Rabu, 25 Desember 2013

Pengemis Tua

Dimuat di Majalah Bobo, 27 Desember 2012




Aku kesal sama Mama dan Papa. Liburan ke Frankfurt hanya dihabiskan dengan menonton satu opera ke opera lainnya. Enggak ada manfaatnya buatku. Sebelum berangkat seminggu yang lalu, aku sudah sesumbar menceritakan ke teman sekelas, kalau liburanku kali ini akan sangat menyenangkan. Mama dan Papa sudah menghabiskan waktuku dengan memaksaku menonton opera yang tak kumengerti samasekali.
            “Enggak ada tempat lain yang lebih menarik dari ini ya, Ma?” tanyaku tak kuat lagi menahan kecewa.
            “Memangnya kamu mau kemana?” tanya Mama tanpa merasa bersalah.
            “Ke tempat-tempat yang banyak dikunjungi anak-anak dong, Ma. Taman mungkin,” jawabku kesal.
            “Di luar salju mulai turun, kalau ke taman, kamu bisa tertutup salju nanti,” canda Mama tak lucu bagiku.
            “Atau ke museum juga lebih asyik, dari pada menonton pertunjukan yang aku tak mengerti sama sekali,” protesku semakin meluapkan rasa kesal.
            “Lo..kisah operanya kan buat anak-anak. Mengapa kamu enggak mengerti?” tanya Mama masih tak mau mengalah.
            “Iya, tapi ceritanya aku enggak suka. Kaku dan sangat diatur. Enggak alami,” kataku lagi membuat Mama terdiam.
            Melihat Mama terdiam, aku jadi merasa bersalah juga. Aku mulai sadar kalau Mama dan Papa mengajakku menonton opera bukan tanpa alasan. Mungkin saja mereka ingin memperkenalkanku dengan kisah-kisah bersejarah yang dialami anak-anak di Jerman. Tapi, aku terlanjur tidak tertarik.
            Pertunjukan baru saja selesai. Kami beriring-iringan ke luar dari gedung. Begitu sampai di depan gedung opera, aku tertegun melihat seorang laki-laki tua duduk di tas kedua kakinya yang ditekuk. Laki-laki tua itu hanya melapisi badannya dengan jaket usang yang tak terlalu tebal. Butiran-butiran salju mulai menempel di jaket dan topinya. Melihatnya duduk sambil memegang cangkir kaleng yang hampir seluruh permukaannya berkarat, aku pastikan laki-laki tua ini adalah pengemis. Aku pikir, hanya di Jakarta saja ada pengemis seperti ini.
            “Mau kemana Key?” tanya Mama nyaris menarik ujung lengan coatku.
            “Sebentar, Ma. Keysa mau mengisi kaleng pengemis itu,” jawabku sambil terus menghampiri laki-laki tua itu.
            “Hati-hati, Key!” seru Mama.
            Sebelum memasukkan uang recehan ke dalam kaleng pengemis itu, aku sempatkan memperhatikan wajahnya . Laki-laki tua ini bukan orang Jerman. Dari raut wajah, bentuk hidung dan matanya, aku yakin dia bukan penduduk asli.  Wajahnya Arab sekali. Aku ingin menyapa, tapi bingung mau memulainya dengan pertanyaan apa. Akhirnya aku hanya memasukkan uang  ke dalam kaleng yang dipegangnya.
            Teşekkür ederim,” katanya dengan suara berat. Aku terperanjat dan tak mengerti apa maksudnya.
            “Itu bahasa Turki,” ujar Papa yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.
            Danke,” ujarnya lagi seperti menyadari kalau aku tak mengerti dengan bahasanya.
            You are welcome,” jawabku dalam Bahasa Inggris. Dia mengangkat sedikit wajahnya dan tersenyum padaku.
            Hari masih siang, karena pertunjukan opera selesai sekitar pukul 12 siang waktu Frankfurt. Papa dan Mama belum ingin kembali ke hotel. Kami memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran sederhana yang tak terlalu mahal harga menunya. Kalau saja salju belum turun, kami lebih memilih menikmati jajanan di pinggir-pinggir jalan  dan menikmatinya sambil duduk di kursi taman. Tiba-tiba, ingatanku kembali kepada pengemis tadi.
            “Kasihan pengemis tadi ya, Pa,” ujarku membuka obrolan di tengah jam makan siang.
            “Iya, di sini banyak juga pengemis-pengemis seperti itu. Mereka tersebar di beberapa tempat,” kata Papa menjelaskan.
            “Seperti di Jakarta saja ya?” komentarku.
            “Iya, bedanya mereka enggak mengerti Bahasa Indonesia,” sela Papa bercanda.
