Senin, 21 November 2016

Berbagi Pengalaman Menulis di SMA Negeri 1 Bekasi



            Pernah terlintas keinginan untuk berbagi tentang pengalaman menulis di SMA Negeri 1 Bekasi. Keinginan ini muncul karena anak pertama saya merupakan alumninya dan anak kedua saya masih bersekolah di sana juga. Saya pun masih menjadi pengurus komite sekolahnya. Namun, keinginan itu tak pernah tercetus. Hanya tersimpan di hati saya saja.
            Pucuk di cinta ulam pun tiba. Seperti ketemu jodoh. Hari itu saya di hubungi oleh Ibu dra. Mukaromah, M.Pd (Wakil Kepala Sekolah bidang humas). Beliau menanyakan kesediaan saya untuk menjadi narasumber dalam rangka gerakan literasi sekolah. Awalnya beliau lebih dulu menghubungi putri saya, Yasmin Amira Hanan. Berhubung Mira tidak bisa karena sedang ada ulangan tengah semester, maka sayalah yang diminta menggantikannya. Saya menyanggupi.
            Singkat cerita, tibalah di hari “H”, Senin, 24 Oktober 2016. Di awal, Bu Mukaromah tidak menjelaskan secara rinci materi apa yang diinginkan pihak sekolah. Beliau hanya menyebutkan apakah saya bisa mengisi acara kepenulisan. Saat saya tawarkan materi menulis fiksi, beliau meminta menambahkan materi penulisan nonfiksi. Materi itulah yang saya siapkan.


Begitu memasuki ruang auditorium SMA Negeri 1 Bekasi, saya sempat panik melihat backdrop yang terpampang. Di sana tertulis “Workshop Gerakan Literasi Sekolah, Membangun Komunitas Literat untuk Mengembangkan Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellegence)”. Waduh! Saya tidak menyiapkan bahan yang tercakup secara rinci tentang delapan kecerdasan yang menggambarkan kecerdasan majemuk itu. Materi yang saya siapkan hanya mewakili penggalian kecerdasan bahasa (linguistic intelligence). Itu pun hanya seputar kepenulisan saja. Otak saya berpikir cepat agar materi saya bisa diselaraskan dengan tema.

Sesi penyajian materi
Acara akhirnya dibuka oleh MC. Berikutnya Drs. Mawar M.Pd (Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bekasi) menyampaikan sambutannya dan menjelaskan latar belakang diselenggarakannya acara tersebut. Pak Mawar menekankan pada gerakan membaca dan menulis. Beliau mengharapkan agar siswa-siswi SMA Negeri 1 semakin meningkatkan kegiatan membaca agar mampu menghasilkan karya tulis seperti tulisan nonfiksi, fiksi, sastra, dan lain sebagainya. Perasaan saya langsung lega karena ternyata materi yang saya siapkan tidak menyimpang dari tema yang diangkat oleh pihak sekolah.

Ruang auditoriumnya penuh :)
MC
Sambutan Kepala Sekolah
Selepas sambutan, acara sepenuhnya diserahkan kepada saya. Saat menaiki panggung dan menghadap ke peserta workshop, saya menatap ke mereka sejenak. Walaupun Bapak kepala sekolah sudah menyebut kehadiran mereka, saya baru sepenuhnya menyadari kalau tidak hanya para siswa SMA Negeri 1 Bekasi saja yang akan mengikuti acara tersebut. Duduk di bangku paling depan beberapa guru dan siswa yang khusus diundang dari SMA Negeri lainnya di Bekasi. Ada perwakilan dari SMA Negeri 2, SMA Negeri 5, SMA Negeri 14 dan lainnya. Saya harus siap.
Saya buka pertemuan dengan salam dan menambahkan sekilas latar belakang profesi saya yang belum sempat dijelaskan oleh Pembawa Acara. Setelah itu, saya langsung menampilkan materi yang telah saya siapkan di layar infokus. Seperti biasa, sebelum masuk pada materi inti tentang teknik menulis, biasanya saya selalu mengawalinya dengan menyajikan quote-quote yang sarat dengan motivasi. Tujuannya agar mereka memokuskan niat terlebih dahulu agar bisa menyerap apa yang akan saya sampaikan selanjutnya.

