Kamis, 11 Agustus 2016

Sehari Bersama Stefano Romano (Part 1)


Stefano dan murid-murid PKBM Al Falah

            Hari Rabu, 10 Agustus 2016 menjadi hari yang sangat mengesankan. Tidak hanya untuk saya, tapi juga buat anak-anak pemulung yang ada di PKBM Al Falah Bantargebang, serta murid-murid SDIT Thariq bin Ziyad Pondok Hijau Permai Bekasi. Dua sekolah dengan basis kurikulum dan sistim pembelajaran yang jauh berbeda ini, kedatangan seorang fotografer luar negeri yang namanya cukup kondang.
Semua bermula dari perkenalan saya dengan sang fotografer di sebuah momen yang tidak pernah saya duga. Fotografer kondang yang lebih memilih spesialisasi foto wajah (portrait photography) ini, saya kenal dalam suasana pemotretan. Namun, kisah perkenalan saya dengan beliau akan saya ceritakan di postingan lain dalam blog ini. 
Saya tidak menyangka kalau akhirnya bisa bertemu dan mengenal Stefano Romano. Kalau kita mencari informasi tentang dirinya di internet, pasti akan menemukan banyak sekali cerita mengenai sosok pria kelahiran 11 Januari 1974 ini. Betul! Dunia fotografer tentu sangat mengenal pria asal Roma Italia ini. Apalagi setelah ia berhasil melahirkan karya yang berisikan kumpulan foto wajah Indonesia dalam buku yang berjudul “Kampungku Indonesia”.     


Momen yang mempertemukan saya dan Stefano Romano

Dari perkenalan itulah akhirnya Stefano menguping bincang-bincang saya dengan salah satu wartawan dari majalah Islam. Ia mendengar kalau selama ini saya mengajar kelas ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis di dua sekolah tadi. Stefano adalah seorang mualaf yang sejatinya sangat mencintai anak-anak, khususnya anak-anak Indonesia. Mendengar perbincangan itu, ia meminta saya mengajaknya ke sekolah anak pemulung tempat saya mengajar. Seperti pucuk di cinta ulam pun tiba, tentu tawaran itu tidak saya sia-siakan.
Sedikit sulit juga dalam menetapkan tanggal buat Stefano. Jadwal beliau selama tiga bulan di Indonesia memang cukup padat. Namun, tidak ada niat baik yang tak menemukan jalannya. Akhirnya kami pun sepakat di tanggal 10 Agustus 2016. Meskipun dalam hati, saya ingat kalau tanggal itu adalah hari wedding anniversary saya, saya harus tetap profesional. Dan, syukurnya setelah itu, suami saya justru sangat mendukung. Anggap saja ini sebagai kado istimewa juga buat saya dan suami.

Dari Citos Menuju Al Falah Bantargebang Bekasi
            Rabu pagi itu, sekitar jam 7, saya sudah sampai di depan Mal Cilandak Town Square (Citos). Alhamdulillah, perjalanan dari Bekasi – Citos pagi itu lancar. Saya tiba tepat waktu. Namun, saya harus menunggu Stefano dan istrinya, juga sahabat saya, Ade Nursa’adah yang ingin ikut di momen kunjungan itu. Sejam setelah itu, akhirnya kami sudah berkumpul. Saya segera membawa mereka menuju Bantargebang Bekasi.
            Perjalanan yang menghabiskan durasi 1 ½ jam lebih itu akhirnya membawa kami tiba di halaman sekolah Al Falah. Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Al Falah yang berada di bawah naungan Yayasan Ummu Amanah, milik Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, sahabat saya ini, lokasinya berada di kawasan Tempat Pembuang Akhir (TPA) sampah. Sejak tahun 2012, saya sudah akrab mengajar menulis di sana. 

Murid-murid Al Falah siap menyimak materi dari Stefano

            Sekolah yang berada di kawasan pembuangan sampah ini sempat membuat saya cemas. Saya pikir Stefano, Mbak Bayu (istri Stefano), dan Ade (sahabat saya) akan terganggu dengan aroma sampah yang semilir memenuhi penciuman kami. Ternyata, mereka sama sekali tidak memedulikan aroma itu. Justru ekspresi sumringah yang jelas terpancar dari mata dan wajah mereka.
            Pihak sekolah pun menyambut kehadiran kami dengan penuh antusias. Sekitar 50 murid dari sekolah tempat anak-anak pemulung itu sigap berkumpul di aula terbuka untuk menyambut kehadiran kami. Wajah-wajah dengan tatap mata gembira sibuk menatap sosok Sang Fotografer. Mereka seperti tak sabar ingin segera mengenal dan menyimak pengalaman dari Stefano Romano.


