Senin, 23 Juli 2012

Bunga Mawar Abadi



Wanita itu masih termangu di depan cermin etalase toko kosmetik. Matanya masih tertuju pada bayangan dirinya di cermin. Bentuk tubuhnya yang masih mengembang di bagian-bagian tertentu, membuatnya patah semangat untuk meneruskan memilih produk kecantikan yang ingin dibeli.
“Silahkan, Bu…dipilih saja mana yang cocok untuk Ibu. Kalau mau saya bantu, sepertinya Ibu cocok memakai produk yang ini. Dengan memoleskannya sedikit lebih tebal di wajah, akan meyamarkan garis-garis di sudut mata dan bibir,” ujar pelayan toko kosmetik menyadarkan wanita itu. Sesekali dilihatnya perempuan cantik yang sedang sibuk mencoba produk kosmetik lainnya. Perempuan bertubuh semampai dan masih langsing itu begitu segar dan terlihat muda.
“Win, kamu enggak jadi beli?” tanya perempuan cantik itu. Wanita itu menggelang pelan.
“Lho! Ada apa? Tadi kamu yang semangat mengajak aku ke sini,” ujar perempuan itu lagi. Wanita bernama Wina itu tiba-tiba merasa malas memilih-milih kosmetik di depannya.
Wina dan perempuan cantik itu sebenarnya masih seumuran. Usia mereka baru saja melewati empat puluh tahun beberapa bulan lalu. Tapi, Wina terlihat jauh lebih tua dari perempuan cantik itu. Selama ini, Wina tak pernah memerdulikan perbedaan diantara mereka, namun lama-kelamaan hatinya merasa tersaingi juga. Ini bermula dari respon suaminya tentang Ratih, perempuan cantik yang sudah menjadi sahabatnya sejak masa kuliah.
“Ratih itu masih terlihat cantik dan segar ya, padahal anaknya sudah besar-besar,” komentar suami Wina suatu hari ketika mereka sama-sama menghadiri undangan perkawinan.
“Ya iyalah, uang suaminya banyak dan berlebih-lebih. Apa sih yang Ratih enggak bisa beli. Bahkan kecantikan pun sekarang bisa dia beli, tanpa berpikir besar biayanya,” protes Wina pada suaminya, seorang pegawai swasta yang hanya memberinya tak lebih dari uang bulanan untuk keperluan rumah tangga.
“Kamu menyindirku?” sela suami Wina waktu itu. Wina diam, tak mau berbalas argumentasi. Hatinya cemburu bukan main dengan komentar sang suami terhadap kecantikan Ratih.
Sejak suami Wina memberi penilaian terhadap sosok Ratih, diam-diam Wina pun berusaha keras untuk mencari cara, supaya dirinya bisa secantik dan selangsing Ratih. Wina mendaftarkan diri di pusat kebugaran. Setiap tiga kali seminggu dia mengikuti senam. Mulai dari aerobic low impact, filates hingga yoga, semua dia coba. Sudah lebih dua bulan Wina menjalankan program olahraga itu, namun belum terlihat perubahan pada bentuk tubuhnya. Wina mulai putus asa dan tak kuat lagi membendung rasa ingin tahunya. Akhirnya Wina berterus terang pada Ratih kalau dia cemburu pada kecantikan temannya.
“Aku cemburu sama kamu Rat,” katanya suatu ketika.
“Lho, kenapa?” tanya Ratih bingung melihat sikap Wina.
“Umur kita sama, tapi kamu jauh terlihat lebih muda dari aku. Resepnya apa sih?” tanya Wina tak bisa lagi menutupi rasa penasarannya.
“Aaah, biasa saja,” jawab Ratih masih tak mau serius menanggapi pertanyaan Wina.
“Iyalah, uang suamimu banyak ya. Pasti kamu dengan gampang kalau ingin mengencangkan kulit wajah atau mengurangi lemak di badanmu. Tinggal face lift atau sedot lemak, bayar dengan harga tinggi..beres,” ujar Wina mendengar jawaban Ratih yang menurutnya sengaja menutup-nutupi rahasia kecantikannya.
