Minggu, 15 Maret 2015

Bukan Setrika



#CerpenKuliner #TTG4

dokrpi
             Undangan makan siang itu sangat mengejutkan Intan. Ini adalah pertemuan pertama Intan dengan kedua orangtua Bahrum. Sejak setengah jam lalu, Intan sibuk memilih baju yang pantas. Sudah beberapa model baju yang dikeluarkannya dari lemari pakaian, Intan belum juga menemukan yang cocok untuk dipakai.
            “Duh! Pakai baju yang mana ya? Yang ini terlalu resmi. Yang itu seperti warna berkabung. Yang di atas tempat tidur itu sudah pernah aku pakai di ulangtahun Bang Bahrum,” ujar Intan panik karena jarum jam terus bergerak. Intan hanya punya sisa waktu setengah jam untuk memutuskan.
            “Aha! Ini dia!” seru Intan girang memilih baju terusan warna cokelat muda dengan aksen kedut tipis di bagian pinggang dan ujung lengannya.
            Lima belas menit kemudian, Bahrum pun tiba di rumah Intan.
            “Sudah siap?” tanya Bahrum melihat Intan berdiri di depan pintu rumahnya.
            “Sudah,” balas Intan singkat menutupi rasa groginya.
Intan masuk ke mobil Bahrum. Sesekali ia melirik Bahrum. Intan berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
            “Nanti santai aja ya, Tan. Emak dan Ayahku itu orangnya friendly,” ujar Bahrum.
            Intan diam, tidak merespon. Perjalanan berikutnya mereka saling diam. Hanya suara musik dari tape recorder mobil Bahrum yang terdengar.
            Setengah jam kemudian.
            “Nah, sampai kita, Tan,” ujar Bahrum.
            “Ya ampun, gemetar aku Bang,” kata Intan meremas jemarinya sendiri.
            “Santai sajalah,” balas Bahrum menguatkan semangat gadis pujaan hatinya.
            Intan pun berdiri di depan pintu rumah Bahrum. Matanya memandang ke sekitar.
            “Assalamu’alaikum. Mak, Ayah ... ini tamunya sudah datang!” seru Bahrum memanggil kedua orangtuanya.
            Emak Bahrum menyambut Intan.
            “Hoiii ...! Cantiknya calon menantuku ini,” pujinya sambil menarik lengan Intan langsung menuju ruang makan.
           Pipi Intan memerah. Rasa canggung menyergapnya. Setelah itu, matanya setengah terbelalak melihat hidangan di meja makan. Di antara ragam hidangan itu, ada sambal teri kacang, makanan khas kota Medan yang sangat populer. Intan salah satu penggemar sambal teri kacang. Tapi kalau ditanya bagaimana cara membuatnya, Intan pasti menyerah. Ia tidak pernah memasaknya.
            “Ayolah duduk. Kita makan siang dulu ya. Sehabis itu nanti, barulah kita bercakap-cakap,” ujar ayah Bahrum pula tak kalah ramah.
            “Ini semua hasil masakan Emakku, Tan. Emakku ini jagoan masak,” pamer Bahrum tiba-tiba menciutkan nyali Intan.
             Intan berusaha tersenyum. Ia mulai khawatir mendengar Emak Bahrum mahir memasak. Selama ini Bahrum tidak pernah bercerita. Lagi pula, sebelum jadi mahasiswi dan hijrah dari Medan ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya, Intan bukan perempuan yang rajin turun ke dapur. Ia lebih senang jadi tukang bersih-bersih rumah ketimbang memraktikkan resep masakan. Bahkan sambal teri kacang kegemarannya sekalipun. Ia hanya penikmat hasil masakan mamanya.
            Setelah menyelesaikan kuliahnya, Intan kembali ke Medan dan kenal dengan Bahrum. Kebersamaan mereka sudah terjalin selama hampir lima bulan. Intan merasa bahwa Bahrumlah yang pas menjadi calon suaminya. Tapi, ketika Bahrum mengejutkannya dengan undangan makan siang ini, justru Intan mendadak panik dan gugup.
            “Hei, anak gadis tak bolehlah banyak melamun. Pantang kata orang-orang tua dulu,” ujar Emak Bahrum dengan logat Medan yang khas.
