Kamis, 05 Oktober 2017

Air Zamzam dan Ujian Kesabaran

            
Tempat penyediaan air zamzam - dokpri

        Saya yakin, setiap kaum muslimin yang pernah berhaji dan berumrah pasti memiliki pengalaman. Baik itu pengalaman fisik maupun batin. Untuk pengalaman fisik, bisa jadi ada yang mirip. Namun untuk pengalaman batin tentulah berbeda-beda. Masing-masing akan menjadikannya sebagai hikmah dalam menjalani keyakinan hidupnya sebagai hamba Allah.
            Kemarin saya sempat bercerita tentang pilihan visa yang saya dan suami ambil untuk berhaji. Tentang bagaimana pengalaman kami melewatinya hingga akhirnya kami sampai di Mekkah Al Mukaromah. Ketika berada di tanah haram, segala sesuatu yang terjadi, ada, terasa oleh saya maupun teman-teman sesama rombongan jema’ah, saya selalu berusaha menyikapi dan mengumpulkan maknanya.
            Kali ini perhatian saya tertuju pada air zamzam yang ada di Masjidil Haram (Mekkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Saat musim berhaji, udara yang biasanya panas menyengat akan disejukkan ketika jema’ah tiba di kedua masjid tersebut. Bisa minum air zamzam setiap hari tanpa khawatir akan kehabisan, merupakan berkah yang luar biasa.
            Saya yakin bahwa tidak satu pun jema’ah yang pernah salat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi melewatkan kesempatan meminum air zamzam. Bayangkan berapa jumlah ummat muslim yang minum air zamzam itu setiap harinya, terutama di musim haji dan umrah. Namun, air zamzam tidak pernah kering dan selalu berlimpah. Betapa Maha Kaya dan Kuasa Allah yang tak satu pun mampu menandingi-Nya. 
            Kalau tanpa pemahaman, meminum air zamzam di tanah haram seolah seperti minum air biasa saja. Tapi, sebenarnya tidak demikian. Mengapa tamu-tamu Allah selalu berkeinginan untuk meminumnya? Bahkan ada yang tak segan-segan membawa wadah cukup besar dan mengisinya penuh untuk dibawa bolak-balik ke penginapan bahkan saat pulang ke tanah air masing-masing.
            Dari Ibnu Abbas ra, bahwsanya Rasulullah saw bersabda tentang air zamzam;
            Sebaik-baiknya air dipermukaan bumi ialah air zamzam, padanya terdapat makanan yang menyegarkan dan padanya terdapat penawar bagi penyakit.”
            Saya menyimpulkan bahwa dari sabda Nabi Muhammad saw inilah ummat muslim ingin berulang-ulang minum air zamzam selama ia berada di tanah haram.

Ujian kesabaran karena air zamzam
            Petuah untuk selalu menahan amarah dan meningkatkan rasa sabar selalu kita dengar ketika hendak menuju ke tanah haram. Meskipun menahan amarah dan sabar itu hendaknya dapat kita amalkan kapan dan di mana saja, tapi kadarnya ternyata lebih besar saat berada di tanah suci.
            Ini pula yang terjadi pada saya. Semestinya air zamzam itu menyejukkan, menghilangkan dahaga dan penyakit, menambah stamina saat melakukan prosesi haji dan umrah. Tapi, saat itu ujian tentang air zamzam menghampiri saya.
Kok bisa?
            Saat itu azan Magrib tinggal beberapa menit lagi berkumandang di Masjidil Haram. Saya dan suami yang terlambat datang harus mencari tempat untuk salat. Kami mulai kebingungan. Suami saya tidak ingin membiarkan saya mencari tempat sendirian. Ia berusaha sampai saya menemukan tempat terlebih dahulu. Namun, beberapa titik jalur masuk menuju saf-saf perempuan sudah ditutup oleh petugas.
Akhirnya saya melihat ada tempat yang lumayan cukup untuk membentangkan sajadah. Posisinya dekat dengan deretan tong penyimpanan air zamzam. Suami meminta saya untuk menunggunya selepas salat Isya di tempat yang tak jauh dari situ. Tanpa berpikir macam-macam, saya pun membentangkan sajadah lalu buru-buru mengerjakan salat tahiyatul masjid. 