            Saya membuka pertemuan itu dengan salam dan menjelaskan tentang tujuan kedatangan Stefano ke sekolah itu. Setelah itu, saya memperkenalkan Stefano Romano dan profesinya sebagai fotografer internasional. Begitu mendengar asal negara Stefano, suara riuh mereka tak bisa dibendung sesaat. Saya yakin, kalau mereka sangat bangga karena dikunjungi oleh seorang fotografer sekelas Stefano Romano.
            Sesi berikutnya langsung diambil alih oleh Stefano Romano. Beliau menjelaskan tentang awal dia memilih mencintai seni fotografi. Yang membuat anak-anak pemulung itu bolak-balik bertepuk-tangan, ketika Stefano mengatakan kalau dia sangat mencintai Indonesia.
            “Indonesia adalah kampung kedua buat saya,” tegas Stefano lalu disambut dengan tepuk tangan meriah dari anak-anak.
            Stefano juga berbagi kisah tentang alasannya menjadikan Indonesia sebagai kampung keduanya setelah Roma Italia. Diawali oleh kekagumannya saat memotret wajah-wajah berhijab, akhirnya Stefano Romano menambatkan hati dan keyakinannya untuk memeluk Islam di tahun 2010. Lewat lensa kameranya itu pula, Stefano banyak mengenal Islam dan keindahannya. Setelah memeluk Islam, ia memutuskan menikah dengan perempuan Indonesia bernama Bayu Bintari Fatmawati di tahun yang sama. Dari sanalah ia mulai mencintai Indonesia. Sejak menikah, Stefano sudah tiga kali berkunjung ke negeri istrinya.

Nurafifah
            Murid-murid Al Falah menyimak dengan tekun setiap paparan yang disampaikan Stefano. Yang paling membuat suasanya menyenangkan adalah saat sesi tanya-jawab dibuka. Anak-anak itu seolah berlomba ingin mengajukan pertanyaan seputar fotografi. Tawa riuh menggelegar saat Stefano meminta anak-anak memanggilnya dengan sebutan Aa atau Akang.
            “Aa … eh, Kang … eh, manggilnya apa?” ujar Nurafifah, salah satu murid kelas ekskul menulis, gugup dan malu-malu.
            “Enggak mau bilang Akang?” canda Stefano membuat suasana semakin riuh penuh tawa. 

            “Mengapa Kang Stefano lebih suka memoto wajah?”
            “Karena kalau foto kaki itu tidak bagus,” balas Stefano dengan gurauannya memancing semua tertawa

"Di Indonesia, apa saja yang sudah dijadikan objek foto?"

            Begitulah, anak-anak bergilir mengajukan pertanyaan seputar dunia fotogarfi. Bagi yang bertanya, Stefano membagikan boneka lucu yang di bagian dadanya tersemat inisial nama beliau. Bukan itu saja, anak-anak yang bertanya juga mendapatkan hadiah wafer cokelat. Senang banget saya melihat kegembiraan mereka. Ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan buat anak-anak pemulung itu.

Di lokasi dekat dengan gunung sampah


            Sesi berikutnya, saya meminta anak-anak menenami Stefano untuk melihat lokasi gunung sampah yang tertinggi di Indonesia. Teriknya matahari sedikit pun tidak menyurutkan momen indah kebersamaan kami dengan Stefano pagi menjelang siang itu.
            Anak-anak yang sebagian adalah murid-murid saya dari kelas ekskul menulis, sangat antusias mendampingi Stefano mengambil objek untuk difoto. Tawa dan canda mereka sesekali meramaikan rombongan kami yang berjalan kaki menuju lokasi. 

