Selasa, 26 November 2013

Indahnya Berbagi Pengalaman di SMART Ekselensia



               Suatu ketika seorang teman, yang akrab saya panggil dengan Mbak Dwitra, memposting tentang acara bertema “Menjadi Indonesia Lebih Baik” di facebooknya. Acara itu adalah tentang kegiatan berbagi pengalaman, cerita kehidupan, dan pembelajaran hidup kepada adik-adik dhuafa di sekolah SMART Ekselensia, Parung, Bogor. Awalnya saya tidak ngeh, tapi karena nama saya ikut di-tag di kolom komen, maka saya tertarik untuk membaca postingan itu.


            Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti menemukan lahan amal yang baru, hati saya langsung tergerak untuk ikut bergabung. Saya langsung menghubungi Mbak Dwitra lewat inbox facebook untuk menanyakan seperti apa bentuk kegiatan berbagi pengalaman itu. Dari penjelasan beliau akhirnya saya diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman tentang profesi saya sebagai penulis. Ditambah penjelasan dari Ibu Lisa Rosaline (Manajer Pengembangan Bahasa di sekolah itu), rasanya sudah lumayan lengkaplah informasi yang saya terima.
            Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu (Senin, 11 November 2013), sebab hampir tak kuat rasanya menahan rasa penasaran untuk bertemu dengan adik-adik dhuafa yang kabarnya rata-rata memiliki intelegensi yang luar  biasa itu. Sebelumnya saya dan dua rekan lainnya (Siraj El Munir Bustami dan istri beliau, Indira Abidin) yang akan berbagi pengalaman, sudah diberikan susunan acara untuk kelas filantropi itu. Saya kebagian murid-murid kelas 7 SMP yang semuanya laki-laki.
 Sejak pagi saya sudah tak sabar menunggu jemputan dari pihak sekolah SMART Ekeselensia yang dijanjikan. Begitu mobil jemputan tiba di depan rumah, saya langsung dipersilakan naik dan kami pun berangkat menuju sekolah tersebut. Jalanan yang lumayan macet tak membuat saya dan salah seorang guru (Bu Retno) yang menjemput merasa bosan. Selama di perjalanan begitu banyak cerita yang kami bagi. Mulai dari cerita tentang pengalaman saya mengajar di kelas menulis sampai tentang pola pendampingan pendidikan kepada dua anak saya yang saat ini memasuki fase remaja. Obrolan kami yang menghabiskan durasi sekitar satu setengah jam itu akhirnya terhenti ketika mobil tiba di lokasi.
Sebelum masuk ke kelas filantropi, kami diberikan pengenalan sekilas tentang Sekolah SMART Ekeselensia yang sudah berdiri sejak tahun 2004 di Parung, Bogor itu. Sekolah itu adalah sekolah menengah berasrama yang membebaskan biaya pada murid-muridnya (anak-anak dhuafa berprestasi dari seluruh Indonesia). Sekolah itu juga menerapkan sistim akseleratif (5 tahun untuk jenjang SMP – SMA).
Mata saya tak bisa lepas dari tayangan tentang prestasi yang sudah diraih oleh murid-murid dhuafa di sekolah itu. Ragam prestasi telah mereka raih salah satunya seperti medali emas pada Olimpiade Sains Nasional ke IX untuk bidang Biologi. Masih banyak lagi prestai yang telah mereka ukir selama menimba ilmu di sekolah itu. Bahkan tidak sedikit alumni SMART Ekselensia yang lolos di Perguruan Tinggi Negeri ternama di tanah air ini. Luar biasa bukan?
Rasa kagum dan salut menyeruak di lubuk hati saya seketika itu. Betapa tidak, mereka saja yang terlahir sebagai anak-anak dhuafa telah mampu mengukir prestasi di bidang pendidikan, mengapa masih banyak anak-anak yang berkecukupan di luar sana lalai akan kesempatan yang ada di depan mata mereka? Seharusnya mereka belajar dari semangat teman-teman dhuafa ini.