Mengambil air zamzam sebelum dan sesusah salat
            Setelah azan magrib, saya dan para wanita di saf kami pun khusyuk mendirikan salat. Pada rakaat kedua, saya merasa bagian kaki saya dingin dan menyebar ke gamis bagian bawah. Saya tetap berusaha konsentrasi menyelesaikan salat. Ketika selesai, barulah saya tahu kalau sajadah dan sebagian gamis saya sudah basah oleh genangan air zamzam.
Sesaat sebelum salat, ada perempuan (bukan orang Indonesia pastinya), sibuk mengisi botolnya dengan air zamzam. Ia masih berjongkok di sisi tempat air zamzam itu. Saya memerhatikannya. Sebelum mengisi botolnya, perempuan itu menuangkan sisa air yang masih ada dari dalam botol itu. Air itulah ternyata yang sejak tadi menggenangi lantai dan sajadah saya.
Kalau menuruti bisikan hawa nafsu, pastilah saya menegur dan marah padanya. Tapi itu tidak saya lakukan, walaupun sajadah saya tidak bisa dipakai lagi untuk salat Isya. Gamis saya pun sudah basah hingga ke pangkal paha. Sementara salat Isya masih beberapa saat lagi.
Saya mencoba tenang dan berpikir bahwa situasi itu tengah menguji kesabaran saya? Ada seorang ibu separuh baya dengan wajah putih bersih (lagi-lagi bukan orang Indonesia), menawarkan separuh sajadahnya untuk kami pakai bersama-sama. Ia meminta saya menggeser posisi duduk merapat ke sisinya supaya air yang menggenang tidak mengenai sajadahnya juga. Tampak sekali sikapnya yang tulus dan kasihan melihat saya. Tapi ia tak sekalipun mengomentari perempuan yang sudah membuat sajadah dan gamis saya basah. Sikap Ibu itu membuat saya menepis rasa kesal yang sempat muncul di hati. Sementara wanita yang sudah membasahi sajadah dan gamis saya masih berjongkok tanpa meminta maaf kepada saya. Ia melihat saya dengan ekspresi datar.
Setelah salat Isya selesai, saya mencoba memaknai kejadian yang baru saja saya alami. Hasrat untuk menikmati manfaat air zamzam memang sungguh besar bagi setiap jema’ah yang berada di Masjidil Haram. Namun, terkadang tidak semua paham bagaimana cara mendapatkannya dengan cara yang benar, tanpa merugikan yang lainnya. Keinginan yang kuat dengan ketersediaan yang lebih dari cukup tidak serta-merta membuat orang sabar dan santun dalam mendapatkannya. Karakter tetaplah karakter. Jika tidak dibarengi dengan akhlak dan kesantunan, maka ketidakpedulian akan muncul tanpa disadari.
Setelah kejadian sederhana itu, saya berusaha beristighfar berulang-ulang. Semoga Allah selalu menjaga hati ini dari kealpaan tersebut. Kesabaran ternyata lebih menguntungkan dari kemarahan. [Wylvera W.]

           


Selasa, 19 September 2017

Bercermin dari Penjara Anak



Anak merupakan harapan serta masa depan keluarga dan bangsa. Harapan ini membutuhkan persiapan agar mereka kelak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas, bermoral, sehat lahir dan batin, serta berguna bagi diri, keluarga serta bangsanya. Semua persiapan tersebut bermula dari pola asuh dan penguatan moral dari rumah yang dilakukan sejak dini. Idealnya, pola asuh yang baik tentu akan melahirkan anak dengan kepribadian kuat, tidak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup.
Namun sebaliknya,  anak yang tidak mendapatkan pola asuh serta penguatan dan wawasan moral yang tepat, acapkali menimbulkan masalah. Ia akan rentan pada lingkungan yang menyuguhkan pergaulan negatif. Kerentanan ini akan menggiringnya untuk melakukan perbuatan amoral dan melanggar hukum yang akan berakhir di penjara. Kenyataan tentang penjara ini yang akan saya bagi sebagai bahan interospeksi bagi kita.