            “Eh, maaf Tante. Saya terkesan sama sambal teri kacangnya. Sepertinya gurih dan lezat,” balas Intan buru-buru menutupi kegugupannya.
            “Oh, sambal teri kacang ini masakan andalan Tante. Sudah banyak yang memuji kelezatan dan kegurihannya. Banyak pula yang minta resepnya lalu mencoba memraktikkan. Tapi entah kenapa, tetap tak pernah bisa menyamai masakan strika Tante,” timpal Emak Bahrum.
            “Setrika? Kok namanya kayak gosokan kain?” tanya Intan heran.
            “Bukan setrika, tapi strika. Itu singkatan dari Sambal Teri dan Kacang,” jawab Emak Bahrum tersenyum mendengar komentar Intan.
            Beberapa saat kemudian, acara makan siang bersama pun selesai. Intan membantu membersihkan meja dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Melihat keakraban Intan dan Emaknya, Bahrum mengedipkan sebelah mata ke Intan.
Selepas itu, Tante Imah, Emak Bahrum, mengajak Intan duduk di tepi kolam ikan. Intan kembali diam. Hatinya masih bertanya-tanya, apa yang akan diperbincangkan.
            “Eh, kau kan sudah selesai ya kuliahnya? Si Bahrum pun sudah bekerja. Jadi kalian mau menunggu apa lagi?” Tiba-tiba Tante Imah membuka obrolan dengan pertanyaan rencana pernikahan. Intan terkesima dan masih diam, tidak bisa menjawab.
            “Tante mau pensiun jadi tukang masaknya si Bahrum. Nanti kaulah yang menggantikannya,” tambah Tante Imah lagi semakin menciutkan nyali Intan.
            “Si Bahrum itu juga sangat suka makan strika. Jadi, nanti kau harus sering-sering memasakkan si strika itu untuknya. Jangan lupa, kawannya si strika itu gulai daun ubi tumbuk,” tambah Tante Imah membuat Intan terbayang pada gulai daun singkong buatan mamanya.
Intan semakin terpaku. Jangankan gulai daun singkong tumbuk, sambal teri kacang saja Intan tak pernah mengerti cara membuatnya.
       “Wah, melamun lagi? Intan, jangan dibiasakan banyak melamun, apalagi kalau sudah dekat-dekat hari pernikahan nanti. Pantang itu,” ujar Tante Imah membuat Intan sempurna gugup.
            “Eh, i ... iya Tante. Maaf,’ ucap Intan pelan.
        “Baiklah kalau begitu. Tante sudah utarakan maksud kami mengundangmu makan siang bersama ini. Bilang sama orangtuamu kalau dalam waktu dekat Tante dan Om akan datang melamarmu. Syaratnya gampang kok, cuma ujian memasak strika saja. Hahaha....” ujar Tante Imah lagi bergurau.
Intan mengangguk pelan. Di kepalanya hanya ada gambaran sepiring strika alias sambal teri kacang. Intan harus belajar membuat strika itu dengan mamanya. Intan sangat takut. Kalau hanya gara-gara gagal memasak strika, hubungannya dengan Bahrum jadi berantakan, Intan tidak bisa membayangkannya.
            Dua minggu kemudian, Tante Imah kembali mengundang Intan untuk datang di acara arisan keluarga. Intan diminta membawa sambal teri kacang hasil bikinannya sendiri. Intan uring-uringan memikirkan sambal teri kacangnya. Sudah dua kali dia mencoba resep mamanya, namun tetap saja rasanya tak sama dengan buatan Tante Imah.
Intan sudah memraktikkan semua cara yang diberikan Mama. Ikan terinya disiram dan ditiriskan di saringan kelapa, sampai benar-benar kering. Kacang tanahnya digoreng dengan minyak yang tidak terlalu panas. Intan juga sudah menggiling cabe merah dan bawang merah sampai halus, lalu mencampurkannya dengan satu sendok makan air rendaman asam jawa.
            “Apalagi yang salah ya, Ma? Ikan terinya sudah Intan goreng sampai garing, kacang tanahnya juga sudah dimasak dengan sempurna. Sambalnya sudah dimasak di atas wajan dengan api kecil,” gerutu Intan kesal melihat hasil masakannya.