Melihat isi buku "Kampungku Indonesia" karya Stefano
            Setelah puas memotret objek, akhirnya kami kembali ke sekolah. Belum puas rasanya sehingga Stefano seolah masih ditahan untuk diajak berfoto bersama guru-guru. Buku kumpulan foto “Kampungku Indonesia” pun ikut meramaikan kebersamaan itu. Mereka terkagum-kagum melihat isi buku karya Stefano. Cara Stefano memotret dan menghasilkan gambar yang menakjubkan membuat mulut mereka berdecak kagum. 

Klik di sini
Klik aja ya ^_^

Ingin berlama-lama di sana, namun waktu yang membatasi kebersamaan kami. Saya mengingatkan Stefano untuk jadwal kunjungan berikutnya. Dengan berat hati, akhirnya kami meninggalkan Al Falah.

Menyempatkan makan siang dan sholat sebelum sesi kunjungan berikutnya
            Dari Bantargebang, saya kembali membawa Stefano, Mbak Bayu, dan Ade menuju SDIT Thariq bin Ziyad. Cuaca panas ternyata memaksa kami untuk mampir sejenak di sebuah restoran sederhana. Kami memesan menu makan siang dan bergantian sholat. Saya puas ketika melihat Stefano menyantap menu pilihan istrinya dengan lahap. Syukurlah … menu pilihan mereka di resto pilihan saya memuaskan mereka. [Wylvera W.]

(Bersambung ….)


Sabtu, 23 Juli 2016

Cerita di Balik Pelatihan Menulis di Pulau Pramuka


Dokumentasi acara
       
         Bagaimana saya tidak mencintai profesi ini? Dari profesi sebagai penulis, saya telah menemukan banyak sekali pengalaman indah dan mengesankan. Permintaan untuk berbagi ilmu tentang menulis seolah tak pernah putus menghampiri. Bahkan ketika saya sedang merasa kurang produktif melahirkan karya buku pun permintaan itu tetap berdatangan. Seperti biasa, saya selalu sulit untuk menolaknya.
            Tepat sehari setelah memasuki Ramadan 1437 H, saya mendapat tawaran melalui inbox facebook.  Ade Ganiarti (teman saya yang juga penulis) menanyakan kesediaan saya untuk menjadi narasumber dalam kegiatan pencanangan “Gerakan Literasi Siswa SMA”. Seperti biasa, saya berusaha tidak menolak setiap tawaran untuk berbagai ilmu menulis, terutama untuk anak-anak dan remaja. Namun, kali ini murid-murid SMA yang akan saya berikan motivasi dan keterampilan menulis itu berada di Pulau Pramuka, salah satu pulau yang ada di Kepulauan Seribu Jakarta.
            Singkat cerita, Mbak Ade yang berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Jakarta itu menyambungkan komunikasi dengan Pak Firdaus, Kepala Sekolah SMA Negeri 69 Pulau Pramuka. Tawaran pun kembali diajukan langsung oleh Pak Firdaus lewat whatsapp (WA). Hingga akhirnya kami menemukan kesepakatan tentang tanggal dan hari pelaksanaan.

Menuju pantai Marina Ancol
            Menjelang hari “H”, saya sudah siap untuk berbagi pengalaman kepada murid-murid SMA N 69 di Pulau Pramuka. Tepat di hari Kamis, 21 Juli 2016, selepas sholat Subuh, saya sudah siap menyetir menuju pantai Marina Ancol. Dari sanalah kapal boat cepat yang akan mengantarkan saya menuju Pulau Pramuka. Saya tidak sendiri. Ada Ratna, sahabat yang Insya Allah akan selalu mendampingi saya di kegiatan pelatihan menulis. Ratna menyebut dirinya sebagai asisten. Sementara saya menjulukinya sebagai manejer. Lucu ya? Begitulah kami.

Menunggu naik ke kapal boat cepat
Menikmati ombak kecil menuju Pulau Pramuka
Pak Firdaus telah menyiapkan tiket pergi dan pulang untuk kami berdua. Tiba di pantai Marina Ancol, kami hanya perlu melakukan registrasi ulang di meja penjualan tiket, lalu menunggu waktu keberangkatan. Tidak hanya kami yang akan diantarkan oleh kapal boat cepat itu. Ada banyak pengunjung dan wisatawan yang akan turun di pulau-pulau kecil lainnya selain Pulau Pramuka. Begitu jam delapan, kami pun berkumpul di dermaga untuk menunggu giliran dipanggil menaiki kapal. Setelah semua penumpang kapal naik, perjalanan menempuh lautan lepas pun dimulai.