Akhirnya masuk penjara
Tidak ada anak yang ingin mengakhiri hidupnya dalam penjara. Namun, banyak kasus menimpa anak-anak Indonesia yang justru akhirnya menyeret mereka ke sana. Semua bermula dari rumah dan lingkungan. Bisa jadi, peran dan perhatian orangtua tak pernah mereka dapatkan. Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan yang semakin memicu ke arah yang salah. Semua itu bisa jadi berpengaruh pada perkembangan psikis anak. Anak yang tidak memiliki mental kuat akan nekat melakukan kesalahan dan merugikan masa depannya.

Di Masjid lapas ini lah kegiatan konseling GPR untuk anak lapas berlangsung
Contoh anak-anak yang gagal mendapatkan perhatian, sentuhan, dan didikan yang tepat dari orangtuanya, ada di Lembaga Khusus Pembinaan Anak (LPKA) Tangerang. Mereka lebih dikenal dengan sebutan anak-anak lapas, yaitu anak-anak yang telah melakukan tindak kejahatan dan melanggar undang-undang negara.  Mau melihat hasil didikan gagal orangtua dan pergaulan yang salah seperti apa? Semua ada di lapas anak tersebut. Saya menyebutnya paket komplit.
Di beberapa kali pertemuan dengan anak-anak lapas itu, hati saya selalu terenyuh. Mereka adalah anak-anak Indonesia berusia antara 13 sampai 17 tahun. Hukum telah menjerat mereka atas beragam kasus. Mulai dari kasus pembunuhan, perbuatan asusila, narkoba, tawuran, dan pencurian. Masa hukumannya pun beragam. Tergantung dari beratnya kasus. Yang paling berat adalah kasus pembunuhan, bisa 8 sampai 9 tahun.  


Umumnya mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Ada anak penyapu jalan, anak pembantu rumah tangga, anak pemulung, dan anak tukang becak. Namun ada juga yang berasal dari keluarga yang mapan. Mereka harus membaur dengan yang lainnya. Sementara untuk tingkat pendidikannya pun beragam. Mulai dari level SD sampai SMA, dan yang putus sekolah. Kalau tidak berbincang, kita tidak akan bisa membedakan latar belakang mereka. Semua menjadi terlihat sama.

Penyesalan itu selalu datang di belakang
Ketika masih bergabung dengan komunitas Gerakan Peduli Remaja yang secara kontinu melakukan konseling di LPKA Tangerang tersebut, saya menjadi salah satu pembimbing anak-anak lapas itu. Di setiap pertemuan, selain memberikan bimbingan rohani, kami juga membuka sesi dialog dengan mereka. Pada momen berdialog itu pula saya kerap menatap mata mereka yang cenderung kosong dan tidak terarah.
“Mau gimana lagi, Bunda. Hidup itu kan butuh makan.”
“Pakai narkoba kan bisa ngilangin stress, Bun.”
“Daripada aku yang dibunuh, mending habisi duluan.”
Begitulah sebagian alasan yang mereka utarakan di awal-awal konseling. Belum ada terlihat rasa penyesalan. Mereka merasa puas karena merasa seolah keluar sebagai pemenang dari setiap masalah yang mereka hadapi. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya  mereka lah yang kalah. Kalah dalam melawan hawa nafsunya karena mereka memang tidak dibekali oleh didikan agama dan moral yang benar. 