         “Coba diingat-ingat, pasti ada langkah-langkah yang tidak kau turuti,” ujar Mama menenangkan.
            “Sudah kok, Ma,” kata Intan merasa yakin.
            “Trus, bagaimana jadinya? Apa perlu Mama yang membuatnya? Kalau terinya seperti karet begini, macam mana kau nanti?” tanya Mama membuat Intan galau.
Belum sempat Intan menjawab pertanyaan Mama, Bahrum sudah menjemputnya.
            “Bang Bahrum sudah datang. Macam mana ini?” keluh Intan semakin panik.
            “Sudahlah, kau berterus terang saja ke Emaknya si Bahrum. Bilang saja kalau sebenarnya kau tak biasa memasak, tapi kalau untuk beberes dan merapikan rumah kaulah jagonya,” jawab Mama memberi solusi.
Intan berpikir sejenak. Dengan terpaksa ia tetap memasukkan sambal teri kacang buatannya ke dalam wadah plastik untuk dibawa ke rumah Bahrum.
            “Bismillah sajalah,” bisik Mama menyemangati Intan.
            “Iya, Ma. Doakan ya,” pinta Intan memelas. Mama mengangguk.
            “Yuk, Bang!” ujar Intan mendekati Bahrum.
            “Permisi dulu ya Tante. Salam dari Emak dan Ayah,” ujar Bahrum ke Mama Intan.
            “Iya, sampaikan salam Tante kembali ya,” balas mama Intan. Bahrum mengangguk.
            Intan dan Bahrum pun sudah berada di mobil. Intan merasakan perjalanan dari rumahnya menuju rumah Bahrum begitu cepat dan mendebarkan. Padahal hatinya menginginkan waktu berputar lebih lambat. Intan belum siap menerima kritikan calon ibu mertuanya pada sambal teri kacang buatannya.
            Intan masih memikirkan usul Mama untuk berterus-terang. Ia tak mau pulang dari rumah Bahrum dengan menelan rasa malu. Kalau tidak jadi menantu karena mungkin tak berjodoh, Intan bisa menerima. Tapi, kalau ditolak jadi calon menantu hanya gara-gara pura-pura mengaku pandai memasak sambal teri kacang, Intan tidak bisa memaafkan dirinya.
            “Kita sudah sampai, Tan. Ayo kasi ke Emakku strika buatanmu itu. Hitung-hitung itu pemikat hatinya,” gurau Bahrum samasekali tidak lucu di telinga Intan.
            “Naaah ... ini dia calon menantuku. Si Bahrum pintar cari calon istri. Sengaja dicarinya istri yang pandai memasak strika, supaya Emaknya bisa pensiun memasakkan makanan kesukaannya itu,” ujar Tante Imah menyambut kehadiran Intan.
Sepupu-sepupu Bahrum yang sudah hadir di acara arisan itu ikut tersenyum melihat kehadiran Intan. Semua tampak bergembira, kecuali Intan.
            “Ayo, tunjukkan sama Tante strika buatanmu itu!” seru Tante Imah lagi membuat lutut Intan mendadak gemetar. Intan memberikan sambal teri kacang buatannya.
            “Maaf, Tante ... saya memang suka sekali makan strika, tapi saya tak pandai cara memasaknya,” Intan melepas kata-katanya begitu saja. Ia buru-buru menundukkan wajahnya dalam-dalam. Intan yakin saat ini pasti semua mata tertuju padanya.
            “Ya ampun, Intan! Janganlah khawatir begitu. Tante yang akan mengajarimu memasaknya nanti,” ujar Tante Imah mengejutkan Intan.
            “Ayo, mari sini. Kita praktikkan bersama, supaya si Bahrum nanti tak mencari strika ke perempuan lain,” kembali Tante Imah bergurau.
Intan merasa lega. Akhirnya ia berhasil berterus-terang dan sekaligus mengetahui resep sambal teri kacang buatan calon ibu mertuanya.
            “Supaya tak lengket dan terinya bisa garing, saat mengaduknya ... kau matikan dulu api kompornya. Lalu, kau aduklah teri dan kacangnya dengan rata ke sambal yang sudah matang ini,” ujar Tante Imah.
Intan mengangguk-angguk dan berusaha mengingat rahasia terakhir yang bisa membuat sambal teri kacang buatan Tante Imah begitu gurih, lezat, dan renyah. [Wylvera W.]

