Suatu ketika
seorang teman, yang akrab saya panggil dengan Mbak Dwitra, memposting tentang
acara bertema “Menjadi Indonesia Lebih Baik” di facebooknya. Acara itu adalah tentang kegiatan berbagi pengalaman,
cerita kehidupan, dan pembelajaran hidup kepada adik-adik dhuafa di sekolah
SMART Ekselensia, Parung, Bogor. Awalnya saya tidak ngeh, tapi karena nama saya ikut di-tag di kolom komen, maka saya tertarik untuk membaca postingan itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti
menemukan lahan amal yang baru, hati saya langsung tergerak untuk ikut
bergabung. Saya langsung menghubungi Mbak Dwitra lewat inbox facebook untuk menanyakan seperti apa bentuk kegiatan berbagi
pengalaman itu. Dari penjelasan beliau akhirnya saya diberi kesempatan untuk
berbagi pengalaman tentang profesi saya sebagai penulis. Ditambah penjelasan dari
Ibu Lisa Rosaline (Manajer Pengembangan Bahasa di sekolah itu), rasanya sudah
lumayan lengkaplah informasi yang saya terima.
Tibalah hari yang saya
tunggu-tunggu (Senin, 11 November 2013), sebab hampir tak kuat rasanya menahan rasa penasaran untuk
bertemu dengan adik-adik dhuafa yang kabarnya rata-rata memiliki intelegensi
yang luar biasa itu. Sebelumnya saya dan
dua rekan lainnya (Siraj El Munir Bustami dan istri beliau, Indira Abidin) yang
akan berbagi pengalaman, sudah diberikan susunan acara untuk kelas filantropi
itu. Saya kebagian murid-murid kelas 7 SMP yang semuanya laki-laki.
Sejak pagi saya sudah tak sabar menunggu
jemputan dari pihak sekolah SMART Ekeselensia yang dijanjikan. Begitu mobil
jemputan tiba di depan rumah, saya langsung dipersilakan naik dan kami pun
berangkat menuju sekolah tersebut. Jalanan yang lumayan macet tak membuat saya
dan salah seorang guru (Bu Retno) yang menjemput merasa bosan. Selama di
perjalanan begitu banyak cerita yang kami bagi. Mulai dari cerita tentang
pengalaman saya mengajar di kelas menulis sampai tentang pola pendampingan
pendidikan kepada dua anak saya yang saat ini memasuki fase remaja. Obrolan
kami yang menghabiskan durasi sekitar satu setengah jam itu akhirnya terhenti
ketika mobil tiba di lokasi.
Sebelum
masuk ke kelas filantropi, kami diberikan pengenalan sekilas tentang Sekolah
SMART Ekeselensia yang sudah berdiri sejak tahun 2004 di Parung, Bogor itu.
Sekolah itu adalah sekolah menengah berasrama yang membebaskan biaya pada
murid-muridnya (anak-anak dhuafa berprestasi dari seluruh Indonesia). Sekolah
itu juga menerapkan sistim akseleratif (5 tahun untuk jenjang SMP – SMA).
Mata
saya tak bisa lepas dari tayangan tentang prestasi yang sudah diraih oleh
murid-murid dhuafa di sekolah itu. Ragam prestasi telah mereka raih salah
satunya seperti medali emas pada Olimpiade Sains Nasional ke IX untuk bidang
Biologi. Masih banyak lagi prestai yang telah mereka ukir selama menimba ilmu
di sekolah itu. Bahkan tidak sedikit alumni SMART Ekselensia yang lolos di
Perguruan Tinggi Negeri ternama di tanah air ini. Luar biasa bukan?
Rasa
kagum dan salut menyeruak di lubuk hati saya seketika itu. Betapa tidak, mereka
saja yang terlahir sebagai anak-anak dhuafa telah mampu mengukir prestasi di bidang
pendidikan, mengapa masih banyak anak-anak yang berkecukupan di luar sana lalai
akan kesempatan yang ada di depan mata mereka? Seharusnya mereka belajar dari
semangat teman-teman dhuafa ini.
Anak-anak yang Smart dan membanggakan. |
Setelah
sesi perkenalan dengan penanggung jawab sekolah, kita pun diantarkan ke kelas
masing-masing. Sesampainya di kelas, saya langsung menangkap sorot mata
murid-murid yang antusias dan haus akan ilmu itu. Betapa senangnya saya
menerima sambutan yang begitu bersemangat dari mereka.