Anak-anak itu terjebak pada kejahatan yang terkadang tak mereka sadari. Mereka begitu saja melakukan perbuatan amoral tanpa mempertimbangkan akibatnya. Sebagian dari mereka bahkan tidak sempat berpikir bahwa konsekuensi dari perbuatan yang mereka lakukan akan menjebloskannya ke tempat yang bernama penjara. Tempat yang akhirnya menjauhkan mereka dari keluarga. Terisolir dari segala kebebasan yang pernah mereka nikmati.
Meskipun untuk penjara anak-anak, tidak seberat kondisi penjara dewasa, tetap saja sulit menyebut bahwa  tempat itu mampu memberikan kenyamanan. Banyak hal yang akan dibatasi. Termasuk kamar tidur, kamar mandi, fasilitas sandang, pangan, beragam peraturan lapas, dan lain sebagainya. Yang jelas, sudah tidak ada lagi kebebasan seperti yang mereka bayangkan dan rasakan sebelum masuk penjara. Bukan itu saja. Jika tidak pandai membawakan diri, bukan tidak mungkin mereka juga akan mengalami kasus bullying sesama tahanan.
Setelah merasakan masa tahanan, biasanya sebagian dari mereka mulai menyadari kesalahannya. Kondisi lapas dengan segala keterbatasannya, akhirnya membuat mereka menyesal. Masuk penjara tentu menjadi aib. Tidak hanya bagi anak sebagai pelaku, tapi orangtua serta keluarga pun menanggung konsekuensinya. Pernah masuk penjara akan memengaruhi reputasi dan nama baik keluarga.
Yang lebih menyakitkan, ada orangtua yang tidak menginginkan anaknya kembali ke rumah setelah bebas dari penjara. Ini pernah dialami dan dirasakan salah satu anak Lapas yang sekarang sudah bebas dari masa hukumannya. Beberapa kali saya sempat melakukan kontak dengan “R”. Ia sempat berkeluh-kesah dan mengatakan bahwa orangtuanya tidak menerimanya kembali ke rumah. Akhirnya “R” tinggal bersama pamannya. 

Sesi konseling bersama Gerakan Peduli Remaja
Beberapa cerita yang saya dengar dari mereka, semua mengerucut pada ungkapan rasa penyesalan. Selain menyesal, mereka juga mengungkapkan rasa ketidakpercayaan diri yang kuat. Di satu sisi, mereka ingin berlama-lama di penjara dan pasrah pada segala keterbatasan. Di sisi lain, mereka ingin cepat-cepat mengakhiri masa hukumannya tapi tidak siap menghadapi dunia di luar penjara. Ada rasa takut akan kembali terlibat kasus yang sama lalu kembali ke penjara. Ini menjadi dilema yang menghantui mereka. Menyedihkan.
Setelah mendapatkan pembinaan, sebagian besar dari mereka berangsur berubah. Mereka ingin memperbaiki kesalahan yang pernah mereka lakukan. Namun seringkali hukuman dunia lebih berat. Contoh kecil, saat mereka keluar dari lapas, sebagian besar enggan kembali ke lingkungan asal, karena cap atau stempel mantan napi begitu melekat di diri mereka.
Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan demi penyesalan biasanya selalu datang belakangan. Jika tidak kuat untuk menghadapinya dan kembali bangkit membenahi diri, maka masa depan mereka pula yang akan menjadi taruhannya. Kita tidak ingin seperti itu bukan?

Pola asuh dan pengaruh perkembangan moral anak
            Keluarga adalah unit sosial terkecil yang akan memberikan pondasi dasar bagi perkembangan karakter anak. Seperti apa penerapan pola asuh orangtua pada anaknya akan sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak, termasuk masalah moralnya. Tentu tidak ada orangtua yang ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Apalagi sampai terjerumus pada perbuatan melanggar hukum. Namun, harapan itu tidak bisa diwujudkan secara instan.
Jika ingin karakter anak tumbuh dengan normal dan baik, orangtua juga harus menjalankan pola asuh yang benar. Tepat tidaknya penerapan pola asuh ini bisa dilihat dalam bentuk perlakuan fisik maupun sentuhan psikis terhadap anak-anaknya. Ada yang kaku (otoriter), serba membolehkan (permisif), dan demokratis. Model pola asuh ini dapat dilihat dari tutur kata, sikap, prilaku, dan tindakan orangtua pada anaknya.
Dari tiga jenis model pola asuh di atas, menurut saya yang paling ideal adalah penerapan pola demokratis (gabungan dari pola asuh otoriter dan permisif). Ada saatnya orangtua berlaku otoriter pada anak jika itu menyangkut ketaatan beribadah dalam agamanya dan beretika dalam bertingkah-laku. Ada saatnya orangtua permisif jika itu tidak menyangkut hal-hal yang prinsip dan mendasar sifatnya. Masing-masing orangtua lah yang memahami bagian mana kondisi-kondisi yang tidak terlalu prinsip itu.
Dengan menggabungkan pola asuh otoriter dan permisif dalam bentuk pola asuh demokratis, maka diharapkan perkembangan moral anak bisa tumbuh dengan positif. Anak bisa tumbuh dengan kematangan jiwa yang baik, memiliki rasa tanggung jawab, emosinya stabil, mudah bekerjasama, gampang menerima saran serta mampu mematuhi aturan tanpa merasa dipaksa.
Dari keluhan anak-anak di lapas, saya mencoba menarik kesimpulan. Mereka tidak pernah mendapatkan pola asuh yang benar. Masing-masing orangtua mereka sibuk dengan dirinya atas dasar ingin memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi tersebut membuat mereka lupa bahwa anak-anak mereka tetap membutuhkan perhatian, tempat mengadu serta berbagi tentang apa saja. Kelupaan itu pula yang membuat anak-anak mereka mencari perhatian dan perlindungan keluar rumah tanpa bekal mental yang kuat. Semoga ini menjadi cerminan bagi kita. [Wylvera W.]
 