Sabtu, 14 Februari 2015

PIPEBI dan Kepedulian Sosial



Oleh Ny. Wiwiek Indra Gunawan

Aku bagian dari ini (dokpri)
            Siapa bilang perempuan Indonesia masa kini hanya pandai berbelanja dan peduli dengan kecantikan serta keindahan penampilan semata? Siapa bilang mereka hanya mementingkan diri dan keluarganya saja serta tidak peduli pada lingkungannya?
            Eitt ... tunggu dulu. Kini sudah banyak perempuan Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di sekelilingnya. Kita tidak perlu menelusuri satu per satu seperti apa bentuknya. Beritanya banyak yang sudah dimuat di media sosial. Kita tinggal membaca dan melihat ragam kegiatan yang mereka lakukan untuk mengaplikasikan makna dari kepedulian sosial ini.
Kepedulian berasal dari kata “peduli” yang diartikan sebagai memperhatikan atau menghiraukan. Maka kepedulian bermakna sebagai sikap atau cara kita memperhatian sesuatu. Dengan demikian kepedulian sosial berarti memperhatikan atau menghiraukan orang lain. Kalau ditelusuri lebih jauh, makna dari kata kepedulian sosial sangatlah luas. Namun kita simpulkan saja bahwa kepedulian sosial adalah kegiatan yang mengandung unsur perbuatan baik kepada sesama manusia.
Ragam komunitas perempuan Indonesia yang fokus pada masalah-masalah kemiskinan serta peningkatan ekonomi pun telah menjamur. Tidak terkecuali pada komunitas ibu-ibu istri pegawai di instansi-instansi pemerintah dan swasta. Di samping membentuk komunitas sesama istri pegawai, mereka juga terjun ke masyarakat bawah yang membutuhkan bantuan.
Kita mengenal sebutan Dharma Wanita bagi para istri Pegawai Negeri Sipil di negeri tercinta ini misalnya. Dharma Wanita memiliki tugas pokok yaitu, “Membina anggota, memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, serta meningkatkan kepedulian sosial dan melakukan pembinaan mental dan spiritual anggota agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian serta berbudi pekerti luhur”. (sumber: Wikipedia)

Lalu apa hubungannya dengan PIPEBI?
            Seperti Dharma Wanita, di Bank Indonesia kita juga memiliki komunitas yang terdiri dari para istri pegawai dengan nama Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI).  Tugas pokok yang tercantum dalam Dharma Wanita juga dimuat dalam tujuan dibentuknya komunitas Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia. Maka PIPEBI berdiri tidak semata-mata untuk merangkul para istri pegawai tanpa visi dan misi yang jelas.
Sebagai anggota PIPEBI kita semua tahu bahwa komunitas ini dibentuk agar para istri pegawai mampu mengembangkan kreativitas serta terus belajar bersosialisai dalam ragam kegiatannya. Salah satu contoh adalah kegiatan yang bersentuhan dengan kepedulian sosial. Hal ini juga menjadi bagian mendasar yang tercantum di program kerja PIPEBI.
Di berbagai ragam program kerjanya PIPEBI telah mengambil bagian kepedulian terhadap permasalahan sosial dan lingkungan, meningkatkan kapasitas diri, membangun serta membina sisterhood di antara para anggotanya. Di setiap program kerja tahunannya PIPEBI selalu memuat kegiatan-kegiatan yang merupakan bentuk kepedulian sosial.
Beberapa contoh bentuk kepedulian sosial itu seperti; menyantuni anak yatim di bulan Ramadan, mengunjungi dan memberikan bantuan kepada PAUD secara berkala, memberikan santunan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, menjadi pendonor darah, serta ikut terlibat memberi sumbangan pada korban bencana alam.
Sebagai makhluk sosial, kita tidak mampu untuk hidup sendiri. Kita pasti membutuhkan orang lain walaupun hanya dalam kapasitas kecil. Untuk itu kita terkadang perlu bergabung dalam suatu organisasi atau wadah kebersamaan. Kita bisa belajar membuang sifat egois dan materialistis sehingga kita bisa mengembangkan rasa kepedulian sosial itu kepada objek yang lebih luas lagi. Tidak hanya terhadap sesama anggota dan lingkungan terdekat.
PIPEBI adalah wadah yang sudah dibentuk untuk pengaplikasian rasa kepedulian sosial sesama anggotanya. Tinggal kitalah yang memilih seperti apa bentuk aplikasi itu, baik ke dalam maupun ke luar. [Majalah Insani PIPEBI, Rubrik Sketsa, edisi Januari 2015]


