Senin, 30 September 2013

Bukan Ingin Membandingkan


          Gara-gara membaca postingan status teman di facebook, saya jadi teringat untuk mengulas pengalaman anak-anak saya saat bersekolah di Amerika. Bukan untuk membanding-bandingkan sistim pendidikan di sana dengan di tanah air, sebab di Indonesia pun sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan pola serupa. Saya hanya sekadar membuka kenangan manis saja yang sempat dirasakan Mira dan Khalid selama bersekolah di sana. Dan, tentunya sempat berimbas kepada saya, ibu mereka.
Mira dan Khalid di depan sekolahnya dulu
            Kami tidak terlalu lama bermukim di kota kecil bernama Urbana Champaign, Illinois, namun pengalaman yang kami dapat begitu berkesan sehingga sulit untuk dilupakan walaupun sudah bertahun-tahun berlalu. Di bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kenyamanan bersekolah bagi anak-anak saya selama di sana. Meskipun di awal-awal anak-anak saya tidak langsung enjoy (terutama Mira, anak sulung saya, karena kesulitan bahasa), namun proses adaptasi tak memakan waktu lama. Hanya sekitar dua minggu, semuanya bisa berjalan normal dan justru menyenangkan bagi mereka.
            Ada beberapa cerita menarik tentang sekolah yang kerapkali mereka bawa pulang ke apartemen kami kala itu. Pertama, tentang sistim pembelajaran yang menurut mereka sangat menyenangkan. Meskipun disampaikan dalam Bahasa Inggris yang belum sepenuhnya mereka kuasai, tapi mereka tak merasa tertekan untuk mengikutinya. Guru di sana selalu membimbing mereka bukan hanya dengan kesabaran, tetapi juga dengan pendekatan yang membuat mereka nyaman. Tak pernah terucap kata “Itu salah, harusnya begini” atau “Enggak boleh nulis seperti itu, nanti nilai kamu rendah”, dan sebagainya yang bersifat penekanan.
Mengerjakan PR tanpa kepanikan
            Pekerjaan rumah (PR) juga selalu mereka dapat dari guru-gurunya. Namun, itu tidak dirasakan sebagai penekanan. Kesulitan yang mereka hadapi hanya karena faktor bahasa saja, bukan ketakutan akan benar atau salah dalam menyelesaikan soal-soal tersebut.
Apa yang menyebabkan mereka nyaman? Menurut Mira (waktu itu sempat duduk di kelas fourth dan fifth grade), mereka tidak pernah tertekan karena melihat nilai teman yang tinggi dalam bentuk angka 10, 9, atau 8. Bentuk penilaian selalu akan diapresiasi dalam kata-kata seperti, excellent, good job, well done, great job, dan kata-kata lain yang sifatnya membangun serta menyemangati. Dengan kondisi seperti itu, mereka tidak merasa dipacu oleh tekanan untuk bersaing satu sama lain secara membabi buta. Justru unsur kebersamaanlah yang kerapkali muncul, agar semua anak di dalam kelas bisa mencapai standar yang sama tanpa harus terbebani dan tertinggal dari teman lainnya.

Di kelas ESL (English as a Second Language)
            Untuk pelajaran ilmu alam misalnya, anak-anak tidak melulu dijejali dengan teori-teori dan angka-angka. Mereka sesekali dibawa berwisata (field trip) untuk berlatih dekat dengan alam serta makhluk hidup lainnya. Dengan cara demikian, maka logika dan kepekaan mereka perlahan diasah dengan cara yang menyenangkan. Di acara itulah, guru-guru mereka mengantarkan dengan cara praktik langsung secara bertahap tentang teori-teori yang berkaitan dengan ilmu bersangkutan. Dan, ini tentu saja lebih efektif terekam oleh daya ingat murid-muridnya.
Belajar banyak di tempat field trip
Belajar tentang tumbuh-tumbuhan
Mengenal benda mati (batu itu, jadi saksi...*_^)
            Begitu juga di pelajaran seni. Baik itu seni rupa, tari, musik, dan suara, semua diajarkan dengan pendekatan yang benar-benar menyentuh. Bahkan ada anak yang tadinya tidak peduli dengan pelajaran seni ini, akhirnya sangat menyenangi dan merasa selalu senang mengikuti kelasnya. Karena apa? Setiap anak (baik yang peduli maupun tidak) semua dianggap sama dan diajak dengan cara menyentuh perhatian mereka secara perlahan-lahan sehingga mereka tak merasa berbeda dari yang lainnya. Keseragaman ini membuat anak nyaman untuk mulai mencintai apa yang tadinya mereke benci.