 Note: Artikel ini pernah dimuat di Majalah Insani, edisi Juli 2017          



Senin, 09 Januari 2017

Pelatihan Menulis di SD Islam Al Azhar BSD

            Salah satu kebahagiaan yang membuat saya merasa harus terus menulis adalah ketika selesai memberi pelatihan tentang menulis itu sendiri. Rasanya ilmu yang saya punya tetap hidup dan berkembang sedemikian rupa. Itu sebabnya, saya selalu sulit menolak setiap tawaran untuk menjadi pemateri di pelatihan menulis cerita, baik untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa. Meskipun ilmu menulis cerita yang saya miliki tidak semumpuni penulis-penulis kondang, namun naluri berbagi itu selalu menjadi prioritasnya.
            Pada bulan November 2016, saya diminta untuk menjadi pemateri oleh ibu-ibu pengurus BKOMS (Badan Koordinasi Orangtua Murid dan Sekolah) SD Islam Al Azhar BSD. Setelah melakukan pertemuan, akhirnya diputuskan bahwa acara akan digelar pada hari Kamis, 10 November 2016. Bertepatan dengan peringatan “Hari Pahlawan”. Saya diminta memberi pelatihan menulis kepada kurang lebih 300 siswa dari kelas 3, 4, 5, dan 6.

10 November 2016
            Tibalah hari yang ditetapkan. Pagi-pagi sekali saya sudah meluncur di jalan tol. Alhamdulillah, saya tiba lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Setelah menikmati sarapan di kantin sekolah yang megah itu, saya langsung diajak menuju aula. Saya terpana melihat backdrop yang terpampang di dinding bagian depan aula tersebut. Tiba-tiba dada saya sesak oleh rasa tersanjung. Karena masih sepi, saya sempatkan berfoto di depannya. 

            Sambil menyiapkan laptop dan materi yang sudah saya bawa, panitia juga mulai sibuk mengatur ruangan yang sebenarnya sudah tertata rapi. Pelatihan katanya akan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama untuk murid kelas 3 dan 4. Sesi kedua untuk murid kelas 5 dan 6. Tidak terlalu menunggu lama, suara-suara riuh pun terdengar. Anak-anak mulai memasuki ruangan dengan arahan ibu-ibu pengurus BKOMS. Mata saya langsung berbinar melihat keantusiasan mereka. Bahagia sekali rasanya. 

Hj. Endang Pujiati Sembiring (MC)
Hj. Dra. Akhsid Utami (Kepala Sekolah)
            Setelah semua berkumpul di aula, acara pun dibuka oleh pembawa acara, Ibu Hj. Endang Pujiati Sembiring. Setelah itu dilanjut oleh sambutan Kepala Sekolah, Ibu Hj. Dra. Akhsid Utami.  Dalam sambutannya, Ibu Kepala Sekolah mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan rangkaian dari materi bulan bahasa di sekolah tersebut. Banyak kegiatan yang sudah dilakukan, dan pelatihan menulis adalah salah satunya, kata beliau. Beliau juga berharap dari pelatihan menulis ini kelak akan melahirkan penulis-penulis cilik berbakat dari sekolah mereka. Saya mengaminkan harapan beliau dalam hati.