Tiba di dermaga Pulau Pramuka dan SMA Negeri 69 Jakarta
            Perjalanan laut yang menghabiskan durasi sekitar satu jam itu, akhirnya membawa kami tiba di dermaga Pulau Pramuka. Satu per satu penumpang menuruni kapal, termasuk saya dan Ratna. Begitu turun, dengan percaya diri kami langsung jalan melewati pintu gerbang kedatangan di Pulau Pramuka. Sementara saya sendiri belum tahu letak sekolah yang akan kami tuju. 

Naik andong menuju SMA N 69
            Ternyata untuk menuju sekolah itu tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki buat ukuran kaki kami. Itu yang dikatakan oleh seorang ibu (warga yang tinggal di pulau itu). Ibu itu menyarankan agar kami naik andong - gerobak yang mampu menampung sepuluh penumpang - yang ditarik dengan sepeda motor. Perjalanan pun dilanjutkan menuju SMA N 69 dengan menaiki andong. Bayarannya murah sekali. Cukup memberi 5000 rupiah saja untuk satu orang. Namun, saya memilih melebihkannya, mengingat jarak tempuhnya lumayan mutar-mutar.

Sisi dalam bangunan SMA N 69 (Sumber foto: www.beritajakarta.com)

            Sesampainya kami di depan pintu gerbang SMA N 69, beberapa siswa perempuan menyambut kedatangan kami dengan wajah yang sedikit bingung. Sempat terbesit keraguan di hati saya melihat ekspresi wajah mereka itu. Namun, setelah saya mengatakan ingin bertemu dengan Pak Firdaus, mereka langsung mengantarkan kami untuk bertemu dengan Bu Dewi (guru Bahasa Indonesia di sekolah itu).
            Bu Dewi mengajak kami ke ruang Kepala Sekolah. Setelah menunggu beberapa saat, Pak Firdaus akhirnya kembali ke ruangannya. Perkenalan pun berlangsung menyenangkan. Pak Firdaus bercerita sekilas tentang kondisi sekolahnya. Beliau ternyata baru dua bulan ditempatkan dan menjadi kepala sekolah di sana. Kalau dilihat dari fisik sekolahnya, SMA Negeri 69 memang terlihat megah dengan bangunannya yang cukup permanen. Tapi ternyata tidak sebanding dengan jumlah tenaga pengajar dan kemampuan siswa-siswinya di bidang akademik. 

“Sekolah kami sebenarnya masih sangat membutuhkan tenaga guru untuk beberapa mata pelajaran penting, namun sampai saat ini belum terpenuhi juga,” ujar Pak Firdaus sangat berharap.
Yang menjadi pertimbangan dan penghambat utama bagi para guru yang akan ditempatkan di sekolah itu mungkin adalah jarak dan lokasi sekolah. Pak Firdaus dan guru-guru lainnya yang ada di SMA N 69 itu sendiri harus rela bermukim sementara di Pulau Pramuka. Mereka tinggal di mess yang disediakan untuk tenaga pengajar sekolah itu. Tidak bisa pulang pergi setiap hari. Kondisi itulah yang membuat saya menyimpan rasa kagum dan salut pada Pak Firdaus dan para staf pengajar di sekolah itu. Mereka rela meninggalkan keluarga untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak di pulau itu. Semoga keinginan Pak Firdaus untuk penambahan tenaga pengajar di sekolah itu segera terwujud. Aamiin ….

Gerakan perdana literasi siswa
Terkait dengan “Gerakan Literasi” sendiri, kehadiran saya yang berprofesi sebagai penulis adalah hal baru buat sekolah itu. Selama ini belum pernah ada penulis yang khusus didatangkan untuk memberikan materi dasar tentang penulisan cerita. Betapa tersanjungnya saya mendengar itu walau diam-diam menyimpan rasa tertantang untuk memberikan yang terbaik.

