkan
kuliah S1 saja, saya harus ikut bekerja paruh waktu sebagai penyiar dan
reporter kala itu.
Setelah 7 tahun bekerja
di radio, 4 tahun di asuransi jiwa, hingga akhirnya saya menikah. Saya memiliki
dua orang anak. Saya tak pernah lagi memikirkan
cita-cita. Saya memilih mengabdi kepada keluarga sambil menekuni profesi
sebagai penulis, guru jurnalistik, pemimpin redaksi sebuah majalah dan sesekali
menjadi pemateri di pelatihan menulis. Saya cukup bangga dan puas dengan
profesi itu. Bukan materi lagi yang saya kejar saat ini. Dunia menulis telah memberikan
kepuasan lahir batin buat saya.
Foto: Inilah dunia saya sekarang |
Saya tak pernah
bersentuhan dengan pasien di ruang praktik dokter, tapi saya cukup puas ketika
diberi kesempatan berbagi ilmu, khususnya kepada anak-anak yang tidak mampu
seperti anak-anak pemulung di sekolah berbau sampah, Bantar Gebang, Bekasi,
anak-anak tahanan di Lapas Anak Pria, Tangerang. Dari sana saya terobsesi mewujudkan
impian, mengumpulkan karya mereka dalam satu kumpulan cerita, sehingga momen
itu benar-benar menjadi pelengkap dari
titik balik yang saya rasakan. Aamiin. []
Note: Ini kukisahkan dalam rangak ikut berbagi di event #TitikBalik Manulife.
andai aku boleh ikutan kelas menulisnya di thariq mbak :) serius nih hehehe
BalasHapusItu buat anak-anak, Mbak. Kalau bergabung di korlas, boleh usul ke pengurusnya untuk kembali menggelar pelatihan menulis buat POMG. Aku siap berbagi materi. :)
BalasHapus