Masih pemanasan ^_^
Let's go!
Ada sedikit yang mengganjal hati saya saat menyampaikan materi. Biasanya saya lebih senang menggunakan mic tanpa wayar, sehingga saya bisa bergerak mendekati audience. Dengan cara seperti itu, saya merasa lebih dekat dengan mereka dan bisa memancing komunikasi dua arah. Tapi karena setting auditorium sudah seperti itu adanya, saya berusaha tetap merasa enjoy menyajikan materi di atas panggung dengan ruang gerak terbatas dari awal hingga akhir.
Selanjutnya saya menjelaskan tentang tulisan fiksi dan jenis-jenisnya secara umum. Setelah itu, saya memilih teknik dan tahapan menulis cerita pendek. Mulai dari cara menemukan ide, memilih ide yang unik untuk dijadikan cerita, hingga menjadikannya sebuah cerita yang menarik dan asyik untuk dibaca. Tidak hanya sajian tahapannya saja, saya juga memberikan contoh-contoh cara menuliskannya. Seperti membuat sinopsis awal yang bisa dijadikan pedoman saat menyelesaikan cerita pendek, hingga trik memilih judul untuk cerita yang telah ditetapkan.
Yang paling menarik saat menyajikan teknik menulis cerita pendek ini, saat tahapan sampai pada pemilihan karakter tokoh dalam cerita. Dari contoh-contoh karakter yang saya tampilkan, suasana ruang auditorium semakin mencair. Apalagi ketika saya menunjukkan gambar tokoh-tokoh karakter yang akrab di benak mereka. Mulai dari karakter ala Hollywood, sampai versi Indonesia. Seperti Harry Potter, Lord Voldemort, Maleficent, Cinderella, hingga Reza Rahadian yang memerankan tokoh Habibie. Saya memancing mereka agar memahami bagaimana triknya membuat karakter tokoh sedemikian rupa hingga sosoknya bisa melekat di benak pembaca sampai kapan pun. 


Tuntas membahas tahapan menulis cerita pendek, saya melanjutkannya dengan penulisan nonfiksi. Saya memulainya dengan menjelaskan apa itu tulisan nonfiksi. Karena durasi waktu yang diberikan kepada saya hanya dua jam, saya mengambil contoh termudah yaitu menulis artikel. Apa pun jenis tulisannya, semua bermula dari pemilihan ide.
Saya menjelaskan secara singkat perbedaan tulisan fiksi dan nonfiksi. Terutama pada bagian “berpikir sistematis”, “pengumpulan data” serta “alternatif pemecahan masalah” berikut contoh-contoh cara menuliskannya secara singkat. Beberapa siswa terlihat sangat serius menyimak. Ternyata mereka adalah pengurus tabloid sekolah. Tentu saja uraian materi nonfiksi menjadi menarik buat mereka. Saya tidak melewatkan kesempatan ini untuk sesekali berinteraksi.


Syukurlah, mereka tetap fokus dan tekun menyimak serta ikut tertawa saat saya “melempar” joke-joke di sela-sela penyajian materi. Di awal, Kepala Sekolah sempat mengenalkan bahwa saya adalah Ibu dari Yasmin Amira Hanan yang mereka kenal sebagai kakak kelas dan alumni sekolah mereka. Suara agak riuh, ketika Pak Mawar juga menyebut bahwa saya juga orangtua dari Darryl Khalid Aulia. Yang mengenal Khalid anak saya, tentu saja spontan mengeluarkan gumaman-gumaman yang bikin saya ingin tertawa. Satu point sebenarnya sudah saya peroleh. Rasa penasaran mereka membuat saya bersemangat saat naik ke panggung.

Yasmin Amira Hanan tiba-tiba muncul di ruangan, langsung saya todong
Di akhir sesi penyajian materi, saya sangat bersyukur, putri saya ternyata menyempatkan datang jauh-jauh dari UI (setelah menyelesaikan ulangannya) untuk memberikan motivasi singkat tentang menulis dan membaca. Ini momen singkat yang membuat saya merasa terlengkapi. Saya juga menayangkan hasil rekaman yang sempat saya minta dari Muthia Kairunnisa (Thia) dan Dinda. Mereka adalah dua penulis remaja yang telah meraih banyak prestasi di bidang kepenulisan.  

Sesi praktik menulis sinopsis cerita
            Memanfaatkan waktu yang tersisa, saya tidak meminta peserta workshop untuk menulis cerita pendek maupun artikel. Saya pilihkan yang termudah dan saya rasa bisa diselekasikan dalam waktu 15 menit. Mereka saya minta menulis sinopsis cerita yang mereka pilih lengkap dengan pengenalan cerita, konflik, dan ending secara singkat.
            Begitu kertas dibagikan dan waktu start diserukan, semua khusyuk menulis. Lima belas menit berlalu. Kalau ditotal semua sinopsis yang terkumpul, ada sekitar 100-an. Namun, saya terpaksa menggunakan cara penilaian cepat karena keterbatasan waktu. Di awal sesi praktik, saya telah mengumumkan bahwa saya akan menilai 15 sinopsis yang pertama kali diserahkan kepada panitia. Dari 15 itu saya akan memilih 3 sinopsis yang paling menarik untuk menerima hadiah buku dari saya.

Adli in action
            Demi mengisi waktu 15 menit untuk saya menilai, saya menantang mereka menampilkan kemampuan stand up comedy. Majulah satu orang siswa bernama Adli ke atas panggung. Ruang auditorium mendadak riuh oleh tawa. Adli tampil memukau dengan guyonan-guyonan dalam aksi panggungnya. Saya yang sedang menilai sinopsis peserta pun sesekali ikut tertawa. Luar biasa! Saya pikir siswa-siswi SMA Negeri 1 yang dipilih untuk mengikuti workshop ini adalah anak-anak seriusan. Tenyata tebakan saya salah total. Rasa humor mereka renyah dan mampu mengocok perut selama 15 menit itu. 