Khalid ikut field trip
Belajar seni suara dengan gembira

Mira dan para pemeran Lion King
Dua guru di antara beberapa guru favorit Mira dan Khalid
            Setiap 3 - 6 bulan sekali, pihak sekolah akan memberikan apresiasi kepada murid-muridnya. Reward berbentuk award berupa piagam menjadi barang lazim di sana. Anak-anak yang tak menguasai pelajaran matematika, tak pernah merasa minder karena dia akan diberikan award atau penghargaan di bidang mana yang dia kuasai.
Penghargaan itu membuat Khalid selalu semangat
            Mengingat ini, saya jadi teringat ketika pertama kali ikut seleksi pendaftaran Mira ke SMA-nya. Isu yang saya dengar bahwa pihak sekolah akan memberi nilai tambah kepada anak-anak yang berprestasi. Fine... saya senang mendengarnya. Tapi, ketika batasan terhadap penghargaan itu muncul, saya kembali teringat dengan sistim pendidikan di sana. Di SMA Mira kemarin membatasi dengan menerima prestasi atau sertifikat hanya di bidang akademis dan itu pun khusus untuk pelajaran Matematika dan IPA. Saya hanya bisa tersenyum miris ketika beberapa penghargaan/sertifikat di luar pelajaran itu (seni dan bahasa) ditolak mentah-mentah di meja seleksi pendaftaran.
Sebagian penghargaan yang Mira dapat selama di King School
            Dengan kondisi di atas, tentulah anak-anak merasa kecewa karena kebisaannya di bidang lain yang dengan susah payah diraihnya, tidak dianggap sema sekali. Kasarnya, semua modal untuk masuk ke sekolah bagus itu adalah nilai berbentuk angka-angka. Memang, standar nilai itu perlu diukur dengan angka, tapi tidak untuk segala bidang. Pencapaian terbaik yang sudah dilakukan siswa di bidang non akademis ada baiknya juga mendapat perhatian, karena tidak semua anak menguasai MIPA.
            Kondisi inilah yang sesekali menjadi kenangan dan kami jadikan sebagai bahan diskusi di rumah. Anak-anak saya sampai saat ini masih suka mengingat-ingat hal-hal positif yang membuat mereka nyaman ketika bersekolah di Marthin Luther King Elementary School. Hal itu muncul di saat mereka mulai panik dengan tekanan tugas dan PR dari sekolahnya. Apalagi ketika target nilai yang harus mereka kejar agar tetap bisa menduduki peringkat atas di kelasnya, sehingga kelak guru tidak mengabaikan mereka dan memperhitungkan keberadaannya di kelas. Ini sangat melelahkan, menurut hemat saya.
            Kapan ya, sistim pendidikan kita akan diseragamkan dengan sekolah-sekolah yang mungkin sudah mengarah pada pola pengajaran di luar negeri itu? Pertanyaan ini yang sering saya dengar dari mereka yang anaknya pernah tinggal di luar negeri. Bahkan di status facebook pun sesekali mereka menggelar diskusi tentang ini. Hmm.... wallahua’lam bishawab. []

13 komentar:

  1. Pantesan suara Mira bagus ya mbak, ternyata sejak kecil sudah suka menyanyi ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, bisa jadi ya Mbak Lidya. Mira memang keliatan sekali darah seninya sejak belum sekolah malah. :)

      Hapus
  2. Pendidikan di LN umumnya tak terlalu membebani murid karena pelajaran juga nggak terlalu banyak.
    Mereka mendidik agar jurid berani mengemukakan pendapat.

    Terima kasih artikelnya yang menarik dan bermanfaat

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Pakde Cholik... dari situ mereka belajar berpikir logis juga. Btw, makasih sudah mampir dan beri komentar ya. :)

      Salam kekeluargaan dari Bekasi.

      Hapus
  3. Malahan di sekolah anak saya yg membabi buta akan nilai anaknya supaya tinggi adalah orang tuanya. Bergidik saya jika ingat akan hal itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu dia Mbak... gegara tuntutan angka-angka tadi, orangtua jadi panik dan gak mau anaknya gagal. Jadilah seolah mereka yang bersaing. Pfiuuuh....

      Hapus
    2. Makanya mba, saya suka merasa prihatin dan kasihan pada anak2 korban dari ortu yg punya ambisi gak jelas.

      Hapus
  4. Sedih kalau sertifikat itu tidak bermanfaat. :( Padahal, anak-anak kita berusaha optimal untuk meraihnya. Semoga ke depannya lebih baik ya, Kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Haya.
      Untunglah waktu masuk SMP kemarin salah satu sertfikat Khalid itu bisa diterima untuk daftar jalur prestasi. Aamiin, semoga sistim pendidikan kita ke depannya semakin dibenahi. :)

      Hapus
  5. iya, untungnya sekolah anakku yang sekarang juga gitu gak nilai pake angka tapi good, very good, ditempelin sticker bintang atau happy face...masih kurang field tripnya aja sih tapi mungkin belum setengah tahun juga kan jadi mungkin memang belum. Sekolah2 diluar memang sering field trip suka ngiri kalo temen2 bloggerku yang di luar nulis aktifitas sekolah anak2nya iiih sekolah di indo emang jarang banget bikin field trip2 gini padahal anak2 itu kan terutama yang masih pada tk ya harusnya belajarnya sambil main yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih TK ya Mbak Rina?
      Semoga untuk level SD, SMP dan SMA nya juga mulai mengadopsi gaya pembelajaran luar ya. Biar anak-anak gak stress. :)

      Hapus
  6. Disini murid diajarkan 'legowo' dan 'nerimo'..bukan percaya diri dengan kemampuan masing-masing yang tentu saja tidak selalu sama...hiks..hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia, Dian... "legowo" dan "nrimo" itu memang terkadang perlu ditanamkan kepada anak-anak, tapi dalam hal yang memang pantas sehingga mereka terbiasa memilah-milih untuk menentukan sikapnya pada hal-ahal yang pas, bukan pasrah dalam artian tertekan. Itu yang terkadang tidak dipahami oleh pendidik-pendidik kita di sekolah. "Aku gurunya kamu muridku, ya sudah kamu harus nurut," begitu kira-kira. Anak-anak enggak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat hingga tuntas. Biasanya kalau sudah terpojok, power of authoritynya yang muncul. :(

      Hapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...