Kamis, 11 Agustus 2016

Sehari Bersama Stefano Romano (Part 1)


Stefano dan murid-murid PKBM Al Falah

            Hari Rabu, 10 Agustus 2016 menjadi hari yang sangat mengesankan. Tidak hanya untuk saya, tapi juga buat anak-anak pemulung yang ada di PKBM Al Falah Bantargebang, serta murid-murid SDIT Thariq bin Ziyad Pondok Hijau Permai Bekasi. Dua sekolah dengan basis kurikulum dan sistim pembelajaran yang jauh berbeda ini, kedatangan seorang fotografer luar negeri yang namanya cukup kondang.
Semua bermula dari perkenalan saya dengan sang fotografer di sebuah momen yang tidak pernah saya duga. Fotografer kondang yang lebih memilih spesialisasi foto wajah (portrait photography) ini, saya kenal dalam suasana pemotretan. Namun, kisah perkenalan saya dengan beliau akan saya ceritakan di postingan lain dalam blog ini. 
Saya tidak menyangka kalau akhirnya bisa bertemu dan mengenal Stefano Romano. Kalau kita mencari informasi tentang dirinya di internet, pasti akan menemukan banyak sekali cerita mengenai sosok pria kelahiran 11 Januari 1974 ini. Betul! Dunia fotografer tentu sangat mengenal pria asal Roma Italia ini. Apalagi setelah ia berhasil melahirkan karya yang berisikan kumpulan foto wajah Indonesia dalam buku yang berjudul “Kampungku Indonesia”.     


Momen yang mempertemukan saya dan Stefano Romano

Dari perkenalan itulah akhirnya Stefano menguping bincang-bincang saya dengan salah satu wartawan dari majalah Islam. Ia mendengar kalau selama ini saya mengajar kelas ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis di dua sekolah tadi. Stefano adalah seorang mualaf yang sejatinya sangat mencintai anak-anak, khususnya anak-anak Indonesia. Mendengar perbincangan itu, ia meminta saya mengajaknya ke sekolah anak pemulung tempat saya mengajar. Seperti pucuk di cinta ulam pun tiba, tentu tawaran itu tidak saya sia-siakan.
Sedikit sulit juga dalam menetapkan tanggal buat Stefano. Jadwal beliau selama tiga bulan di Indonesia memang cukup padat. Namun, tidak ada niat baik yang tak menemukan jalannya. Akhirnya kami pun sepakat di tanggal 10 Agustus 2016. Meskipun dalam hati, saya ingat kalau tanggal itu adalah hari wedding anniversary saya, saya harus tetap profesional. Dan, syukurnya setelah itu, suami saya justru sangat mendukung. Anggap saja ini sebagai kado istimewa juga buat saya dan suami.

Dari Citos Menuju Al Falah Bantargebang Bekasi
            Rabu pagi itu, sekitar jam 7, saya sudah sampai di depan Mal Cilandak Town Square (Citos). Alhamdulillah, perjalanan dari Bekasi – Citos pagi itu lancar. Saya tiba tepat waktu. Namun, saya harus menunggu Stefano dan istrinya, juga sahabat saya, Ade Nursa’adah yang ingin ikut di momen kunjungan itu. Sejam setelah itu, akhirnya kami sudah berkumpul. Saya segera membawa mereka menuju Bantargebang Bekasi.
            Perjalanan yang menghabiskan durasi 1 ½ jam lebih itu akhirnya membawa kami tiba di halaman sekolah Al Falah. Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Al Falah yang berada di bawah naungan Yayasan Ummu Amanah, milik Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, sahabat saya ini, lokasinya berada di kawasan Tempat Pembuang Akhir (TPA) sampah. Sejak tahun 2012, saya sudah akrab mengajar menulis di sana. 

Murid-murid Al Falah siap menyimak materi dari Stefano

            Sekolah yang berada di kawasan pembuangan sampah ini sempat membuat saya cemas. Saya pikir Stefano, Mbak Bayu (istri Stefano), dan Ade (sahabat saya) akan terganggu dengan aroma sampah yang semilir memenuhi penciuman kami. Ternyata, mereka sama sekali tidak memedulikan aroma itu. Justru ekspresi sumringah yang jelas terpancar dari mata dan wajah mereka.
            Pihak sekolah pun menyambut kehadiran kami dengan penuh antusias. Sekitar 50 murid dari sekolah tempat anak-anak pemulung itu sigap berkumpul di aula terbuka untuk menyambut kehadiran kami. Wajah-wajah dengan tatap mata gembira sibuk menatap sosok Sang Fotografer. Mereka seperti tak sabar ingin segera mengenal dan menyimak pengalaman dari Stefano Romano.