Inilah tiga peserta yang menulis sinopsis terkeren

            Satu lagi yang bikin saya kagum. Awalnya saya tidak mengira kalau Adli termasuk salah satu penulis sinopsis yang saya seleksi. Sinopsis Adli menjadi salah satu yang terpilih bersama dua sinopsis karya temannya. Bukan hanya humoris, Adli juga jago bikin sinopsis cerita yang keren.

Sesi foto-foto yang tidak lengkap
            Biasanya, di setiap akhir mengisi pelatihan menulis maupun mengisi acara parenting, panitia menyediakan waktu untuk foto bersama dengan peserta. Mungkin karena waktunya sangat sempit, maka ketika saya mengakhiri sesi workshop, peserta meninggalkan auditorium satu per satu. Tinggalah beberapa panitia (termasuk guru penanggung jawab) dan peserta yang masih bertahan dalam ruangan. Mereka menyempatkan diri meminta saya untuk berfoto bareng menggunakan hape mereka. Jadi, maaf … kalau tidak ada foto saya khusus bersama semua peserta workshop. *agak-agak menyesal tapi tetap puas kok*

Siswa dari SMA Negeri 14 Bekasi minta foto bareng saya :)
Ssst ... saya dicegat sama tiga dara ini. Hahaha ....
Saat keluar dan ingin meninggalkan auditorium, saya kembali dicegat oleh tiga siswi SMA Negeri 1 Bekasi. Ternyata mereka sengaja menunggu saya keluar untuk bisa diajak foto barsama. Mereka ini teman-teman seangkatan Khalid, putra saya. Bisa dibayangkanlah, sesi foto itu diwarnai ekspresi malu-malu. *ngikik dalam hati*
            Inilah cerita saya saat mengisi workshop kepenulisan di SMA Negeri 1 Bekasi. Walaupun mungkin tidak ada yang baru, semoga tetap ada rasa senang saat membacanya.
Salam literasi! [Wylvera W.]

Senin, 10 Oktober 2016

Mengambil Hikmah dari Perang Uhud

Peta posisi pasukan musyrik Quraisy dan muslim saat terjadi perang

Sesungguhnya Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami juga mencintainya.” (HR. Al – Bukhari).
            Alhamdulillah, wasyukurillah. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, kami diberi kesempatan mengunjungi beberapa tempat bersejarah. Termasuk berziarah ke makam para Syuhada Uhud yang letaknya tak jauh dari Jabal Uhud (Gunung Uhud).
            Jabal Uhud adalah gunung batu berwarna kemerahan yang letaknya terpisah dari bukit-bukit lainnya. Jabal Uhud merupakan sekelompok gunung yang tidak bersambungan dengan gunung lainnya seperti gunung-gunung yang ada di Madinah. Oleh sebab itu, penduduk Madinah menyebutnya Jabal Uhud yang artinya “bukit menyendiri”.
Jabal Uhud merupakan salah satu tempat istimewa di kota Madinah yang letaknya berada di bagian Utara dari Masjid Nabawi dengan jarak sekitar 4,5 kilometer. Panjang Gunung Uhud sendiri mencapai 8 km dengan lebar sekitar 2 – 3 km. Ketinggian puncaknya mencapai sekitar 1.077 meter di atas permukaan laut.
            Mengapa Jabal Uhud menjadi salah satu lokasi yang dianjurkan untuk diziarahi saat berhaji maupun berumrah? Ada peristiwa bersejarah yang ditandai oleh sebuah makam para Syuhada di tempat itu. Dari tempat itu pula umat muslim bisa memahami sejarah perjuangan Rasulullah saw dalam menegakkan Islam dan mengambil hikmah untuk dijadikan pelajaran. 

Posisi Jabal Uhud (foto: doc pribadi)
        Perjalanan kami dari hotel menuju Jabal Uhud tidak hening begitu saja. Ustad yang mendampingi para jama’ah mengisinya dengan mengisahkan sejarah Perang Uhud yang terjadi pada bulan Syawal tahun ke-3 Hijriyah. Saya yang pernah membaca kisahnya kembali merasa tegang, marah, dan sedih saat membayangkan peristiwa itu. Betapa beratnya perjuangan Rasulullah saw dalam menyebarkan Islam di zaman itu. Begitu banyak kebencian dan fitnah yang akhirnya memuncak pada peperangan. 