Mereka sudah siap mengikuti pelatihan menulis
Bu Dewi membuka acara
Setelah berbincang-bincang mengisi perkenalan dan menjalin keakraban bersama Pak Firdaus dan Bu Dewi, kami bersama-sama menuju ruang lab komputer. Di sana sudah menunggu 50 siswa-siswi yang siap menyimak materi motivasi dan pelatihan menulis dari saya.
            Bu Dewi yang bertindak sebagai pemandu acara langsung menertibkan anak-anak dan membuka kegiatan pelatihan. Setelah itu, Pak Firdaus menyampaikan sambutan dan menjelaskan latar belakang digelarnya kegiatan tersebut. Beliau berharap, agar setelah saya memberikan motivasi dan materi dasar tentang menulis, anak-anak yang ada di ruangan itu semangat dan tergugah untuk memraktikkan ilmunya. 

Pak Firdaus memberika sambutan dan pengarahan
“Semoga setelah mendapatkan ilmu dari Bu Wiwiek nanti, kalian menjadi semangat untuk membuat tulisan dan cerita yang bagus. Kalau ceritanya bagus, kita akan coba membukukannya menjadi kumpulan cerita,” ujar Pak Firdaus berusaha membakar semangat anak-anak muridnya.
Mendengar kata-kata Pak Firdaus, dalam hati saya bertekad akan memberikan yang terbaik kepada anak-anak yang duduk menyimak dengan mata penuh antusias itu.

Motivasi dan pelatihan menulis berjalan lancar dan menyenangkan
            Selepas Pak Firdaus memberikan sambutan dan pengarahan, saya segera mengambil alih sesi berikutnya. Salam perkenalan dan penjelasan profil saya menjadi pembuka keakraban di pagi menjelang siang itu. Saya menatap beberapa pasang mata di depan saya. Mata itu penuh dengan rasa ingin tahu. Agar lebih akrab lagi, saya menyebut panggilan “Bunda” untuk diri saya.

Saya memulai pelatihan
“Sebelumnya Bunda ingin tahu, adakah di antara kalian yang pernah dan punya hobi menulis? Apakah itu cerpen, puisi, atau apa saja?” tanya saya ingin tahu.
Hening ….
Tak satu pun di antara mereka yang pernah melakukannya. Ini benar-benar tantangan buat saya dalam menyajikan materi. Saya tidak mau menyerah.

Mereka serius menyimak
“Atau adakah yang pernah curhat dan menuliskan curhatnya di buku harian atau diari, buku tulis atau kertas apa saja?” pancing saya lagi.
            Beberapa detik kembali hening. Tiba-tiba ada yang riuh dan bisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Samar-samar saya mendengar kalau ia punya buku diari.
            “Nah, kamu punya buku diari ya?” tebak saya langsung ke arahnya.
            Anak itu mengangguk. Legalah sedikit hati saya. Dari sana, saya pun melanjutkan materi berisi motivasi tentang menulis. Saya berikan beberapa quote dari orang-orang terkenal yang mencintai dunia literasi. Seperti Ali bin Abi Thalib, J.K. Rowling, Helvy Tiana Rosa, dan quote dari saya sendiri yang memancing senyum dan tawa kecil mereka.
            “Nah, kalau yang paling bawah itu, quote dari penulis cantik yang berdiri di depan kalian ini,” ujar saya membuat mereka tertawa.

Semua cerita berawal dari ide
            Sering sekali bakat menjadi alasan untuk enggan memulai niat menjadi penulis. Termasuk anak-anak yang tak pernah mendapat asupan semangat di dunia tulis-menulis seperti mereka. Saya tidak mau anggapan itu menjadi penghalang bagi mereka. Hanya 1% bakat yang diperlukan untuk keterampilan menulis cerita, sisanya adalah kesungguhan berlatih secara terus-menerus. Saya berusaha meyakinkan mereka untuk itu. 

Nadia mencoba membuat opening cerita
            Selanjutnya, saya meminta mereka untuk meyakinkan diri masing-masing tentang tujuan mereka menulis, menetapkan jadwal rutin menulis, mencoba memberi reward dan punishment terhadap jadwal yang sudah ditetapkan, dan berusaha tekun serta disiplin untuk melakukannya. Setelah itu, saya lanjutkan memberikan materi inti tentang teknik menulis. Mulai dari mengemas ide, membuat judul yang menarik perhatian calon pembaca, menentukan karakter tokoh dan konflik cerita, mempercantik alur dan membuat dialog-dialog yang efisien (tidak bertele-tele), hingga pentingnya melakukan self editing terhadap tulisan sendiri sebelum mengirimkan karya ke media atau mengikutkan tulisan tersebut untuk lomba.
            Di sela-sela sajian slide materi, saya menanyangkan dua ilustrasi. Saya mencoba meminta mereka memancing ide dengan membuat konflik cerita dengan bantuan ilustrasi tersebut. Beberapa saat tidak ada yang berani mencobanya. Saya tidak putus asa dan terus menyemangati. Akhirnya satu murid bernama Nanda memberanikan mencoba. 