Rabu, 04 Februari 2015

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan UU ITE

Saat membaca undangan di grup Learning Forever, saya langsung tertarik. Apa itu Learning Forever? Grup ini adalah tempat para blogger yang pernah ikut di Workshop "Fun Bloging" dengan pemateri tiga perempuan cantik; Ani Berta, Haya Aliya Zaki, dan Shinta Ries.
Kembali ke undangan yang di-share di grup tersebut. Isinya adalah tentang “Dialog Kemerdekaan Berekspresi di Media Sosial Indonesia” yang digelar oleh Forum Demokrasi Digital (fdd). Sebagai pengguna media sosial yang hampir tidak pernah absen setiap harinya, saya juga ingin tahu apa yang perlu dipahami. Namun, mengingat akan ada pembahasan undang-undang di situ, saya yakin topik yang akan dibahas cukup berat. Namun, saya berharap akan banyak pengetahuan baru yang bisa saya dapatkan di acara itu, terutama yang terkait dengan penggunaan media sosial.

Ini undangannya (foto dari LF)
Untuk alasan itu, di hari Selasa, 3 Februari 2015, pagi-pagi sekali saya sudah bersiap untuk berangkat. Saya sengaja ikut dengan suami yang tempat kerjanya searah dengan lokasi acara (Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta Pusat). Di undangan terjadwal acara akan dimulai pada pukul 08.30 WIB. Jadi, saya pikir sudah paslah jika saya ikut sekalian dengan suami.

Setelah mengantar suami ke kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, saya pun langsung meluncur ke lokasi acara. Saat tiba depan ruangan acara, suasana masih terlihat sepi. Di meja penerima tamu saya bertemu dengan Mas Eddy Prasetyo a.k.a Mataharitimoer. Kepada beliaulah saya mendaftar sebagai peserta undangan beberapa hari sebelumnya. Setelah berbincang sebentar saya akhirnya masuk ke ruangan.
Belum ada pesertanya:) (dokpri)
Ternyata ada yang lebih pagi datangnya dari saya. Setelah saling berkenalan, saya akhirnya tahu kalau mereka adalah pasangan suami istri yang akan berbagi di acara dialog itu. Bagi yang tidak pernah absen memantau perkembangan berita, pasti tahu nama Ervani Emi Handayani. Dialah salah satu korban UU ITE yang belakangan santer jadi objek berita di media. Ervani datang dari Jogjakarta bersama suami.
Saya dan Ervani (dokpri)
Wah! Saya senang sekali bisa berkenalan dan berbincang lebih dulu dengan mereka. Tanpa sungkan Ervani bercerita tentang kasus yang telah menimpanya kepada saya. Gara-gara memasang status di akun facebook, terkait ketidakpuasan dan kritik terhadap perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja (ini salah satu link beritanya), Ervani dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dari pengalaman pahit beliau, saya bisa memetik pelajaran penting dalam adab dan etika bersosial media.
Mas Banyumurti sebagai moderator acara (dokpri)



Setelah menunggu sekitar satu jam lebih, acara pun dibuka oleh Moderator, Indriyanto Banyumurti (Relawan TIK). Pada kata pembuka yang disampaikan, Mas Banyu menginformasikan bahwa acara dialog bersifat diskusi cair dan santai. Semua yang hadir diperbolehkan mengajukan pertanyaan, pendapat, serta masukan sesuai dengan topik yang akan dibahas.

Mas Ipul Gassing (dokpri)
Serius menyimak (dokpri)
Selanjutnya, paparan pertama disampaikan oleh Ipul Gassing, mewakili SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara. Ipul memaparkan beberapa kasus pelanggaran kebebasan berinternet di Indonesia yang tercatat oleh SAFENET sejak tahun 2008 – 2014. Sejak tahun 2008, UU ITE telah melahirkan 74 kasus dan tersebar di dunia maya dan dicatat oleh SAFENET.

“Kami percaya, masih banyak lagi kasus di luar itu yang tidak sempat tercatat oleh SAFENET,” ujar Ipul.