Persiapan menghadapi Perang Uhud    
            Bermula dari kekalahan kaum kafir Quraisy di Perang Badar. Kekalahan kaum kafir Quraisy di Perang Badar ternyata meninggalkan dendam yang mendalam. Mereka akhirnya kembali mempersiapkan diri untuk membalaskan dendam itu. Kafir Quraisy melakukan persiapan yang lebih matang. Mereka membuka kesempatan kepada orang-orang untuk menjadi sukarelawan, termasuk melibatkan kabilah-kabilah Arab di luar kabilah Quraisy yang bergabung dengan orang-orang Quraisy. Total pasukan yang mereka siapkan berjumlah 3000 orang, ditambah 200 kuda, dan 700 tameng. Para wanita juga ikut serta bersama mereka sebagai penyemangat perang. Pasukan mereka dipimpin oleh Abu Sufyan dengan kesatria-kesatria dari Bani ‘Abdu ad-Daar sebagai pembawa panjinya menuju Madinah.
            Sementara suasana di Madinah semakin mencekam. Pihak Rasulullah saw. yang telah mendengar kabar itu disibukkan untuk menghadapi peperangan. Nabi Muhammad saw. pun segera melakukan latihan militer dengan pasukannya. Rasulullah saw. awalnya mengajukan pilihan, “Apakah hendak menghadapi musuh di luar atau bertahan di dalam kota?” Rasulullah saw. akhirnya memutuskan untuk bertahan di dalam kota dengan pertimbangan taktik tersebut akan lebih optimal.
Muncullah dua pendapat. Abdullah bin Ubai bin Salul, pimpinan orang-orang munafik (mereka yang memisahkan diri dari pasukan saat perang akan dimulai), memilih untuk berdiam dan duduk di rumah hanya demi menghindar dari tuduhan tidak ingin berperang. Pemuda-pemuda yang semangatnya masih berkobar pasca Perang Badar, memilih bertempur di luar dan maju ke medan perang.

Jabal Uhud dari posisi makam Syuhada
Rasulullah saw. pun akhirnya memenuhi semangat para pemuda itu. Rasulullah saw. membagi pasukan ke dalam tiga batalion. Pertama, kelompok Muhajirin, panji pasukan dibawa oleh Mush’ab bin ‘Umair. Kedua, kelompok Aus, panji dibawa oleh Usaid bin Hudhair. Ketiga, kelompok Khazraj, panji pasukan dibawa oleh Habbib bin al-Mundzir.
Setelah sholat Ashar, pasukan Rasulullah saw. yang berjumlah 700 orang pun bergerak menuju Uhud. Jika dilihat dari perbandingan jumlah pasukan, rasanya mustahil akan memenangkan peperangan dari kaum kafir Quraisy. Namun semangat telah berkobar demi membela agama Allah. Pasukan meneruskan langkahnya menuju Jabal Uhud.

Tergiur harta rampasan perang
Ketika tiba di Syi’ab, di celah lembah yang membelakangi Jabal Uhud, Rasulullah saw. langsung memasang strategi dan posisi. Pasukan sayap kanan ditempatkan di kaki gunung di bawah pimpinan Abdullah bin Jabir. Sementara di pertahanan sayap kiri, Rasulullah saw. menempatkan 50 pemanah andal di atas Bukit Rummat. 
Rasulullah saw. memberikan amanah kepada ke-50 pasukan pemanah itu.
“Lindungi kami. Seandainya kalian melihat kawanan burung dari langit menyambar kami, jangan pernah kalian turun dari bukit!” pesan Rasulullah saw. (HR. Bukhari).
Peperangan pun tinggal menunggu detik. Pasukan muslim dan kaum musyrik telah saling berhadapan. Tidak ada rasa gentar sedikit pun yang terpancar dari wajah kaum muslim walaupun jumlah mereka hanya 700. Sementara, tatapan penuh dendam terlihat sekali di mata pasukan musyrik Quraisy.
Pertempuran akhirnya pecah. Jabal Uhud dan area sekitarnya menjadi saksi pertarungan sengit itu. Suara pedang beradu kian memenuhi udara. Atas izin Allah SWT akhirnya peperangan sengit yang tidak seimbang itu dimenangkan oleh pasukan Rasulullah saw. Khalid bin Walid yang saat itu belum masuk Islam, tidak mampu mengungguli kekuatan Rasulullah saw. dan pasukannya. Kaum musyrik semakin marah tatkala gemuruh takbir dan Asma Allah digaungkan oleh pasukan Rasulullah saw.
Pasukan Rasulullah saw memenangkan Perang Uhud. Namun, kemenangan itu tidak bertahan lama. Pasukan musyrik Quraisy lari tunggang-langgang, termasuk para wanita yang tadinya ikut menyemangati mereka. Musyrik Quraisy berlarian dan meninggalkan harta mereka di medan perang. Melihat harta benda yang berhamburan di tanah Uhud, membuat kaum muslim lengah. Mereka tergoda dengan harta rampasan perang (ghanimah) itu. Pasukan Rasulullah saw. yang berada di bawah bukit sibuk mengambil dan mengumpulkan harta musyrik Quraisy itu.
Pasukan pemanah yang sudah diamanahkan untuk tetap bertahan di atas bukit ikut tergoda oleh harta-harta itu. Mereka lupa pada perintah Rasulullah saw. Walaupun Abdullah bin Zubair, panglima pasukan pemanah berulang kali mengingatkan agar pasukannya tetap menunggu perintah Rasulullah saw, mereka tidak mau mendengarkannya. Abdullah bin Zubair panik melihat 40 teman-temannya tergesa-gesa menuruni bukit, demi mengambil harta rampasan perang. Amanah tinggalah amanah. Pasukan pemanah melanggarnya.