            Kami beranjak ke emperan pertokoan, karena hujan salju mulai deras. Permukaan taman dan jalan-jalan mulai memutih. Cantik sekali. Suasana seperti ini yang selalu membuatku rindu untuk kembali menetap di Swiss, tempat Papa sebelumnya ditugaskan. Tapi, masa dinas papaku sudah berakhir dan kami harus kembali ke Jakarta setahun lalu.
            “Kalau setiap tahun kita liburannya ke Eropa begini, duit Papa bisa habis dong ya?” tanyaku tiba-tiba kasihan melihat Papa.
            “Ya, enggak setiap tahun dong ah. Pemborosan itu namanya,” sela mama mengucek rambutku. Aku ikut tertawa sambil menggelayut manja di lengan Papa.
            “Key..ada tiga tiket lagi yang harus kita pakai malam ini,” ujar Mama seperti takut-takut.
            “Haaah?! Opera lagi?” tanyaku terperanjat.
            “Iya, sayang tiketnya sudah terlanjur dibeli,” kata Mama lagi memaksaku untuk mengalah.
            Akhirnya kami kembali ke gedung opera tadi. Kupaksakan hatiku supaya bisa menikmati pertunjukan. Tak berapa lama pertunjukan pun dimulai. Judul pertunjukannya agak aneh buatku. “PRETENDING,” yang artinya berpura-pura. Seperti judul lagu Glee yang biasa kudengar di youtube.
            Satu persatu pemain muncul. Mereka mempertontonkan kehidupan para pengungsi dan korban Perang Dunia ke-2, yang pernah kubaca di buku koleksi Papa. Tiba-tiba aku terperanjat.
            “Lihat! Itu pengemis dari Turki tadi!” seruku tak sadar. Di remang-remang barisan para penonton, rasanya beberapa kepala menoleh ke arahku.
            “Sssst...jangan berisik, Keysa,” bisik Mama dan Papa serentak mengingatkan aku. Terpaksa aku terdiam menunggu akhir dari pertunjukan itu. Aku mulai gelisah ketika melihat akting pengemis tua yang tadi siang sempat aku hampiri di depan gedung ini. Laki-laki Turki itu sudah membohongiku dengan penampilannya yang berpura-pura menjadi pengemis.
            Pertunjukan opera hampir berakhir. Para pemain berdiri berjajar menghadap penonton. Pengemis tua itu tiba-tiba maju sedikit ke depan menuju mikropon dan memberi ucapan terimakasih kepada seluruh penonton. Kalimat terakhirnya membuatku tersentak.
            “Dan, terima kasih pula kepada gadis kecil yang siang tadi telah membagi sebagian uang recehnya di kaleng saya. Semoga gadis kecil yang manis itu memaafkan saya karena telah berpura-pura menjadi pengemis di depan gedung opera ini!” ujarnya sambil terus memperhatikan seluruh wajah penonton. Aku tak tahan dan langsung berdiri serta mengangkat sebelah tanganku.
            “Aku di sini, Pak tua!” teriakku dari barisan kedua bangku penonton. Laki-laki turki yang sudah menyamar menjadi pengemis itu melambaikan tangannya dan memintaku naik ke atas panggung. Pertunjukan opera dengan judul “PRETENDING” kali ini menjadi cerita berkesan yang bisa kubagi ke teman-temanku di Jakarta.
            Danke! Ma, Pa, sudah memaksaku menonton opera ini,” kataku berbisik sambil tersenyum ke Mama dan papaku. [Wylvera W.]

6 komentar:

  1. waahh... senangnya :D Saya juga pengen kirim cerita ke majalah Bobo, tapi blm tahu caranya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dikirim lewat post dan email, Mbak Santi. Sebanyak 3 halaman dengan spasi ganda. :)

      Hapus
  2. Idenya keren banget mba wiek, sukaaa banget sama ceritanya.

    BalasHapus
  3. Mba Wyk, begitu mengeklik blog ini saya langsung menuju postingan Mba di tahun 2013. Sebabnya karena saya mulai berani menulis untuk media di tahun ini. Di tahun 2013 Mba Wyk sudah muncul di Bobo. Sedangkan saya baru memulai. Hihihi. Nice post, Mba. Postingan Mba ini akan menjadi penyemangat saya untuk berkarya lebih baik lagi 😊 Barakallah buat Mba Wyk dan keluarga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wafiiki barakallah, Mbak :)
      Makasih sudah berkunjung ke sini. Pilihan yang unik dan ini benar-benar terkait profesi saya yang dikunjungi. :)

      Hapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...