Selasa, 19 September 2017

Bercermin dari Penjara Anak



Anak merupakan harapan serta masa depan keluarga dan bangsa. Harapan ini membutuhkan persiapan agar mereka kelak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas, bermoral, sehat lahir dan batin, serta berguna bagi diri, keluarga serta bangsanya. Semua persiapan tersebut bermula dari pola asuh dan penguatan moral dari rumah yang dilakukan sejak dini. Idealnya, pola asuh yang baik tentu akan melahirkan anak dengan kepribadian kuat, tidak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup.
Namun sebaliknya,  anak yang tidak mendapatkan pola asuh serta penguatan dan wawasan moral yang tepat, acapkali menimbulkan masalah. Ia akan rentan pada lingkungan yang menyuguhkan pergaulan negatif. Kerentanan ini akan menggiringnya untuk melakukan perbuatan amoral dan melanggar hukum yang akan berakhir di penjara. Kenyataan tentang penjara ini yang akan saya bagi sebagai bahan interospeksi bagi kita.

Akhirnya masuk penjara
Tidak ada anak yang ingin mengakhiri hidupnya dalam penjara. Namun, banyak kasus menimpa anak-anak Indonesia yang justru akhirnya menyeret mereka ke sana. Semua bermula dari rumah dan lingkungan. Bisa jadi, peran dan perhatian orangtua tak pernah mereka dapatkan. Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan yang semakin memicu ke arah yang salah. Semua itu bisa jadi berpengaruh pada perkembangan psikis anak. Anak yang tidak memiliki mental kuat akan nekat melakukan kesalahan dan merugikan masa depannya.

Di Masjid lapas ini lah kegiatan konseling GPR untuk anak lapas berlangsung
Contoh anak-anak yang gagal mendapatkan perhatian, sentuhan, dan didikan yang tepat dari orangtuanya, ada di Lembaga Khusus Pembinaan Anak (LPKA) Tangerang. Mereka lebih dikenal dengan sebutan anak-anak lapas, yaitu anak-anak yang telah melakukan tindak kejahatan dan melanggar undang-undang negara.  Mau melihat hasil didikan gagal orangtua dan pergaulan yang salah seperti apa? Semua ada di lapas anak tersebut. Saya menyebutnya paket komplit.
Di beberapa kali pertemuan dengan anak-anak lapas itu, hati saya selalu terenyuh. Mereka adalah anak-anak Indonesia berusia antara 13 sampai 17 tahun. Hukum telah menjerat mereka atas beragam kasus. Mulai dari kasus pembunuhan, perbuatan asusila, narkoba, tawuran, dan pencurian. Masa hukumannya pun beragam. Tergantung dari beratnya kasus. Yang paling berat adalah kasus pembunuhan, bisa 8 sampai 9 tahun.  


Umumnya mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Ada anak penyapu jalan, anak pembantu rumah tangga, anak pemulung, dan anak tukang becak. Namun ada juga yang berasal dari keluarga yang mapan. Mereka harus membaur dengan yang lainnya. Sementara untuk tingkat pendidikannya pun beragam. Mulai dari level SD sampai SMA, dan yang putus sekolah. Kalau tidak berbincang, kita tidak akan bisa membedakan latar belakang mereka. Semua menjadi terlihat sama.

Penyesalan itu selalu datang di belakang
Ketika masih bergabung dengan komunitas Gerakan Peduli Remaja yang secara kontinu melakukan konseling di LPKA Tangerang tersebut, saya menjadi salah satu pembimbing anak-anak lapas itu. Di setiap pertemuan, selain memberikan bimbingan rohani, kami juga membuka sesi dialog dengan mereka. Pada momen berdialog itu pula saya kerap menatap mata mereka yang cenderung kosong dan tidak terarah.
“Mau gimana lagi, Bunda. Hidup itu kan butuh makan.”
“Pakai narkoba kan bisa ngilangin stress, Bun.”
“Daripada aku yang dibunuh, mending habisi duluan.”
Begitulah sebagian alasan yang mereka utarakan di awal-awal konseling. Belum ada terlihat rasa penyesalan. Mereka merasa puas karena merasa seolah keluar sebagai pemenang dari setiap masalah yang mereka hadapi. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya  mereka lah yang kalah. Kalah dalam melawan hawa nafsunya karena mereka memang tidak dibekali oleh didikan agama dan moral yang benar. 