Kekalahan yang memilukan
            Situasi yang melemahkan pasukan Rasulullah saw itu dimanfaatkan oleh Khalid bin Walid. Kalau pernah membaca kisah Khalid bin Walid (yang akhirnya memeluk Islam), beliau adalah seorang ahli strategi perang yang memimpin tentara berkuda. Sepuluh pemanah yang tersisa di atas bukit langsung diserang oleh Khalid bin Walid. Setelah posisi pasukan muslim benar-benar lemah, Khalid bin Walid memerintahkan pasukannya bergerak mengitari Jabal Uhud. Dari posisi itulah pasukan Khalid bin Walid menyerang dan membantai pasukan muslim.
Rasulullah saw dan beberapa pasukan yang tersisa telah benar-benar terkepung. Musyrik Quraisy terus mendesak dan memfokuskan serangan ke arah Rasulullah saw. Mereka menyerang Nabi akhir zaman itu hingga benar-benar terdesak. Beliau terjatuh karena tidak mampu menahan serangan yang bertubi-tubi itu. Gigi seri bagian bawah Rasulullah pun copot dan kepalanya terluka. Kekalahan yang memilukan pun dialami pasukan Rasulullah saw.
Sambil mengusap darah di keningnya, Rasulullah saw., bersabda;
“Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat keberuntungan jika mereka melukai wajah Rasulullah saw dan memecahkan giginya, padahal dia mengajak memeluk Islam?”
Lalu Allah SWT menurunkan firman;
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imran, 3: 128).

Hamzah dan Hindun
Dari beberapa pimpinan pasukan, nama Hamzah bin Abdul Muthalib sangat dikenal di Perang Uhud. Beliau adalah paman Rasulullah saw. Hamzah bertarung dengan gigih. Ia berhasil membunuh kaum musyrik dengan tebasan pedangnya. Julukan sebagai “Singa Padang Pasir” semakin mengukuhkan nama Hamzah. Namun, Hamzah pun akhirnya gugur pada Perang Uhud. Rasulullah saw. sangat bersedih atas kematian pamannya itu.
Pada bagian ini, Pak Ustad mengingatkan kami pada seorang perempuan bernama Hindun (istri Abu Sufyan). Kematian Hamzah merupakan obsesi Hindun untuk memenuhi rasa dendamnya. Hindun dendam karena Hamzah telah membunuh ayah dan saudaranya pada Perang Badar. Hindun pun bersumpah akan memakan jantung Hamzah dan niat itu dilakukannya atas jenazah Hamzah.
Na’udzubillahimindzalik!
Perasaan muslim mana yang takkan berdetak marah jika diperdengarkan kembali kisah kekejaman Hindun ini? Tak ada kata yang pantas selain mengutuk kekejian yang dilakukan Hindun. Namun, jika kita kembali diingatkan pada Maha Pengampunnya Allah SWT, hati ini pastilah bergetar hebat menahan tangis. Lembaran hitam yang pernah dilakukan Hindun binti Utbah di masa Jahiliyah, telah ditebusnya dengan menjadi muslimah teladan pembela agama Allah SWT. Untuk itu, Allah SWT menjanjikan surga untuknya. Masya Allah … sungguh Engkau Maha Pengampun ya Tuhanku.

Makam para Syuhada menjadi saksi Perang Uhud
            Kekalahan pasukan perang dan Rasulullah saw. di Perang Uhud meninggalkan duka yang sangat dalam. Pasukan muslim yang tersisa akhirnya turun dari bukit dan mencari teman-teman mereka. Banyak yang terluka maupun gugur di tanah Uhud itu. Jenazah yang gugur di Perang Uhud akhirnya dimakamkan dekat lokasi perang serta dishalatkan satu per satu sebelum dikuburkan.
Rasulullah saw. menguburkan lebih dahulu orang yang lebih banyak hapalan Qur’annya ke dalam liang lahat. Ada 70 orang yang mati syahid dalam Perang Uhud. Mereka disebut sebagai Syuhada Uhud. Karena rasa cinta Rasulullah saw yang begitu besar kepada para Syuhada Uhud, zaman itu hampir setiap tahun beliau berziarah di Jabal Uhud. Apa yang dilakukan Rasulullah saw kemudian diikuti oleh beberapa sahabat sesudah beliau wafat.