Sebelum
saya berdiri di depan kelas, salah seorang murid membuka acara dan menyampaikan
kata-kata sambutan dalam Bahasa Inggris. Saya semakin kagum dibuatnya.
Selanjutnya beberapa murid tampil dengan suguhan performance, menyanyikan lagu berjudul “I Have a Dream”. Lagu itu
seolah menggambarkan luapan mimpi mereka akan masa depan yang cerah.
Nyanyian pembuka untuk menyambut saya. :) |
Akhirnya
mereka mempersilakan saya untuk tampil dan berbagi kisah pengalaman saya
sebagai penulis. Materi yang telah saya siapkan pun sudah terpampang di layar infocus. Jangan heran, walaupun sekolah
ini diperuntukkan kepada anak-anak dhuafa, tapi perlengkapan sebagai penunjang
kegiatan belajar mengajar mereka lengkap dan memadai. Semua itu berkat Dompet
Dhuafa sebagai penyandang dananya.
Tibalah
waktunya saya berbagi. Bukan tentang materi menulis, tapi lebih pada memotivasi
mereka untuk tidak ragu-ragu bermimpi sebesar yang mereka inginkan. Bahkan menjadi
penulis pun bisa dijadikan sebagai mimpi besar mereka di masa yang akan datang.
Ada
hal yang membuat saya tersenyum haru. Ketika di awal saya menampilkan foto saya
dengan balutan coat, mereka langsung
bertanya, “Itu fotonya di mana, Bu?” Saya pun spontan menemukan ide untuk
membangkitkan semangat mereka. Saya katakan kalau foto itu diambil ketika saya
berada di London.
“Nah,
menjadi penulis itu hebat ‘kan? Dari hasil royalti atau uang yang didapat dari
penjualan buku-buku karyanya bisa membawanya sampai ke luar negeri,” kata saya
menyemangati mereka.
“Nulis
bukunya harus banyak ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
“Bisa
iya bisa tidak. Karena beberapa buku saja pun jika best seller atau penjualannya laris maka royaltinya bisa banyak
juga dan cukup untuk melancong sampai ke luar negeri, lho,” jawab saya membuat mereka menahan senyum takjub.
Masih
banyak pertanyaan lain yang mereka ajukan. Saya menjadi bertambah semangat
menjawabnya. Setelah itu, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk
menunjukkan kemampuan menulisnya. Saya berikan waktu sekitar 10 menit untuk
menuliskan 9 kalimat tentang mimpi dan harapan mereka. Bagi yang tercepat
menyelesaikan dan utuh sembilan kalimat, saya menyediakan hadiah buku karya
saya. Begitu waktu start disebutkan mereka langsung bergegas mencari posisi
menulis yang nyaman bagi mereka. Luar
biasa! Tak satu pun yang terlihat enggan melakukannya. Semua semangat
dan antusias.
Dari
waktu sepuluh menit untuk menulis itu, akhirnya terpilihlah dua murid yang
sesuai dengan syarat yang telah saya berikan. Buku karya saya pun menjadi milik
mereka. Sebelum menutup acara, saya kembali disuguhi oleh penampilan salah satu
murid yang menyanyikan lagu Justin Bieber, berjudul “Never say Never”. Wow!
Kerennyaaa....
Nyanyian penutup sebelum berpisah. |
Waktu
sekitar dua jam yang diberikan kepada saya terasa sangat kurang. Banyak hal
yang masih ingin mereka tanyakan, tapi karena waktu yang terbatas saya pun
menutup kebersamaan kami dengan mengucapkan kalimat penyemangat, “Teruslah
bermimpi dan bercita-cita setinggi mungkin, tidak terkecuali mimpi menjadi
penulis hebat karena apa pun cita-cita dan mimpi kalian Insya Allah akan
terwujud kalau kalian sungguh-sungguh ingin meraihnya.” Selebihnya, mereka tak
membiarkan saya ke luar kelas begitu saja. Mereka berebut ingin mendapatkan
tanda tangan saya. Subhanallah... harunya hati ini.
Terima kasih cinderamatanya, Bu Lisa. :) |
Terima
kasih, anak-anakku, dari kalian saya jadi mendapatkan pengalaman yang luar biasa untuk dibagi kepada kedua anak-anak
saya di rumah. Terima kasih juga, SMART Ekselensia, semoga suatu hari nanti
saya diberi kesempatan lagi untuk kembali ke sana. [Wylvera W.]