Dalam lanjutan paparannya, Ipul menyebutkan bahwa ada 53% kasus (30% dengan rata-rata 4 kasus perbulannya) terjadi di tahun 2014 terkait dengan status di internet. Sebarannya terjadi mulai dari Aceh sampai ke Sulawesi Selatan (Makasar). Sebanyak 92% kasus yang dilaporkan adalah tindakan pencemaran nama baik, baik di akun facebook, SMS, twitter, bahkan di ranah yang dianggap tertutup, seperti line group. Namun, menurut catatan SAFENET, kasus serupa belum pernah terjadi di Timur karena kesulitan berinternet di sana.

Sementara, 71% dari kasus tersebut dibawa ke pengadilan dan 13% dinyatakan bersalah serta menerima hukuman di bawah 1 tahun penjara. Sisanya selesai begitu saja tanpa kejelasan. Lalu, 37% dari 74 kasus tadi, dilaporkan oleh pejabat publik. Pejabat publik ini melaporkan warganya yang telah mencemarkan nama baik lewat media sosial.

Ipul memaparkan contoh terkait dengan pencemaran nama baik tersebut. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan yang melibatkan Muhammad Arsad sebagai pelakukanya. Arsad mengkritik kebijakan pejabat Selayar melalui status BB-nya. Status itu membuat Arsad dilaporkan telah mencemarkan nama baik. Tidak hanya dipenjara, Arsad juga dicopot dari jabatannya.

Sesi berikutnya diselingi dengan acara launching buku rangkaian seri “Internet untuk Semua”, hasil penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Buku diserahkan secara simbolis oleh Wahyudi Djafar (wakil dari ELSAM) kepada Ervani Emi Handayani (salah satu korban UU ITE). Ada empat rangkaian seri buku yang di-launching pada acara tersebut.

Penyerahan buku ELSAM secara simbolis (dokpri)
Di dalam buku berjudul “Membelenggu Ekspresi” yang disusun oleh ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) itu dikatakan, bahwa meningkatnya penggunaan internet telah berdampak pada terjadinya peningkatan jumlah kasus dan jenis kejahatan dunia maya. Berangkat dari sana, maka dibuatlah sejumlah kebijakan yang dimaksudkan bisa mengontrol dan mengawasi penggunaan internet, yang dibarengi dengan ancaman pemidanaan.

Kebijakan ini khususnya yang terkait dengan konten internet itu sendiri. Ada dua isu penting terkait dengan pengaturan konten internet, yaitu isu mengenai pembatasan dan penyaringan konten, serta pemidanaan terhadap pengguna akibat konten yang disebarluaskan. Ini pula yang menjadi bagian pembahasan dalam dialog.

Acara berikutnya adalah sharing pengalaman pahit yang telah menimpa para korban implementasi UU ITE. Sharing pertama disampaikan oleh Wisniyetti, salah satu korban UU ITE asal Bandung. Wisniyetti terjerat Pasal 27 ayat 1 terkait dengan isi chat-nya di inbox facebook dengan salah satu temannya. Karena kasusnya masih berjalan, maka saya tidak bisa menuangkan secara rinci di catatan ini.

Sharing berikutnya disampaikan oleh Ervani Emi Handayani. Dia menyampaikan kronoligis kejadian yang telah menyeretnya ke ranah hukum. Seperti yang telah disampaikan Ervani kepada saya sebelumnya, kasusnya bermula dari status yang dia buat di akun facebooknya. Dalam status tersebut Ervani menyampaikan ketidakpuasan dirinya dan suami atas perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja. Ervani dituduh mencermarkan nama baik dan saat ini sudah dinyatakan bebas.
Ervani menyampaikan kasusnya di forum dialog (dokpri)
Berikutnya, Muhammad Arsad yang terjerat pasal 27 ayat (3) karena menulis hal yang dianggap melecehkan salah satu pejabat di Makasar di status Bbm-nya. Kata-kata yang dituliskannya akhirnya menyeretnya hingga ke penjara selama 100 hari.

“Kebanyakan orang-orang yang terjerat Pasal 27 ini adalah karena mereka melakukan kritik terhadap apa yang dianggapnya tidak benar, namun akhirnya membahayakan diri mereka sendiri,” ujar Arsad.

Ketiga korban pada prinsipnya meminta dukungan para pengambil kebijakan terkait dengan hukum dan masalah yang telah dan sedang mereka hadapi di ranah maya (media elektronik). Semuanya itu merujuk pada UU ITE Pasal 27.