            Saya membuka pertemuan itu dengan salam dan menjelaskan tentang tujuan kedatangan Stefano ke sekolah itu. Setelah itu, saya memperkenalkan Stefano Romano dan profesinya sebagai fotografer internasional. Begitu mendengar asal negara Stefano, suara riuh mereka tak bisa dibendung sesaat. Saya yakin, kalau mereka sangat bangga karena dikunjungi oleh seorang fotografer sekelas Stefano Romano.
            Sesi berikutnya langsung diambil alih oleh Stefano Romano. Beliau menjelaskan tentang awal dia memilih mencintai seni fotografi. Yang membuat anak-anak pemulung itu bolak-balik bertepuk-tangan, ketika Stefano mengatakan kalau dia sangat mencintai Indonesia.
            “Indonesia adalah kampung kedua buat saya,” tegas Stefano lalu disambut dengan tepuk tangan meriah dari anak-anak.
            Stefano juga berbagi kisah tentang alasannya menjadikan Indonesia sebagai kampung keduanya setelah Roma Italia. Diawali oleh kekagumannya saat memotret wajah-wajah berhijab, akhirnya Stefano Romano menambatkan hati dan keyakinannya untuk memeluk Islam di tahun 2010. Lewat lensa kameranya itu pula, Stefano banyak mengenal Islam dan keindahannya. Setelah memeluk Islam, ia memutuskan menikah dengan perempuan Indonesia bernama Bayu Bintari Fatmawati di tahun yang sama. Dari sanalah ia mulai mencintai Indonesia. Sejak menikah, Stefano sudah tiga kali berkunjung ke negeri istrinya.

Nurafifah
            Murid-murid Al Falah menyimak dengan tekun setiap paparan yang disampaikan Stefano. Yang paling membuat suasanya menyenangkan adalah saat sesi tanya-jawab dibuka. Anak-anak itu seolah berlomba ingin mengajukan pertanyaan seputar fotografi. Tawa riuh menggelegar saat Stefano meminta anak-anak memanggilnya dengan sebutan Aa atau Akang.
            “Aa … eh, Kang … eh, manggilnya apa?” ujar Nurafifah, salah satu murid kelas ekskul menulis, gugup dan malu-malu.
            “Enggak mau bilang Akang?” canda Stefano membuat suasana semakin riuh penuh tawa. 

            “Mengapa Kang Stefano lebih suka memoto wajah?”
            “Karena kalau foto kaki itu tidak bagus,” balas Stefano dengan gurauannya memancing semua tertawa

"Di Indonesia, apa saja yang sudah dijadikan objek foto?"

            Begitulah, anak-anak bergilir mengajukan pertanyaan seputar dunia fotogarfi. Bagi yang bertanya, Stefano membagikan boneka lucu yang di bagian dadanya tersemat inisial nama beliau. Bukan itu saja, anak-anak yang bertanya juga mendapatkan hadiah wafer cokelat. Senang banget saya melihat kegembiraan mereka. Ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan buat anak-anak pemulung itu.

Di lokasi dekat dengan gunung sampah


            Sesi berikutnya, saya meminta anak-anak menenami Stefano untuk melihat lokasi gunung sampah yang tertinggi di Indonesia. Teriknya matahari sedikit pun tidak menyurutkan momen indah kebersamaan kami dengan Stefano pagi menjelang siang itu.
            Anak-anak yang sebagian adalah murid-murid saya dari kelas ekskul menulis, sangat antusias mendampingi Stefano mengambil objek untuk difoto. Tawa dan canda mereka sesekali meramaikan rombongan kami yang berjalan kaki menuju lokasi. 

Melihat isi buku "Kampungku Indonesia" karya Stefano
            Setelah puas memotret objek, akhirnya kami kembali ke sekolah. Belum puas rasanya sehingga Stefano seolah masih ditahan untuk diajak berfoto bersama guru-guru. Buku kumpulan foto “Kampungku Indonesia” pun ikut meramaikan kebersamaan itu. Mereka terkagum-kagum melihat isi buku karya Stefano. Cara Stefano memotret dan menghasilkan gambar yang menakjubkan membuat mulut mereka berdecak kagum. 

Klik di sini
Klik aja ya ^_^

Ingin berlama-lama di sana, namun waktu yang membatasi kebersamaan kami. Saya mengingatkan Stefano untuk jadwal kunjungan berikutnya. Dengan berat hati, akhirnya kami meninggalkan Al Falah.

Menyempatkan makan siang dan sholat sebelum sesi kunjungan berikutnya
            Dari Bantargebang, saya kembali membawa Stefano, Mbak Bayu, dan Ade menuju SDIT Thariq bin Ziyad. Cuaca panas ternyata memaksa kami untuk mampir sejenak di sebuah restoran sederhana. Kami memesan menu makan siang dan bergantian sholat. Saya puas ketika melihat Stefano menyantap menu pilihan istrinya dengan lahap. Syukurlah … menu pilihan mereka di resto pilihan saya memuaskan mereka. [Wylvera W.]

(Bersambung ….)


3 komentar:

  1. Seru banget ya, lucu dipanggilnya kang Stefano :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, iya beliau suka Bandung jadi penginnya dipanggil Akang juga.

      Hapus
  2. Halo selamat siang mbak Wiwiek saya Mawan dari Tabloid GENIE.. Boleh minta kontaknya Stefano Romano? Jika ada alamat dan nomor handphonenya tolong kirim ke widyahermawan11@gmail.com.. Terima kasih

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...