Anak-anak yang Smart dan membanggakan.
Setelah sesi perkenalan dengan penanggung jawab sekolah, kita pun diantarkan ke kelas masing-masing. Sesampainya di kelas, saya langsung menangkap sorot mata murid-murid yang antusias dan haus akan ilmu itu. Betapa senangnya saya menerima sambutan yang begitu bersemangat dari mereka.
Sebelum saya berdiri di depan kelas, salah seorang murid membuka acara dan menyampaikan kata-kata sambutan dalam Bahasa Inggris. Saya semakin kagum dibuatnya. Selanjutnya beberapa murid tampil dengan suguhan performance, menyanyikan lagu berjudul “I Have a Dream”. Lagu itu seolah menggambarkan luapan mimpi mereka akan masa depan yang cerah.

Nyanyian pembuka untuk menyambut saya. :)
Akhirnya mereka mempersilakan saya untuk tampil dan berbagi kisah pengalaman saya sebagai penulis. Materi yang telah saya siapkan pun sudah terpampang di layar infocus. Jangan heran, walaupun sekolah ini diperuntukkan kepada anak-anak dhuafa, tapi perlengkapan sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar mereka lengkap dan memadai. Semua itu berkat Dompet Dhuafa sebagai penyandang dananya.
Tibalah waktunya saya berbagi. Bukan tentang materi menulis, tapi lebih pada memotivasi mereka untuk tidak ragu-ragu bermimpi sebesar yang mereka inginkan. Bahkan menjadi penulis pun bisa dijadikan sebagai mimpi besar mereka di masa yang akan datang.


Ada hal yang membuat saya tersenyum haru. Ketika di awal saya menampilkan foto saya dengan balutan coat, mereka langsung bertanya, “Itu fotonya di mana, Bu?” Saya pun spontan menemukan ide untuk membangkitkan semangat mereka. Saya katakan kalau foto itu diambil ketika saya berada di London.

“Nah, menjadi penulis itu hebat ‘kan? Dari hasil royalti atau uang yang didapat dari penjualan buku-buku karyanya bisa membawanya sampai ke luar negeri,” kata saya menyemangati mereka.
“Nulis bukunya harus banyak ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
“Bisa iya bisa tidak. Karena beberapa buku saja pun jika best seller atau penjualannya laris maka royaltinya bisa banyak juga dan cukup untuk melancong sampai ke luar negeri, lho,” jawab saya membuat mereka menahan senyum takjub.
Masih banyak pertanyaan lain yang mereka ajukan. Saya menjadi bertambah semangat menjawabnya. Setelah itu, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan kemampuan menulisnya. Saya berikan waktu sekitar 10 menit untuk menuliskan 9 kalimat tentang mimpi dan harapan mereka. Bagi yang tercepat menyelesaikan dan utuh sembilan kalimat, saya menyediakan hadiah buku karya saya. Begitu waktu start disebutkan mereka langsung bergegas mencari posisi menulis yang nyaman bagi mereka. Luar  biasa! Tak satu pun yang terlihat enggan melakukannya. Semua semangat dan antusias.



Dari waktu sepuluh menit untuk menulis itu, akhirnya terpilihlah dua murid yang sesuai dengan syarat yang telah saya berikan. Buku karya saya pun menjadi milik mereka. Sebelum menutup acara, saya kembali disuguhi oleh penampilan salah satu murid yang menyanyikan lagu Justin Bieber, berjudul “Never say Never”. Wow! Kerennyaaa....

Nyanyian penutup sebelum berpisah.
Waktu sekitar dua jam yang diberikan kepada saya terasa sangat kurang. Banyak hal yang masih ingin mereka tanyakan, tapi karena waktu yang terbatas saya pun menutup kebersamaan kami dengan mengucapkan kalimat penyemangat, “Teruslah bermimpi dan bercita-cita setinggi mungkin, tidak terkecuali mimpi menjadi penulis hebat karena apa pun cita-cita dan mimpi kalian Insya Allah akan terwujud kalau kalian sungguh-sungguh ingin meraihnya.” Selebihnya, mereka tak membiarkan saya ke luar kelas begitu saja. Mereka berebut ingin mendapatkan tanda tangan saya. Subhanallah... harunya hati ini.

Terima kasih cinderamatanya, Bu Lisa. :)
Terima kasih, anak-anakku, dari kalian saya jadi mendapatkan pengalaman yang luar  biasa untuk dibagi kepada kedua anak-anak saya di rumah. Terima kasih juga, SMART Ekselensia, semoga suatu hari nanti saya diberi kesempatan lagi untuk kembali ke sana. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...