Lalu, ada apa sih dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE ini? Dalam buku Problem Pasal Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya, disebutkan bahwa dalam UU ITE pada Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dilihat dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa secara umum elemen-elemen kejahatan dalam pasal ini melibatkan:

1. Setiap orang
2. Dengan sengaja dan tanpa hak
- mendistrribusikan
- dan/atau mentransmisikan
- dan/atau membuat dapat diaksesnya
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
4. Yang memiliki muatan
- penghinaan dan/atau
- pencemaran nama baik

Sementara dari apa yang saya pahami (sebagai masyarakat awam yang suka nge-blog, punya akun facebook, twitter, dan suka juga chattingan), dari implementasi UU ITE ini, khususnya Pasal 27 ayat (3), ternyata cakupannya cukup luas dan multitafsir. Kekuatannya tidak hanya pada orang yang membuat muatan internet secara bebas, tetapi juga moderator serta pengguna lain yang ikut meneruskan muatan tersebut.

Untuk itu, banyak pihak berharap agar pasal-pasal dalam UU ITE itu dirumuskan ulang. Sebagai pengguna media sosial, saya dan kita semua menginginkan agar UU ITE terkait pasal-pasal yang sifatnya multitafsir tadi, direvisi menjadi ketentuan yang tidak mengekang kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi.

Selanjutnya mengapa Forum Demokrasi Digital (ffd) memfasilitasi untuk menggelar diskusi terkait dengan Undang Undang ITE? Dari kasus-kasus yang telah terjadi, dikhawatirkan bahwa UU ITE akan menjadi alat baru yang bisa digunakan oleh penguasa untuk membungkam para pengkritiknya.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu juga dirasakan bisa sangat merugikan para pengguna media sosial. Rumusan pada pasalnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, karena sangat rentan pada penafsiran apakah suatu protes serta pernyataan pendapat/pikiran dapat dikategorikan sebagai penghinaan.

Atas semua kekhawatiran yang sedemikian memuncak itulah, dialog digelar. Dialog ini bertujuan membahas usulan revisi atau bahkan penghapusan terhadap Pasal 27 Junto pasal 45 ayat 1 di UU ITE, yang mengatur tentang hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ini diharapkan menjadi prioritas Legislasi pertama komisi I DPR RI di tahun 2015 ini.
Bapak Rudiantara menyampaikan tanggapannya (dokpri)
Bapak Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika RI) yang hadir di acara dialog tersebut, memberikan pendapatnya. Pada dasarnya beliau akan terus berupaya melakukan upaya peninjauan ulang terhadap UU ITE Pasal 27 ayat (3) tersebut. Menurut Rudiantara, sebenarnya UU ITE yang telah berjalan selama ini sudah memberikan keuntungan kepada semua pihak pengguna Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurutnya lagi, sebenarnya yang menjadi dasar permasalahan bukan pada pasalnya, tapi lebih pada penerapan Pasal 27 ayat (3) tersebut.

“Kalau aparat hukum mau menerapkan Pasal 27 ayat (3) itu dengan sanksi hukum di atas 5 tahun, pertama harus berhati-hati, kedua harus mempunyai kapasitas yang memadai,” tambah Rudiantara.
Ibu Meutya Hafid (Anggota Komisi I DPR RI)
Apa yang disampaikan oleh Menkominfo, sejalan dengan paparan Meutya Hafid (Anggota Komisi 1 DPR). Pada prinsipnya usulan dan masukan revisi terhadap Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (3) akan tetap diakomodir. Menkominfo juga berjanji akan mengawal revisi UU ITE pada Program Legislasi Nasional 2015. Namun tetap harus mengikuti proses terkait yang semua bermuara pada proses politik di DPR. 
Foto bersama (Sumber foto: Mataharitimoer Mt)
Saya dan Menkominfo (dokpri)


Acara berakhir pada pukul 13.30 WIB dan ditutup dengan makan siang bersama. Dengan berakhirnya acara tersebut, hasil dialog yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan (mewakili para pengambil kebijakan), para korban, pemerhati internet/demokrasi digital, civil society organization, dan para blogger ini diharapkan akan memberikan masukan yang konstruktif terhadap usulan revisi UU ITE Pasal 27 ayat (3). [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...