“Haaah?! Kamu salah Win! Mana mau suamiku menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang sifatnya sementara dan tidak alami seperti itu,” balas Ratih terkejut mendengar komentar Wina.
“Lalu, bagaimana kamu masih tetap sesegar ini? Penampilanmu enggak jauh beda dengan zaman-zaman kita mahasiswa dulu. Kamu enggak usah bohongi aku dong, Rat,” ujar Wina lagi tak percaya.
“Enggak, Win. Cantik itu relatif. Aku cuma sedikit lebih hati-hati dengan makanan. Pengaturan pola makanku yang selalu tertata sejak masih gadis dulu, terbawa sampai sekarang. Kamu lupa ya, kalau aku kurang suka makanan-makanan yang terlalu tinggi lemak dan kurang berserat,” jawab Ratih menerangkan panjang lebar.
“Aku sudah mencoba caramu itu, malah plus olahraga, tapi hasilnya enggak maksimal,” sela Wina kesal.
“Perawatan kesehatan itu tidak bisa instan, Win. Semua harus dilakukan secara bertahap. Kamu tidak boleh cepat menyerah. Pola makan dan hidup yang sudah sekian lama kurang tertata, rasanya sulit diubah dengan sebulan dua bulan,” tambah Ratih lagi. Wina diam, tak berani membantah. Dalam hati, dia membenarkan pendapat Ratih.
“Satu lagi Win, kesehatan fisik tidak bisa terjaga jika tak didukung oleh kesehatan jiwa,” kata Ratih masih menambahkan. Wina terperanjat.
“Maksudmu? Aku termasuk wanita yang jiwanya sakit, begitu?” tanyanya sedikit tersinggung.
“Aduh! Maaf, bukan begitu maksudku. Segala yang terpancar di permukaan diri kita, baik itu tubuh, wajah, maupun sikap, adalah cerminan dari jiwa kita. Kamu tak perlu khawarir kalau badanmu tak selangsing dulu lagi, jika aura yang terpancar dari jiwamu masih tetap Wina yang dulu. Aku melihatmu tetap sama seperti dulu, Win,”
“Tapi, suamiku tidak!” sela Wina cepat.
“Jangan khawatir. Terkadang suami memuji perempuan lain di depan kita, bukan karena dia tak cinta lagi pada kita, Win” kata Ratih lagi.
“Lalu, apalagi namanya kalau bukan karena dia sudah bosan melihat tubuhku yang gembrot ini?” protes Wina mulai kesal kembali.
“Jangan terlalu cepat menuduh kalau suamimu tak menyintaimu lagi. Bisa saja dia hanya ingin memberi isyarat, supaya kamu mulai memperhatikan kesehatanmu. Bentuk perhatian itu kan macam-macam bentuknya,” tambah Ratih berusaha meredam praduga negatif Wina pada suaminya.
Kata-kata Ratih, masih terngiang-ngiang di telinga Wina. Wanita berumur empat puluh tahun itu pun mulai mengubah cara hidupnya. Sudah beberapa bulan ini dia berusaha keras menata ulang pola makan dan waktu untuk berolahraga.
“Kamu pilih yang ini. Ini warna natural lho Win. Ayo cobain deh,” ujar Ratih membuyarkan lamunan Wina. Akhirnya Wina membiarkan pelayan toko merias wajahnya. Riasan itu dibawanya hingga ke rumah.
“Ini dia, bunga mawarku yang masih tetap segar meskipun usianya sudah 40,” komentar suami Wina menyambut kepulangan istrinya. Ratih tersenyum melihat rona merah yang semakin memperjelas blush on di pipi Wina.
“Terimakasih ya Rat. Ternyata cantik itu enggak mesti mahal. Semua bermula dari sini,” ujar Wina sambil meletakkan telunjuknya di dada. [Ny. Wiwiek Indra Gunawan]

 --------------
Dimuat di majalah Insani (PIPEBI) edisi 15/TH VII/AGT 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...