Pelatihan menulis pun dimulai
            Seperti biasa, saya selalu mengawali pelatihan menulis dengan salam pembuka dan memperkenalkan diri. Selain itu, untuk menjalin kontak yang baik dengan anak-anak, saya juga tidak buru-buru berbagi materi. Saya sapa mereka dengan hal-hal terkait dunia kepenulisan. Dengan jumlah murid sekitar 150 anak (kelas 3 dan 4), tentu suara gemuruh saat anak-anak merespon pertanyaan saya kembali memenuhi aula. Saya kembali menenangkan suasana dan mengajak mereka untuk tekun menyimak materi tentang cara menulis cerita pendek yang akan saya sajikan. 


            Tema yang saya pilih adalah “Menulis itu Asyik”. Saya jelaskan untuk jangan pernah takut dan ragu-ragu ketika ingin menulis cerita. Kalau idenya sudah ada, mulailah menuliskannya. Bagaimana caranya? Saya menjelaskan tahapan yang bisa mereka praktikkan. Dari ide yang mereka pilih, agar lebih mudah memancing semangat mereka menuliskan ceritanya, mereka bisa menentukan nama-nama tokoh dalam ceritanya. Mulai dari tokoh utama sampai teman-teman maupun keluarganya. 
Saya memberi contoh buku kumcer murid-murid saya kepada mereka
            Setelah itu saya memberi tips untuk membuat poin-poin penting yang ingin mereka ceritakan tentang ide tersebut. Maksudnya agar ide yang sudah ada tidak terhenti secara tiba-tiba karena kehabisan bahan untuk diceritakan. Dari semua poin tersebut yang paling penting mereka pikirkan adalah konflik atau masalah apa yang dihadapi tokohnya. Saya jelaskan bahwa tanpa konflik/masalah, cerita tidak akan menarik untuk dibaca. Jadi, saya mengajak mereka untuk membuat konflik yang keren agar ceritanya seru untuk dibaca. Selain konflik/masalah, mereka juga harus membuat cara penyelesaiannya dengan baik. Tidak ujug-ujug konflik terpecahkan tanpa sebab dan akibat. 

            Di sela-sela penjelasan, saya tetap menjaga kontak dengan anak-anak tersebut. Berulang-ulang saya ajukan pertanyaan, “Apakah sudah mengerti dengan yang Bunda jelaskan?” Jika lebih banyak yang ragu-ragu menjawab “iya”, saya pasti akan mengulangnya dengan penyampaian yang lebih mudah untuk dipahami anak usia 8 – 10 tahun seperti mereka. Alhamdulillah, walaupun sesekali suara riuh memenuhi aula, konsentrasi mereka cenderung bisa saya jaga.


            Setelah semua materi selesai saya sampaikan, saya mengajak mereka untuk memraktikkannya. Agar lebih memudahkan, saya berikan pancingan sebuah ilustrasi/gambar. Saya minta mereka menulis sebuah cerita dari gambar yang saya berikan. Saya bebaskan mereka berkreasi dengan imajinasinya. Gambar yang saya berikan hanyalah sekadar untuk memancing ide mereka saja.
            Saat praktik menulis cerita, saya kembali bangga melihat semangat anak-anak SD Islam Al Azhar BSD ini. Mereka bergegas mengambil posisi untuk memulai tulisannya. Saya umumkan bahwa saya akan memilih lima cerita terbaik untuk mendapatkan buku karya saya. Wah! Mendengar itu, mereka kembali riuh. Saya tertawa dan terus menyemangati mereka agar menulis cerita yang keren, tidak biasa-biasa saja, dan seru konflik serta endingnya.