Makam para Syuhada Uhud
Saya memperhatikan tempat pemakaman itu. Tempat pemakaman yang terlihat sangat sederhana. Hanya dikelilingi pagar setinggi 1,75 meter. Pagar itu dipasangi jeruji, sehingga para jema’ah bisa melihat dari celah-celahnya. Tidak ada batu nisan sebagai penanda makam masing-masing Syuhada. Hanya makam Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abdullah Jahsyi (sepupu Rasulullah saw) ditandai dengan batu-batu hitam. Sementara 68 makam Syuhada lainnya berada di sampingnya tanpa tanda.
Rasulullah saw bersabda;
“Mereka yang dimakamkan di Uhud tidak memperoleh tempat lain kecuali ruhnya berada di dalam burung hijau yang melintasi sungai surgawi. Burung itu memakan makanan dari taman surga, dan tak pernah kehabisan makanan. Para Syuhada itu berkata siapa yang akan menceritakan kondisi kami kepada saudara kami bahwa kami sudah berada di surga.”
Maka turunlah firman Allah yang artinya;
Dan janganlah mengira bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah SWT itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Al Imran, 3: 169)

Pagar yang mengelilingi makam Syuhada
Ketika berziarah ke Jabal Uhud, kita disunnahkan memberi salam kepada para Syuhada Uhud serta mendoakannya. Dari kisah Perang Uhud, ada hal yang bisa saya jadikan pembelajaran, yaitu tentang ketaatan para pengikut Rasulullah saw yang menjadi pasukannya dalam perang itu demi membela agama Allah. Pelajaran lainnya tentu tentang nafsu duniawi, yaitu abai pada amanah karena tergoda pada harta benda yang tidak ada kekekalan di dalamnya.
Seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an ketika kegalauan tentang kekalahan itu muncul sebagai pertanyaan;
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran, 3: 165)
Semoga catatan yang merupakan bagian perjalanan berhaji saya dan suami ini memberi manfaat bagi pembaca. Kalau ada yang ingin dikomentari, silakan. Salam. [Wylvera W.]

Senin, 22 Agustus 2016

Menjadi Ibu yang Menyenangkan



(Foto: pixabay.com)
        Menjadi seorang Ibu yang menyenangkan adalah impian bagi perempuan yang sudah memiliki anak. Namun, tidak semua Ibu bisa melakukannya. Lihat saja di luar sana. Selalu ada saja anak yang tidak bisa hormat pada ibunya. Menganggap Ibu hanya sebagai perempuan yang sekadar melahirkannya ke dunia. Namun, jangan buru-buru menyalahkan anak. Mengapa Ibu dianggap tidak menyenangkan oleh anak-anaknya? Bisa jadi, kebiasaan dan karakter yang Ibu tampilkan dalam mengasuh anak-anaknya, tidak membuat mereka nyaman.
Bagaimana cara menggapai impian menjadi Ibu yang menyenangkan dan disenangi oleh anak-anaknya? Ada sebuah kewajiban yang semestinya tidak boleh diabaikan atau menganggapnya biasa-biasa saja. Dan di ujung kewajiban pasti selalu menunggu sebuah kata yang bernama tanggung jawab. Hal ini tak bisa lepas pada urusan hitung-hitungan di hari akhir kelak. Bukan dengan manusia tapi dengan Sang Khaliq.
Menyadari kewajiban tersebut, sebagai seorang Ibu saya pun merasa selalu ada yang mengawasi, jika saya salah melakukan tanggung jawab itu. Untuk itu, saya berusaha keras agar kelak tidak diberatkan oleh hitungan yang salah dalam mempertanggungjawabkannya di hadapan Al Hasiib (Yang Maha Membuat Perhitungan).
Berat? Memang. Sebab, tidak semua hal baik-baik yang saya inginkan sebagai Ibu dari anak-anak, akan selalu saya dapatkan. Semua butuh proses. Ada yang lama ada yang cepat, dan ada pula yang berubah-ubah. 

Mira dan Khalid beberapa tahun silam
            Saya sudah melewati masa-masa memiliki anak balita. Sesekali saya juga pernah merasakan kelelahan dalam mengurus anak-anak saya. Kelelahan tersebut umumnya lebih pada fisik. Sebab, anak-anak saya yang masih balita butuh pengawasan lebih pada gerak motorik, gizi dan kesehatannya, serta segala kebutuhan untuk tumbuh kembangnya. Dalam masa itu, saya butuh energi lebih dalam mengawasi kedua buah hati. Terjaga di malam hari bukan lagi kondisi yang langka bagi saya. Apalagi jika anak-anak sedang sakit. Kelelahan itu pasti akan menyertai hari-hari saya.
Begitu pula dalam mempersiapkan makanan yang bergizi untuk mereka. Saya harus ekstra mencari tahu apa saja yang pas untuk tumbuh-kembang mereka. Memasak, merapikan bekas mainan, membersihkan pakaian mereka, dan ragam rutinitas tentu akan membuat capek. Yang akhirnya saya menyadari bahwa itu lumrah. Idealnya, saya tidak ingin mengeluh untuk melakukan tanggung jawab ini.

