Rabu, 02 Juli 2014

Indonesia Bukan Hanya Bali

dokpri

Lahir di Indonesia dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang juga asli Indonesia, membuat saya tak bisa melupakan kodrat sebagai anak Indonesia. Apalagi lidah saya tak begitu fasih berbahasa Inggris, mana mungkin saya bisa berpura-pura menjadi orang bule. Tapi, ketika saya pernah merasakan tinggal dan singgah di negara empat musim, sempat terbesit godaan membanding-bandingkan Indonesia. Untunglah, saya masih bisa merasakan bahwa banyak hal yang membuat saya merasa jauh lebih nyaman bermukim di Indonesia. Godaan itu bisa ditepis.
Mendapat kesempatan tinggal di negara empat musim memberi saya ragam pengalaman. Di Amerikalah saya banyak belajar tentang perbedaan.  Mulai dari beradaptasi dengan cuaca sampai  dengan membiasakan diri bersosialisasi dengan mereka yang non-Indonesia. Apa pun yang saya rasakan selama bermukim di sana tetap membuat saya tak bisa berpaling dari rasa cinta pada tanah air saya. Selama hampir dua puluh bulan hidup di Amerika dengan segala kemudahan dan kenyamanannya, tidak lantas membuat saya sinis pada tanah kelahiran saya.

Kenangan di tempat kursus.
            Berbagi cerita tentang kecintaan pada Indonesia membuat saya teringat kenangan di tempat kursus. Ketika tinggal di Urbana - Illinois, saya yang selalu aktif saat di tanah air, tak bisa hanya diam menghabiskan waktu di apartemen. Waktu kosong yang tidak mengganggu tanggung jawab saya sebagai istri dan ibu tentulah saya manfaatkan untuk hal-hal positif. Selain mencoba-coba resep masakan, ikut pengajian ibu-ibu Indonesia yang juga tinggal di sana, mengembalikan hobi lama tentang menulis, saya juga mengambil kesempatan kursus Bahasa Inggris gratis. 
Teman-teman di tempat kursus (dokpri)
            Di tempat kursus bahasa Inggris inilah saya bersentuhan dengan ragam budaya. Murid-murid yang mengikuti kursus berasal dari beragam bangsa dan negara. Ada yang dari Korea, Cina, Turky, Jepang, Arab, Pakistan, Bangladesh, dan lainnya. Sudah menjadi tradisi si guru, jika memulai kelas baru, beliau meminta murid-muridnya untuk memperkenalkan diri. Ini yang membuat saya langsung fokus untuk mendengarkan teman-teman sekelas saat mereka memperkenalkan negara asalnya. Mereka begitu bangga menyebut kelebihan dan daya tarik dari negaranya.
Sambil menunggu giliran jantung saya berdegup kencang. Saya sempat bingung ingin memulai dari mana untuk mengenalkan Indonesia kepada mereka. Mau tak mau akhirnya saya maju juga. Dengan sedikit gugup saya mengawali perkenalan dari kota kelahiran saya, lalu berpindah ke Jakarta dan akhirnya ke Bekasi. Saat itu, tiga kota inilah yang menurut saya paling pas untuk saya kenalkan kepada mereka sebab di Medanlah saya lahir, di Jakarta saya memulai kehidupan baru berumah tangga, dan di Bekasi akhirnya saya menetap hingga saat ini.
Sambil berbicara di depan kelas, saya memberanikan diri menatap mata mereka. Diam-diam saya ingin melihat apakah mereka paham dengan bagian kecil dari Indonesia yang telah saya paparkan. Ada yang mengangguk-angguk dan ada pula yang menatap bingung. Jujur saja, saat menatap beberapa pasang mata yang bingung itu, tiba-tiba saya terbayang pada kata korupsi, tragedi ’98, bom dan isu teroris yang sempat membuat Indonesia menjadi perhatian banyak negara di dunia. Tiba-tiba saja saya ingin segera buru-buru kembali ke tempat duduk untuk mengakhiri sesi perkenalan, tapi saya harus menyelesaikan perkenalan itu.
Saat jam istirahat, beberapa teman menghampiri saya. Awalnya mereka ingin melanjutkan perkenalan lebih dekat. Salah seorang menjabat tangan saya sambil mengatakan bahwa dia hanya tahu Indonesia itu adalah Bali. Wow! Betapa terperanjatnya saya. Pantas saja tadi dia menatap bingung saat saya sebut Medan, Jakarta, dan Bekasi. Selanjutnya, tanpa sadar saya begitu bersemangat menjelaskan apa yang belum mereka ketahui.
Setelah itu, saya benar-benar yakin bahwa kemampuan saya untuk menjelaskan bahwa Indonesia itu terdiri dari banyak provinsi yang tak kalah indah dari Bali adalah bentuk dorongan rasa bangga saya pada Indonesia. Namun sesaat kemudian, tanpa saya duga, dia pun bertanya tentang isu teroris, korupsi, dan hal lainnya yang saya jawab dengan sangat hati-hati.
Tak bisa dihindari, ternyata sisi negatif tentang Indonesia juga menjadi pertanyaan mereka. Untungnya, tak lagi ada rasa cemas seperti ketika saya berdiri di depan kelas sebelumnya. Saya jelaskan beberapa hal terkait dengan itu lewat bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Yang terpenting bagi saya, mereka bisa memahami penjelasan saya. Obrolan kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa suatu saat nanti mereka ingin berkunjung ke Indonesia dan menjelajah tempat-tempat indah yang sudah saya sebutkan.Wah! Diam-diam saya senang mendengar janji mereka. Itu artinya saya berhasil.