            Saat waktu berakhir, mereka berlomba mengumpulkan karyanya. Dua puluh pengumpul pertama saja yang akan saya nilai. Begitu perjanjian dan peraturan awalnya. Akhirnya terpilihlah lima penulis cerita terbaik yang mendapatkan hadiah buku karya saya. Kami sempatkan untuk berfoto bersama sebelum sesi kedua dilanjutkan.

            Sesi pertama berakhir dengan lancar. Saya beristirahat sejenak menyiapkan materi untuk murid-murid kelas 5 dan 6 di sesi kedua. Materinya sedikit berbeda dengan adik-adik mereka. Saya menambahkan cara menentukan karakter tokoh-tokoh dalam cerita yang akan mereka tulis. Semakin unik karakter tokoh utamanya maka akan semakin cepat diingat oleh pembacanya, begitu saya jelaskan.
            Kalau di sesi pertama, saya tidak sempat membuka kesempatan untuk tanya-jawab, maka di sesi kedua saya memberi kesempatan itu. Beberapa murid berlomba untuk mengajukan pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang paling saya ingat, “Kalau kita bikin cerita dari cerita yang pernah kita baca, boleh nggak, Bu?” Pertanyaan itu sangat menarik. Saya jelaskan bahwa banyak cerita-cerita yang pernah kita baca seolah mirip satu dengan lainnya. Mengapa demikian? Sebab, hampir tidak ada yang benar-benar baru di dunia cerita. Semakin banyak cerita yang dibaca maka ketika ingin menuliskan cerita kita sendiri, tanpa sadar kita akan terinspirasi oleh cerita-cerita yang kita baca.
            “Yang tidak boleh atau diharamkan dalam dunia kepenulisan adalah mencontek bulat-bulat alias plagiat. Kalau terinspirasi, boleh-boleh saja asal tidak menjiplak utuh nama tokoh, setting, alur cerita terutama konflik serta endingnya.”

Sesi untuk kelas 5 dan 6
            Berikutnya saya diberitahu bahwa murid-murid SD Islam Al Azhar tersebut sudah memiliki tabloid. Beberapa pengurus tabloidnya ada di ruangan tersebut. Saya kagum mendengarnya. Selanjutnya, saya sedikit mengalihkan materi. Walaupun materi menulis cerita dan berita itu berbeda, namun pada dasarnya unsur yang tidak boleh mereka abaikan adalah tentang 5W + 1H. Unsur ini pun ada dalam penulisan cerita. Yang membedakannya adalah faktual, aktual, dan tidaknya. Lalu, saya jelaskan sekilas tentang kerja seorang jurnalis. 
            Setelah itu, seperti di sesi pertama, saya kembali mengajak murid-murid kelas 5 dan 6 ini memraktikkan materi yang sudah mereka dapat. Saya juga memberikan pancingan dua gambar untuk mereka jadikan ide ceritanya. Peraturannya sama. Dua puluh pengumpul cerita pertama saja yang akan saya nilai.

Cinderamata dari Ketua BKOMS
Bersama ibu-ibu pengurus BKOMS
            Akhirnya kembali terpilih lima penulis cerita terbaik yang mendapatkan hadiah buku karya saya. Sesi foto bersama tentu menjadi penutup yang berkesan. Tidak hanya dengan para penulis ciliknya, tapi dengan panitia BKOMS juga.

Pulang membawa kesan indah
            Betapa rasa tersanjung itu terus saya rasakan. Selepas menjadi pemateri menulis, bingkisan cantik menjadi oleh-oleh manis yang saya terima. Sepertinya tidak cukup itu saja. Panitia menjamu saya untuk makan siang di salah satu restoran yang lokasinya masih seputar BSD. Masya Allah … dalam hati saya berharap agar apa yang saya berikan kepada murid-murid SD Islam Al Azhar BSD tersebut bermanfaat dan bisa diaplikasikan ke depannya. 

            Saat menuju pulang, saya kembali mendoakan agar semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk mencintai dunia menulis dan membaca. Semoga dari mereka kelak akan lahir penulis-penulis cerita dengan karya-karya keren yang abadi sepanjang masa.
Terima kasih, ibu-ibu panitia. Semoga kehadiran saya benar-benar meninggalkan manfaat buat para buah hatinya. Aamiin. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...