Membuat konflik dengan bantuan ilustrasi
            “Adel melihat isi dompetnya. Ternyata dompet itu kosong dan samasekali tidak ada sisa uang jajan di dalamnya. Adel sedih karena obsesinya untuk membeli novel Geranium Blossom belum tercapai,” ujar Nanda membuat saya senang sebab ia mampu membuat konflik cerita dengan lumayan baik.
Nanda mencoba membuat konflik cerita
            Pelatihan menulis terhenti sekitar setengah jam untuk melaksanakan sholat Zuhur dan makan siang. Jam satu tepat acara dimulai lagi untuk memasuki sesi praktik membuat cerita. Saya meminta anak-anak itu untuk mengerahkan semua kemapuannya dalam memilih dan menuliskan cerita dengan memraktikkan materi yang sudah saya berikan. Alhamdulillah, dari 50 cerita yang terkumpul, terpilihlah 3 cerita terbaik yang ditulis oleh Nava Rinta Aresa, Virdatun Nabila, Laiylatul Kodria.

Sesi praktik menulis cerita
Siswa laki-laki tak kalah semangat dengan yang perempuan

Sopian akhirnya berani memulai tulisannya
Tiga penulis cerita terbaik di sesi praktik
            Acara pelatihan diakhiri dengan foto bersama. Namun sebelum mengakhiri catatan ini, saya sangat terkesan dengan salah satu siswa bernama Sopian. Saat saya meminta mereka menetapkan jadwal menulis, Sopian sempat berkomentar lantang, “Nggak punya waktu, Bun!” Maka pada saat praktik, saya mencoba mendekati Sopian dan menyemangatinya. “Kamu nggak perlu mencari ide jauh-jauh. Kamu bisa menceritakan pengalamanmu selama tinggal di pulau ini,” ujar saya setelah mendapat informasi dari Pak Firdaus bahwa Sopian sehari-hari membantu orangtuanya yang berprofesi sebagai nelayan. Itu sebabnya Sopian lantang mengatakan kalau ia tak punya waktu untuk menulis. Di luar jam sekolah, Sopian harus membantu ayahnya mencari ikan di laut.

Foto dengan sebagian peserta pelatihan (yang lain sudah pulang)
            Setelah meyakinkan Sopian, akhirnya ia paham. “Boleh ya Bunda saya cerita tentang pengalaman sebagai nelayan?” tanya Sopian mulai semangat. Saya yakinkan lagi bahwa menuliskan cerita dari pengalaman sendiri itu, jauh lebih mudah dan hasilnya Insya Allah lebih berkesan. Sopian pun semangat menuliskan ceritanya yang berjudul “Kerja keras Membantu Orangtua”.  Walaupun cerita itu tidak terpilih sebagai cerita terbaik, Sopian telah berhasil mengalahkan ketidakpercayaan dirinya.
            Inilah catatan panjang saya tentang momen berbagi motivasi, pengalaman, dan materi dasar untuk menulis cerita untuk siswa-siswi SMA Negeri 69 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Jakarta. Tepat pukul 15.00 WIB, saya dan Ratna harus meninggalkan pulau itu untuk kembali ke pantai Marina Ancol lalu pulang ke rumah.

Foto bareng Pak Firdaus dan Bu Dewi
Semoga apa yang sudah saya bagi mampu menumbuhkan semangat dan kesonsistenan mereka untuk terus rajin membaca dan menulis kisah-kisah indah ke depannya nanti. Semoga suatu hari hari nanti muncul pula penulis keren dari sekolah itu. Aamiin.
            Insya Allah, saya akan mendapatkan kesempatan untuk kembali lagi ke sekolah yang sudah meninggalkan kesan menyenangkan itu. Semoga …. [Wylvera W.]


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...