Menikmati setiap fase itu ....
            Seiring dengan pertumbuhan anak, maka kelelahan saya ikut bergeser pula. Jika anak sudah beranjak remaja, pendampingan dan pengawasan saya sebagai Ibu tidak lagi terbatas pada hal-hal ketika anak-anak saya masih balita. Mereka sudah punya dunia lain di luar rumah. Pergaulannya tentu tidak lagi sama seperti zaman TK atau SD.
Ketakutan bahwa anak akan salah langkah dalam pergaulannya, menjadi satu hal yang terkadang mampu menguras energi tidak di bagian fisik tapi pikiran. Anak yang sudah remaja tidak bisa lagi sekadar diajak bermain seperti waktu balita. Maka peran saya akan meningkat pada pendampingan ala seorang teman dekat. Menjadi teman diskusi bagi anak, mengawasi dengan memberikan tanggung jawab, atau bahkan masuk ke dunia mereka jika memang dibutuhkan. Semua itu semata-mata agar mereka merasa nyaman serta tidak melupakan posisi ibunya sebagai prioritas dalam berbagi berbagai hal dan permasalahan.   

Bersama Kakak Mira
Bersama Khalid

            Ibu mana yang tidak ingin menjadi idola bagi anak-anaknya? Saya juga menginginkannya. Alhamdulillah, memiliki sepasang anak yang keduanya sudah menjadi remaja, membuat saya selalu merasa bahagia menjadi seorang Ibu. Sejak mereka kecil hingga sekarang dan Insya Allah di hari depan nanti, tidak ada satu masalah yang benar-benar membuat hubungan kami berantakan. Meskipun sesekali ada kendala, alhamdulillah … selalu terlerai dengan bijaksana.
Sebagai Ibu, perjalanan dan perjuangan saya agar selalu menjadi sahabat yang menyenangkan buat kedua anak saya masihlah panjang. Anak pertama saya saja baru masuk di perguruan tinggi, sementara adiknya masih kelas 2 SMA. Proses untuk terus menjadi Ibu yang menyenangkan, tentunya tidak selesai sampai di fase ini saja. Proses itu pula yang saat ini sedang dan terus saya nikmati.

Insya Allah, always full of love .... ^_^
Saya pernah ditanya oleh teman yang kebetulan masih memiliki anak balita. Entah apa yang ia lihat dari kebersamaan saya dengan kedua ana-anak saya. Menurutnya, saya dan anak-anak itu terlihat begitu kompak. Lalu, ia pun menanyakan rahasianya. Lama saya simpan jawaban ini, sebab malu rasanya mendahului para senior yang anaknya sudah berkerja, bahkan sudah menikah dan punya cucu.
Namun hari ini akhirnya saya tergoda juga untuk berbagi. Mungkin terlalu sederhana dan sudah banyak diparktikkan para Ibu lainnya. Tapi, niatnya hanya untuk saling berbagi agar kita bisa menjadi Ibu yang menyenangkan buat anak-anak kita.

Menjadi Ibu yang bijaksana
            Menjadi Ibu yang bijaksana itu relatif bagi setiap anak dan ibunya. Sebab masing-masing anak dan ibunya tentu punya patron sendiri-sendiri. Kalau saya, simpel saja. Berusaha tidak mudah marah atau menyalahkan anak jika mereka melakukan kesalahan. Saya selalu menanyakan penyebab mereka melakukan kesalahan tersebut. Jika mereka melakukannya karena lupa, tidak sengaja, atau bahkan tidak tahu kalau itu salah, saya berusaha tidak akan menghukum mereka. Cukup mengingatkannya saja dengan contoh-contoh yang bisa mereka pahami.

Menjadi Ibu yang jujur
            Mustahil rasanya Ibu menuntut anak untuk selalu jujur kalau dirinya sendiri sulit berbuat jujur. Kejujuran itu buat saya tidak bisa didoktrin ke anak, melainkan mencontohkannya dengan perbuatan. Dari sikap dan perbuatan yang senantiasa menjunjung tinggi kejujuran inilah, saya meyakini bahwa kedua anak saya berusaha meniru dan takut untuk berbohong. Tidak hanya tentang kejujuran, banyak prilaku dan adab lainnya yang perlu dicontohkan oleh perbuatan Ibu, ketimbang hanya memberikan ceramah panjang lebar ke anak-anak. Saya berusaha melakukan itu dengan penuh ketulusan.