Anak-anak itu terjebak pada kejahatan yang terkadang tak mereka sadari. Mereka begitu saja melakukan perbuatan amoral tanpa mempertimbangkan akibatnya. Sebagian dari mereka bahkan tidak sempat berpikir bahwa konsekuensi dari perbuatan yang mereka lakukan akan menjebloskannya ke tempat yang bernama penjara. Tempat yang akhirnya menjauhkan mereka dari keluarga. Terisolir dari segala kebebasan yang pernah mereka nikmati.
Meskipun untuk penjara anak-anak, tidak seberat kondisi penjara dewasa, tetap saja sulit menyebut bahwa  tempat itu mampu memberikan kenyamanan. Banyak hal yang akan dibatasi. Termasuk kamar tidur, kamar mandi, fasilitas sandang, pangan, beragam peraturan lapas, dan lain sebagainya. Yang jelas, sudah tidak ada lagi kebebasan seperti yang mereka bayangkan dan rasakan sebelum masuk penjara. Bukan itu saja. Jika tidak pandai membawakan diri, bukan tidak mungkin mereka juga akan mengalami kasus bullying sesama tahanan.
Setelah merasakan masa tahanan, biasanya sebagian dari mereka mulai menyadari kesalahannya. Kondisi lapas dengan segala keterbatasannya, akhirnya membuat mereka menyesal. Masuk penjara tentu menjadi aib. Tidak hanya bagi anak sebagai pelaku, tapi orangtua serta keluarga pun menanggung konsekuensinya. Pernah masuk penjara akan memengaruhi reputasi dan nama baik keluarga.
Yang lebih menyakitkan, ada orangtua yang tidak menginginkan anaknya kembali ke rumah setelah bebas dari penjara. Ini pernah dialami dan dirasakan salah satu anak Lapas yang sekarang sudah bebas dari masa hukumannya. Beberapa kali saya sempat melakukan kontak dengan “R”. Ia sempat berkeluh-kesah dan mengatakan bahwa orangtuanya tidak menerimanya kembali ke rumah. Akhirnya “R” tinggal bersama pamannya. 

Sesi konseling bersama Gerakan Peduli Remaja
Beberapa cerita yang saya dengar dari mereka, semua mengerucut pada ungkapan rasa penyesalan. Selain menyesal, mereka juga mengungkapkan rasa ketidakpercayaan diri yang kuat. Di satu sisi, mereka ingin berlama-lama di penjara dan pasrah pada segala keterbatasan. Di sisi lain, mereka ingin cepat-cepat mengakhiri masa hukumannya tapi tidak siap menghadapi dunia di luar penjara. Ada rasa takut akan kembali terlibat kasus yang sama lalu kembali ke penjara. Ini menjadi dilema yang menghantui mereka. Menyedihkan.
Setelah mendapatkan pembinaan, sebagian besar dari mereka berangsur berubah. Mereka ingin memperbaiki kesalahan yang pernah mereka lakukan. Namun seringkali hukuman dunia lebih berat. Contoh kecil, saat mereka keluar dari lapas, sebagian besar enggan kembali ke lingkungan asal, karena cap atau stempel mantan napi begitu melekat di diri mereka.
Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan demi penyesalan biasanya selalu datang belakangan. Jika tidak kuat untuk menghadapinya dan kembali bangkit membenahi diri, maka masa depan mereka pula yang akan menjadi taruhannya. Kita tidak ingin seperti itu bukan?

Pola asuh dan pengaruh perkembangan moral anak
            Keluarga adalah unit sosial terkecil yang akan memberikan pondasi dasar bagi perkembangan karakter anak. Seperti apa penerapan pola asuh orangtua pada anaknya akan sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak, termasuk masalah moralnya. Tentu tidak ada orangtua yang ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Apalagi sampai terjerumus pada perbuatan melanggar hukum. Namun, harapan itu tidak bisa diwujudkan secara instan.
Jika ingin karakter anak tumbuh dengan normal dan baik, orangtua juga harus menjalankan pola asuh yang benar. Tepat tidaknya penerapan pola asuh ini bisa dilihat dalam bentuk perlakuan fisik maupun sentuhan psikis terhadap anak-anaknya. Ada yang kaku (otoriter), serba membolehkan (permisif), dan demokratis. Model pola asuh ini dapat dilihat dari tutur kata, sikap, prilaku, dan tindakan orangtua pada anaknya.
Dari tiga jenis model pola asuh di atas, menurut saya yang paling ideal adalah penerapan pola demokratis (gabungan dari pola asuh otoriter dan permisif). Ada saatnya orangtua berlaku otoriter pada anak jika itu menyangkut ketaatan beribadah dalam agamanya dan beretika dalam bertingkah-laku. Ada saatnya orangtua permisif jika itu tidak menyangkut hal-hal yang prinsip dan mendasar sifatnya. Masing-masing orangtua lah yang memahami bagian mana kondisi-kondisi yang tidak terlalu prinsip itu.
Dengan menggabungkan pola asuh otoriter dan permisif dalam bentuk pola asuh demokratis, maka diharapkan perkembangan moral anak bisa tumbuh dengan positif. Anak bisa tumbuh dengan kematangan jiwa yang baik, memiliki rasa tanggung jawab, emosinya stabil, mudah bekerjasama, gampang menerima saran serta mampu mematuhi aturan tanpa merasa dipaksa.
Dari keluhan anak-anak di lapas, saya mencoba menarik kesimpulan. Mereka tidak pernah mendapatkan pola asuh yang benar. Masing-masing orangtua mereka sibuk dengan dirinya atas dasar ingin memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi tersebut membuat mereka lupa bahwa anak-anak mereka tetap membutuhkan perhatian, tempat mengadu serta berbagi tentang apa saja. Kelupaan itu pula yang membuat anak-anak mereka mencari perhatian dan perlindungan keluar rumah tanpa bekal mental yang kuat. Semoga ini menjadi cerminan bagi kita. [Wylvera W.]
 
 Note: Artikel ini pernah dimuat di Majalah Insani, edisi Juli 2017          



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...