Seperti apa bentuk tanda cinta saya terhadap Indonesia?
Saya sadar kalau sebenarnya saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini. Apalagi setelah mengingat kejadian di tempat kursus itu, saya menyimpulkan bahwa mungkin saya sendiri belum begitu meyakinkan di mata teman-teman sekelas saat bercerita dan mengenalkan Indonesia. Saya belum maksimal memperkenalkan negeri tercinta ini kepada mereka hanya karena rasa ketakutan yang sempat mengganggu, sehingga masih saja ada yang hanya mengenal Indonesia adalah Bali. 

Mereka juga harus tahu Pulau Tangkil itu ada di Lampung 'kan? (dokpri)


Dan Pulau Klah itu ada di Sabang (dokpri)
Dari pengalaman di tempat kursus tadi - terlepas dari segala permasalahan yang pernah atau sedang terjadi di Indonesia - sebagai wujud dari bentuk rasa cinta, saya tetap merasa punya tanggung jawab untuk mengenalkan negeri saya. Mulai dari ragam provinsinya, kekayaan dan keindahan alamnya, keragaman kulinernya serta terutama adalah tentang keramah-tamahan penduduknya yang mungkin tak dimiliki oleh negara lain, sehingga tak ada lagi yang mengatakan bahwa, “Selama ini saya tahu Indonesia adalah Bali.” Atau setidaknya, meskipun tak terlihat porsinya, saya wajib ikut meminimalisir pandangan negatif terhadap negeri tercinta ini karena masih banyak sisi positif yang perlu mereka lihat dari Indonesia selain hal-hal miring yang mereka ketahui. 

Atau Danau Toba di Pulau Sumatera (dokpri)
Akhirnya, seperti apa pun kondisi negeri ini, saya masih tetap menjadi bagian darinya. Ke negara manapun yang sempat saya singgahi, Indonesia tetap sebagai negeri yang paling tepat untuk saya berpijak. Saya tetap peduli dan merasa bangga menjadi rakyat Indonesia. [Wylvera W.]


http://abdulcholik.com/2014/07/01/kontes-unggulan-aku-dan-indonesia/

8 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
    Dicatat sebagai peserta
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, pakde. Terima kasih juga atas kesempatan yang diberikan.
      Salam hangat balik dari Bekasi. :)

      Hapus
  2. Kemanapun perginya...negeri tumpah darah akan selalu menjadi tempat berlabuh ya Mak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mak. Rasanya belum ada yang sekomplit Indonesia deh. :)

      Hapus
  3. Indonesia itu luas, tidak hanya Bali. Tugas kita juga ya mbak memperkenalkannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Lidya. Kaget juga mendengar bangsa lain taunya Bali = Indonesia. Jadi aku mikirnya bahwa kita belum sempurna mengenalkan keindahan seluruh provinsi kita ke mata dunia.

      Hapus
  4. bali itu indonesia, tapi indonesia bukan hanya bali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar. Tugas kita membuat provinsi lainnya bisa seterkenal Bali ya. :)

      Hapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...