Menjadi Ibu yang tegas bukan sarkas
            Waktu anak-anak saya balita, ketegasan yang kerap saya lakukan adalah jika mereka tiba-tiba bertengkar gara-gara memperebutkan mainan. Si Kakak terkadang merasa lebih berkuasa dari adiknya sehingga ia merasa berhak memarahi adiknya sampai menangis.Saya marah? Iya, tapi tetap berusaha tidak membuat mereka "takut" melihat saya.
Peran saya dalam kondisi pertengkaran ini persis seperti wasit tapi tidak dengan tujuan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demi menenangkan si Adik, saya biasanya berusaha mencari alternatif mainan lainnya untuk diberikan. Jika si Adik sudah tenang, saya pelan-pelan mengajak si Kakak ngobrol dalam bahasa anak seusianya. Menjelaskan kepadanya bahwa posisinya sebagai kakak bukan berarti ia lebih berkuasa dari adiknya. Justru ia harus belajar menjadi pelindung buat adiknya. Namun, cara menjelaskannya pun saya usahakan hati-hati sekali, agar si Kakak tidak merasa perannya sebagai kakak justru terbebani oleh sikap harus selalu mengalah. Intinya saya tegas tapi berusaha kreatif menciptakan sebuah contoh sederhana. Alhamdulillah, meskipun tidak instan, perlahan-lahan ini membuahkan hasil.

Menjadi Ibu, teman diskusi, dan pendengar yang baik
            Saya tidak begitu kesulitan untuk menjadi Ibu dan teman buat kedua anak saya saat mereka masih balita dan anak-anak. Banyak hal yang bisa membuat kebersamaan kami menyenangkan. Selain mereka seolah memahami bahwa kendali lebih besar di saya, mereka juga lebih menurut dan enjoy. Berbeda setelah mereka beranjak remaja. Beberapa kebiasaan baru pun bermunculan tanpa saya duga.
Cerita tentang pergaulan bersama teman-teman sekolah yang tidak hanya sekadar bermain lagi seperti zaman TK dan SD pun mulai mereka bagi. Ketidaksukaan mereka pada sesuatu yang saya pilihkan terkadang menjadi masalah yang muncul secara tiba-tiba. Dalam kondisi ini memang tidak selalu berakhir dengan mulus secara cepat. Bahkan sesekali menemukan jalan buntu yang membuat saya dan anak-anak berdebat dan saling mempertahankan argumen masing-masing.
Untunglah, saya bukan tipe Ibu yang nyaman berlama-lama pada kondisi saling marahan dengan anak. Oleh karena itu, saya tidak bisa diam untuk bertahan membiarkan suasana keruh di antara kami. Saya kembali berusaha belajar memahami perubahan fase mereka. Seperti apa dunia remaja dan kebiasaan-kebiasaannya, trend apa yang sedang menjadi pembicaraan di luar sana, dan hal lainnya, menjadi pertimbangan saya untuk mencari tahu. Upaya ini saya lakukan agar saya tidak lagi memaksakan kehendak pada mereka. Kecuali jika pilihan mereka bertabrakan dengan norma dan agama. Saya akan ajak mereka lagi-lagi berdiskusi dan mencari panduan yang tepat. Biasanya saya ingatkan mereka pada ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist-hadist yang relevan dengan itu.
Sebagai Ibu, saya juga tidak memaksakan agar anak-anak saya harus selalu mendengarkan kata-kata saya. Ada kalanya saya hanya diam menyimak cerita-cerita mereka. Saya tidak akan menjelma menjadi sosok yang tiba-tiba sok bijaksana dan tahu segalanya. Sesekali justru saya yang memosisikan diri menjadi pendengar yang baik. Intinya saya selalu berusaha menciptakan komunikasi yang “hidup” di antara kami.
           
Menjadi Ibu yang tidak pelit memuji         
            Mungkin masih ada Ibu yang malu dan terkadang gengsi memuji dan menyatakan sayang dan cinta pada anaknya. Padahal, kata-kata pujian dan ungkapan kasih dan sayang itu bisa menjadi asupan "gizi" untuk tumbuh kembang psikis mereka. Saya selalu percaya ini, sehingga walaupun marah, saya hampir tidak pernah lupa mengakhiri kemarahan dengan mengatakan, “Ibu marah sama kalian ini bukan karena Ibu benci, tapi justru karena Ibu terlalu sayang sama kalian.” Atau jika mereka melakukan hal yang baik, saya tidak segan-segan melontarkan pujian, “Kereeen…! Hebat ih!”
Jika sedang ada rezeki berlebih, prestasi dan usaha mereka yang telah membuahkan hasil yang baik, saya tidak hitung-hitungan untuk memberikannya hadiah. Tidak harus mahal. Dengan menraktir makan siang, makan malam, membelikan buku favorit mereka, atau nonton bareng saja, saya sudah bisa melihat binar bahagia di mata mereka. Dan binar itu tidak bisa dinilai dengan angka-angka.
            Itulah beberapa hal yang selama ini saya lakukan untuk kedua anak saya. Lalu, apakah saya sudah cukup menyenangkan buat mereka? Biarkan mereka yang menjawabnya. Yang terpenting, saya takkan pernah berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayang buat mereka sampai kapan pun. Dan, alhamdulillah, hingga hari ini dan Insya Allah sampai kapan pun, saya masih selalu merasakan kasih sayang mereka buat saya. [Wylvera W.]

           
               

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...